* * *
Perasaannya mengatakan bahwa ada yang tidak beres. Kedua satpam sekolah itu tampak ramah padanya, tapi juga terlihat sangat waspada. Memberinya sedikit perasaan tak nyaman. Ia melihat ke arah arlojinya. Pukul dua belas siang masih lama. Saat ini baru pukul sepuluhan.
“Mohon maaf, Pak,” satpam yang bernama Romi tiba-tiba menyeletuk. “Kalau boleh tahu, Bapak ini siapanya Qiqi, ya?”
Ada jeda sejenak sebelum ia menjawab dengan mantap, “Saya ayahnya.”
Dan dengan jelas matanya menangkap bahwa kedua satpam itu sekilas saling menatap. Ia tersenyum samar. Sejenak kemudian ia menghela napas panjang sambil berdiri.
“Ya, sudah, Pak,” ucapnya. “Nanti saya kembali lagi.”
“Apa tidak sebaiknya Bapak menunggu di ruang tamu sekolah saja?” tawar satpam yang satunya lagi, Husen.
“Boleh?” laki-laki itu melebarkan matanya.
“Boleh, Pak!” kedua satpam itu serempak menjawab.
Kemudian Husen segera menggiring laki-laki yang mengaku sebagai ayah Qiqi itu ke ruang tamu sekolah. Sementara itu, Romi mengangkat gagang pesawat telepon di meja. Terdengar tiga kali nada tunggu sebelum ada sahutan dari seberang sana.
“Ya?”
“Mohon maaf, Pak, ini Romi dari sekuriti. Mau melaporkan bahwa tamu yang mencurigakan itu sedang diantar Husen ke ruang tamu sekolah. Baru saja mengaku kalau dia ayah Qiqi. Tadi Bu Bas minta laporan tiap ada perkembangan.”
“Oh, ya, tadi Bu Bas juga berpesan begitu. Terima kasih, Pak Romi. Segera saya laporkan ke Bu Bas.”
Klik! Hubungan terputus.
* * *
Basrita menghela napas panjang begitu Ade keluar dari ruangannya.
Jadi benar dia ayah Qiqi?
Diketuk-ketukkannya jemari di atas permukaan meja.
Untung pagi-pagi tadi Bu Ridha sudah melaporkan permintaan khusus Mama Qiqi. Kalau tidak? Kalau sekolah sampai kecolongan? Bisa tamat pengabdianku!
Basrita mengintip ruang tamu sekolah dari balik vitrase jendela ruang kantornya. Segalanya tampak jelas dari sana. Ia bisa melihat bahwa laki-laki itu kini duduk di salah satu sofa tunggal sambil memainkan gawainya. Raut wajah laki-laki yang agak tertunduk itu terlihat tenang. Deskripsinya persis dengan yang dilaporkan Satpam Romi secara langsung pertama kali tadi, ketika laki-laki itu baru datang.
Jadi, laki-laki seperti itu dulunya tak mau bertanggung jawab?
Basrita mencibir.
Mungkin dia merasa dirinya terlalu ganteng.
Basrita mencibir sekali lagi. Sejenak kemudian ia memutuskan untuk keluar. Bagaimanapun juga, keselamatan Qiqi selama berada di lingkup sekolah itu adalah tanggung jawabnya.
* * *
Mai menghembuskan napas keras-keras begitu mobilnya berhenti dengan selamat di dekat gerbang sekolah. Setelah hampir lupa mengunci pintu mobil, ia segera melangkah cepat, bahkan hampir berlari, memasuki gerbang sekolah.
“Pak, mana tamu yang mencurigakan itu?” tanyanya langsung begitu bertemu dengan Satpam Romi.
“Oh, ibunya Qiqi,” Romi buru-buru berdiri. “Baru saja diantar ke dalam oleh Husen, Bu. Saya sudah lapor ke dalam. Ibu silakan langsung masuk saja.”
Setelah menggumamkan terima kasih, ia segera meneruskan langkah menuju ke bagian dalam sekolah. Di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan Satpam Husen.
“Orangnya ada di ruang tamu sekolah, di depan kantornya Bu Bas, Bu.”
Mai mengangguk dan mempercepat langkahnya.
Benar-benar bisa kubunuh kamu, Nirwan!
* * *
“Selamat pagi...”
Laki-laki itu mengangkat wajahnya begitu mendengar ada sapaan halus. Ia segera berdiri begitu perempuan mungil berusia 40-an itu mengulurkan tangan. Dengan hangat, diterimanya jabat tangan itu.
“Selamat pagi, Bu,” sapanya santun.
“Bapak yang tadi menanyakan soal Qiqi?” tangan Basrita menyilakan laki-laki itu duduk kembali.
“Iya, Bu,” laki-laki itu mengangguk.
“Ada urusan apa, Bapak dengan Qiqi? Bapak benar ayahnya?”
“Oh... Saya...”
“Nirwan!”
Keduanya menoleh mendengar seruan tertahan itu.
* * *
Mai menoleh ke kanan.
Itu dia!
Kemarahannya seolah mengumpul kembali. Ia berusaha keras untuk tidak menggelegarkan suaranya dalam lingkup area belajar yang cukup hening dan tenang itu.
“Nirwan!"
Laki-laki dan perempuan yang sedang duduk dan berbincang itu menoleh serentak. Mai mengenalinya. Bu Bas dan...
Langkah Mai terhenti. Sekujur tubuhnya terasa membeku.
Bukan Nirwan?
Mai ternganga.
Bukan Nirwan!
Mai menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Laki-laki itu bangkit dan menghampirinya. Mai merasa kepalanya kosong tanpa isi. Blong!
“Mai, apa kabar?”
Mai masih menatapnya dengan mata bulat. Membiarkan Basrita terbengong di sofa yang didudukinya.
“Mai...,” dengan lembut laki-laki itu mengusap bahu Mai. “Ada apa sebenarnya ini?”
Mai mengerjapkan mata. Pelan-pelan kesadarannya pulih.
“Bang...,” hanya itu yang bisa dibisikkan Mai.
Laki-laki itu menoleh ke arah Basrita. Menatap dengan sorot mata penuh permintaan maaf.
“Saya tidak mau bikin gaduh di sini,” ucapnya halus. “Maaf, Bu, ada tempat yang lebih privat untuk kita bicara?”
Basrita buru-buru mengangguk dan menggiring keduanya masuk ke ruang kantornya.
* * *
Mai masih tertegak di tempat duduknya sambil menatap laki-laki yang tampak tekun menerima penjelasan dari Basrita. Sesekali matanya mengerjap. Berusaha mempercayai penglihatannya. Tapi semuanya tetap. Tak berubah. Laki-laki itu tetap menjadi dirinya sendiri.
Bang Grandy...
Mai mendegut ludah.
Bagaimana bisa? Kata Bu Amey...
“Saya memang bukan ayah kandung Qiqi, Bu,” ucap laki-laki itu, akhirnya. Grandy. “Tapi saya sudah kenal Qiqi sejak dia masih bayi. Bahkan sejak dia belum dlahirkan. Qiqi sudah seperti anak saya sendiri. Saya baru mendarat dari Jepang Sabtu tengah malam kemarin. Dan memang sama sekali belum menghubungi Mai,” ditatapnya Mai sekilas. “Maksud saya ini tadi, ingin bikin kejutan buat Qiqi. Tapi...”
Basrita menghela napas lega. Ditatapnya Grandy dengan senyum merekah di wajahnya.
“Tidak apa-apa, Pak, Tidak apa-apa,” Basrita menggeleng. “Tapi saya harap Bapak maklum dengan perlakuan yang sempat Bapak terima. Kami hanya ingin melindungi anak-anak, yang para orang tua telah percayakan mereka pada kami.”
“Saya memahami sepenuhnya, Bu,” Grandy mengangguk. Ia kemudian melihat ke arah arlojinya. Belum genap pukul sebelas. Ia mengangkat wajah lagi. “Bu, kalau boleh, saya mohon diri sejenak, sambil menunggu jam Qiqi pulang. Sekali lagi, mohon maaf, karena kehadiran saya sudah mengganggu.” Lalu ia menengok ke arah Mai. “Ayo, Mai...”
Basrita kemudian melepas keduanya dengan wajah lega. Ia tersenyum simpul sambil menggelengkan kepala.
Ah! Ada-ada saja...
* * *
Wajah Mai masih tampak linglung. Ia hanya bisa duduk diam di seberang Grandy, di dalam sebuah kafe di sebelah kompleks sekolah. Hingga Grandy selesai memesan minuman dan kudapan, Mai masih membisu. Grandy menatapnya.
“Mai...”
Suara halus Grandy perlahan menyadarkan Mai. Ia mengerjapkan mata.
“Maaf, harus terjadi seperti ini. Membuat heboh.”
Mai kini tersadar sepenuhnya. Ditatapnya Grandy dengan sorot mata lebih hidup.
“Ya ampun, Bang...,” desahnya. “Aku benar-benar nggak sangka Abang pulang secepat ini.”
Grandy tersenyum. “Nggak terlalu lama, Mai. Nantinya aku masih harus kembali ke Jepang lagi. Ya, studiku sudah selesai. Tapi masih banyak yang harus diurus. Ada jeda beberapa waktu. Makanya kuputuskan untuk pulang sejenak.” Grandy menatap Mai. Dalam. “Benar yang diceritakan Bu Kepsek tadi?”
Mai mengangguk. “Ya.”
Grandy menghela napas panjang. Entah kenapa tiba-tiba saja ia merasa sesak oleh penyesalan.
Seharusnya aku ada di sini untuk mendampinginya melalui semua kesulitan itu...
“Tiba-tiba saja aku bertemu dengan Nirwan, dan dia tahu begitu saja bahwa Qiqi anaknya,” lanjut Mai dengan nada mengeluh. “Padahal, kan, Abang tahu sendiri aku sudah hidup tenang selama ini.”
Sedemikian tenangnya sampai kamu seolah tak membutuhkan orang lain, Mai...
Grandy mengerjapkan mata.
“Kemarin Diaz membogemnya dua kali.”
Kening Grandy sedikit berkerut. Seutuhnya ia menangkap nada puas dalam suara Mai. Tapi bukan itu yang mengganggunya.
“Diaz?”
“Ya, Diaz.” Ada binar yang berlompatan keluar dari mata Mai. “Aku sudah pernah cerita pada Abang, kan? Diaz, sahabatku waktu di Surabaya dulu. Yang rumahnya di sebelah rumahku.”
“Oh...”
Dan Grandy terpaksa mendengarkan cerita panjang lebar Mai tentang pertemuannya kembali dengan sosok bernama Diaz itu. Ia tak hendak menyela. Hanya mendengar, menyerapnya baik-baik, dan memasukkannya dalam hati. Dengan aneka rasa yang bercampur aduk begitu saja.
Menyesakkan dada.
Ilustrasi : www.publicdomainpictures.net
Wah... ketipu aku,tak kiro Nirwan ternyata Grandy, setujuhhh sama dokter ini ajah...
BalasHapusHihihi... Makasih, Buuu... 😘😘😘
Hapussi abang grandy itu kelakuannya mirip sama bapak cahyo...
BalasHapushalah...
udah deh, monggo dilanjut, jeng...
😯😯😯
HapusGood post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur... 😊😊😊
HapusTiwas aq wis kape melok misuh" lagi.
BalasHapusBakno seng muncul Grandy.
Kaget" seneng alias surprais soro mb Lis !
Tambah rame iki !
Ojok bosen dhisik yo, Nit... 😘😘😘
Hapus............silaken.....silaken.......dipilih...dipilih...dipilih.......lanjoooot.....
BalasHapusHahaha... Makasiiih, Mbak Dewi... 😘😘😘
HapusYa udahlah mauku Ares saja yang jadi ayah tiri buat Qiqi. Nirwan udah cocok kok sama Maika. Grandy sama cewek lain ajalah.
BalasHapus😯 no comment 😯
HapusHm...
HapusWoalah Grandy toh? Lope2 tenan episode ini 😍
BalasHapusHehehe... Makasih, Mbak Tiwi... 😘😘😘
HapusMantappp, udah keluar semua tokohnya.....;-)
BalasHapusHehehe... Soalnya udah nyampe Bab 7, Mbak... 😉😅
HapusManstaf :)
BalasHapusMakasih hadirnya, Pak Edy... 😊
Hapus