Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #21
* * *
Motor
600 cc itu melaju pelan-pelan membelah malam. Anna duduk diam di boncengan.
Steve pun tak hendak mencoba membuka percakapan. Diam-diam dinikmatinya hening
itu.
Dia
merasakan kedamaian itu lagi. Sesuatu yang selalu dia rasakan bila berdekatan
dengan Anna. Sesuatu yang tak pernah dia peroleh dari belasan gadis yang pernah
dihamburinya kata cinta, tapi kemudian dicampakkannya begitu saja.
Tampaknya
memang Anna akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Tapi kenapa seolah ada yang
menahan Anna untuk lebih lepas lagi menerimanya? Dia tak buta terhadap berbagai
sikap ‘penolakan’ dari Anna. Walau pada setiap akhir episode pertemuan mereka
selalu ditemukannya senyum dan semburat keceriaan di wajah Anna.
Dia memang lain, seperti
yang dikatakan Mama...
Tempat
tujuan mereka masih buka ketika mereka sampai. Masih ramai dengan pengunjung.
Anna melompat turun dari boncengan ketika Steve menghentikan motornya.
“Dari
tadi jajan melulu, nggak makan nasi?” celetuk Anna sambil melepas helm yang
dipakainya.
“Diet,”
Steve meleletkan lidahnya.
“Diet?”
Anna membulatkan matanya. “Dengan begitu banyak makanan masuk ke perut?”
Derai
tawa Steve pecah. Diraihnya bahu Anna, kemudian direngkuhnya bahu itu.
“Schotel dan ketan kan karbo juga. Bakal
bikin kenyang,” ucapnya sambil melangkah masuk ke ruko Adita. Anna hanya
mengangkat bahu.
* * *
Ada
tempat buat berdua yang masih kosong. Setelah memesan ini-itu dan pramusaji
yang melayani mereka itu pergi, Steve menatap Anna. Gadis itu masih asyik
melihat-lihat kartu menu. Ketika dirasanya ada sesuatu yang mengusik, tatapan
mereka bertemu. Steve mengulas senyum, sementara Anna kembali menunduk,
berlagak sibuk dengan kartu menu di tangannya.
“An...,”
Steve setengah berbisik.
“Hm...”
“Boleh
tanya?”
“Apa?”
Anna kembali mengangkat wajahnya.
“Kok
bisa sih, kamu begini cantik?”
Anna
menatap Steve tanpa ekspresi. Steve sudah sering menggombalinya. Entah kenapa
dia selalu risih bila Steve melakukan itu.
“Aku
nggak suka digombali,” Anna menyahut, sedikit ketus.
“Aku
nggak sedang menggombalimu,” Steve bertopang dagu, masih menatap Anna. “Karena
kamu pantasnya dicintai, bukan digombali.”
“Dan
itu kamu ucapkan pada semua gadis yang pernah kamu pacari?” Anna mengangkat
alisnya tinggi-tinggi.
Steve
terkekeh sambil menggumam, “Kalau mereka sih, memang asli aku gombali,
hehehe...”
“Nah!”
Anna mengirimkan tatapan tajam. “Akhirnya kamu mengaku!”
“Mengaku
apa?”
“Bahwa
kamu sedang menggombaliku juga.”
Steve
menatap Anna. Dalam. Lama. Membuat Anna jengah karenanya.
“Barangkali
memang benar aku player,” ucap Steve
kemudian dengan wajah sangat serius. “Tapi aku memutuskan untuk pensiun setelah
bertemu denganmu. Karena aku tahu perasaan dan keyakinanku nggak bohong, bahwa
kamulah pelabuhan terakhirku.”
Anna
balik menatap Steve. Masih terlihat tanpa ekspresi. Diam-diam membuat Steve mengeluh
dalam hati. Kenapa sulit sekali?
“Walau
misalnya aku lebih menyukai orang lain?”
Steve
mendadak tersentak mendengar ucapan dingin Anna. Orang lain? Tenggorokannya terasa sakit tiba-tiba.
“Jadi
kamu lebih menyukai orang lain?” ucap Steve dengan suara seperti tercekik.
“Aku
bilang misalnya,” jawab Anna datar. “Aku lebih suka orang yang memperlakukan
aku apa adanya. Tidak berlebihan. Biasa saja. Tidak seperti ABG yang baru
kasmaran.”
Steve
tercenung lama. Mama benar lagi, mungkin aku
memang berlebihan.
Setelah
pramusaji menghidangkan pesanan, Steve menikmatinya dalam diam. Sesekali
ditatapnya Anna yang sekarang asyik membaca sebuah tabloid wanita yang diraih
dari meja sebelah yang kosong. Gadis itu benar-benar tak mau memesan makanan
dengan alasan kenyang. Hanya ada segelas jeruk hangat di depannya.
Tampaknya kali ini aku
memang harus belajar lagi, pikir Steve.
* * *
Rafael
dan Adita saling melepaskan jabat tangan itu.
“Senang
juga bekerja sama dengan Mas Rafa,” ucap Adita dengan suara tercekat. “Kunci
mobil ada di ruanganku. Nanti bisa sekalian Mas ambil kalau mau pulang.”
Jadi begini rasanya
terdepak? Adita meringis dalam hati. Jadi begini kalau pekerjaan yang seharusnya profesional malah
melibatkan rasa?
Seporsi
ifu mie capcay yang biasanya lezat itu kini terasa hambar di lidahnya. Tapi
Adita berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja walaupun berbagai pikiran terus
bermain di dalam benak.
Setidaknya aku masih bisa
bersyukur diperbolehkan mengenal orang baik seperti dia. Mengenal sisi lain
kehidupan. Keluar dari kesulitan keuangan. Walau harus ‘menjual diri’.
“Boleh
menanyakan sesuatu?”
Adita
tersentak mendengar suara lirih itu. Dia mengangkat wajahnya. Menemukan Rafael
tengah menatapnya dalam.
“Kenapa
selama beberapa minggu ini kamu nggak menghubungiku?”
“Aku
takut mengganggumu,” jawab Adita cepat. “Nyatanya Mas memang sibuk kan? Sampai
nggak sempat menghubungiku juga.”
Rafael
terpekur menatap meja. Mempermainkan sumpit di tangannya.
“Aku
hanya mencoba untuk menengok ke dalam hatiku,” gumam Rafael. Diangkatnya wajah.
“Dan aku menemukan hal-hal di luar nalar yang menyangkut perasaan. Membuatku
harus berpikir dan berpikir lagi. Sampai kemudian aku tiba pada satu titik di
mana aku merasa harus mengakhiri kontrak ini.”
Adita
berusaha mengumpulkan konsentrasinya agar bisa mencerna keseluruhan ucapan
Rafael dengan baik. Tapi dia gagal. Dia hanya bisa terdiam sambil menunggu
Rafael melanjutkan ucapannya.
Rafael
menghela napas panjang sebelum meneruskan. “Yang kurasakan ketika tak ada
kontak di antara kita adalah rasa kosong yang luar biasa. Aku mencoba menikmati
kekosongan itu dengan menyibukkan diri. Tapi lama-lama aku lelah juga. Aku
justru tersiksa, bukan menikmatinya. Aku ingin kembali ke awal. Tanpa embel-embel
kontrak. Jadi...,” Rafael mengulurkan tangannya.
Kening
Adita berkerut seketika. Sejujurnya hatinya dipenuhi harapan yang dia takut
untuk memeliharanya. Dengan ragu ditatapnya uluran tangan Rafael. Tapi
diterimanya juga uluran tangan itu. Pelan dirasakannya genggaman Rafael
menghangat di telapak tangannya.
“Aku
Rafael. Boleh berkenalan denganmu?”
Adita
hanya bisa menatap Rafael dengan mata bulat beningnya.
* * *
‘Berkenalan’ kembali dengan
Rafael?
Adita
tersenyum sambil merebahkan diri di atas kasur. Matanya menatap tiap jengkal
langit-langit kamar. Sepertinya peristiwa yang baru saja beberapa puluh menit
yang lalu dia alami tak akan pernah terlupakan seumur hidup. Siapa yang
menyangka hubungannya dengan Rafael akan dimulai lagi dari awal?
Tanpa kebohongan lagi.
Tapi... Adita mengerjapkan mata. Benarkah ini yang kuinginkan? Dihelanya napas panjang. Senyumnya
surut seketika.
Entah
kenapa, masih ada yang terasa mengganjal di hatinya. Dia mencoba menelisik tiap
sudut, tapi tetap saja tak berhasil menemukan seperti apa bentuk ganjalan itu.
Hanya saja setiap kali dia merasa terantuk pada satu nama.
Anna.
Apakah karena aku tahu bahwa
rasa antara Anna dan Rafael sebetulnya tidak pernah bertepuk sebelah tangan?
Dan aku lagi-lagi terjepit di tengahnya. Tanpa bisa berkelit karena aku juga
menuruti rasaku. Seperti apa sebenarnya aku bagi Rafael?
Hingga
dini hari makin jauh menggelincir meninggalkan tengah malam, Adita tak juga
mampu memejamkan mata dan mengistirahatkan otaknya. Berkali-kali dia menghela
napas berusaha mengurangi rasa sesak, berkali-kali pula dia gagal. Rasa sesak
itu tetap ada. Menggayuti hatinya tanpa bisa diusir. Membuatnya terkapar dalam
rasa putus asa.
* * *
“Kamu
jam berapa berangkat dari Bogor? Jam segini baru sampai?”
Rafael
menoleh. Steve dilihatnya tengah duduk menghadap laptop di ruang makan yang
masih terang benderang. Sebelum menjawab, Rafael memutuskan untuk duduk sejenak
di dekat Steve. Dijangkaunya gelas air putih di depan Steve yang masih terisi
setengah.
“Aku
dari pulang kerja sudah cabut dari Bogor. Langsung ke tempat Adita,” jawab
Rafael kemudian sambil meneguk air putih itu.
“Bohong,”
gumam Steve. “Aku tadi ke sana, kamu nggak ada.”
“Aku
dari sebelum jam delapan sudah ada di sana. Terus makan di depot chinese food di ujung ruko sama Adita.
Setelah itu ke taman belakang kompleks ruko. Ramai di sana. Asyik. Pas aku
balik lagi ke ruko, kamu sudah mau pergi. Kamu pakai motor kan?”
“Hm...,”
Steve meringis. “Kirain bohong. Tapi mobilmu parkir di mana?”
“Di
depan kios martabak. Ramai banget tadi warung Adita, sampai nggak ada tempat
buat parkir.”
“Iya
sih... Tadi jam sepuluh saja masih ramai.”
“Ya
sudah,” Rafael berdiri. “Aku tidur dulu. Capek banget.”
“Eh,
Raf!”
Rafael
membatalkan langkahnya. Ditatapnya Steve dengan sorot bertanya.
“Aku
ingin ngobrol sama kamu,” lanjut Steve. “Kapan ada waktu?”
“Soal
apa? Kerjaan?”
Steve
menggeleng. “Soal cewek.”
“Oh...,”
Rafael tersenyum. “Besok saja ya?”
“Oke!”
Steve mengacungkan jempolnya.
Rafael
melanjutkan langkahnya menuju ke kamar. Sambil berganti baju dia berpikir.
Diam-diam ada debar yang muncul dalam dadanya.
Soal cewek? Anna? Oh, no!
Ada-ada saja!
Anna...
Entah kenapa nama itu masih juga menimbulkan sesuatu yang aneh dalam hatinya.
Padahal sudah ada Adita.
Ataukah sebenarnya hanyalah pelarian?
Rafael
menggelengkan kepala dengan gusar. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya sekarang
kecuali merebahkan diri di atas ranjang dan mencoba untuk tidur.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #23
Good post mbak ,
BalasHapusKurang dowo mbk
BalasHapuslanjuut buu...asik lho
BalasHapus