Jumat, 03 Maret 2017

[Cerbung] Affogato #16-2








Sebelumnya  



* * *


Navita berdiri dari duduknya di bangku teras lobi ketika melihat city car biru metalik itu meluncur mendekat. Kawasan Chemisto sudah mulai lengang walaupun masih ada beberapa kendaraan bermotor menunggu pemiliknya di parkiran. Ia tersenyum dan melangkah ke tepi teras. Mobil itu kemudian berhenti di depannya. Pintu kiri depan segera terbuka dari dalam.

“Sore, Vit,” sapa Gandhi manis.

“Sore juga, Mas,” Navita masuk, duduk, dan memasang sabuk pengaman.

“Gimana hari ini?”

“Seperti biasa,” senyum Navita.

“Eh, kita mampir makan dulu, ya?” Gandhi menoleh sekilas sambil tetap serius dengan kemudinya. “Lapar banget. Aku belum makan dari siang. Nggak sempat. Tadi ke pabrik Pulogadung. Kena macet apa segala macem, sementara pulangnya sudah ditungguin Pak Boss di kantor sini.”

Navita menatap ke samping kanan dengan sorot mata prihatin.

“Jangan keseringan telat makan lah, Mas,” gumamnya.

Gandhi kembali menoleh sekilas. “Iya, Buuu...,” senyumnya.

Sekitar sepuluh menit kemudian laki-laki itu membelokkan mobilnya. Ia parkir di sebelah city car berwarna polisihed metallic di seberang pintu masuk sebuah restoran cepat saji. Hujan turun merinai di luar mobil. Navita sibuk mengeluarkan payung dari dalam tasnya.

“Sini payungnya, Vit,” telapak tangan Gandhi menengadah, meminta payung Navita.

Setelah benda itu berpindah tangan, Gandhi keluar. Tak lupa berpesan agar Navita tetap di tempat. Laki-laki itu kemudian berputar ke sebelah kiri mobil dan membuka pintu sambil menaungi agar Navita bisa keluar tanpa kehujanan. Payung itu kecil, membuat punggung Gandhi basah, Tapi ia tak peduli akan hal itu. Yang penting Navita selamat. Setelah menekan alarm, Gandhi kemudian merengkuh Navita dengan lengan kirinya, sementara lengan kanannya menyilang di depan dada dengan tangan menggenggam erat gagang payung yang lebih banyak melindungi Navita daripada tubuh tinggi besarnya.

Resto itu sangat ramai walaupun antrean tidak begitu panjang. Gandhi dan Navita mengedarkan tatapan ke sekiling. Meja untuk berdua sudah terisi penuh. Begitu juga meja untuk berempat. Ada beberapa tempat kosong di meja untuk berempat. Tapi segan rasanya untuk meminta bergabung dengan orang lain.

Take away saja, Mas,” bisik Navita. “Nanti, kan, kita bisa makan di mobil.”

“Oke, deh. Kamu mau makan apa?”

“Terserah Mas Gandhi. Secukupnya saja.”

“Oke.”

Gandhi pun segera masuk ke antrean, sementara Navita menyisih di dekat pintu. Berdiri menunggu di sebelah pot bunga.

“Vit!”

Navita mencari suara yang memanggilnya dari arah kiri itu. Sejenak kemudian ia tertegun.

“Duduk sini!”

Dilihatnya Prima berdiri di depan sebuah meja untuk berempat sambil melambaikan tangan.

* * *

“Terima kasih, Bu,” ucap Olivia manis pada seorang ibu di meja sebelah yang sudah bersedia menjaga meja untuk berempat itu baginya.

Perempuan berwajah ramah itu menganggukkan kepala sambil tersenyum. Olivia memang meninggalkan meja sejenak untuk membayar makanan ketika dilihatnya Prima sudah sampai di urutan antrean terdepan. Ayahnya itu bersikeras untuk berdiri mengantre sementara Olivia disuruhnya duduk menunggui meja. Resto itu relatif penuh. Membuat mereka harus mempertahankan meja kosong yang sudah mereka dapat. Egois memang. Tapi mereka tak punya pilihan lain.

“Liv, Papa boleh tanya?” celetuk Prima setelah kembali dari mencuci tangan.

“Ya?” Olivia membuka sedikit bungkusan nasi di atas piring Prima.

“Kamu dan Miko... seperti apa sebenarnya hubungan kalian?”

Olivia terdiam sejenak menatap Prima sebelum tersenyum dan menunduk. Membuka kotak paket makanannya sendiri.

“Papa melihatnya bagaimana?” ia balik bertanya.

“Hm...,” Prima mengaduk supnya. “Kalian ini katanya pacaran, tapi, kok, nggak kayak orang pacaran?”

“Jujur, Pa, aku nggak berharap terlalu banyak,” Olivia mengedikkan bahunya sedikit. “Dia cukup baik, ya, aku tahu. Cocok, ya, mungkin ada kecocokan. Tapi lebih dari itu, aku belum menemukan banyak hal. Apalagi aku tahu betul bahwa dia saat ini sedang fokus untuk membangun karir. Entah nantinya menikmati hasil itu bersamaku atau enggak, aku belum pernah berpikir ke arah sana. Yang jelas, kami sudah berkomitmen untuk nggak saling menggganggu. Itu saja.”

Prima menatap Olivia. Serius.

“Kamu masih punya banyak kesempatan untuk menikmati hidupmu, Liv,” ucapnya lembut. “Papa benar-benar berharap kamu sudah puas menikmati masa lajangmu sebelum memutuskan untuk berumah tangga. Jangan ulangi kesalahan Papa dan Mama. Mungkin pada saat itu Papa sudah benar-benar siap, tapi Mama masih terlalu muda. Seusiamu sekarang, Papa menikahi Mama. Dan seusiamu sekarang juga, Mama sudah memiliki kamu dan Maxi. Memang ada untungnya karena ketika Papa dan Mama masih dalam usia produktif, kalian bertiga sudah besar-besar. Kamu sudah mandiri. Sebentar lagi Maxi juga. Tinggal Carmela. Melihat mamamu yang seperti sekarang, Papa seperti punya tiga anak gadis,” Prima tersenyum. “Mamamu nggak pernah menua.”

Olivia tercenung. Pada detik ini, ia makin memahami beban Prima. Tatapannya jatuh melampaui puncak kepala ayahnya. Dan saat itu juga perhatiannya teralih. Matanya menangkap sosok yang belakangan ini menyeruak masuk begitu saja dalam kehidupan mereka melalui igauan Prima.

“Pa, itu bukannya Mbak Navita, ya?” gumamnya.

“Hah?” Prima membatalkan gerakannya memasukkan sesendok sup ke dalam mulutnya. Ia memutar badannya ke belakang.

“Kayaknya nggak dapat tempat,” gumam Olivia. “Kasihan.”

“Mau disuruh duduk di sini?” Prima sejenak kembali menatap putrinya.

“Boleh...,” angguk Olivia. “Sekalian aku ingin mengenalnya lebih dekat.”

Prima tersenyum sambil berdiri.

“Vit!” serunya tertahan. “Duduk sini!” lanjutnya sambil melambaikan tangan.

Gadis yang dipanggilnya itu kelihatan bengong sebentar sebelum melangkah menghampiri.

“Selamat sore, Pak,” ucapnya sopan.

“Duduk sini. Kamu nggak dapat tempat? Sama siapa?”

“Makasih, Pak,” gadis itu kelihatan sedikit rikuh.

“Sini, Mbak,” Olivia memberi isyarat agar Navita duduk di kursi di sebelah kirinya. “Penuh semua mejanya, lho...”

Navita kemudian menuruti isyarat itu. Ia duduk di sebelah kiri Navita dengan sikap rikuh. Apalagi disadarinya sang boss tidak sendirian. Sekali lagi ia menggumamkan ucapan terima kasih.

“Euh...,” tatapan Navita kembali terarah pada Gandhi, tapi pandangan laki-laki itu tetap lurus ke arah depan. Tinggal seorang lagi di depannya.

“Oh, kamu sama masmu?” senyum Prima.

Navita mengangguk dengan wajah tersipu. Seketika Olivia paham maksud kata ‘masmu’ yang diucapkan ayahnya. Tatapannya jatuh pada Navita.

“Mbak, kami sambi makan, ya?” ucap Olivia.

“Oh, iya, silakan,” Navita mengangguk. “Jadinya saya malah mengganggu.”

“Enggak...,” sahut Prima dengan nada menenangkan. “Santai sajalah, Vit.”

“Iya, Mbak,” timpal Olivia. “Sudah, kita makan bareng saja.”

Tepat saat itu Gandhi menengok ke belakang. Mencari-cari Navita. Orang di depannya hampir selesai memesan. Navita yang melihatnya segera melambaikan tangan. Alis Gandhi terangkat ketika melihat Navita duduk di depan sebuah meja bersama dua orang lain. Navita kemudian berpamitan sejenak pada Prima dan Olivia sebelum berdiri dan melangkah mendekati Gandhi.

“Tuh, dapat tempat duduk,” bisik Gandhi.

“Itu Pak Prima sama putrinya,” Navita balas berbisik. “Kita diajak duduk bareng. Gimana?”

“Wah... Ganggu, nggak?”

“Katanya, sih, enggak,” Navita menggeleng sedikit. “Mereka juga yang suruh aku duduk di sana. Aku nggak enak mau menolak. Kenyataannya memang tempatnya penuh begini.”

“Mm... Ya, sudah, batal take away, ya? Lagian hujannya deras begitu di luar.”

“Iya, Mas. Pak Prima orangnya baik, sih. Putrinya juga ramah banget.”

“Oke, kita duduk bareng mereka, ya? Kamu tunggu di sana.”

Navita mengangguk dan berbalik. Gandhi mengawasinya sejenak. Saat itulah tatapan Gandhi bertemu dengan tatapan Prima. Gandhi segera menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada sebagai isyarat ucapan terima kasih. Prima membalasnya dengan anggukan kepala dan senyuman.

“Masnya ngantor di mana, Mbak?” tanya Olivia beberapa saat setelah Navita duduk kembali.

“Di Blue Flag, Mbak.”

“Oh...”

Dari pengamatan singkat melalui interaksi itu, Olivia bisa menangkap tanda-tanda bahwa Navita tampaknya adalah seorang gadis yang agak pendiam dan sedikit pemalu. Bukan type gadis yang mampu bergenit ria di depan lelaki. Prima sendiri reaksinya juga biasa-biasa saja.

Kayaknya, sih, memang benar nggak ada apa-apa... Olivia menggumam dalam hati. Apalagi dia juga sudah punya gandengan. Berarti memang si Papa ini yang aneh.

Ketika Gandhi hadir dengan membawa sebuah nampan yang cukup penuh, Prima dan Olivia menyambutnya dengan ramah. Hanya Olivia yang menjabat tangannya, karena tangan Prima telanjur belepotan makanan. Laki-laki itu kemudian duduk di sebelah kanan Prima, sementara Navita mengambil dua botol minuman yang sengaja ditinggalkan Gandhi di kasir karena tidak bisa sekaligus membawanya.

“Maaf, Pak, Mbak, jadi mengganggu,” ucap Gandhi sopan.

“Santai saja, Mas,” sahut Prima.

“Terima kasih. Omong-omong, Bapak sudah pulih betul, ya?”

“Iya, Mas, syukur pada Tuhan,” angguk Prima. “Kok, tahu saya sempat sakit?”

“Waktu ramai-ramai menengok Bapak tempo hari, saya ikut nimbrung antar Vita.”

“Oh...,” Prima menyambungnya dengan tawa. “Saking banyaknya orang, saya sampai nggak ingat satu per satu. Maaf, ya, Mas.”

“Iya, Pak, nggak apa-apa,” Gandhi tersenyum lebar.

“Kalau nggak salah, Mas-nya di luar waktu itu,” timpal Olivia. “Di teras. Ngobrol sama Om Nando, sama siapa lagi, begitu.”

“Ah, iya, Mbak. Saya ingat, Mbak-nya pulang agak sore, ya?” Gandhi menatap Olivia.

“Iya kayaknya,” Olivia tertawa.

Selanjutnya obrolan mereka mengalir begitu saja. Gandhi ternyata cukup komunikatif walaupun tetap menunjukkan bahwa ia adalah lelaki yang tidak terlalu suka mengumbar kata, apalagi bualan. Sikapnya terhadap Navita juga kelihatan ngemong sekali. Dan sekali lagi Olivia mendapati bahwa Navita lebih banyak berfungsi sebagai penggembira saja.

Terlalu pendiam...

Olivia mengerjapkan mata.

* * *

Arlena sudah tidur sambil meringkuk memeluk guling ketika Prima dan Olivia tiba di rumah. Padahal belum genap pukul delapan. Carmela dan Maxi yang tengah asyik menonton TV tersenyum lebar ketika Olivia meletakkan sekantong belanjaan berisi aneka cemilan dan minuman di atas coffee table. Olivia kemudian menyusul Prima naik ke lantai atas. Tapi ia menuju ke kamarnya sendiri. Selesai mandi, ia kembali turun dan mendapati Prima sudah duduk di sofa dengan kepala Carmela ada di atas pangkuannya. Maxi duduk berselonjor di sofa lain sambil memangku sekantong tortilla chips.

“Kamu ini sudah nenek-nenek masih juga aleman,” ledek Olivia, mencolek telinga Carmela sambil menjatuhkan diri di sebelah kiri Prima.

Yang dicolek hanya terkikik geli. Prima tersenyum lebar melihat ulah kedua putrinya.

“Mbak, tadi sudah kubelikan cover mobil,” Maxi menoleh sekilas. “Ada di garasi.”

“Astaga!” Olivia menepuk keningnya. “Aku lupa transfer ke kamu, Max.”

“Pantesan...,” Maxi berlagak menggerutu. “Pas nge-cek ke ATM, kok, saldoku nggak nambah.”

Olivia terkekeh. Ia kemudian berdiri dan mencolek bahu Maxi.

“Mana? Aku mau lihat.”

Maxi pun dengan patuh mengikuti langkah kakaknya ke garasi. Keduanya kemudian sibuk mengurusi cover mobil itu. Olivia terlihat puas ketika mobil barunya tertutup dengan pas dan sempurna.

* * *

“Tadi pulang dijemput Mama?” Prima membelai kepala Carmela.

Gadis remaja itu mengangguk.

“Enak, sekarang irit ongkos ojek,” celetuknya.

Betapa polosnya kamu, Nak...

Prima membelai lagi kepala Carmela.

“Sudah belajar? Ada tugas?” tanyanya lagi.

“Ada, PR sedikit. Sama baca-baca saja. Belum ada ulangan. Eh, Pa, beneran, deh, aku tadi pagi khawatir banget lihat Papa pucat begitu.”

“Iya, Papa kurang tidur semalam,” senyum Prima. “Siang tadi sudah menebus tidur di klinik. Sudah mendingan, kok. Oh, iya, itu benar, Mbak Liv lagi menulis novel?”

“Oh... Iya...,” Carmela mengangguk. “Tapi nggak jelas gimananya. Aku sempat ngintip sedikit, sih, di laptopnya. Awalannya bagus. Cuma habis itu diproteksi. File-nya dikasih password. Papa tahu dari mana?”

“Dikasih tahu Mama. Mel, bangun dulu, Nak. Kaki Papa kesemutan ini...”

Carmela bangun dari posisi berbaringnya sambil terkekeh. Ia kemudian menyandarkan kepalanya di lengan kanan Prima. Olivia dan Maxi muncul dari arah garasi sambil bercakap-cakap. Maxi kembali ke posisinya semula dan menatap Prima sekilas.

“Besok mau dianterin lagi, Pa?” tawarnya.

“Repot, Max,” jawab Prima. “Kamu harus jemput lagi sorenya.”

“Nggak apa-apa, sih. Aku juga lagi nganggur.”

“Ya, sudah, kalau begitu.”

“Aku nebeng Mbak Liv, ya...,” celetuk Carmela dengan nada merayu.

“Jangan besok, ya, Mel,” jawab Olivia dengan nada sabar. “Soalnya Mbak Liv harus mampir dulu ke RS Tebet untuk antar sarapan buat Bu Sandra. Kalau antar kamu dulu mutarnya agak kejauhan. Bisa telat.”

Carmela langsung mengerucutkan bibirnya.

“Bu Sandra dirawat?” Prima mengerutkan kening.

“Pak Riza yang dirawat, Pa,” jawab Olivia. “Bu Sandra sendirian. Anaknya masih di Jawa Tengah. Makanya pagi aku kirim sarapan. Siang juga sama Pak Luken dipesankan makanan dari resto sebelah kantor.”

Prima manggut-manggut. Maxi bangkit dari sofa.

“Siapa mau coklat hangat?” tawarnya.

Olivia dan Carmela segera mengacungkan jari telunjuk tinggi-tinggi. Prima tertawa lebar karenanya.

“Papa nggak mau?” Maxi menatap ayahnya.

Prima menggeleng. “Air putih hangat saja, Max.”

Maxi mengangguk dan melangkah ke dapur.

Kehangatan ini... Prima menatap layar televisi. ...kenapa bisa lenyap saat ada Arlena? Apakah harus ada yang dikorbankan untuk memperoleh lagi kehangatan ini?

Ia teringat pertengkarannya semalam dengan Arlena. Sebuah pertengkaran selewat malam buta  yang tidak mengumbar nada keras dan tinggi, tapi sungguh menguras emosi dan tenaganya.


“Navita,” nada suara Arlena terdengar dingin dan menuntut. “Siapa dia sampai Papa mengigaukan namanya?”

Prima terhenyak. Tak ada celah untuk mengelak. Pada akhirnya, ia harus menghadapinya.

“Dia stafku di kantor,” jawab Prima, menatap mata Arlena tepat di maniknya.

“Sebegitu pentingnya sampai terbawa ke mimpi?” desis Arlena.

“Dia sebaya Livi!” tegas Prima dengan nada tertahan. “Aku hanya melihat Livi dalam dirinya.”

“Bohong!”

“Apa lagi yang bisa kukatakan?” desis Prima. “Bahkan mimpi itu tentang apa pun aku tak pernah ingat!”

Arlena menatap Prima dengan mata menyala. “Pengkhianat!”

“Siapa yang berkhianat?!” Prima hampir saja menggebrak island. “Kamu pikir aku tak tahu soal kasak-kusuk absurdmu dengan kecoak penjara bernama Harmono itu?!”

Arlena seketika kehilangan kata.

“Apa pun yang kamu lakukan, tak ada sedikit pun niatku untuk membalas, Arlena!” Prima masih mendesis dengan wajah murka. Napasnya tersengal. “Karena aku selalu ingat punya dua putri yang tak kuizinkan seorang laki-laki pun menyakiti mereka nanti, dan seorang putra yang harus jadi laki-laki baik-baik! Aku tak mau menabur hal buruk yang bisa mereka ikut tuai hasilnya kelak. Paham?!”

Prima menghantam island dengan kepalan tangannya sebelum meninggalkan dapur. Dengan langkah lebar ia menaiki tangga, dan hampir saja menutup pintu kamar dengan membantingnya keras-keras. Tapi kesadarannya masih penuh.

Anak-anak. Yang kamarnya berada di lantai yang sama. Yang sama-sama dibuai heningnya malam yang tak perlu dikacaukan dengan suara debum pintu yang tak perlu . Dan untuk kesekian kalinya ia menahan diri. Harus menahan diri.


“Pa... Minumnya...”

Prima tersentak ketika merasa ada elusan lembut di lengannya. Ia mengerjapkan mata. Diterimanya gelas berisi air putih hangat dari Maxi sambil menggumamkan ucapan terima kasih.

Sampai kapan aku kuat bertahan?

Samar, dihelanya napas panjang.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

3 komentar: