Episode sebelumnya : Vendetta #7 : Sisters
* * *
Mea Culpa
Di dalam kantor Angel, dengan rakus Felitsa menyantap tiap porsi tiramisu yang disodorkan kakaknya itu. Angel menatap Felitsa dengan mata mengaca. Ada berjuta perasaan berkecamuk dalam hatinya. Takjub, bahagia, haru, sedih, lara, rindu, dan entah apa lagi. Ia hanya sanggup menikmati kerakusan Felitsa.
“Kak, ini benar-benar persis buatan Mama,” gumam Felitsa.
Suara Felitsa yang sarat kepuasan benar-benar membuat Angel tercekat. Tangannya terulur, menyingkirkan anak rambut yang menjuntai di kening Felitsa.
“Suatu ketika Kakak pernah bermimpi,” ucap Angel dengan suara yang terdengar begitu jauh. “Kamu ada di depan Kakak, sedang menikmati tiramisu buatan Mama. Ketika Kakak bangun, semuanya hanya tinggal sebuah mimpi kosong, Sasya. Hanya saja masih meninggalkan sebuah keinginan untuk belajar membuat tiramisu persis seperti buatan Mama. Entah untuk apa. Tapi sekarang Kakak tahu, kamu masih ada.”
Felitsa memeluk lagi Angel. Entah untuk yang keberapa kalinya. Angel membalasnya lebih erat lagi. Seolah enggan untuk melepasnya.
“Kak, ini benar-benar dirimu,” bisik Felitsa terbata. “Benar-benar kakakku...”
“Dan mimpi itu tak kosong lagi, Sasya...”
“Kak, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Felitsa lirih. “Apa yang terjadi? Padamu? Pada keluarga kita?”
Angel melepaskan pelukannya. Ditatapnya Felitsa dengan nelangsa.
“Kita hendak dihabisi, Sasya, seluruh keluarga kita,” ucap Angel dengan suara berat. “Dan pelakunya...”
Felitsa menatap sayu. “Ferry Frianto,” desahnya. “Ya aku tahu.”
Angel menggenggam tangan adiknya. “Aku masih hidup ketika mereka meninggalkan rumah. Sebagian wajahku terbakar, tapi aku masih hidup. Dan Mami menyelamatkan aku.”
“Mami?”
“Bekas istri Ferry,” jawab Angel, dingin. “Perempuan malang itu dulu ditendang begitu saja dari rumah Ferry tanpa bisa bertemu anak-anaknya lagi.”
Felitsa ternganga.
“Dia terlambat datang ke rumah kita. Hampir terlambat. Cuma aku yang berhasil dia selamatkan. Setelah itu, aku tak tahu apa yang terjadi pada rumah kita,” Angel tertunduk. “Mami menjauhkan aku dari segala kenangan masa lalu, Sasya. Merawatku. Memberiku wajah baru melalui operasi plastik. Memberiku kehidupan baru. Nama baru...,” Angel mengangkat wajahnya. “Aku bukan lagi Vania. Aku Angel. Angelita. Tapi aku tetap kakakmu, Sasya...”
Mata basah Felitsa mengerjap. Siapa pun perempuan itu, hati Felitsa tak ragu bahwa Angel adalah benar-benar kakaknya.
* * *
Luita ternganga. Beberapa detik kemudian ia berucap takjub, “Benarkah?”
Angel mengangguk dengan mata dipenuhi binar. Luita kemudian memeluknya dengan segenap perasaannya. Serasa ia sendiri yang mengalami kebahagiaan itu.
“Kamu tidak lagi sendirian, Nak...,” bisiknya lembut.
Tapi Angel justru termangu. Ia tak akan pernah lupa apa yang sudah diperbuatnya pada seorang Ferry Frianto. Dan Luita bisa merasakan itu. Ia mempererat pelukannya.
“Mami sudah berjanji padamu, Angel, tak akan ada yang bisa menyentuhmu,” ucap Luita tegas. “Kehidupanmu selanjutnya adalah bersama adikmu.”
Angel menghela napas panjang. Seolah hatinya berteriak khawatir, ia tak akan lama lagi berada di dekat Luita. Entah kenapa. Ia tak berani membayangkan.
“Apapun yang terjadi,” Luita merangkum wajah Angel dengan tangannya. Memaksa Angel menatapnya. “Jangan pernah mengakui pembunuhan yang kamu lakukan pada Ferry Frianto. Jangan pernah!”
Angel hanya terdiam sambil menatap Luita.
“Berjanjilah pada Mami, Angel, berjanjilah!”
Angel mengangguk tanpa suara.
“Mami tidak dengar suaramu, Angel!”
“Iya, Mi, aku janji.”
Luita menatapnya. Puas. Tiba-tiba Angel merasa dingin dan merinding. Tanpa tahu sebabnya.
* * *
Malam sudah hampir tergelincir ke jurang pagi. Tapi Luita masih terjaga di balik kilatan-kilatan masa lalu yang menyambarnya tanpa ia mampu mencegahnya. Semuanya terbayang di matanya serupa film yang berputar tanpa jeda. Membuatnya kelelahan. Membuatnya memutuskan untuk menyerah.
Ia tercenung sejenak sebelum mengambil sehelai kertas dan mulai menulis. Setelah semua yang terjadi, akhirnya harus segera diakhiri. Dan keputusannya sudah bulat. Segalanya tercurah pada selembar kertas itu.
Ketika dia mendepakku dari rumah, aku harus menerimanya. Pun ketika aku tak lagi boleh bertemu dengan anak-anakku, aku hanya bisa mematuhi peraturan yang ditetapkannya sendiri.
Siapakah aku bagi seorang Ferry Frianto? Aku tidak tahu. Tak pernah tahu. Dia juga tak berarti apa-apa lagi bagiku.
Tangannya berlumur darah. Tanpa hukum bisa menyentuhnya. Haruskah aku mengagumi kemampuan itu? Ataukah harus menangis karena nyawa-nyawa yang hilang sia-sia demi menegakkan pilar egonya?
Dan Arfa Hanandito adalah orang yang memungutku dari jalanan ketika Ferry mendepakku. Sofia Hanandito memberiku kail agar aku bisa berdiri tegak mengail rejeki hidupku.
Lalu apa akhirnya?
Binatang bernama Ferry Frianto itu menghabisi keluara Hanandito demi dendam masa lalu. Habis. Nyaris tak bersisa. Tapi aku berhasil menyelamatkan Vania Hanandito. Entah dari mana Ferry tahu masih ada garis darah Hanandito yang tersisa, yang jelas Vania Hanandito nyawanya terancam.
Aku tak bisa membiarkannya membunuh Vania Hanandito. Satu-satunya cara menghentikannya hanyalah dengan membunuhnya. Menghilangkan nyawa Ferrry Frianto sebelum dia menghabisi sasaran berikutnya.
Aku yang membunuhnya. Bila membunuh Ferry Frianto dianggap sebagai kesalahan, maka aku bersalah. Tapi bagi diriku sendiri kesalahanku yang terbesar adalah tidak membunuhnya sejak dulu.
Aku bersalah. Sangat bersalah. Tapi aku lega bahwa semuanya sudah berakhir. Aku sudah membunuhnya. Mengantarkan Ferry Frianto ke neraka.
(Luita Hadikusumo)
Sekali lagi Luita membaca curahan hatinya. Ia tersenyum tipis.
Mami sudah berjanji pada diri Mami sendiri untuk melindungimu, Angel. Semoga kamu teguh memegang janjimu pada Mami.
Luita melipat kertas itu, kemudian meletakkannya di dalam laci meja.
* * *
Wow...menegangkan bu.
BalasHapusHehehe... Makasih singgahnya ya, Bu...
HapusMau kemana? Pergi? Bunuh diri?...
BalasHapusHayooo ke mana hayooo?
HapusNuwus mampire yo, Mbak...
#gaya detective
BalasHapusData dilapangan tidak sesuai. Apakah kopi yg diminum ferry mengandung sianida... atau tiramisunya... hoho
Hahaha... Makasih mampirnya, Mbak...
HapusJangan, luita...
BalasHapusJangan...
Pokoknya jangaaaaaannn... #nangis
Wooo... Histeris...
HapusNuwus histerise, Jeng... *lho?!*
Ho oh aku jg ikut tegang iih.. jd klanjutannya piye buu?
BalasHapusJadi gini, Mbak Indah, kelanjutannya itu pssst... pssst... pssst... Hihihi...
HapusMakasih mampirnya ya...
super deg-degan merinding pokoknya, hihihiii..
BalasHapusHehehe... Makasih singgahnya ya, Mbak...
Hapusbaca tadi pagi tapi komentnya siang. hahahha
BalasHapusitu mau kemana si mamih. jangan- jangan bunuh diri pula!
Mami jawabnya nanti hari Senin, katanyaaa... Hehehe...
HapusMakasih mampirnya ya...
Huhuhuhuhu aq mewek dobel"
BalasHapusMewek number one 'coz terharu .........
Mewek number two 'coz komene ngantri mboncit .......
Haiiish... Mewek-mewek ben dipukpuk pak dok to yooo??? Hihihi...
HapusSuwun mampire yo, Nit...
Yuuuuh....mengharu biru betulan! Rapelan hari ini lanjut keepisode lanjutnya :-)
BalasHapusMakasih, Mbak... Silakan bablas ke episode #10 yang baru aja tayang...
Hapus