Episode sebelumnya : Vendetta #5 : Journey Into The Dark
* * *
Angel Or Devil?
Bastian menggandeng erat tangan Felitsa. Sesekali ia mencandai gadis itu, yang disambut tawa renyah yang sungguh indah terdengar di telinganya. Ditatapnya Felitsa. Sungguh, wajah gadis itu serupa lentera. Bersinar lembut tanpa menyilaukan mata. Tapi tetap mampu menerangi kehidupannya yang terkadang menggelap.
“Tian, ada apa?’
Tiba-tiba saja Felitsa menghentikan langkahnya. Bastian tergagap sejenak. Mata bening itu menatapnya tanpa kerjap.
“Entahlah,” bisik Bastian. “Aku hanya takut kehilanganmu.”
Seolah ada sekat yang membatasi napas Felitsa. Ia mengalihkan tatapannya dari wajah Bastian.
Haruskah abai pada sebuah kenyataan? Felita menggeleng tak kentara.
Ingatannya berputar kembali pada kejadian semalam.
* * *
Selesai makan malam, Karunia menyodorkan sepucuk surat padanya dengan tatapan yang sukar diartikan. Tapi Felitsa tak terlalu memperhatikannya. Apalagi Karunia segera masuk ke kamarnya. Seperti biasa. Setelah berucap pendek, “Tadi kutemukan di teras.”
Ada segores tulisan Untuk Felitsa pada amplop putih polos itu. Lalu Felitsa duduk tercenung di depan meja. Nyaris tanpa kedip menatap selembar kertas yang terhampar di hadapannya. Dan foto close up Bastian.
Ayahnya adalah pembunuh keluargamu. Aku bisa membunuhnya sebelum ia membunuhmu. Jadi tinggalkan dia sebelum hal itu terjadi.
Felitsa terhenyak.
Kobaran api itu... Yang menghabiskan nyaris seluruh garis darahnya.
Perbuatan ayah Bastian? Tapi kenapa?
* * *
“Fel...”
Lamunan Felitsa buyar seketika. Meninggalkan deret kejadian semalam. Bastian masih menatapnya dengan banyak siratan tanya. Felitsa menggeleng. Berusaha untuk mengusir resah dari dalam hati dan kepalanya sendiri. Bastian menggenggam lembut jemari Felitsa.
“Ada apa sebenarnya, Fel? Ya, kamu tertawa. Tapi kenapa terdengar begitu jauh di telingaku?”
Felitsa tergugu. Ia ingin bertanya. Tapi lidah dan bibirnya tak mampu mengucap satu pun suku kata. Ia tahu berhadapan dengan siapa. Hatinya tahu. Tapi otaknya mencoba untuk mengingkari. Ia hanya bisa menatap Bastian. Letih.
“Entahlah, Tian,” gumam Felitsa. “Aku hanya merasa suatu saat harus kehilanganmu.”
“Jangan!” sergah Bastian seketika. “Aku akan segera melamarmu begitu selesai peringatan setahun meninggalnya Papa. Lalu kita akan bersama, Fel. Tanpa perlu takut kehilangan lagi.”
Felitsa berusaha untuk menggulung dan membuang resahnya. Sulit. Sementara tanya itu begitu menuntut jawaban.
Bila benar papamu pembunuh keluargaku, Tian, apa yang harus kulakukan?
* * *
Ketika waktu sedikit berputar ke belakang...
Susah sekali bagi Angel untuk menahan debar yang muncul tiba-tiba ketika laki-laki itu menggemakan sebuah nama, “Felitsa!” Matanya tak berkedip mengikuti arah langkah laki-laki itu. Seorang perempuan muda menyambut laki-laki itu dengan senyum yang merekah sempurna.
Mama...
Ada tikaman pilu yang memberi sensasi nyeri luar biasa tepat di pusat hatinya.
Senyum itu seutuhnya milik Mama...
Sulit rasanya menahan desakan airmata yang ingin segera tumpah. Maka ia pun melangkah cepat ke arah toilet.
Setelah menyusut habis airmatanya, ia pun bercermin. Memperbaiki sedikit rias mata dan warna bibirnya. Be strong, Angel! Dibentaknya hatinya sendiri.
Ketika kekuatan itu didapatnya kembali, maka ia pun kembali ke sudut food court itu. Lucky me! serunya dalam hati. Satu-satunya tempat kosong hanyalah meja di belakang punggung Bastian Frianto. Ke sanalah ia menuju.
Dan perempuan itu....
Mata Angel tak berkedip di balik kacamata coklat gelapnya. Betapa mirip dengan Mama! Dan namanya... Felitsa? Jantung Angel nyaris berhenti berdetak. Terlebih ketika matanya menangkap kilauan yang berkelip di bawah leher perempuan itu.
Angel meraba bawah lehernya yang tetutup krah baju. Sebuah benda bundar dengan beberapa butir berlian yang tertata indah. Sama persis dengan yang dipakai perempuan muda itu.
Tapi bukankah Felitsa sudah...
Angel berhenti berandai-andai. Tawa itu bukan tawa yang lain. Tawa itu masih tetap tawa yang sama. Tawa kanak-kanak yang ceria. Tawa Felitsa. Felitsa kecilnya!
Hampir saja Angel runtuh disergap lunglai. Letih oleh harapan dan ketakutan. Ketakutan bahwa sekiranya harapan itu hanya jadi sesuatu yang menggantung tinggi di udara. Terlalu tinggi hingga ketika harus terjatuh saat berusaha menggapainya pastilah hanya akan menimbulkan luka dan rasa sakit yang tak tersembuhkan.
Angel tak mampu beringsut ketika rasa terhenyak itu menguasainya. Kalau benar dia Felitsa-ku, apa yang harus kulakukan? Angel menggeleng samar. Dan kalau dia bukan Felitsa, bagaimana aku harus menata hatiku?
Angel mengerjapkan mata. Menumpuk lara.
* * *
Sambil bersenandung Karunia menyiapkan samosa, cemilan kesukaan Felitsa. Beberapa samosa terakhir diangkatnya dari penggorengan ketika bel pintu berbunyi. Bergegas ia membukanya. Seorang perempuan cantik berdiri tegak di depan pintu ketika ia membukanya.
“Selamat siang,” sapa Karunia ramah.
Perempuan itu tak berkedip menatap Karunia. Hingga beberapa saat. Hingga mata Karunia menangkap bulatan berkilau yang tergantung di leher perempuan itu.
“Ya, Tuhan...,” Karunia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. “Dari mana Anda mendapatkan...,” Karunia menunjuk medallion itu.
Mata perempuan itu mengerjap. “Nanny Nia...,” bisiknya tanpa suara.
“Ya, Tuhan...,” Karunia berucap lagi dengan suara bergetar hebat.
Sedetik kemudian mereka sudah bertukar pelukan dan sama-sama tenggelam di dalamnya. Bertukar airmata. Tanpa kata.
Banyak yang kemudian terungkap ketika airmata sudah habis terkuras. Berkali-kali Karunia memeluk Vania-nya yang sudah dewasa. Menatapnya lagi dan lagi. Dibalut ketakjuban pada keajaiban itu.
“Nanny, terima kasih sudah menyelamatkan Felitsa,” ucap Angel dengan ketulusan yang begitu bening.
“Aku tak bisa menyelamatkanmu, Van,” sesal Karunia.
“Aku tahu, tapi tak apa-apa. Waktu itu aku terlalu jauh dari jangkauanmu,” Angel menggeleng.
Pelan disodorkannya sebuah amplop pada Karunia. Tanpa bersuara Karunia menerima amplop itu.
“Tolong berikan ini pada Felitsa, Nanny,” ucap Angel. “Jangan katakan apa-apa. Bilang saja Nanny temukan surat ini di teras. Suatu saat aku akan kembali. Kalau aku sudah siap bertemu dengannya.”
Sesungguhnya masih ada ribuan tanya yang hendak diucapkan Karunia. Tapi demi melihat betapa wajah Vania-nya sarat beban, ia pun menahan diri.
“Jangan panggil aku Vania lagi, Nanny. Namaku Angel,” ucap Angel sebelum berbalik pergi.
Karunia terpaksa menepis segunung rasa penasaran tentang kehidupan Vania-nya sekarang. Sementara ini sudah lebih dari cukup dengan mengetahui bahwa ternyata Felitsa kesayangannya tak lagi sebatang kara. Ditimangnya amplop yang ditinggalkan Angel. Tanpa ingin tahu apa isinya. Kelak bila Felitsa berkenan, ia akan tahu juga dari Felitsa segalanya tentang isi amplop itu.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta #7 : Sisters
Good post mbak lizz salam dr Medan...:)
BalasHapusHoras! Makasih singgahnya, Mbak Ita..
HapusOwalah...
BalasHapusKok ternyata calon adek ipar... :'(
Ho'oh...
HapusNuwus mampire yo, Jeng...
di tunggu lanjutannya, good post mbak
BalasHapusSiap, Pak Subur! Makasih singgahnya ya..
Hapusaku suka cerita2 bu Liz hehehe
BalasHapusMakasih banyak, Mas Adhi... Keep writing OK?
HapusHeleh tambah sakno ....... :'(
BalasHapusCepet senin cepet senin cepet senin ......
Cuepet kok, Nit. Sampe sing nulis keponthal-ponthal hehehe...
HapusSuwun mampire yo...
Aku masih gak mudeng bu.. jadi Luita itu kakak adik ama mama Vania ups Angel? jian angel aku mikirine :-P
BalasHapusSekarang sudah mudheng kan, Mbak Indah? Hehehe...
HapusMakasih singgahnya ya...
Betul aku keteter sm cerbung panjenengan ini dik :-)
BalasHapusTp berusaha merangkai sedikit2, ngajak mikir banget, ngajak menyelami pemikiran & emosi masing2 tokoh. Jan....nganti ngos2an :-D
Nagihi, nyandu, jempol!
Hehehe... Sampe bingung mo bales komennya gimana, Mbak. Soalnya asli ini cerbung paling kacau yang pernah kubuat *blushing*
HapusMakasih mampirnya ya, Mbak...
huaaaaa.... lanjutannya mana, mana? :))
BalasHapusUdah adaaa... Sesuai jadwaaal dari Mbah Dukuuun... Hehehe...
HapusMakasih dah mampir, Mbak Imas...
hhhmmm bayangin samosa aja dulu *ngarep disodorin :D
BalasHapus