* * *
Sembilan
Ares melirik jam digital di dashboard mobilnya. Masih pukul sembilan lewat sedikit. Sekilas ditolehnya Winda.
“Mas sudah telanjur cuti begini, enaknya kita ke mana, nih, Win?” celetuknya.
“Wah, aku sudah telanjur suruh Obet jemput di apartemen, Mas, jam sepuluh.”
“Memangnya Obet lagi nggak jalan ke mana, gitu?”
Winda menggeleng. “Mas Diaz antar aku ke apartemen saja, aku tunggu Obet di sana. Terus, mumpung Mas cuti, main sana ke tempat Kak Rara.”
“Hm...,” Ares kelihatan berpikir sejenak. “Okelah, kalau begitu.”
Sesuai permintaan Winda, Ares menurunkan adiknya itu di dekat belokan sebelum masuk ke jalan yang menuju ke perumahan di belakang apartemen. Sudah dekat, Winda bisa berjalan kaki ke apartemen, agar abangnya tidak perlu memutar terlalu jauh.
Dan mata bulat Mai menyambut kemunculan Ares di kantor olshop. Ia buru-buru menggiring laki-laki itu masuk ke dalam ruangan kantornya.
“Nggak kerja, Di?”
“Aku sengaja cuti hari ini,” senyum Ares. “Baru saja selesai mengantar Mama dan Papa ke bandara.”
“Oh... Ah, cepat sekali kembalinya ke Surabaya?”
“Ya... Kan, kemarin itu memang kebutuhannya hanya bertemu dengan kalian.”
“Winda? Nggak ikut?”
Ares menggeleng. “Tadi memilih pulang ke apartemenku. Sudah telanjur janjian mau dijemput pacarnya.”
“Oh... Eh, kamu mau minum apa?” Mai berdiri dari duduknya, bersiap mengambilkan minuman untuk Ares.
“Halaaah... Nggak usah repot-repot,” Ares mengibaskan tangannya.
“Lagakmu...,” Mai terkekeh sejenak. “Teh anget, ya? Kamu, kan, paling nggak bisa minum kopi.”
Ares meringis. Sementara Mai sudah meninggalkannya tanpa menunggu jawaban.
Hm... Dia masih ingat kalau aku nggak bisa minum kopi...
Ares menatap punggung Mai yang kemudian menghilang di balik pintu.
* * *
“Nggak usah bohong, deh, Mas!”
Nirwan mendesah. Sia-sia ia berusaha menjelaskan kenapa rahang dan pelipis kirinya bisa memar biru seperti itu. Maika seorang dokter. Pasti tahulah beda lebam karena jatuh dengan dibogem orang lain.
“Seenggaknya kalau Mas jatuh dari motor, ada lah bekas-bekas baretnya,” tandas Maika lagi. “Lha, ini?! Enggak!”
Nirwan mati kutu seketika.
Sesungguhnya ia hendak bersembunyi sampai lebamnya menghilang. Agar rahasia tentang Qiqi setidaknya ia simpan dulu sampai ia benar-benar siap untuk membukanya pada Maika dan keluarganya.
Tapi kenapa malah jadi ruwet begini?
Ditatapnya Maika dengan putus asa.
“Sebenarnya...,” ujarnya, terbata-bata. “Sebenarnya... Begini, Kika... Kamu... Apakah kamu... benar-benar... mencintaiku?”
Maika terlihat bengong sejenak. Kemudian ditatapnya Nirwan seolah Nirwan adalah orang yang paling tolol sedunia.
“Ya, iyalah, aku mencintaimu, Mas!” jawab Maika dengan kening berkerut. “Kalau tidak, buat apa aku mau bertunangan denganmu?”
Nirwan terlihat menarik napas berkali-kali sebelum meneruskan gumamannya.
“Juga... seandainya... aku... sudah... punya... anak?”
Maika terhenyak seketika.
* * *
Ares mengangkat wajahnya dan menyimpan ponselnya di saku kemeja ketika Mai muncul dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh dan beberapa stoples makanan ringan. Mai meletakkan nampan itu dengan gerakan luwes di atas meja, kemudian menghidangkan teh tepat di hadapan Ares.
“Minum, Di,” ucap Mai halus. “Sengaja aku buat hangat. Kan, biasanya kamu mengomel diam-diam kalau disuguhi teh masih panas mengepul.”
“Hehehe...,” Ares terkekeh ringan.
Disesapnya teh itu. Hangat, dan rasa manisnya pas. Ia tersenyum samar ketika meletakkan cangkir teh itu ke atas tatakannya lagi.
“Aku mengganggu, ya?” Ares menatap Mai.
“Enggak,” Mai menggeleng sambil tersenyum. “Baru saja selesai kukebut semua yang harus kuselesaikan.”
“Yang menjemput Qiqi siapa, biasanya?”
“Aku sendiri. Kadang-kadang Ibu. Kadang-kadang Ayah kalau lagi ada waktu senggang.”
“Oh...”
“Aku sudah berpesan pada gurunya, bahwa yang boleh mengantar atau menjemput Qiqi hanya kami bertiga. Eh, ditambah Bang Grandy, untuk sementara waktu.”
Ares mengerutkan kening. “Bang Grandy?”
“Mm...,” Mai menatap Ares lebih dalam sebelum melanjutkan penjelasannya tentang seorang Grandy.
Penjelasan yang pelan-pelan menimbulkan denyut nyeri di dalam dada Ares.
* * *
“Dan dia sekarang minta kamu tanggung jawab lagi, Mas?” ucapan Maika terdengar pedas di telinga Nirwan.
“Enggak, Kika. Dia justru berusaha menjauhkan aku darinya,” jawab Nirwan dengan nada merendah.
“Lalu kenapa Mas Nirwan seperti kebakaran jenggot begitu?” mata Maika membulat. “Kamu dulu menolaknya, kan, Mas? Ya, sudah, berarti Mas Nirwan sudah lepas tanggung jawab. Kenapa sekarang harus repot?!”
“Kika, dia anakku. Darah dagingku. Anak kandungku.”
“Ya, kalau benar dia anakmu? Kalau tidak?”
“Itu yang dulu kukatakan padanya,” desah Nirwan. “Tapi setelah melihatnya, aku tak meragukannya sedikit pun.”
Maika mendengus hebat. Ditatapnya Nirwan seperti banteng yang terluka. Ia kemudian berdiri dan meraih tasnya.
“Kamu egois, Mas!” teriaknya sebelum berlari keluar.
Nirwan memejamkan mata mendengar ada pintu mobil yang terbanting keras-keras.
* * *
“Apa pun keputusanmu nanti, kuharap itu memang yang terbaik untukmu,” Prof. Handono menyalami Grandy. “Membuatmu nyaman dan makin mencintai dunia yang sudah kamu pilih.”
Grandy mengangguk sambil mengguncang lembut tangan seniornya itu. “Terima kasih, Prof. Kalau begitu saya pamit dulu. Besok-besok sebelum kembali ke Jepang, saya main lagi ke sini.”
“Iya, Gran, iya,” angguk Prof. Handono.
Beberapa menit kemudian, sambil menyelinapkan diri masuk ke dalam mobil, Grandy melirik sekilas ke arah arlojinya. Sudah pukul sebelas lebih sedikit. Ia menimbang-nimbang sejenak sebelum kemudian melajukan mobilnya ke arah sekolah Qiqi.
Sambil menyetir, ia tak henti berpikir. Tentang keputusan yang harus diambilnya. Keputusan yang kali ini benar-benar tak boleh salah. Dan semalam, kedua orang tuanya sudah menyerahkan segala keputusan itu secara penuh padanya.
“Tugas Mama dan Papa adalah memberimu fasilitas semampu kami, Gran,” begitu ucapan Satya. “Dan kamu sudah menggunakan fasilitas itu dengan baik untuk mempersiapkan kehidupanmu. Kamu memang anak Mama dan Papa, tapi kamu adalah milik kehidupanmu sendiri. Kamu punya langkah sendiri. Mama dan Papa percaya bahwa apa yang kamu pandang baik bagimu, tentunya memang baik bagimu. Sudah lebih dari cukup buat Mama dan Papa melihatmu berhasil seperti ini. Kami bangga, Grandy. Sangat bangga.”
Grandy mengerjapkan mata. Tiba-tiba saja keharuan mendesak masuk ke dalam hatinya. Ia menggeleng samar. Hingga detik ini pun ia masih belum bisa mengambil keputusan.
Seandainya ada suara yang memintaku untuk tinggal...
Grandy menghela napas panjang.
Ia kemudian memutuskan untuk memarkir mobilnya di dekat gerbang sekolah. Tepat ketika ia mematikan mesin mobil, ponselnya berbunyi. Diambilnya ponsel itu dari saku kemejanya. Ada sebuah pesan melalui aplikasi Whatsapp.
‘Grandy-san, ohisashiburi ne. Genki? Ima komyunikesyion amari desune. Genki de. (Grandy, bagaimana kabarmu? Kenapa belum juga menghubungiku? Aku harap kamu baik-baik saja.)’
Grandy tercenung tiba-tiba.
Sachiko-chan...
Tapi ia memutuskan untuk mengabaikan pesan itu. Untuk sementara waktu.
* * *
Sekolah masih belum terlalu ramai dengan penjemput anak-anak kelas 1 dan 2 ketika Grandy masuk. Salah seorang satpam yang kemarin mencurigainya, kini tersenyum ramah sambil menyapa, “Siang, Pak. Jemput Qiqi, ya?”
“Iya, Pak,” Grandy balas tersenyum sambil mengangguk.
“Sabar sebentar, Pak. Sepuluh menit lagi baru bel.”
Grandy kembali mengangguk. Ia kemudian menolak dengan halus ketika satpam itu menawarkan padanya untuk duduk menunggu di dalam pos. Ia lebih memilih untuk duduk di bawah salah satu bangku beton di bawah kerindangan pohon. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat siapa saja yang masuk ke dalam lingkungan sekolah melalui pintu gerbang. Juga mengamati dengan lebih leluasa kompleks sekolah Qiqi dari arah depan.
Sekolah swasta dari jenjang Taman Bermain hingga SMA itu terdiri dari beberapa lokal bangunan yang masing-masing berlantai 3. Dindingnya didominasi warna kuning pudar dan krem. Di bagian depan ada lapangan futsal dan lapangan basket. Kedua lapangan yang menyambung jadi satu itu dikelilingi pepohonan rindang dan deretan bangku beton di bawahnya. Salah satunya adalah tempat yang diduduki Grandy.
Waktu terus merambat. Satu per satu para penjemput pun berdatangan. Ketika bel sudah berbunyi dan Grandy belum melihat Mai datang, ia pun berdiri dan melangkah mendekati lobi. Beberapa saat kemudian empat orang guru muncul dengan barisannya masing-masing. Ia berhasil menemukan senyum Qiqi di antara wajah-wajah imut itu.
“Bapak yang menjemput?” tanya Bu Ridha sebelum menyerahkan Qiqi pada Grandy.
“Seharusnya mamanya,” jawab Grandy. “Tapi biar kami tunggu sebentar.”
Bu Ridha mengangguk diiringi ucapan terima kasih Grandy.
“Tos dulu, dong, cantik!” Grandy menyiapkan telapak tangannya.
Qiqi tertawa menyambut tos itu. Grandy kemudian menggandengnya ke arah bangku beton yang tadi didudukinya.
“Tunggu Mama sebentar, ya, Qi?” Grandy mengelus kepala Qiqi.
Gadis kecil itu mengangguk dengan patuh.
“Eh, tuh, Mama,” tunjuk Qiqi tiba-tiba. “Mama!”
* * *
“Kamu tunggu di sini, ya?” Mai berdiri begitu mendengar bel berbunyi dari sekolah.
“Sekalian saja, Ra,” Ares ikut berdiri. “Aku bayar dulu.”
Mai pun menyetujuinya. Ia terpaksa menunggu sebentar hingga Ares menyelesaikan pembayaran. Setelah itu, keduanya kemudian melangkah beriringan keluar dari kafe, menuju ke sekolah.
Baru saja beberapa meter masuk ke dalam lingkungan sekolah, telinga Mai mendengar seruan yang sangat dikenalnya. Ia menoleh ke kanan dan mendapati Qiqi sudah berlari kecil mendekatinya dari arah deretan bangku beton di bawah kerindangan pohon. Diikuti sosok jangkung Grandy.
“Wah, aku telat,” Mai nyengir.
Grandy tersenyum sambil mengedikkan bahu. Sejenak kemudian tatapannya beralih pada sosok yang berdiri di sebelah Mai. Mai segera menyadarinya.
“Eh, iya,” senyum Mai. “Kenalkan, ini Diaz, Bang, sahabat lamaku waktu masih di Surabaya.” Dan Mai menengok ke arah Ares. “Di, ini Bang Grandy, yang tadi kuceritakan.”
Kedua laki-laki itu kemudian berjabatan dan menyebut nama masing-masing. Grandy kemudian menatap Mai.
“Ya, sudah. Aku serahkan Qiqi padamu, ya?” ujar Grandy.
“Terima kasih, Bang,” angguk Mai.
“Yah... Nggak jadi pulang sama Om Grandy...,” wajah Qiqi terlihat kecewa.
Senyum Grandy melebar. “Kan, sudah ada Mama dan Om Diaz. Anak cantik nggak boleh cemberut gitu, dong...”
Qiqi masih mengerucutkan bibirnya.
“Padahal Om mau ajak Qiqi makan pizza, lho...,” celetuk Ares. “Tadi Mama bilang, Qiqi suka sekali pizza.”
“Beneran?” mata Qiqi langsung membulat.
Ares mengangguk mantap. Wajah Qiqi langsung berubah cerah.
“Oke, kalau begitu aku jalan dulu,” pamit Grandy, masih dengan senyumnya.
“Maaf, Mas,” ada nada mencegah dalam suara Ares. “Kalau Mas Grandy bersedia, sekalian saja dengan Mas makan pizza-nya.”
“Oh, begitu?” Grandy menaikkan alisnya.
Ares mengangguk mantap. Sekilas Mai melemparkan tatapan penuh tanya, tapi Ares mengabaikannya. Sedangkan Qiqi langsung bersorak kegirangan.
* * *
Selingan sebelum tayangan ini : [Fiksi Horor dan Misteri] Regresi
Dan sebelum lupa, teriring ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Mbak Cuantiiik Aeni Pranowo dan Jeng Ayu LeeAnn.
good post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur... 😊
HapusSemoga damai jangan rebutan mai hehehhe
BalasHapusFitzza nya lempar dikit ☺️
🍕🍕🍕
HapusAres gentleman jugak yo mb Lis.
BalasHapusKeren wiska !
😘😘😘
HapusManstaf :)
BalasHapusMakasih hadirnya, Pak Edy... 😊
HapusKabar Piyik baik? Fans-nya kangen
BalasHapusBaik... 😊
Hapus