“Jadi, bagaimana?”
Aku menatapnya. Sejenak masih diliputi keraguan. Tapi melihat tatapan mata teduhnya yang seolah mensugestiku untuk mengangguk, maka akhirnya aku pun menyetujuinya.
“Oke, Lyra.” Ia terenyum. “Kita pindah ke sana, ya?”
Mataku mengikuti arah tangannya menunjuk. Sebuah sofa yang terlihat empuk dan nyaman. Maka aku pun melangkah ke sana. Beberapa detik kemudian, aku sudah berada dalam posisi setengah berbaring yang – benar! – terasa sangat nyaman dan membuatku santai.
* * *
Sejak Teja mengajakku menonton film “Nineteen Sides of Murders”, aku merasa hidupku jadi berubah. Film tentang pembunuhan, pembantaian, dan penggorokan leher di sana-sini itu membuatku seolah terjebak dalam mimpi buruk berkepanjangan. Teja menatapku dengan sorot mata aneh ketika aku mengeluh padanya.
“Bukankan kita pernah menonton film yang jauh lebih sadis daripada itu, dan kamu tak apa-apa?” Ia mengerutkan kening.
Ia benar! Dan, aku sendiri tak bisa menjawabnya. Yang aku tahu dan rasakan, adalah bahwa aku sering sekali merasakan nyeri dan perih di leherku. Sakitnya luar biasa. Aku hanya bisa mendekapkan wajahku dalam-dalam pada bantal ketika rasa sakit itu datang.
Awalnya hanya muncul saat malam hari. Ketika aku sudah kelelahan karena seharian bekerja. Belakangan ini, serangan rasa sakit itu muncul saat aku masih sibuk di kantor, di tengah meeting, atau saat istirahat makan siang. Terganggu? Sangat! Hingga Pak Hasno, atasanku, pun mendekatiku.
“Ke dokterlah, Ly,” ucapnya dengan nada setengah memerintah.
“Sudah, Pak." Kutatap Pak Hasno. “Saya tidak kenapa-napa. Keseluruhan leher saya sehat. Tidak ada radang atau sejenisnya.”
“Hm...." Pak Hasno tampak kehabisan kata.
Rupanya Mbak Valinka, Kepala HRD di tempatku bekerja, mengetahui pembicaraan di kantin itu. Ia juga mendekatiku, dan membisikkan sesuatu yang membuatku melongo seketika.
Past Life Regression?
Apa pula itu?
* * *
Keingintahuan yang begitu besar akhirnya membawaku ke sini. Ruang praktek Mas Gaundra, seorang terapis bersertifikat yang merupakan teman Mbak Valinka.
Setelah mendengarkan semua ‘keluhanku’ dengan sabar, maka ia menawarkan terapi itu padaku, Past Life Regression. Sebelum datang ke sini, tentu saja aku sudah melalap habis beberapa situs maya yang membahas tentang Past Life Regression. Dan, posisiku berada di antara titik percaya dan tidak percaya. Tapi ketika aku mengungkapkan semuanya pada Teja, ia justru menatapku dengan antusias.
“Kenapa tidak dicoba saja?”
Maka, aku pun memantapkan hati untuk datang ke alamat yang diberikan oleh Mbak Valinka.
“Lyra sudah siap?”
Aku menatap Mas Gaundra sejenak, kemudian mengangguk. Dan, ia mulai menghipnotisku.
* * *
Tiba-tiba aku merasa pusing. Sekelilingku adalah sangkar terbuat dari kawat yang begitu sempitnya sehingga aku tak bisa bergerak. Lalu, hidungku membaui sesuatu yang asing. Sesuatu yang...
“Bau sekali!” celetukku.
“Bau seperti apa?” Suara Mas Gaundra menembus lembut telingaku.
“Ayam.”
Lalu aku menoleh ke kiri. Seekor ayam betina gemuk berada di sebuah sangkar kawat. Aku menoleh ke kanan. Pemandangan yang sama terekam olehku.
Seketika itu juga aku tersadar. Aku sama seperti mereka! Ayam-ayam dalam sangkar yang dimasukkan ke dalam sebuah kotak besar bersuara berisik dan bergoyang-goyang liar. Semuanya itu membuatku makin pusing.
Sayup-sayup Mas Gaundra menyuruhku skip dan langsung ke bagian akhir. Aku menurut.
Kami kemudian dikeluarkan dari sangkar. Dan..., digorok satu per satu. Hingga tiba giliranku. Membuatku menjerit histeris.
“Bangun, Lyra!”
Aku mengerjapkan mata dengan nafas memburu.
* * *
Seharusnya hipnoterapi itu membawa perubahan bagiku. Oh, ya, membawa perubahan. Tapi sedikiiit. Aku masih mengalami nyeri leher walaupun tak sesering sebelumnya. Kembali lagi kurasakan saat malam hari.
Lagipula, sesungguhnya aku masih sangat tidak puas dengan hasilnya. Masa, sih, aku yang secantik ini dulunya seekor ayam potong? Yang benar saja!
Maka, aku pun kembali membuat janji dengan Mas Gaundra. Dan sore ini, aku muncul kembali di tempat prakteknya. Ia menerimaku dengan ramah. Tanpa banyak pendahuluan, ia kemudian menggiringku ke sofanya yang empuk dan nyaman.
“Siap?” Mas Gaundra tersenyum menatapku.
Aku mengangguk.
* * *
Aku sedikit tercenung ketika mendapati bahwa gaun yang kupakai sangatlah luar biasa. Ketika melihat ke sekeliling, suasana yang tertangkap oleh mataku adalah interior rumah Romawi seperti yang pernah kulihat dalam film-film.
Dan, aku seolah tidak bisa menahan kendali atas diriku. Entah kenapa aku mengendap-ngendap menuju ke pintu belakang rumahku sendiri. Begitu aku sampai di sana, terdengar ketukan halus pada pintu. Terdengar seperti kode yang aku mengerti entah dengan cara apa. Pelan-pelan kubuka pintu itu, dan seorang laki-laki menyelinap masuk.
“Aku dengar suamimu pulang besok,” bisiknya sambil melumat bibirku. “Jadi, ini malam terakhir kita memadu kasih, sayangku...”
Hei! Rasanya aku mengenal suara itu!
Ketika seberkas cahaya pelita jatuh di wajahnya, aku hampir terkikik geli. Selingkuhanku ternyata Teja! Aku pun segera menariknya ke dalam kamar. Tak lupa, kututup pintu rapat-rapat.
Tiba-tiba saja, tengah kami berasyik masyuk, pintu kamar didobrak dari luar. Hatiku seolah hilang. Apalagi ketika mendengar gelegar suara murka yang meneriakkan namaku.
“SELENA!!!”
Lalu sayup-sayup suara itu menggema, “Apa yang terjadi, Lyra?”
“Suamiku... Suamiku... datang...,” jawabku. “Albion...”
Aku gemetar hebat. Suamiku... Ia...
Dan, sebelum aku bisa memperhitungkan nasibku, sebuah tebasan pedang sudah membuat kepalaku menggelinding. Aku berteriak histeris.
“Oke, Lyra, bangun!”
Aku membuka mata. Kini, kutahu kenapa leherku sering terasa sakit, nyeri, perih, dan sebagainya. Ternyata pernah digorok saat aku jadi ayam, dan dipenggal saat aku jadi manusia.
Kutarik napas panjang. Belum bisa sepenuhnya melepaskan diri dari kengerian yang kukais dari alam bawah sadarku baru saja. Selebihnya, aku hanya bisa menurut ketika Mas Gaundra menyuruhku duduk kembali di kursi di depan mejanya. Ia duduk di seberangku. Menatapku dalam.
“Akhirnya kamu kembali,” gumamnya lirih, tapi nada suaranya menimbulkan horor tersendiri di telingaku. “Semua sudah selesai. Kamu boleh pergi.”
Aku masih terhenyak. Menatapnya. Ada yang berkilat-kilat dalam matanya. Membuatku ngeri.
“Aku...,” ucapku lirih, terbata. “Aku... minta maaf... atas apa... yang terjadi... saat itu. Aku...”
“Sudahlah, Selena." Ia mengibaskan tangan.
Aku tak punya pilihan lain kecuali bangkit pelan-pelan dan meninggalkan ruang praktek itu. Ruang praktek Mas Gaundra. Atau Albion, suami yang sudah kuselingkuhi di masa lalu.
Ketika tanganku mencapai pegangan pintu, kudengar gumaman berat dari arah belakangku.
“Kematianmu tak pernah cukup bagiku, Selena. Tak pernah cukup!”
Swing!
Aku mendengar sesuatu terayun, bergesek dengan udara. Dan, sebelum aku sempat menoleh...
Cras!
Kepalaku menggelinding di atas karpet berwarna krem. Tubuhku pun ambruk. Di tengah bahana tawa penuh dendamnya yang menggema menembus waktu.
* * * * *
Catatan :
Tulisan ini diikutsertakan dalam Event Fiksi Horor dan Misteri Grup Fiksiana Community.
Lagu latar : Palladio - Karl Jenkins
Lagu latar : Palladio - Karl Jenkins
Aww, leherku jadi sakit nih...
BalasHapusKe dokter, Mas Ryan. Radang tenggorokan itu... 😁😁😁
HapusSepertinya saya juga akan datang ke ruang praktek terapist Gaundra untuk mengetahui sesuatu yang jelas di balik euphoria yang saya alami tatkala usai menyantap setiap post dalam blog ini. Minta alamatnya dong, Bu Lis.
BalasHapusBerlebihan, ah... 😗
HapusWow! Ending-nya....
BalasHapusHehehe... Kurang serem 😁😁😁
HapusWiska .......
BalasHapusAq gek rumah sendirian sing melek.
Oma kambek arek" wis tidur, papae blon pulang.
Kejeblos baca horor.
Sekti pean mb Liiiiissss !
Mrinding kabe iki aq haraaaa ......
Gasido guyu moco ayam malah kenek endinge ngunu rweeeeek .........
Haiiish... Mek ngene thok ae lho, Nit 😆😆😆
HapusGood post mbak, bagus endingnya
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur... 😊😊😊
HapusKeren... Cuman masih mikir gimana si 'aku' bisa bercerita bila dalam kejadian itu dia sendiri mati ditebas.
BalasHapusHehehe... Misteri kan? 😁
HapusMakasih singgahnya... 😊😊😊
gleck..!
BalasHapusGluk! 😁
Hapusbukan Mbak Lis...namanya klo gak bisa bikin cerita yang sangat hebat ini....horornya mak jleb!!
BalasHapusHadeeeh... Aku selalu gagal bikin fiksi horor yang greng, Mbak Bekti... 😚😚😚
Hapus😲 Ora bisa komen. Merinding sejadi2nya 😵
BalasHapusHihihi... 😁
HapusManstaf :)
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Edy... 😊
Hapus