Jumat, 11 November 2016

[Cerbung] Déjà Vécu #2-2










* * *


Dan Dika sama sekali tak pernah bisa melupakan tatapan mata itu. Ke mana pun ia beringsut, pesona itu tetap mengikutinya tanpa ampun. Dan sudah setengah minggu ini ia seperti orang linglung. Sampai-sampai sang ayah menegurnya dengan halus Sabtu pagi itu, tapi cukup menohok kalbu.

“Kamu ini kenapa, sih, Dik? Lagakmu seperti ABG lagi jatuh cinta saja.”

Dika benar-benar tak bisa menjawabnya. Sehingga ia hanya bisa meringis tak jelas sambil menikmati sarapannya dalam hening. Diam-diam ia menggerutu dalam hati.

Tahu begini tadi sarapan saja sendiri. Nggak usah ke sini.
                 
“Kamu ikut Ibu saja, latihan yoga,” Sarita, ibu Dika, tiba-tiba saja muncul dari arah dapur. Membawa sepiring mendoan yang masih mengepulkan asap. “Banyak cewek cantik, lho, Dik, di sana.”

Dika tersenyum masam. Tapi ia menggeleng.

“Aku sudah janji mau bawa Kana ke toko buku, Bu,” elaknya.

“Kana bisa ke toko buku sama aku,” tukas Handoyo, ayahnya. “Kamu antar ibumu saja.”

“Hadeeeh...,” keluh Dika dengan wajah menderita.

Tepat saat itu Kana muncul dari arah depan rumah. Dika mendadak tersenyum lebar melihat kemunculan keponakannya itu.

“Na, kita jadi ke toko buku, kan?” sambut Dika dengan wajah cerah begitu Kana duduk di sebelahnya.

“Jadi, dong, Om.”

“Kamu mau sama Om atau Yangkung?”

“Sama Om-lah...,” jawab Kana cepat. “Kan, janjinya kemarin perginya sama Om.”

Dika langsung menatap Handoyo dengan senyum kemenangan membayang di wajahnya. Handoyo hanya bisa mengangkat bahu dengan bibir mencebik lucu.

“Coba Mbak Mala nggak ada acara sama teman-temannya, kan, asyik kita pergi bertiga,” gumam Kana.

“Ya, besok-besok kita pergi lagi, Na,” bujuk Dika dengan sabar. “Kita bertiga.”

“Iya...,” jawab Kana sambil menyuapkan sesendok serabi kuah ke dalam mulut.

Dika segera menyelesaikan sarapannya. Setelah itu ia beranjak dengan alasan mengambil laptop di pavilyun sebelah, tempat ia tinggal. Sesuai kesepakatannya dengan Kana, mereka akan berangkat ke toko buku agak siang. Jadi ia bisa mengisi waktu sekitar dua jam ini dengan menyelesaikan pekerjaannya.

“Na, nanti kalau kamu cari Om, Om ada di pendopo, ya?” ucapnya sebelum benar-benar beranjak.

Kana mengacungkan jempolnya. Tidak bisa menjawab karena mulutnya sedang penuh dengan sesendok serabi kuah. Dika tertawa sambil mencubit lembut pipi montok gadis kecil itu dengan gemas, sebelum melangkah pergi.

* * *

Beberapa menit lewat dari pukul sepuluh pagi, seusai kegiatan ekstra kurikuler, seisi kelas 8D yang berjumlah hanya 26 orang itu berjalan berombongan dari sekolah menuju ke sanggar keluarga Mala. Letta ada bersama mereka. Suasana terasa meriah, penuh dengan senda gurau anak-anak ABG itu. Sesekali Letta tersenyum dan tergelak mendengar celoteh lucu yang bertaburan di sekitarnya.

Ketika mereka mencapai pintu gerbang, terdengar klakson ringan dari arah belakang. Serentak mereka menoleh dan beberapa anak langsung menggoda Letta dengan jahilnya.

“Duuuh... Pak Lean kayaknya takut Bu Letta kita culik...”

“Eaaa... Dikawal teruuusss...”

Cinta-cinta karet...,” ada yang mulai menyanyi.

Letta tergelak karenanya. Ia kemudian membungkukkan badan sedikit. Melongok melalui jendela kiri depan mobil Lean yang terbuka.

“Pak Lean,” ucapnya sok serius. “Anak-anak ini nggak mau ibu gurunya dikawal terus. Jadi, sebaiknya Pak Lean balik saja, sekalian sama konsumsinya.”

“Hooo... Jangaaannn...,” terdengar kor kompak.

Leander terbahak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Anak-anak itu kemudian minggir, memberi jalan pada Leander untuk meluncur melalui pintu gerbang yang sudah dibuka lebar-lebar oleh Mala.

Para remaja putra kemudian membantu Leander menurunkan beberapa dos berisi makanan dan minuman dari mobil Leander. Sesuai arahan Mala, mereka membawanya ke pendopo di dekat gazebo. Dan beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk manis di dalam pendopo. Siap membicarakan skenario dan pembagian peran.

Leander menyisihkan diri ke gazebo setelah puas mendokumentasikan kegiatan itu dengan kameranya. Tapi sebelum ia mulai tenggelam dalam keasyikan menekuni layar ponselnya, ada suara berat yang menyapanya.

“Mas Leander, ya? Selamat siang...”

Leander menoleh dan buru-buru berdiri ketika melihat siapa yang menyapanya. Seorang lelaki sepuh yang kelihatan masih tegap dan bugar mengulurkan tangannya. Leander buru-buru menyambut jabat tangan itu.”

“Iya, Pak, saya Leander, selamat siang...”

“Handoyo,” laki-laki itu tersenyum ramah.

Kakek Mala, Leander membatin.

Handoyo menyilakannya duduk kembali. Beberapa saat kemudian Mala muncul dengan dua sari buah dalam kemasan tetra-pack, dua botol air mineral ukuran sedang, dan dua kotak kue.

“Lho, nanti jatah teman-temanmu berkurang kalau kamu bawa ke sini, La,” tegur Handoyo lembut.

“Masih banyak, kok, Yang,” Mala tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata. “Sponsor bagian konsumsi kita kali ini tajir. Stok melimpah.”

Leander tertawa ringan mendengar ucapan Mala.

“Kok, bisa menggaet sponsor, memangnya kalian ini bikin apa?” Handoyo mengangkat alisnya.

“Cuma drama abal-abal, Yang,” Mala tergelak. “Kan, tempo hari Mala sudah cerita. Terus ada sponsor murah hati yang menawarkan konsumsi untuk setiap latihan. Pak Lean, nih, Yang...”

“Oh...,” Handoyo tersenyum lebar sambil menatap Leander. “Apa ndak merepotkan, to, Mas Lean?”

“Sama sekali tidak, Pak,” Leander menggeleng halus. “Kebetulan adik saya biasa menerima pesanan kue basah. Sekalian saja saya proyekkan ke dia. Ngomong-ngomong, apa anak-anak nggak merepotkan juga, Pak, dengan pinjam tempat ini.”

“Ndak, Mas... Kami libur tiap hari Sabtu dan Minggu. Daripada anak-anak susah-susah cari tempat lain, ya, mendingan di sini saja. Apalagi ada ibu gurunya yang mengawasi.”

“Hehehe... Iya, Pak. Oh, ya, Ibu ke mana, Pak?”

“Melatih yoga, Mas,” senyum Handoyo. “Sebetulnya saya juga. Cuma, hari ini saya libur. Kelompok yang saya latih lagi arisan ke luar kota.”

Obrolan itu terhenti sejenak ketika ada suara kecil yang tedengar ragu-ragu.

“Yangkung... Permisi...”

Handoyo dan Leander sama-sama menoleh. Kana berdiri di tepi gazebo. Gadis cilik itu kelihatan modis dengan celana jeans selutut, T-shirt putih dengan rompi bunga-bunga kecil berwarna merah-biru cerah, dan sepatu sneakers berwarna putih dengan variasi biru. Rambut lurusnya diekor kuda dengan poni yang jatuh rata di dahi.

“Kamu sudah mau berangkat?” tanya Handoyo, menggapaikan tangannya.

“Iya, Yang. Kana mau pamitan,” Kana datang menghampiri, kemudian mengambil tangan kanan Handoyo dan menempelkan punggung tangan itu ke pipinya.

“Ya, sudah,” Handoyo mencium kedua pipi Kana. “Eh, kasih salam dulu, dong, sama Om Leander.”

Dengan patuh Kana menuruti ucapan kakeknya. Leander sendiri setengah mati menahan diri agar tangannya tidak usil mencubit pipi bulat Kana yang sangat menggemaskan itu.

“Pak, kami berangkat dulu,” Dika muncul tiba-tiba, menyusul di belakang Kana.

Laki-laki itu kemudian mengulurkan tangan dengan sopan ke arah Leander. Leander pun menyambutnya sambil berdiri.

“Dika. Saya omnya Mala dan Kana,” senyum Dika.

“Leander,” Leander membalas senyum itu, tanpa menjelaskan lebih lanjut tentang dirinya.

Sepeninggal Dika dan Kana, Handoyo dan Leander kembali tenggelam dalam obrolan yang hangat tentang berbagai hal. Sesekali keduanya tergelak ketika ada hal yang lucu. Keasyikan itu bertambah ketika Sarita yang baru datang langsung ikut bergabung.

* * *

Sejak rombongan berisik itu datang, Dika sudah susah untuk berkonsentrasi. Walaupun pendopo kecil yang ditempatinya cukup berjarak dari pendopo yang dipakai Mala dan rombongannya, tetap saja ia merasa terganggu.

Dan itu bukanlah gangguan yang biasa saja. Bukan dengung dan berisik anak-anak itu yang mengganggu, tapi siapa yang ada di tengah anak-anak itu.

Dia...

Seketika ada debar liar yang terasa bermain dalam dada Dika. Dan kehadiran lelaki seusianya yang asyik mengabadikan kegiatan rombongan itu dengan kamera, menambah liar lompatan-lompatan perasaannya.

Astaga... Mimpi apa aku semalam?

Diam-diam Dika mengeluh dalam hati. Ia belum lepas seutuhnya dari kondisi setengah linglung setelah bertemu dengan gadis yang kini ada di tengah-tengah rombongan itu.

Ternyata guru Mala. Dan sekarang harus bertemu lagi?

Dika pelan-pelan menutup laptopnya dan beringsut pergi dari pendopo itu. Segera dicarinya Kana agar ia bisa secepatnya mengalihkan pikirannya dari sosok perempuan cantik itu. Gadis cilik itu ditemuinya tengah asyik bermain PS di ruang tengah rumah utama.

“Na, ayo, siap-siap,” ujarnya halus. “Biar kita nggak kesiangan.”

Dengan patuh Kana pun menuruti ucapan pamannya itu. Ia kemudian beralih ke rumahnya di sebelah untuk berganti pakaian. Dika pun melakukan hal yang sama. Dan keduanya kemudian bertemu di depan carport paviliun.

“Kana pamitan sama Yangkung dulu, ya, Om?”

“Iya,” angguk Dika. “Kamu duluan. Om mau keluarkan mobil dulu. Nanti Om menyusul pamitan sama Yangkung.”

Dan beberapa menit kemudian ia sungguh terpaksa menyalami laki-laki tinggi besar yang sedang asyik mengobrol bersama ayahnya di gazebo itu. ‘Rival’-nya. Walaupun sesungguhnya laki-laki itu sama sekali tak memahami situasi hati Dika.

* * *

Sebenarnya hati Letta terasa tercubit ketika tanpa sengaja tatapannya jatuh pada sosok yang menyendiri di pendopo kecil satunya. Jaraknya cukup jauh dari tempatnya duduk berbaur dengan murid-muridnya. Tapi ia masih cukup mengenali laki-laki itu. Orang yang tanpa sengaja bertemu pandang dengannya beberapa hari lalu di kafe.

Saat itu, tatapan mereka bertemu dan terkunci hanya dalam waktu sepersekian detik. Tapi mampu menimbulkan huru-hara dalam hati Letta. Dan ia sungguh tak tahu kenapa.

Apalagi setelah itu ia nyaris semalaman tak bisa tidur. Benaknya dipenuhi oleh tatapan laki-laki itu. Tak ada sorot mata kurang ajar di dalamnya. Hanya sesuatu yang...

... dalam? Menghanyutkan? Seolah mampu menggulungku ke dasar palung terdalam samudera? Ah! Rasa apa ini?

Diam-diam ia bergidik.

Selama ini ia selalu merasa bahwa ia seutuhnya telah jatuh cinta pada Leander. Tapi gelora perasaan yang kini menguasainya itu sepertinya belum pernah muncul saat ia menatap Leander dan berada di dekat tunangannya itu.

Tiba-tiba saja ia tersentak. Ada sebersit rasa takut. Takut hatinya goyah dan berpaling dari Leander bila benar-benar ada pertemuan-pertemuan berikutnya dengan laki-laki itu.

Dan dia sekarang ada di sini? Astaga...

Diam-diam Letta mengelus dadanya. Dan ia tak berani lagi mengarahkan tatapannya pada laki-laki itu, walaupun hanya sekilas. Tapi telinganya tetap tegak untuk mendengar bisikan-bisikan di belakangnya.

“Omnya Mala perasaan makin ganteng aja, deh...”

Hm... jadi dia paman si Mala...

Omaigat... Lu beneran suka sama bapak-bapak, Nel?”

“Sialan... Masih jomlo gitu, lu bilang bapak-bapak...”

“Umurnya, Nel, umurnyaaa...”

“Apa, sih, ah?”

Terdengar kikik pelan.

Dan Letta cepat-cepat mengalihkan fokus pikirannya pada sorakan di sekitarnya. Entah apa yang baru saja diperbuat Mala, tapi kini semua mata anak-anak itu tertuju padanya.

“Apa, sih, kalian ini?” gumam Letta.

“Beneran Bu Letta mau jadi ibunya Ande-Ande Lumut?” Kirana menatapnya tak percaya.

“Lha, memangnya kalian nggak tahu?”

Hampir semua kepala menggeleng. Letta membelalakkan mata bulat beningnya ke arah Mala. Gadis muda itu terkekeh geli.

“Maaf, Bu...,” ucap Mala sambil meringis. “Saya memang sengaja rahasiakan soal ini dari teman-teman. Kemarin-kemarin yang tahu cuma Daniel dan saya. Memang sengaja bikin kejutan sekarang biar kita semua lebih semangat.”

Letta hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum lebar. Beberapa saat kemudian ada sahutan-sahutan meriah dari anak-anak. Intinya, mereka senang sekali Letta bersedia bergabung dengan mereka untuk bermain drama.

Kemudian suasana berangsur kembali serius ketika peran mulai dibagi-bagi. Letta menyempatkan diri mencuri pandang ke pendopo satunya. Tapi laki-laki itu sudah tidak ada.

Entah kenapa, ada sebersit rasa kecewa yang tiba-tiba saja menyeruak masuk ke dalam hatinya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

8 komentar:

  1. Weh seru ini! Seru! Sayangnya dilanjut Senin bkn besok 😩

    BalasHapus
  2. Mb Lis mbok publish-e bendino po oooo .....
    Plis plis pliiiisssss .....
    Aq tamba kecanduan iki yokpo e ????
    Gaisok nyokoti papae arek" jek praktek wonge hik hik hik

    BalasHapus
  3. Wah dika jatuh cinta calon istri orang ,Semoga ada jalan terbaik

    BalasHapus
  4. Isi presensi duyu........... Hader yah Tan! 😘😘😘😘😘😘😘😘😘

    BalasHapus
  5. fiksi dan fiksionernya beda tipis

    BalasHapus