Kamis, 24 November 2016

[Cerbung] Déjà Vécu #6-1










* * *


Enam


“Rasa-rasanya aku sudah butuh kendaraan, Mas Dri,” celetuk Letta sambil bersandar di kursi makan.

Anak-anak baru saja berlalu seusai menyelesaikan sarapan. Tinggal mereka bertiga.

“Mau yang baru atau...”

“Bekas saja,” sahut Letta cepat.

Sekilas, Adrian dan Martia saling menatap.

“Kemarin... Lean marah padamu?” tanya Martia halus. Dengan nada sangat berhati-hati.

“Mm... Kelihatannya iya,” Letta mengangkat bahu dengan wajah pasrah. “Memang aku salah, sih, Mbak. Walaupun paginya pas antar aku, dia sudah bilang nggak bisa jemput.”

Adrian dan Martia kembali bertukar tatapan.

Pagi-pagi tadi Letta sudah muncul di rumah mereka. Sebetulnya bukan hal yang aneh karena Letta sering juga main ke rumah mereka pada hari Minggu. Tapi setahu mereka, hari Minggu ini Letta punya acara sendiri dengan Leander. Hanya saja Letta mengatakan bahwa mendadak Leander membatalkan acara mereka karena ia ada urusan yang harus diselesaikan di Serpong.

“Let, kamu mau pakai mobilku?” Martia menatap Letta, penuh perhatian.

“Maksud, Mbak?” Letta balik menatap Martia.

“Aku, kan, Senin besok ini mulai dapat fasilitas mobil baru. Kantor belinya cash. Aku bisa mengangsurnya tanpa bunga ke kantor. Kalau sudah lunas, otomatis jadi milikku. Sayang kalau nggak diambil. Jadi... kamu pakai saja city car-ku.”

“Hm...,” Letta tampak berpikir serius. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan gerakan berirama. Beberapa menit kemudian ia kembali menatap Martia. “Jadi, harganya berapa?”

Martia tersenyum lebar. “Aku nggak jual mobil, Let...”

Letta mengerucutkan bibirnya sedikit. “Aku maunya beli, Mbak, biarpun secara kredit.”

“Let...,” Adrian urun suara. “Uangmu di Mas Dri masih banyak, lho. Cukup untuk beli mobil secara cash. Mobil baru sekali pun.”

“Nah, makanya...,” tukas Letta. “Aku maunya beli mobil, tapi bekas. Uangku di Mas Dri biar saja dulu. Aku punya cukup tabungan untuk bayar uang muka. Gajiku juga sudah kuperhitungkan cukup untuk membayar cicilan yang besarnya wajar. Mobil bekas sudah lebih dari cukup. Mobil Mbak Martia, aku suka. Suka banget, malahan. Karena aku tahu mobilnya terawat baik, umurnya juga baru 2 tahun. Dan Mas Dri mengerti hitungan kreditnya.”

Adrian dan Martia lagi-lagi saling menatap. Adrian kemudian mengulas senyum.

“Terserah padamu, Ma, mau lepas berapa mobilmu ke Letta,” ujar Adrian.

Martia menghembuskan napasnya keras-keras.

Pada awalnya ia memang sudah berniat untuk menitipkan city car-nya di show room Adrian. Tapi setelah tahu Letta pun membutuhkan mobil, ia jauh lebih senang me-‘lorot’-kan mobilnya itu pada Letta. Tanpa dibayar sekali pun. Sayangnya, Letta kelihatannya kukuh ingin membayar mobil itu dengan cara mengangsur. Dan ia tahu betul maksud Letta baik adanya.

“Hm... Oke...,” Martia menumpukan kedua sikunya di atas meja makan. Bersidekap. Menatap Letta. “Kamu bisa bayar berapa sebulan?”

“Dua jutaan,” jawab Letta. “Nggak lebih dari dua koma dua. Uang muka nggak bisa lebih dari tiga puluh.”

“Cukup itu...,” gumam Adrian.

Letta menatap Adrian dengan skeptis.

“Betul!” seru Martia dengan suara bersemangat. “Oke, ini penawaran terakhir, Let. Aku jual mobilku ke kamu, tanpa uang muka, kamu cicil dua juta per bulan selama 25 bulan. Titik.”

“Hah?” Letta ternganga. “Itu totalnya cuma 50 juta, Mbak!”

“Memang!” Martia membelalakkan mata indahnya. “Adil, kan? Syarat nggak gratis, kan, sudah terpenuhi.”

Letta hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Adrian sendiri terkekeh mendengar akal-akalan Martia.

“Anak itu...,” gumam Martia ketika Letta pamit ke kamar mandi. “Ngotot sekali berusaha mandiri.”

Adrian menanggapinya dengan tawa ringan. “Sudah waktunya.”

“Eh, Pa, besok aku mau buka rekening baru untuk keperluan menampung transfer angsuran dari Letta,” bisik Martia. “Nanti kalau sudah lunas, mau aku balikin ke dia. Tapi Papa jangan bilang-bilang, ya?”

“Bereees...,” Adrian mengedipkan sebelah matanya dengan wajah nakal. “Asal...”

“Apa?” sambar Martia dengan ekspresi curiga.

Adrian hanya menatap Martia sambil menaik-turunkan alisnya dengan tarikan wajah dan tatapan ‘mesum’. Martia terbahak.

“Dasar!” tangannya bergerak dengan tangkas mencubit perut Adrian yang mulai melar.

“Aduuuh!” teriak Adrian sambil mengelus-elus perutnya. “Sakit, Ma...”

Martia mendengus dengan wajah geli. “Huh! Makanya...”

Adrian meringis jahil.

* * *

Bed rest tiga hari, ya, Mas,” ucap Ludy tanpa ampun. “Makan halusan dulu. Biar dibuatin sama Rena.”

Leander hanya bisa menatap adik iparnya itu dengan wajah pasrah.

Harinya memang benar-benar buruk kemarin. Dimulai dengan terlambat lagi bangun pagi. Membuatnya harus cepat-cepat bersiap diri untuk menjemput dan mengantarkan Letta ke sekolah, tanpa sempat menyentuh sarapan yang sudah disiapkan ART-nya. Siang hari, ia pun melewatkan waktu makan siangnya begitu saja. Maksudnya untuk menikmati makan siang bersama Letta gagal total. Setelah itu ia minum secangkir kopi di rumah Letta.

Ketika ia meninggalkan rumah Letta menjelang senja, ulu hatinya sudah mulai terasa perih. Tapi kejengkelan yang masih tersisa di hati membuatnya gelap mata. Ia mampir ke sebuah warung sate. Membeli seporsi sate kambing dan beberapa buah lontong, kemudian menambahkan irisan cabe rawit banyak-banyak ke dalam sambal kecapnya.

Akibatnya, semalaman ia terkapar tanpa bisa memejamkan mata. Harus menahan rasa nyeri dan perih di ulu hati. Ia sempat menelan obat maag, tapi tampaknya tak mempan.

Hingga pagi kondisinya tidak membaik. Malah ditambah dengan rasa mual. Membuatnya terpaksa menelepon Ludy. Ludy dan Serena muncul dalam hitungan menit. Rumah mereka memang hanya berselang 3 nomor dalam bilangan ganjil.

“Aku telepon Mbak Letta, ya?” Serena duduk di tepi ranjang Leander, setelah Ludy berpamitan untuk menebus obat..

Leander buru-buru menggeleng. “Jangan. Tolong, ambilkan saja ponselku.”

Serena menuruti permintaan abangnya. Beberapa detik kemudian perempuan seusia Letta itu sudah mengulurkan sebuah ponsel pada Leander. Laki-laki itu kemudian mengetikkan sesuatu. Wajahnya terlihat lega ketika mendapatkan balasannya.

‘Let, maaf, ya? Kita nggak bisa keluar hari ini. Aku harus ke Serpong. Ada yang harus diselesaikan. Nanti aku hubungi kamu lagi.’

‘Oke, nggak apa-apa.’

Setelah itu ia meletakkan ponsel itu di samping bantalnya. Sempat ditangkapnya tatapan menyelidik Serena.

“Mas Leander sama Mbak Letta nggak kenapa-napa, kan?”

“Kenapa-napa gimana?” Leander balik bertanya.

“Ya...,” tampaknya Serena tak bisa menerjemahkan kecurigaannya secara tepat.

“Nggak ada apa-apa, kok,” tukas Leander dengan suara lemah.

Serena masih menatapnya. Tapi tak lagi mengatakan apa-apa. Leander kemudian menarik selimutnya dan kembali memejamkan mata dengan posisi meringkuk. Perutnya masih terasa mulas melilit.

Pelan-pelan Serena beringsut dari tepi ranjang Leander. Tapi suara Leander menahan gerakannya.

“Mau ke mana?”

“Lha, ngapain?” Serena cemberut sambil kembali duduk. “Mas Leander saja merem begitu.”

Tangan Leander terulur, menepuk lembut perut gendut Serena yang kehamilannya sudah masuk usia 32 minggu. “Ceritakan padaku, keponakanku ngapain saja di dalam?”

Serena tertawa karenanya. Digenggamnya tangan Leander dengan tangan kanannya, kemudian ditekannya di perut. Dengan tangan kiri yang bebas, Serena kemudian menepuk-nepuk perutnya. Dan Leander hanya bisa ternganga takjub ketika tangannya merasakan balasan dari dalam perut Serena. Terasa ditendang dengan sangat lembut beberapa kali.

“Nggak sakit?” Leander meringis, menarik tangannya pelan-pelan.

“Enggaklah,” Serena menggeleng dengan wajah bercahaya. “Geli, malahan. Tapi kalau dia lagi gemeees ‘kali, merasa agak lama nggak disapa papa-mamanya, ya, nendangnya kenceng. Tapi nggak sakit juga, sih...”

Leander tersenyum tipis. Serena kemudian menatap Leander dengan serius.

“Mas, sebenarnya Mas Lean mau kejar apa lagi, sih? Beberapa waktu belakangan ini sibuknya minta ampun. Sampai makan juga nggak bisa teratur.”

Leander tercenung sejenak.

“Semua sudah cukup sebenarnya, Ren,” desahnya kemudian. “Aku cuma mau bantu Oka mengelola uangnya. Dalam bentuk investasi usaha bengkel. Aku ada pengalaman. Dia juga percaya padaku.”

“Tapi nggak harus dengan mengorbankan diri sendiri seperti ini, kan?” tegur Serena lembut.

“Cuma awalan, Ren. Setelah ini bisa dilepas, kok. Aku taruh Mahmud di sana,” Leander menyebut nama orang kepercayaannya.

Serena menepuk-nepuk lengan Leander. Wajahnya terlihat prihatin.

“Ren...”

“Ya?”

“Mm... Kamu pernah tertarik pada laki-laki lain? Selain Ludy, maksudku.”

“Tertarik seperti apa?” Serena balik bertanya.

“Ya... Kamu merasa nyaman mengobrol dengannya, mungkin. Dia ada ketika kamu membutuhkan, pada saat yang sama Ludy sedang sibuk, kurang punya waktu buatmu. Atau... yah, sejenisnya.”

Pelan Serena menggeleng. Jujur. Leander menghela napas panjang. Ketika ia akan membuka mulut lagi, pintu kamarnya terbuka. Ludy masuk dengan membawa sebuah kantung kertas berisi beberapa blister obat dari apotek terdekat.

“Minum dulu, Mas,” ucap Ludy. “Buat mengurangi nyeri dan mual. Nanti sekitar sejam lagi baru Mas Lean boleh makan.”

Leander mengangguk patuh.

* * *

Ponsel itu sudah dipegangnya sejak pagi. Tapi Leander masih juga ragu-ragu untuk menggunakannya. Hanya saja senja sudah berangkat menuju malam. Terpaksa, dihubunginya nomor Letta. Ada empat nada sambung sebelum terdengar sapaan lembut dari seberang sana.

“Halo, selamat malam. Mas Lean?”

“Iya, Let. Selamat malam,” setengah mati Leander mengusahakan suaranya agar terdengar seperti biasa. “Gimana hari ini tadi?”
                                                        
“Aku main ke rumah Mas Dri dari pagi. Baru saja pulang.”

“Pulangnya diantar Mas Dri?”

“Enggak. Sendiri. Mas Lean gimana? Lancar urusannya di Serpong?”

“Iya, lancar,” mendadak perut Leander terasa mulas ketika membenarkan kebohongan itu. Ia meringis sedikit. “Mm... Let...”

“Ya?”

“Aku minta maaf, ya, sampai tiga hari ke depan, aku nggak bisa mengantar jemput kamu.”

“Oh... Nggak apa-apa, tenang saja. Lagipula...”

“Ya?”

“Aku sekarang... ada kendaraan.”

“Oh, ya?”

“Ya. Aku bawa pulang mobil Mbak Martia.”

“Terus, Mbak Martia berangkat ke kantornya gimana?”

“Ada mobil baru mulai besok.”

“Oh... Oke, kalau begitu, Let. Kamu istirahat, ya?”

“Ya, sama-sama. Mas Lean juga.”

Leander menghela napas panjang begitu menutup pembicaraan itu. Setelah meletakkan kembali ponselnya di sisi bantal, Leander menutupi wajah dengan gulingnya.

Seharusnya ia mempercayai Letta. Seharusnya. Tapi ia juga tak bisa mengingkari kegelisahan yang saat ini melandanya. Letta kelihatan cukup akrab dengan laki-laki itu. Padahal sepertinya mereka juga tak sering bertemu. Dan ia merasa...

Cemburu.

Leander mengangkat guling yang menutupi wajahnya.

Cemburu?

Leander menghirup kuat-kuat semua udara yang mampu ia hirup.

Ya, aku cemburu...

Dihembuskannya napas keras-keras.

Akhirnya ia terpaksa mengakui perasaan itu dalam hati. Ia harus mengakui. Dan sungguh, ia tak tahu harus bagaimana sesudah ini.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

Silakan berkunjung juga ke tayangan selingan cerpen fantasi sesudah tayangan ini :

Empat Purnama Di Atas Catana

5 komentar: