Angel Of Death
Cahaya redup kafe itu sungguh menyamarkan suasana. Tapi efek hangat pendar lampu justru menguatkan lukisan wajahnya. Cantik. Bercahaya. Bagaikan malaikat yang baru turun dari langit. Dan Ferry segera mengenalinya.
Hm... High class..., gumamnya sambil menelan ludah.
Dengan langkah yakin didekatinya sosok elegan terbungkus gaun putih keabu-abuan itu. Sekali lagi Ferry menelan ludah.
Terlalu tertutup untuk seorang pelacur, gumamnya lagi, sambil memicingkan mata.
"Angel?"
Perempuan ayu itu mendongak. Menghujani Ferry dengan tatapannya yang memikat. Sekaligus begitu mengundang.
"Ya? Pak Ferry?"
Ferry segera mengambil tempat di sebelah perempuan itu. Sekuat tenaga ia menjaga agar tangannya tak segera menggerayangi lekuk liku tubuh perempuan menakjubkan itu. Ia ingat kata-kata mucikari langganannya. "Virgin, Pak Ferry..."
Sekali lagi Ferry menelan ludah.
* * *
Dan hari semakin malam. Semakin malam. Semakin malam...
Ferry yang sudah terlampau mabuk tak lagi bisa mengingat apa-apa. Bahkan sebelum dia merobek virginitas perempuan pesanannya itu. Bahkan ketika perempuan itu membenamkan sesuatu yang tajam di dada Ferry.
Lalu perempuan itu melenggang pergi. Membiarkan Ferry tertelungkup di atas meja. Membiarkan para pelayan menjerit berjam-jam kemudian. Ketika mendapati ada genangan darah di bawah sebuah meja. Dan sesosok mayat yang sudah mendingin.
* * *
Bastian menoleh ke kiri dengan mata memerah. Felitsa masih tertunduk dengan tangan kanan erat menggenggam tangan kiri Bastian. Memberinya sedikit kekuatan. Dan kehangatan.
"Makasih, Fel...," bisik Bastian, nyaris kelu, "...untuk selalu menguatkanku..."
Felitsa tak menjawab. Hanya saja genggaman tangannya makin erat. Dibiarkannya Bastian tetap tegak di tempatnya berdiri. Hingga semua pelayat pulang. Lalu semuanya hening. Hingga matahari nyaris tergelincir di tepi cakrawala.
Dengan halus Felitsa menarik tangan Bastian. Ia berbisik lembut, "Sudah senja, Tian, ayo kita pulang."
Tanpa banyak membantah Bastian mengikuti kata-kata Felitsa. Kembali ia mengenakan kacamata hitamnya, kemudian menghilang bersama Felitsa ke dalam sebuah Bentley hitam yang dikemudikan sopirnya.
Bastian melemparkan tatapannya ke luar jendela. Langit masih terang kendati matahari sudah terbenam. Tak sedikit pun alam berduka karena kematian ayahnya. Diam-diam Bastian tertunduk.
Siapa tak kenal nama Ferry Frianto di negeri ini? Sosok yang ada tapi tiada? Sosok yang jahanam sekaligus dermawan? Sosok yang kejahatannya didesas-desuskan namun tak pernah bisa dibuktikan?
Dan aku adalah darah dagingnya, batin Bastian, yang tak pernah berani memberontak.
Ia memang bukan Tonny yang berani keluar dari rumah hanya dengan baju yang melekat di badan. Atau Sabrina yang dengan senang hati menikahi duda setengah baya hanya karena ingin secepatnya keluar dari rumah ayahnya itu.
Ia hanya seorang Bastian, si anak manja yang terlalu takut kehilangan kehidupan layak yang dijanjikan oleh ayahnya. Si pengecut yang selalu berusaha membutakan mata dan menulikan telinga terhadap semua sepak terjang ayahnya. Dan ia kini harus menjalankan semua bisnis dan dunia hitam yang ditinggalkan ayahnya?
Bastian bergidik. Setelah ayahnya, mungkin ia adalah sasaran pembunuhan berikutnya. Lalu apa yang bisa ia lakukan? Lebih tepatnya, apa yang biasanya ayahnya lakukan?
"Sudah sampai, Tuan Muda."
Suara berat sopirnya itu membuat Bastian terlepas seketika dari dekapan khayalan liar.
"Tian, mau aku temani?" Felitsa mengerjapkan matanya, menatap Bastian.
Tapi Bastian menggeleng. "Kamu pulang saja, Fel."
"Benar kamu tak apa-apa?"
Bibir Bastian menyunggingkan sebaris senyum datar yang nyaris tak terlihat. Ada yang menyentuh sudut hatinya mendengar nada suara Felitsa. Kekasihnya itu mengkhawatirkannya. Membuatnya seketika tak lagi merasa sendirian.
Bastian menggeleng, "Aku tak apa-apa, Fel, tak akan berbuat yang aneh-aneh. Pulanglah."
Ditutupnya pintu belakang Bentley-nya. Felitsa menurunkan kaca jendela hingga setengahnya, kemudian melambaikan tangan. Beberapa detik kemudian mobil itu menghilang di balik gerbang yang menutup otomatis. Bastian berbalik dan menapaki tangga menuju ke pintu depan.
Ia butuh sendirian. Dengan sebak mandi air hangat dan sejumput aromatherapy yang bisa menenangkan jiwanya. Semuanya terasa kusut masai. Membuatnya merasakan kelelahan yang sangat.
Lahir batin.
* * *
Klik!
Angel mematikan pesawat TV-nya dengan senyum puas tersungging di bibir. Hampir semua stasiun televisi menayangkan siaran ulang pemakaman Ferry Frianto. Bukan karena surga yang akan didapatnya, tapi karena laki-laki itu jadi korban pembunuhan.
Hm... Pergilah ke neraka, Ferry... Semoga Tuhan mengampuni dosamu...
Dosa? Angel menyulut rokoknya. Dan semoga Tuhan juga mengampuni dosaku...
Perlahan bibir Angel menyunggingkan senyum. Pahit. Sepahit empedu. Ia bangkit dan bercermin.
Angel...
Aku Angel.
Angel of Death.
Malaikat Kematian.
Ia kembali tersenyum. Jauh lebih pahit. Sambil meraba wajahnya.
Hm... Siapa lagi berikutnya?
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta #2 : Little Lantern
Silakan mampir juga ke fiksi (cerpen) terakhir blog FiksiLizz pada tahun 2015 :
BUNGA-BUNGA MANGGA
Silakan mampir juga ke fiksi (cerpen) terakhir blog FiksiLizz pada tahun 2015 :
BUNGA-BUNGA MANGGA
Akhirnya....yg ditunggu-tunggu muncul juga...Mba Lizz sy dulu baca di ketikketik n sy tunggu lanjutanya tp gk muncul...penasaran euy...lanjut Mba Lizz
BalasHapusHihihi... iya nih, Mbak Tri... eike jadi maluuu...
HapusTapi di blog ini dijamin bakalan sampe tamat kok.
Makasih singgahnya ya...
Akhirnya.... Harus ganti tahun dulu buat nunggu munculnya. Masih penisirin. Baiklah.... Gelar tenda sangu kopi...nunggu lanjutan
BalasHapusLhaaa ini sesuai petuahnya Mbah Dukun ini, Mbak. Hehehe...
HapusMakasih mampirnya ya...
Weh! Katon serune iki dik! Judule bae wis greng!
BalasHapusBali neh rutinitas mbah dukun nggih? Senen-kemis hahahaha
Request dik mbok saben episode diparingi ilustrasi musik ben saya greng :-)
Nggih, Mbak... Diusahakan ada musik latarnya tiap episode.
HapusEnggal dangan nggih... Matur nuwun rawuhipun...
Msk bookmark dl ya? :)
BalasHapusOya, penampilan br blognya bgs. Lbh segar
Wokeh... Makasih mampirnya, Mas...
HapusSerasa baca sidney sheldon dalam versi lbh manis
BalasHapusWaduuuh... Jauuuh, Buuu...
HapusMakasih dah singgah...
good post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur...
HapusSuka...
BalasHapusMakasih banyak, Mbak Ani...
HapusWaooooo ...... Aq rapelan iki mba.
BalasHapusMenegangkan critone. Garai penasaran. Lagune enjos !
Wokeh... Suwun mampire yo, Nit... Cup-cup gae babies...
HapusApa kabar mbak Lis ? duh, suwe ora nyangkruk merene.Tambah keren cerita-ceritanya, aku dadi isin cerbung azazil-ku ora rampung-rampung. sukses terus yo mbak
BalasHapusHahay, Mas Diar! Iya nih aku nunggu colekan sambungan Azazil via FB kok belum ada juga yak, hehehe...
HapusMakasih mampirnya ya, sukses juga buat dirimu...
Wuiiihh ngeri-ngeri gimanaaaaa gitu,, saya mau ngebut tan, rapelan soalnya hihihiii..
BalasHapus