Jumat, 18 November 2016

[Cerbung] Déjà Vécu #4-2










* * *


Hujan turun merintik tanpa jeda di luar jendela kamar. Membuat malam kian dingin. Letta berbaring dengan gelisah di atas ranjang. Hatinya terasa porak-poranda seperti bumi usai disapu tornado.

Kenapa dunia ini begitu kecil?

Letta menutup wajahnya dengan guling.

Dan kenapa perasaan itu muncul lagi?

Letta menyingkirkan guling itu dari atas wajahnya.

Dika... Mas Dika...

Seolah semuanya dari diri laki-laki itu tak lagi asing baginya. Jabat tangan Dika menjelang sore tadi masih terasa hangat di telapak tangannya detik ini. Juga suara Dika. Terasa lembut mengelus telinga.
                   
Setengah mati ia menahan diri agar tak terhanyut dalam pesona Dika. Untung saja Rico menyuruh Illa menemaninya. Dan gadis itu kemudian menggiring Letta ke mejanya.

Kemudian mereka mengobrol tentang banyak hal. Tanpa sedetik pun Letta punya kesempatan untuk menatap Dika. Hanya sesekali membiarkan telinganya menangkap dengung suara Dika. Karena posisi duduknya 100% membelakangi Dika, Arinka, dan Rico.

Mata Letta mengerjap ketika ingatannya berlabuh pada sore harinya tadi, yang dihabiskannya bersama Arinka.


Selesai urusan dengan Dika menjelang pukul empat, Arinka mengajak Letta merapat ke mall terdekat. Mereka pun duduk di sudut sebuah kafe yang suasananya terasa cukup nyaman.

Letta menyedot minumannya pelan-pelan. Tatapannya terlihat menerawang agak jauh. Membuat Arinka mengerutkan kening. Gadis mungil itu kemudian melambaikan tangan di depan mata Letta. Membuat Letta tersentak.

“Let, ada apa sebenarnya?” tatapan Arinka terlihat agak menuntut.

Arinka bukan baru satu atau dua tahun saja mengenal Letta. Tapi sudah bertahun-tahun dengan kadar sangat dekat, walaupun akhir-akhir ini mereka jarang bertemu. Ia tahu betul wajah Letta kali ini bukan ekspresi yang biasa. Bukan hanya sekadar lelah setelah mengajar dan harus menemaninya, tapi ada sesuatu yang ‘lebih’.

Letta tercenung mendengar pertanyaan Arinka.

“Let, kamu tahu, kan, kamu bisa bercerita apa pun padaku? Apa pun!” Arinka menatap Letta dengan sangat serius. “Aku tahu kamu menyimpan sesuatu. Katakan padaku, Let.”

Letta perlahan mengangkat wajahnya. Tatapannya jatuh pada manik mata Arinka.

“Rin..., aku... takut...,” bisiknya, terbata.

“Ya? Kenapa?”

“Aku... takut mengkhianati... Mas Lean. Aku...”

Arinka sedikit terhenyak. Tampaknya masalah yang disimpan Letta kali ini jauh lebih besar daripada perkiraannya. Tapi ia mencoba untuk tidak berkomentar. Hanya mendengar. Menyediakan telinganya untuk menampung curahan hati Letta.

“Akhir-akhir ini, aku merasa... hatiku terbelah,” Letta memperbaiki posisi duduknya. “Aku... tidak bisa menjabarkan... perasaanku. Laki-laki itu... Entahlah, Rin...”

Arinka mengangguk pelan. Sedikit demi sedikit mencoba untuk memahami semua ucapan Letta.

“Boleh aku tanya, Let?” ucapnya kemudian. Lembut.

Letta mengangguk.

“Kamu dan Mas Lean... Kalian lagi ada masalah?”

Letta cepat-cepat menggeleng. Arinka mengangguk lagi.

“Jadi semacam... terjadi begitu saja?”

Letta mengangguk. Masih tanpa suara.

“Oke... Sekarang bisa kamu ceritakan padaku, gimana kalian bertemu?”

Dengan nada ragu-ragu, setelah keheningan yang cukup panjang, Letta pun mencoba untuk menjelaskan semuanya pada Arinka. Tentang bagaimana pertama kali mereka saling menatap, bagaimana mereka bisa bertemu kembali tanpa bisa saling menyapa, bagaimana bisa ada pertemuan berikutnya dan berikutnya lagi. Dan penutup dari Letta benar-benar membuat Arinka terhenyak.

“Aku tahu segalanya sudah tidak boleh lagi bergerak terlalu jauh. Aku sudah punya Mas Lean, dan kamu...,” Letta memberanikan diri menatap Arinka, “... kamu lebih pantas untuknya.”

“Mas Dika-kah?” Arinka mencoba untuk menegaskan, dengan sangat halus.

Letta mengangguk pelan. Membuat Arinka terhenyak lagi.

“Aku tidak tahu bagaimana harus keluar dari semua ini, Rin...,” Letta tertunduk lagi.

Arinka menghela napas panjang.

Sejujurnya, ia sama sekali tidak heran bila Letta tertarik pada laki-laki itu. Dika. Atau Mahardika Murdayanto, lengkapnya. Laki-laki itu jelas memancarkan pesona yang bisa membuat perempuan mana pun bertekuk lutut dengan sukarela.

Sosoknya yang tinggi tegap, walaupun tidak sebesar Leander, sudah cukup membuat hati seorang perempuan normal tergetar. Belum lagi wajahnya yang terlihat kukuh dan tegas. Dengan alis mata cukup tebal dan sempurna menaungi mata kelamnya. Ditambah dengan hidung berukuran pas, tidak terlalu mancung atau pun pesek, juga bibir yang seolah siap untuk menyunggingkan senyum. Kulit sawo matangnya menambah sempurna penampilan Dika. Sungguh pun demikian, secara keseluruhan masih beberapa poin di bawah Leander.

Tapi semua ini masalah perasaan...

Arinka sedikit termangu. Dan sesungguhnya, setelah sedikit mengenal Dika, rasa-rasanya ia mau melakukan apa pun agar bisa memiliki laki-laki itu. Tak ingin berbagi dengan siapa pun. Termasuk Letta.

Oh, my...

“Rin...”

Arinka sedikit tersentak. Matanya mengerjap sebelum kembali fokus pada Letta.

“Aku tak hendak berbuat apa-apa,” ucap Letta, nyaris tak terdengar. “Aku hanya tidak tahu bagaimana menghilangkan perasaan itu. Aku tidak apa-apa kalau tidak bertemu dengannya. Semua perasaan aneh itu hanya ada kalau aku melihatnya. Selain itu, tidak,” Letta menggelengkan kepala.

“Ya,” Arinka mengangguk, “aku paham. Untuk saat ini, aku belum bisa memberimu solusi, Let.”

“Aku tahu,” Letta menghela napas panjang. “Makasih, kamu sudah menyediakan telingamu untukku.”

Arinka kembali mengangguk dan mengulas senyum. Ditepuknya lembut punggung tangan Letta.


Letta menggulingkan tubuhnya. Tengkurap. Dengan kedua tangan menelungkup di atas bantal. Pelan-pelan, disandarkannya dagu di atas tangannya itu.

Bagaimana mengenyahkan perasaan ini?

Letta memejamkan matanya.

Mas Lean, maafkan aku...

* * *

Hujan semalam masih menyisakan rintiknya hingga pagi. Letta menunggu dengan gelisah di teras. Leander sudah terlambat hampir sepuluh menit dari jadwal biasanya muncul. Waktu sekian menit itu sungguh berarti karena bila telat sedikit saja, mereka bisa terjebak kemacetan. Bila itu terjadi, ia bisa terlambat tiba di sekolah.

Dan Letta menarik napas lega ketika mobil Leander berhenti di depan pintu pagar rumahnya. Ia segera mengembangkan payung dan berlari menghampiri mobil itu sebelum Leander turun.

“Maaf, Let, aku terlambat bangun,” ucap Leander, penuh penyesalan, begitu Letta menyelinapkan dirinya ke dalam mobil.

“Nggak apa-apa,” sahut Letta pendek.

Leander melirik sekilas dan memahami sepenuhnya bila Letta merasa jengkel padanya. Bukankah ia sendiri yang selama ini ‘memaksa’ gadis itu untuk diantar-jemputnya tiap hari?

Sesungguhnya, Letta masih terpengaruh dengan peristiwa kemarin menjelang sore, dan semalam ketika ia terjebak kegelisahan. Ia baru bisa memejamkan mata selewat tengah malam. Dan mendadak terbangun ketika hujan menderas disertai petir menggelegar menjelang pukul lima pagi. Semuanya itu membuat perasaannya tidak nyaman.

Leander menyadari betapa diamnya Letta pagi ini. Sekilas dilihatnya wajah Letta semuram langit di atas sana. Perasaan bersalah kembali merayapi hatinya.

“Let, maafkan keterlambatanku,” ucapnya halus, memecahkan keheningan.

“Nggak apa-apa,” ulang Letta.

Leander menghela napas panjang.

“Aku lebih senang kamu mengomeliku,” gumam Leander, “atau apa pun, asal jangan diam begini.”

“Terus aku harus bilang apa?” Letta menoleh sekarang.

Mata Leander mengerjap ketika menyadari bahwa nada suara Letta terdengar sedikit naik. Hatinya sedikit menciut. Ketakutannya yang terbesar adalah bila ia telah menyakiti Letta. Tanpa sengaja sekali pun. Dan keterlambatannya kali ini ia yakin sudah membuat suasana hati Letta memburuk. Itu artinya ia sudah menyakiti Letta.

Dihelanya napas panjang. Ia benar-benar tak tahu harus bagaimana dan mengatakan apa. Maka ia memutuskan untuk berdiam diri. Agar bila memang benar kemarahan itu ada dalam hati Letta, kadarnya tidak bertambah besar.

* * *

Tatapan Dika tak berkedip menembus rintik hujan di luar mobil. Menatap siapa yang baru saja keluar dari dalam mobil yang berhenti di depannya. Dunianya kembali seolah terguncang entah untuk ke berapa kalinya dalam jangka waktu beberapa hari ini.

Letta mengembangkan payungnya dan mulai melangkah menuju ke gerbang sekolah. Sementara Mala sibuk membenahi tas Kana sekaligus memayungi adiknya itu. Tapi sebelum Mala menutup pintu mobil, Dika masih sempat berpesan, “Antar Kana sampai di depan kelasnya, ya, La?”

Mala mengangguk sambil mengacungkan jempol. Begitu pintu tertutup rapat, Dika segera melajukan mobilnya.

Kenapa harus hujan segala?

Diam-diam Dika mendesah dalam hati.

Ia bisa dikatakan hampir tidak pernah mengantarkan Mala dan Kana ke sekolah. Kana biasa berjalan kaki melalui gerbang belakang yang lebih dekat ke lokal SD, sedangkan Mala lebih suka memutar ke depan dengan sepedanya. Dan sekalinya mengantar?

Kenapa juga harus melihatnya lagi?

Dika menghela napas panjang.

Kemarin, Rico dengan halus mengingatkannya sekali lagi soal Letta, ketika Letta dan Arinka sudah meninggalkan kantor mereka. Ia paham betul soal itu. Sebelum teguran Rico itu menggema di telinganya, ia sudah melakukan antisipasi dengan berusaha mencurahkan perhatian secara penuh pada calon klien potensial mereka. Arinka Wiyoko.

Tapi hatinya sungguh jahil. Membisiki otaknya agar sesekali mengarahkan tatapan mata pada Letta yang duduk di depan meja Illa. Membelakanginya. Dan rupanya hal itu ditangkap oleh mata Rico.

“Masalahnya, kelihatannya dia juga tertarik padamu,” gumam Rico, melanjutkan tegurannya.

Dika hanya bisa mengangguk tanpa suara.

“Dan Arinka itu juga ada potensi untuk tertarik padamu,” sambung Rico tanpa ampun. “Pertimbangkan baik-baik, Dik. Jangan sampai kamu menyesal karena menjatuhkan pilihan pada orang yang salah.”

“Iya, Mas.”

Hanya itu yang bisa ia ucapkan. Mengimbangi kerja otaknya yang berpikir keras untuk mencari cara agar ia terlepas dari ‘area gempa’ itu.

* * *

Letta benar-benar tak suka dirinya terjebak dalam perasaan itu. Ternyata bukan hanya ia saja yang terpengaruh. Tapi Leander juga. Ia menyadari betapa diamnya Leander sepanjang perjalanan menuju ke sekolah tadi. Padahal sesungguhnya ia benar-benar tidak marah atas keterlambatan Leander. Ia hanya khawatir tiba di sekolah tidak pada waktu yang tepat.

Nyatanya, ia keluar dari mobil Leander delapan menit sebelum bel berbunyi. Masih cukup untuk mengatur napas dan membuang sedikit perasaan tak enak hatinya. Melihat wajah murid-muridnya, perasaan buruk itu perlahan menguap. Hingga siang harinya ia sudah bisa kembali menghadiahi Leander seulas senyum.

Dan senyum itu melebar ketika melihat dua batang coklat kesukaannya tergeletak manis di atas dashboard kiri, tepat di hadapannya. Terikat jadi satu oleh sehelai pita berwarna merah muda. Leander meraih coklat itu begitu Letta masuk ke dalam mobil, dan menyerahkannya pada Letta dengan tangannya sendiri.

“Owh...,” Letta sedikit tersipu dengan perlakuan manis Leander. “Makasih...”

Melihat cahaya dalam wajah Letta, Leander tak sampai hati untuk menyinggung kejadian tadi pagi. Senyum Letta sudah menyatakan semuanya. Bahwa ia sudah dimaafkan.

Letta sendiri diam-diam mencoba untuk berjanji dalam hati, bahwa ia tak akan memberi kesempatan bagi hatinya untuk membuat cabang. Bahwa ia akan berusaha mengenyahkan berbagai perasaan tak menentu tentang seorang Dika.

Tanpa ia tahu apa yang sudah menunggunya di depan.

* * *

                                                                                     
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

5 komentar:

  1. Senin kok suwe? Sesuk ae mbak? Ceritane ketok'e dhowo iki.... Seneng aku...😍😊😄😘☺️

    BalasHapus
  2. 😭😭😭Setia nunggu sampe Senin

    I love you letta☺️☺️☺️☺️

    BalasHapus
  3. Wiska pokoe kecanduan soro to the max pol"an sampek sakaw kambek cerbung"e mb Lis !

    BalasHapus