Selasa, 21 Maret 2017

[Cerbung] Affogato #21-2








Sebelumnya  



* * *


Semua hal seolah berbaur jadi satu. Melayang-layang dalam benaknya. Lalu bayang-bayang baur itu perlahan berubah bentuk menjadi wajah-wajah yang dikenalinya dengan sangat baik. Olivia, Carmela, Maxi... Terakhir dengan sedikit samar ia mengenali sosok lain yang seolah memanggilnya untuk naik ke atas ranjang. Menggodanya dengan tubuh yang berpakaian minim. Tapi hal terakhir itu mendadak membuatnya mual.

Lalu semuanya kembali menjadi bayang-bayang baur yang membentuk satu gumpalan hitam yang membuatnya sesak. Dadanya terasa ditekan berkali-kali. Terhimpit, lepas, terhimpit, lepas lagi. Begitu seterusnya, dalam gerakan ritmis. Sekuat tenaga ia berusaha berteriak. Membebaskan diri dari semua hal yang mengungkungnya. Tapi yang terlepas dari sela-sela bibirnya hanyalah lenguhan tanpa suara. Karena ada yang terasa mengganjal tenggorokannya. Ia mencoba berteriak lagi. Tetap sia-sia.

“Pak... Pak Prima... Bisa dengar saya? Pak Prima...”

Suara halus itu menembus pendengarannya. Sekuat tenaga ia memahami. Sekuat tenaga ia mencoba untuk menjawab. Tapi yang bisa dilakukannya hanya satu. Membuka mata. Dengan tatapan yang tidak fokus dan penuh dengan bayang-bayang baur yang nyaris sama dengan yang memenuhi otaknya baru saja.

Kemudian ada dengung-dengung dalam nada rendah yang ia tak bisa menerjemahkannya, walau ia tahu itu apa. Suara orang-orang. Menggema dalam hening yang membuat telinganya tuli.

Tiba-tiba saja ia merasa letih. Tak bertenaga. Matanya kembali mengatup. Selanjutnya pasrah. Hingga ada suara lain yang didengarnya cukup jelas. Suara lebih berat daripada yang pertama didengarnya tadi.

“Pak Prima... Bapak dengar saya? Pak... Buka mata kalau dengar, Pak... Pak Prima...”

Ketika ada sedikit tenaga yang ia rasakan, ia pun mencoba untuk kembali membuka mata. Masih bayang-bayang baur yang sama, tapi pelan-pelan mulai berbentuk lebih jelas.

* * *

Papa!

Olivia tiba-tiba saja terjaga. Kamarnya cukup sejuk, tapi ia merasa sesak.

Papa...

Sejenak kemudian ia menyadari. Mereka bertiga tidur berdesakan di atas ranjangnya. Ia, Maxi, dan Carmela. Tapi karena terlalu letih dan mengantuk, mereka nyaman saja tenggelam dalam lelap. Lalu tiba-tiba saja lelapnya berujung pada satu sosok. Laki-laki yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Menggapaikan tangan ke arahnya.

Papa...

Gadis itu tercenung sejenak. Perlahan kesadarannya yang tercerai-berai di antara alam mimpi dan nyata menyatu kembali. Pelan-pelan ia mengangkat punggungnya dari ranjang. Sambil menguap, Olivia melirik jam dinding. Gerakan itu rupanya membangunkan juga Carmela.

“Jam berapa, Mbak?” erang Carmela.

“Hampir jam tiga,” gumam Olivia.

Tanpa disuruh, Carmela pun ikut bangun. Menyusul kemudian Maxi. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk masuk ke kamar mandi masing-masing dan keluar lagi tak sampai sepuluh menit kemudian. Sebelum pukul setengah empat, ketiganya sudah siap untuk berangkat lagi.

Sementara itu Arlena sudah siap di dalam kamarnya. Ketika dengung-dengung pembicaraan di luar pintu kamarnya menghilang diikuti langkah kaki menuruni tangga, ia pun tanpa suara menyelinap keluar dari kamarnya.

Ketika ketiganya menghilang di balik pintu garasi yang tertutup di belakang mobil Prima, sekali lagi Arlena menyelinap. Kali ini ke dalam mobilnya sendiri. Dihidupkannya mesin mobil begitu dilihatnya mobil Olivia yang dikemudikan Maxi mundur hingga keluar dari pintu pagar.

Pelan ia mulai menekan pedal gas. Tapi mobilnya seperti enggan untuk bergerak. Ia mengklakson ketika Muntik hendak menutup pintu pagar. Perempuan itu terbengong sejenak sebelum menghampiri Arlena. Dengan gemas, Arlena membuka jendela kanan dan mengeluarkan kepalanya, menengok ke belakang.

“Buka lagi pintu pagarnya!” bentaknya.

Muntik terlihat serba salah. “Tapi, Bu...”

“Apa lagi?! Nanti aku kehilangan jejak mereka!”

Muntik hanya bisa menunjuk ban belakang mobil Arlena.

* * *

“Nggak ada tanda-tanda kita dikuntit,” gumam Carmela sambil mengembalikan arah tatapannya ke depan.

“Ya, iyalah...,” Maxi tertawa sedikit dengan nada mengejek. “Sudah aku gembosin ban belakangnya.”

“Hah?” Olivia menoleh cepat ke arah kanan. Membelalak sedikit. “Kapan kamu melakukannya?”

“Tadi pagi waktu Mbak Liv mandi. Sebelum kita makan. Kan, yang punya lagi ngumpet.”

Olivia menepuk lembut lengan kiri Maxi. “Max... Max...,” ucapnya sambil menggelengkan kepala.

Pemuda itu kemudian membelokkan mobil yang dikemudikannya memasuki area parkir rumah sakit. Olivia sempat mengerutkan kening ketika melihat ada sebuah mobil yang sepertinya ia kenali.

Pak Luken? Bukannya dia sudah bilang nggak bisa ke sini?

Dan memang benar laki-laki itu kemudian ditemuinya di depan ruang viewing gallery. Bersama rombongannya. Lyra memeluknya dan Carmela begitu mereka bertiga muncul. Yus menyalami dan menepuk-nepuk lengannya. Luken tersenyum menatapnya. Di sebelahnya berdiri Dino.

“Turut prihatin, ya, Mbak,” Dino menyalaminya kemudian.

Olivia masih ingat pada laki-laki itu. Sepupu Luken, yang merupakan rekan kerja ayahnya.

“Terima kasih, Pak Dino,” Olivia mengangguk penuh rasa terima kasih. “Oh, ya, saya harus menghubungi siapa untuk mengurus cuti sakit Papa?”

“Nggak usah dipikirkan, Mbak,” tegas Dino. “Nanti saya yang urus semua. Yang penting fokus dulu ke pemulihan Mas Prima. Mbak Olivia jangan khawatir soal cuti sakit dan sebagainya. Oh, ya, tadi saya juga sudah hubungi Pak Krisno. Beliau minta perawatan yang terbaik untuk Mas Prima. Tagihan yang nantinya tidak ditanggung asuransi, akan dibayar oleh perusahaan. Sepenuhnya.”

Olivia ternganga. Ia benar-benar tidak menyangka akan sebesar itu perhatian pemilik perusahaan pada ayahnya. Ia hanya mampu mengucapkan terima kasih dengan penuh rasa syukur. Luken kemudian mendekatinya.

“Tadi dapat info dari perawat, papamu sudah sadar,” senyum Luken. “Tapi harus sabar antre, Liv. Sudah keduluan adik-adikmu.”

Dari balik kaca bening viewing gallery, Olivia melihat Carmela sudah berbalik untuk keluar. Tubuhnya tertutup jubah steril. Mulut dan hidungnya tertutup masker. Gadis remaja itu melangkah sambil mengusap air mata. Sosoknya kemudian digantikan oleh Maxi. Terlihat tangan Maxi menggenggam tangan Prima, dan entah pemuda itu membisikkan apa. Olivia mengerjapkan mata untuk mengusir genangan bening yang mulai muncul.

Kuat, Liv! Harus kuat!

Ia kemudian bergeser untuk bersiap masuk ke  ruangan Prima setelah giliran Maxi selesai. Seorang perawat membantunya mengenakan jubah steril dan masker.

“Jangan terlalu lama, ya, Mbak,” perawat itu mengingatkannya dengan nada halus. “Bapak masih sangat lemah walaupun sudah mulai stabil. Kalau sampai besok napas spontannya sudah teratur, ventilator akan dilepas.”

“Jam berapa tadi sadarnya, Sus?”

“Sekitar jam sebelas.”

Olivia mengangguk.

Gilirannya pun tiba. Sekuat tenaga Olivia berusaha agar langkahnya tidak goyah. Tanpa suara, didekatinya Prima. Ia terenyuh sejadi-jadinya. Sejak ia meninggalkan sang ayah untuk berwisata kemarin pagi, baru saat ini bisa berjumpa lagi dalam jarak sedemikian dekat. Dengan kondisi bagai langit dengan bumi. Hatinya seolah terhempas ke titik minus. Tangannya terulur hati-hati, menjangkau telapak tangan kanan Prima.

“Pa...,” bisiknya. “Ini Livi...”

Pelan kelopak mata yang mengatup itu terbuka. Hanya bisa melirik. Kepala Prima tak bisa bergerak bebas karena terpasangnya ventilator. Olivia pun menjulurkan badannya sedikit agar Prima tidak terlalu jauh melirik. Hati Olivia seolah tercerabut paksa dari tempatnya ketika melihat keletihan lolos dari tatapan Prima.

“Papa cepat pulih, ya?” bisiknya lagi.

Mata Prima mengerjap. Seolah memahami bisikan putri sulungnya.

“Maxi, Mela, dan aku masih butuh Papa.”

Olivia melihat ada sedikit cahaya dalam mata Prima.

“Papa masih harus istirahat, tapi kami bertiga ada di luar, tetap menemani Papa.”

Kali ini Olivia menangkap kilasan semangat.

“Sekarang Papa istirahat lagi, ya? Aku harus keluar.”

Ada kata ‘jangan’ melompat keluar dari tatapan Prima. Juga genggam tangan yang bertambah erat. Terasa di telapak tangan Olivia walaupun sangat lemah. Pelan-pelan Olivia mengangkat telapak tangan itu dan membawanya ke depan bibirnya yang tertutup masker. Diciumnya dengan lembut di bagian punggung.

“Kalau Papa banyak istirahat, cepat pulih, kita bisa tiap saat ketemu di ruangan lain. Nggak terbatas seperti ini lagi. Livi keluar, ya, Pa. Livi sayang Papa...”

Sebutir air mana menggelinding di pelipis kanan Prima. Olivia menghapusnya dengan sangat lembut.

“Livi tahu Papa kuat,” sekali lagi diciumnya punggung tangan Prima.

Dan sebelum air matanya sendiri membanjir keluar, Olivia beranjak. Ditahannya air mata itu hingga selesai melepas jubah steril dan membuang masker bekas pakai. Sekali lagi, dari viewing gallery, Olivia menatap sosok Prima. Mata laki-laki itu sudah terkatup lagi. Olivia kemudian keluar setelah menghapus air matanya. Didekatinya Luken.

“Pak, terima kasih atas semuanya,” ucapnya lirih.

I do nothing, Liv,” senyum Luken. “Hanya ingin memastikan bahwa kalian baik-baik saja. Kalian istirahat cukup tadi?”

“Iya, Pak,” angguk Olivia.

“Oke, kalau begitu. Aku nggak bisa lama-lama, Liv. Harus ke Tangerang, ada acara. Aku pamit, ya?”

Sekali lagi Olivia mengucapkan terima kasih, kemudian melepas kepergian Luken dan keluarganya hingga ke tempat parkir. Pada saat yang sama, Sandra dan keluarganya turun dari mobil mereka. Sejenak mereka saling menyapa sebelum Luken benar-benar berpamitan. Sandra kemudian memeluk Olivia erat.

“Yang sabar, ya, Mbak,” ujarnya lembut.

“Iya, Bu, terima kasih.”

Setelah Sandra, Riza, dan Angie menjenguk Prima melalui jendela viewing gallery, Sandra menarik tangan Olivia. Sedikit menjauh. Keduanya kemudian duduk menyamping di dua buah kursi. Berhadapan.

“Mbak Liv,” ucap Sandra dengan sangat hati-hati. “Apa benar Pak Prima kolaps karena foto topless Bu Arlena?”

Olivia tampak terperanjat.

Pak Luken saja tidak tahu, bagaimana Bu Sandra bisa tahu? Apakah Mela yang memberitahu Angie?

Sandra sepertinya mengerti apa yang dipikirkan Olivia. Ia kemudian menggenggam tangan gadis itu.

“Mungkin aku nggak tepat mengatakan ini padamu sekarang,” ditatapnya Olivia. “Tapi aku nggak mau kamu justru lebih kaget di belakang, Mbak. Soal foto topless itu...  sudah mulai tersebar di kalangan terbatas BlogSiper. Entah sumbernya dari mana. Aku sendiri dapat via BBM. Tapi aku nggak akan menyebarkannya, Mbak Liv.”

“Ibu bagaimana bisa dapat?” mata Olivia membelalak.

Sandra menghela napas sejenak. “Aku ada akun di sana, dan... berteman cukup intens dengan salah seorang BlogSiper yang cukup dekat lingkaran mamamu. Dia nggak bermaksud menyebarkannya, hanya mengirimkannya padaku.”

Olivia mengangguk. Memahami seutuhnya.

“Aku sendiri belum melihatnya, Bu,” desahnya kemudian. “Belum sempat. Kami dapat foto cetakan. Kata Maxi, diantar oleh kurir. Itu yang membuat Papa shock.”

Sandra mengeratkan genggaman tangannya. “Mamamu bagaimana?”

“Kami bertiga sepakat nggak kasih tahu Mama tentang tempat perawatan Papa ini, Bu,” Olivia menggeleng lemah. “Dan Mama sendiri sudah tahu sebabnya. Entahlah, aku nggak mau pusing soal itu. Yang penting Papa pulih dulu.”

“Ya, sebaiknya memang begitu,” senyum Sandra. “Tapi aku optimis Pak Prima akan pulih secepatnya. Beliau punya putra-putri yang tabah. Beliau sendiri orangnya kuat dan sabar. Itu modal utama untuk bertahan, Mbak Liv.”

Olivia mengangguk. Tersenyum sedikit. Sandra memeluknya lagi.

* * *

Arlena duduk mencangkung di sofa ruang baca. Tidak ada satu pun yang bisa diperbuatnya. Harmono sudah tidak bisa lagi dihubungi. Menurut informasi valid, laki-laki itu sudah dipindahkan ke lapas dengan keamanan maksimum di Gunung Sindur.

Seandainya...

Masih segar dalam ingatannya kenapa hal itu bisa terjadi. Ia yang saat itu dilanda kemarahan karena merasa ditegur keras oleh Prima soal Carmela, ditambah dengan keberanian Maxi mengajaknya ribut, pikirannya jadi gelap. Lalu ia ‘lari’ pada tempat yang salah. Harmono.

Melalui webcam, pada akhirnya ia lepas kendali. Tak cukup hanya itu, ia mengambil berbagai pose dirinya sendiri secara selfie untuk dikirimkan melalui email pada Harmono. Ada beberapa. Dan semua itu dilakukannya dalam hening di ruang baca yang tertutup dan terkunci rapat.

Penyesalan baru muncul keesokan paginya. Saat ia melihat wajah letih Prima yang terlelap dalam kondisi tidak enak badan. Ditambah lagi dengan kenyataan yang kemudian menghantamnya, bahwa sakit Prima bukan hanya sekadar masuk angin biasa atau kena gangguan lambung, tapi gejala serangan jantung. Pada saat itu ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mengurus Prima dengan lebih baik.

Tapi rupanya ia tidaklah cukup kuat. Ketika harus menghadapi sikap Olivia dan Maxi yang tetap dingin dan menjaga jarak, ditambah dengan ditemukannya Prima tengah mengigaukan sebuah nama yang asing, pertahanannya runtuh. Pada saat yang sama Anggara memunculkan diri dengan segala kemanisan yang laki-laki itu miliki. Semua luapan rasa manis yang ia butuhkan.

Aku benar-benar lupa ancaman Harmono...

Dan rupanya, inilah racun yang harus ia terima dari Harmono. Entah dari mana laki-laki itu tahu bahwa ia belakangan ini sering berasyik-masyuk dengan Anggara. Tapi rasa-rasanya tidak sulit bagi Harmono.

Arlena sendiri sudah mulai tidak bisa mengenal siapa kawan dan lawan yang sesungguhnya di BlogSip. Siapa teman sejati dan siapa pengkhianat di sana. Samar ia memang tahu bahwa belakangan ini mulai ada perang terbuka antara Harmono dan Anggara. Perang artikel dari mulai hal sepele sampai hal besar, yang ia enggan mengikutinya.

Jadi di sinikah ujungnya?

Arlena tergugu. Sudah terlalu terlambat untuk mengucap kata menyesal. Korban sudah telanjur jatuh. Prima-nya yang selalu sabar, yang mungkin sudah muak dengan tingkah lakunya hingga memikirkan perempuan lain. Juga anak-anak mereka...

Sudah terlalu banyak!

Arlena menggeleng gusar.

Terlalu banyak! Tapi... bagaimana menebusnya?

Arlena terhenyak dengan wajah letih.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

10 komentar: