hipwee.com |
Satu
Brrrr...
Pagi yang sungguh dingin!
Ornella
menarik satu stel training suit dari dalam lemari. Ketika turun ke kota
kemarin, dia sempat membeli tiga stel training suit baru yang paling tebal
bahannya. Belum dicuci sudah dipakai? Ornella nyengir. Tak akan ada yang tahu.
Setelah berpamitan pada Mbok Wuri yang sudah sibuk di dapur, Ornella memulai acara jogging-nya. Baru jam
setengah lima pagi, tapi desa itu sudah menggeliat bangun dan memulai
kehidupannya.
Desa
tempatnya berdinas sekarang adalah sentra penghasil susu sapi. Tiap rumah pasti
punya ternak sapi barang seekor-dua ekor. Yang sampai punya belasan atau pun
puluhan juga ada. Dan sepagi ini, para peternak sudah bersiap untuk
membersihkan kandang dan memerah susu sapi.
“Selamat
pagi, Bu Dokter!” sapa seseorang.
Ornella
memutuskan untuk berbelok ke rumah Pak Bejo yang menyapanya.
“Pagi,
Pak Bejo...”
“Wah,
Bu Dokter rajin pagi-pagi sudah lari-lari,” Bu Bejo yang sedang menyiapkan
kaleng susu tersenyum lebar.
“Iya,
Bu, daripada saya tidur dingin-dingin gini, bisa bablas kesiangan, mendingan
saya keluyuran saja,” Ornella tertawa. “Siapa tahu ada yang baik hati kasih
saya susu segar segelas.”
“Oh,
Bu Dokter mau?”
Ornella
bengong sejenak. Maunya iseng bercanda kok Pak Bejo jadi serius?
“Nanti
saya kasih Bu, jangan khawatir,” sambung Bu Bejo.
“Lho,
Pak, Bu, saya cuma bercanda kok!” Ornella jadi tak enak hati.
“Lhoooo...
Ndak apa-apa, Bu, seliter juga saya
kasih, wong Bu Dokter sudah menyembuhkan kambingnya Leman kok!”
“Lha
itu kan sudah tugas saya to, Pak.”
“Pokoknya
Bu Dokter ndak boleh nolak. Kalau Bu Dokter mau lanjut lari-lari lagi monggo,
tapi nanti pulangnya mampir sini ya?”
Ornella
menatap Bu Bejo dengan rasa bersalah. Bu Bejo tersenyum tulus. Ornella
menyerah.
“Ya
sudah nanti saya ke sini lagi. Maaf ya, Pak, Bu, jadi repot, wong saya cuma
iseng. Makasih banyak ya...”
Ornella
melambaikan tangan dan kembali jogging. Tapi pikirannya masih tertinggal di
dekat kandang sapi keluarga Pak Bejo. Duh... Malu sekali kalau ingat betapa dia
lalai menjaga mulut. Betapa tulus Bu Bejo hendak memberinya susu sapi segar
hanya karena keisengannya berbicara.
Perlahan
langit timur berubah warna jadi semburat jingga. Indah sekali. Ornella berdiri
di atas bukit kecil di sebelah selatan desa. Tiap pagi dia ke tempat itu, sejak
kedatangannya hampir sebulan yang lalu. Ketika matahari mulai mengintip
malu-malu, Ornella berlalu dari tempatnya berdiri.
Ketika
melihat sosok Ornella berjalan mendekat dari kejauhan, Leman sudah ribut
memanggil ibunya. Buat perjaka kecil kelas 6 SD itu, Ornella adalah dewi
penolongnya karena berhasil menolong kambing kesayangannya yang perutnya
kembung beberapa hari yang lalu.
“Bu!
Itu Bu Dokter Ella sudah mau pulang! Mana susunya?!”
Bu
Bejo tergopoh-gopoh datang sambil membawa 2 jerigen kecil berisi 2 literan
susu. Membuat mata indah Ornella terbelalak lebar ketika Bu Bejo mengulurkan
jerigen itu padanya.
“Ibuuu!
Ini terlalu banyak!” protes Ornella.
“Ndak
apa-apa, Bu. Nanti di rumah tinggal dimasukkan ke plastik kecil-kecil, terus
dimasukkan ke lemari es. Kalau Bu Dokter mau minum susu, tinggal memanaskan
saja seplastik-seplastik.”
Ornella
tak sanggup lagi berkomentar apa-apa kecuali mengucapkan terima kasih
berkali-kali. Leman dan Bu Bejo kelihatan senang sekali karena pemberiannya
pada Ornella diterima dengan senang hati.
Setelah
melambaikan tangan Ornella pun menyusuri jalan kembali ke rumah dinasnya.
Hangatnya sinar mentari belum berhasil mengusir hawa dingin di daerah itu.
Bahkan bukit besar di seberang sana masih separuh bagian diselimuti kabut.
“Mbak!
Mbak!”
Ornella
menoleh ke belakang. Sesosok tubuh tinggi tegap sedang berlari menyusulnya.
Sebelum Ornella memutuskan untuk lari menghindar atau tetap berdiri menunggu,
sosok itu sudah sampai di tempatnya berdiri.
Malu
seri kedua. Wajah Ornella agak memerah. Tadi keceplosan soal segelas susu,
sekarang salah menilai orang. Laki-laki tinggi tegap itu kelihatannya orang
baik-baik. Tatapannya sopan. Gerak-geriknya juga kelihatan normal.
“Maaf,
Mbak, itu susu sapi ya?” laki-laki itu menunjuk jerigen di tangan Ornella.
Ornella
mengangguk.
“Beli
di mana ya, Mbak?”
Ornella
menggeleng. “Tadi dikasih Bu Bejo,” Ornella mengarahkan telunjuknya ke rumah
bergenteng merah yang masih kelihatan dari situ.
“Oh...
Kalau mau langganan di mana ya?”
Ornella
menatap laki-laki itu. “Anda baru ya di sini?”
“Iya,
baru datang kemarin siang. Saya Aji,” laki-laki itu mengulurkan tangannya.
“Ella,”
Ornella menyambut jabat tangan itu. “Anda benar-benar membutuhkan susu segar?”
“Saya
suka saja, Mbak. Saya pikir gampang dapat susu sapi segar di sini.”
“Ini
kebanyakan buat saya,” Ornella mengacungkan jerigennya. “Anda mau satu?”
Aji
bengong sejenak menatap Ornella. Tapi dilihatnya wajah gadis itu begitu serius.
“Mbak
yakin?”
Ornella
menganggukkan kepalanya. Aji mengucapkan terima kasih berkali-kali. Ornella pun
mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“Jerigennya
nanti saya kembalikan, Mbak. Di mana rumah Mbak?”
“Oh...
Anda datang saja ke rumah dinas saya. Tuh, di ujung jalan ini.”
Dan
mereka berpisah di pertigaan. Aji berbelok ke kiri, Ornella berjalan terus.
Sampai
di rumah Ornella langsung menuangkan susu itu ke dalam gelas, dan mengisikan
sisanya ke dalam plastik kecil-kecil yang langsung dimasukkannya ke dalam
freezer. Sambil meneguk susu ingatan Ornella kembali ke acara jogging paginya
tadi.
Aji... Terlihat well
educated, tidak kurang ajar, sopan, dan... tak asing.
Ornella
menyipitkan matanya. Tapi sekeras apa pun dia mengingat, tak ada satu pun
benang merah yang bisa menghubungkannya dengan seorang laki-laki bernama Aji
itu. Dia menggelengkan kepala, menghabiskan susu, dan siap-siap menikmati hari
Minggunya dengan membaca setumpuk buku yang dibelinya kemarin.
* * *
Dua
“Ooo...
Mbak Ella? Yang dokter hewan?” Bidan Ika tersenyum lebar.
Aji
mendadak tersipu malu. Sepertinya senyum Bidan Ika berarti ‘sesuatu’ sekali.
“Mbak
Ella itu baru dua bulanan di sini. Tapi dedikasinya jangan ditanya. Jam berapa
pun penduduk sini membutuhkan, dia selalu siap. Bayaran? Ndak pernah matok
tarif. Anaknya orang kaya, tapi jiwa sosialnya hebat. Neneknya dulu punya
peternakan sapi perah di kecamatan sebelah. Tapi ndak ada yang meneruskan. Mbak
Ella masih kecil waktu neneknya meninggal.”
Aji
manggut-manggut.
“Masih
single, Dok, mau dicomblangi?” goda
Bidan Ika.
Sambil
tertawa Aji menggeleng. Segenting apapun hubungannya dengan Chiara, dia tak mau
berkhianat. Kalau memang harus pindah ke lain hati, paling tidak hubungannya
dengan Chiara harus dibereskan dulu. Tapi mengingat sikap kukuh Chiara,
sepertinya tak akan lama lagi hubungan istimewa itu bakal kandas.
Aji
menghela napas panjang. Chiara sudah ribut besar ketika Aji memutuskan untuk
menerima tugas di desa ini. Bukan desa terpencil sebenarnya, tapi tetap saja
‘desa’ buat Chiara. Dan idealismenya mengalahkan keterikatannya pada Chiara.
Keterikatan yang makin longgar karena sesungguhnya makin lama dia makin susah
mengenali Chiara.
Dan
di sinilah dia sekarang. Tempat yang baru. Dengan segala kesederhanaannya.
Dengan segala antusiasmenya. Dengan sebuah jerigen bersih bekas susu segar yang
masih tertinggal di rumah dinasnya.
Pasien
terakhir baru saja berlalu. Aji menguap sambil menggeliat. Diliriknya arloji.
Pukul 15.30.
“Dokter
mau langsung pulang?”
Aji
menoleh. Triman, salah seorang tenaga paramedis, melongokkan kepalanya dari
ambang pintu.
“Sebentar
lagilah, Mas Tri. Belum jam 4.”
“Ndak
apa-apa, Dok. Nanti kalau ada pasien lagi kan bisa diterima di rumah. Atau
kalau Dokter ndak mau biar ditangani Mbak Ika.”
“Ya
maulah, Mas, mosok pasien butuh harus ditolak?”
“Ya...
Barangkali, Dok,” senyum Triman.
“Sinyal
HP kenceng juga di sini ya, Mas?”
“Oh
iya, Dok! Jangan khawatir kalau di sini.”
“Oh
iya, Mas Tri, tahu nggak jam berapa Mbak Ella itu biasanya ada di rumah?”
“Mbak
Ella mana?”
“Itu,
yang dokter hewan.”
“Oh...
Bu Dokter?” Triman tertawa lebar. “Ndak tentu, Dok. Kadang-kadang siang sudah
ada, kadang-kadang malem juga masih di rumah pasien. Ada apa, Dok? Kan Dokter
ndak punya piaraan?”
“Kemarin
aku dikasih susu segar sejerigen sama dia. Lha ini mau kembalikan jerigennya.
Katanya dia juga dikasih orang. Eh, Mas, kalau mau langganan susu segar di mana
ya?”
“Mau
berapa, Dok?”
“Seliter
sajalah tiap hari.”
“Oh...
Kalau cuma seliter lha mbok besok saya bawakan.Tiap hari juga monggo. Gratis,
Dok.”
“Lho,
kok gratis?”
“Iya,
nanti saya mintakan Emak. Emak saya kan sapinya ada tujuh, Dok.”
“Seliternya
berapa itu?”
“Sudah...
Buat Dokter gratis saja, lha wong cuma seliter kok.”
“Eh...”
Aji
kwmudian terdiam. Antara tak enak dan berterima kasih. Triman tertawa melihat
ekspresi Aji, dan berlalu.
“Makasih
banyak ya, Mas Tri!”
“Sama-sama,
Dok!”
Tak
lama kemudian Aji memutuskan untuk pulang. Diambilnya jerigen susu, dan dia pun
melajukan tiger-nya ke arah selatan desa.
Rumah
itu sudah kelihatan. Tampak mungil dan apik. Sepi. Tapi jendelanya terbuka. Aji
hampir berbalik pergi ketika agak lama ketukannya di pintu tak ada sambutan.
“Sore,
Bu,” sapanya sopan.
Perempuan
setengah baya itu mengangguk ramah. “Sore, Pak. Cari Mbak Ella ya? Mbak Ella
lagi mandi.”
“Oh...
Boleh saya tunggu?”
“Monggo,
monggo...”
Aji
memilih untuk duduk di teras. Udara mendingin dengan cepat. Bahkan kabut mulai
turun menyelimuti perbukitan di kejauhan.
Menyesal?
Aji menggeleng. Dia baru sehari aktif bertugas. Dan rasanya dia akan betah
tinggal di sini. Ada ketenangan di sini. Dan keramahan. Dan penerimaan. Dia
merasa nyaman.
“Sore...”
Aji
tersentak. Dia menoleh. Ornella tampak segar dalam balutan celana bermuda dan
sweater warna krem.
“Oh,
Anda...”
Senyum
ramah itu tersungging. Membuat sesuatu bergetar dalam dada Aji.
“Iya,
selamat sore, Mbak. Saya mau mengembalikan jerigen. Terima kasih.”
“Oh...
Iya, sama-sama.”
Perempuan
setengah baya yang tadi membukakan pintu muncul dengan nampan di tangannya.
Berisi dua mug susu coklat hangat dan sepiring sale pisang.
“Mbok,
ini tolong dibawa ke belakang ya? Makasih,” Ornella menyodorkan jerigen dari
Aji kepada Mbok Wuri, perempuan setengah baya itu.
“Ah,
kok repot-repot,” ucap Aji, terdengan basa-basi yang sudah basi.
“Ah,
wong cuma ini saja adanya kok... Monggo, Mas, dicicipi...”
Susu
coklat itu benar-benar enak. Juga sale pisangnya. Juga obrolan yang kemudian
mengalir.
“Oh...
Jadi Anda ini dokter baru di puskesmas pembantu ya?” Ella tertawa, menyadari
kebodohannya. “Saya nggak kepikiran kemarin itu.”
Aji
tersenyum. “Kayak preman saya ya, Mbak?”
Tawa
Ella meledak. “Preman kok klimis...”
Dan
Aji terpaksa pamitan ketika hari menggelap. Sebetulnya dia belum terlalu hafal
jalan-jalan di desa ini. Tapi sepertinya mudah saja rute dari rumah dinas dokter
hewan ini ke rumah dinasnya.
Ketika
Aji hendak berlalu, sebuah kijang Innova berbelok masuk ke halaman rumah dinas
Ornella. Masih didengarnya teriakan bernada gembira dari Ornella, “Mbok! Mbok!
Mas Dino sudah datang!”
* * *
Tiga
Ornella
lebih senang lagi ketika mendapati Ayah-Bundanya turun dari mobil. Dino
mengikuti dari belakang. Wajah laki-laki itu tampak cerah ketika Ornella
menghambur ke dalam pelukannya.
“Mas
kangen Ella,” ucap Dino.
“Mas
kok kurusan? Susah makan ya?”
Dino
mengangguk-angguk. “Nggak ada Ella yang nemenin.”
“Tapi
kalau susah makan nanti Mas sakit. Kan kasihan Ayah sama Bunda.”
“Mas mau pindah sini.”
“Iya,
Dino, kita akan pindah ke sini,” Bunda mengelus kepala Dino dengan sayang.
Ornella
segera menggandeng Dino ke dalam. Tak ada kecanggungan sama sekali. Dino adalah
dunia Ornella sebelum dia pindah ke desa ini. Mereka dekat. Sangat dekat.
Membuat Ornella sangat kehilangan Dino pada hari-hari pertama tinggalnya di
desa ini.
Dilahirkan
sebagai anak bungsu tak membuat Ornella kehilangan peran sebagai kakak. Dino
adalah kakak sekaligus adiknya. Usia Dino yang hanya terpaut tiga tahun di atas
Ornella tidak membuat Dino jadi jauh lebih dewasa daripada Ornella. Justru
Ornellalah yang banyak membimbing dan mengajari Dino. Karena Dino istimewa.
Karena Dino berkebutuhan khusus. Karena Dino penyandang down syndrome.
Tahun-tahun
pelatihan di sekolah khusus membuat Dino jadi pribadi yang lebih mandiri.
Setidaknya untuk mengurusi kebutuhan dasar dirinya. Dino bisa bicara, tidak
begitu jelas, tapi sangat dimengerti oleh keluarganya.
Mereka
duduk mengeliling meja makan sederhana itu. Dino makan dengan lahap. Sesekali
Ornella melayani kakaknya itu.
“El,
ingat nggak dulu Oma punya peternakan sapi?” celetuk Ayah.
Ornella
mengangguk.
“Beberapa
hari yang lalu pemiliknya yang baru bermaksud untuk menjual kembali peternakan
itu pada keluarga kita. Ayah pikir bagus juga biar diurus Dino.”
“Ayah
serius?” Ornella berhenti makan sejenak.
“Iya,”
Ayah mengangguk pasti. “Ya memang Dino nggak bisa dilepas begitu saja. Sedikit
banyak Ayah juga masih ingatlah cara mengurus sapi.”
“Terus,
rumah kita? Perusahaan?”
“Sudah
waktunya diurus oleh Ian.”
Ornella
manggut-manggut. Ian, kakak sulungnya, memang sudah dipersiapkan Ayah untuk
menggantikan posisinya sebagai pemilik dan pemimpin perusahaan. Ian berminat,
dan sangat mampu. Mungkin sekaranglah saat yang tepat buat Ian untuk maju.
“Awalnya
Ian keberatan,” lanjut Bunda. “Tapi dia mampu kok. Nggak diragukan lagi. Kamu
sendiri bisa dibilang sudah mulai membangun hidupmu sendiri. Tinggal Dino.”
Ornella
menatap Dino. Yang ditatap sedang asyik makan sambil menonton TV. Dihelanya
napas panjang.
“Aku
senang banget sih, kalau Ayah, Bunda, Mas bisa ada di dekat sini. Nggak jauh
dari sini juga tempatnya.”
“Kamu
sudah pernah berkunjung ke sana?” Bunda tampak antusias.
Tapi
Ornella menggeleng. “Aku lupa-lupa ingat, Bun,” desahnya sedih.
“Iya
sih, terakhir kamu ke sana waktu Oma meninggal,” gumam Ayah.
“Ella
masih kelas 2 SD, pasti banyak nggak ingatnya ” timpal Bunda.
Ornella
tercenung.
* * *
Lupa?
Tak
ada yang bisa dia lupakan dari rumah dan peternakan almarhum neneknya. Kalau
dia berusaha melupakan, ya, benar. Apalagi apa yang dilihat oleh matanya saat
itu. Saat terakhir dia menginjakkan kaki di desa neneknya.
Ornella
kecil menyelinap pergi di tengah kesedihannya kehilangan Oma. Tujuannya satu.
Rumah Caka. Sejak awal dia datang, tak dilihatnya Caka. Padahal Caka selalu
muncul kalau dia datang.
Dan
langkahnya terhenti di depan puing-puing bangunan yang terbakar. Rumah Caka
sudah rata dengan tanah. Dengan gundukan arang hitam di sana-sini. Kenapa?
“Non,
cari Caka?”
Ornella
kecil menoleh. Pak Hamid, tetangga Oma dan juga Caka menatapnya dengan sedih.
Ornella kecil hanya bisa mengangguk. Pak Hamid mendekatinya, jongkok di
depannya, memegang lembut kedua bahunya.
“Non,
pulang ya? Caka sudah pergi. Rumahnya terbakar dua minggu yang lalu. Semuanya
sudah ludes. Ayo, Non, kita pulang ya? Paklik Hamid juga mau ke rumah Bu
Sepuh.”
Pak
Hamid menggandeng tangan Ornella kecil. Dituntunnya gadis cilik itu pulang.
Sesekali Ornella menoleh ke belakang. Tempat yang makin jauh itu masih sama.
Berantakan dan menghitam. Caka-nya sudah pergi. Entah di mana dimakamkan. Tak
terasa airmata mengalir di pipinya.
Dan
sejak saat itu semuanya tak lagi sama buat Ornella. Tak ada lagi keinginan
untuk menginjak lagi rumah Oma, apalagi Oma tidak dimakamkan di desanya. Yang
kemudian mengurus aset Oma berupa rumah dan peternakan adalah Pak Hamid. Hingga
beberapa tahun kemudian Pak Hamid bisa membeli seluruh aset Oma.
Menurut
cerita ayahnya, Pak Hamid kini akan mengembalikan aset milik Oma yang pernah
dibelinya. Mas Anan, anak tunggal keluarga Hamid yang sudah jadi orang sukses
dan bermukim di Bali, mengajak Pak dan Bu Hamid untuk tinggal bersamanya. Tak
ada lagi yang mengurusi peternakan dan rumah yang dulu dimiliki Oma.
Ayah
menyetujui untuk membeli kembali aset itu. Untuk Dino. Karena selama ini
disadari atau tidak, Dino sangat telaten mengurus hewan. Mungkin, peternakan
itu berguna untuk Dino.
Ornella
perlahan mengusap telaga bening yang menggenang di matanya. Dari semua orang
luar yang pernah dikenalnya, cuma Caka dan Bertha yang menerima Dino dengan
tangan terbuka, apa adanya. Dan betapa beruntungnya Ian mendapatkan Bertha
sebagai tambatan hati. Dan kini perempuan manis, lembut, dan ramah itu sudah
jadi istri Ian.
Pendampingnya?
Ornella
tersenyum sinis. Semua laki-laki yang pernah mendekatinya pada akhirnya kabur
begitu mengetahui dia memiliki seorang Mas Dino. Kecewakah dia? Dengan tegas
Ornella menggeleng.
Menukar
begitu banyak pelajaran yang sudah pernah dia petik dari Dino hanya demi
bersanding dengan laki-laki yang tidak bisa menerima kehadiran Dino sebagai
keluarganya? Tak akan pernah.
“Ella,
bobok.”
Sebuah
suara menyentakkan Ornella dari lamunannya. Rumah dinas itu sudah sepi. Semua
pasti sudah asyik meringkuk di tengah hawa dingin yang menggigit. Kecuali
Ornella, dan Dino.
“Mas
mau susu?”
Dino
mengangguk.
Ornella
tersenyum sambil bangkit dari duduknya. Dia menggandeng Dino ke dapur.
Dibuatnya dua gelas susu hangat. Segelas diminum Dino dengan nikmat, segelas
lagi meluncur masuk ke dalam perut Ornella.
Di
luar, kabut kembali turun seperti biasanya. Bertambah tebal, dan bertambah
tebal.
* * *
Empat
Waktu
di tempatnya berada sekarang terasa cepat sekali berlalu bagi Aji. Satu minggu
yang sibuk. Satu minggu yang nyaris penuh dengan pasien ‘tak penting’ yang
hanya ingin sekedar mengenalnya lebih dekat sebagai dokter yang baru.
Kadang-kadang Aji harus menahan tawa melihat ‘akting’ beberapa pasiennya.
Sabtu
yang mendung dan cenderung berkabut sejak dini hari. Aji mengendarai motornya
mengikuti jalan besar menuju kecamatan tetangga. Ketika mendekati sebuah
pertigaan, dilihatnya Ornella keluar dari halaman rumah dinas dengan
mengendarai motor maticnya. Aji membunyikan klakson pendek. Ornella menoleh
sambil menghentikan motornya.
“Siang,
Dok,” Aji tersenyum lebar.
“Siang
juga, Dok,” Ornella membalas dengan tertawa kecil.
Sekali
lagi Aji menikmati dekik di kedua pipi Ornella.
“Mau
ke mana, Dok?”
“Eh,”
Aji tersentak. “Ke kecamatan sebelah. Dokter Ella mau ke mana?”
“Aduh,
panggil Ella aja deh,” protes Ornella. “Mau ke kecamatan sebelah juga.”
“Daerah
tugasnya sampai sana?”
Ornella
menggeleng. “Mau ke tempat ortu.”
“Oh...
Ortunya orang sini?”
“Iya, Ayah asli sana. Ini lagi mau proses
pindah lagi ke sana. Mas Aji mau ke puskesmas?”
“Iya, sekalian ada perlu pribadi. Bareng aja
yuk!”
Ornella menimbang-nimbang sejenak sebelum
menyetujui ajakan Aji. Setelah memasukkan kembali motornya ke dalam rumah,
Ornella naik ke boncengan motor Aji.
“Kok tadi dibilang ortu mau pindah lagi ke
sana?” Aji menoleh sekilas.
“Iya, dulu Oma punya peternakan di sana.
Setelah Oma meninggal, peternakan dijual sama Ayah. Sekarang Ayah sudah mau
pensiun. Beberapa waktu yang lalu sama orang yang dulu beli, peternakan itu mau
dijual lagi ke Ayah. Kebetulan kami juga
lagi butuh, ya sudah diambillah sama Ayah.”
“Oh... “
“Nanti pulangnya aku nebeng lagi boleh nggak,
Mas?”
“Nggak nginep?”
“Nggaklah, takut ada pasien.”
Aji tertawa ringan. Betul kata Bidan Ika,
Ornella memang patut diacungi jempol dedikasinya. Tampaknya dia harus
benar-benar mencontoh sikap Ornella.
“Halo, bolehkah nebeng lagi?”
“Ya, ayo! Nanti aku jemput di rumah ortumu
deh!”
“Wah, makasih... Makasih... Makasih...,”
Ornella meneruskan dengan tawa lepas.
Aji tertawa lagi. Enak betul rasanya
mengobrol dengan gadis yang satu ini. Chiara? Terlalu menjaga image sebagai
gadis bersopan-santun tinggi. Tak pernah ada istilah tertawa lepas di kamus
Chiara. Membuat Aji kadang-kadang merasa aneh sendiri di samping Chiara.
Ah! Kenapa harus membandingkan dengan Chiara?
Aji menggeleng tak kentara. Sudah seminggu. Tak ada kontak sama sekali dengan
Chiara. Bahkan berpikir untuk menelepon Chiara barang sejenak pun Aji tak
pernah kepikiran. Aji sedang menikmati betul dunianya yang baru. Dunia
sederhana yang tak penuh dengan keruwetan ala muda-mudi kota.
“Mas, aku turun di situ saja.”
Aji sedikit tersentak. Wah! Sungguh bahaya mengendarai motor sambil melamun!
“Rumahmu?”
“Masih masuk lagi ke dalam, aku jalan kaki
aja.”
“Ya udah aku antar sekalian ke dalam.”
Aji membelokkan motornya masuk ke jalan
sempit menuju ke rumah Chiara. Di kanan-kiri mereka ada kebun apel. Sekitar 50
meter ke dalam, ada rumah besar berhalaman luas yang tampak bersih terawat,
tapi sepi.
“Kok sepi?”
“Lagi pada ke kandang kayaknya. Duduk dulu,
Mas.”
“Wah, makasih. Tapi aku mau ke puskesmas dulu
nih! Ya udah, nanti aku jemput di sini ya?”
“Nggak takut nyasar?” goda Ornella.
Aji tertawa. “Nggaklah, aku sering ke sini
kok. Pamit dulu ya?”
“Makasih ya?”
Ornella melambaikan tangan. Aji kembali melajukan
motornya. Keluar dari jalan kecil itu, dia berpapasan dengan sebuah Kijang
Innova. Mobil yang sama dengan yang dilihatnya hari Minggu yang lalu.
Tak berapa lama Aji sampai ke sebuah
pemakaman besar di tepi jalan raya kecamatan. Setelah membeli empat bungkus
bunga tabur, bersama motornya Aji masuk ke dalam kompleks pemakaman itu. Sampai
di bawah sebuah pohon rindang ia berhenti dan memarkir motor.
Pelan dia mendekati jajaran rapi empat buah
nisan. Di depan masing-masing nisan dia memanjatkan doa dan menabur bunga. Tiap
kali melakukan itu, ada goresan-goresan kesedihan yang masih saja muncul di
hatinya.
Dibacanya pelan-pelan tiap batu nisan empat
makam yang sudah terbangun apik itu. Suwoyo bin Wakiman. Kusrini binti Mukidin.
Eka Dewi Sinta binti Suwoyo. Ajisaka Catur Atmaja bin Suwoyo.
Aji menghela napas panjang. Tak pernah mudah
untuk mengenang kepergian-kepergian itu dengan hati lapang. Meninggal dengan
cara yang begitu mengerikan sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya.
Terperangkap di dalam rumah yang terbakar. Selalu membuatnya kelu. Tapi mungkin
itu sudah kehendak Tuhan, hiburnya dalam hati. Pada diri sendiri.
Tak mau lama-lama terhanyut dalam nuansa biru
di hatinya, Aji segera beranjak. Menuju ke rumah dinas dokter puskesmas. Di
sana dia melepas gundahnya. Mengobrol ringan dengan Dokter Rudy dan Indira,
istrinya. Bercanda dengan Elora, balita cantik Dokter Rudy. Menikmati makan
siang sederhana yang begitu nikmat hasil masakan Indira.
“Aku senang kamu mau kembali ke sini, Ji,”
ucap Dokter Rudy.
“Iya, Mas. Enak hidup di sini. Nyaman,
tenteram,” senyum Aji.
“Pacarmu gimana?” tanya Indira.
“Nggak tahulah, Mbak. Mau putus ya putuslah.
Makin dipikir kok aku makin pusing.”
“Ya... Cooling
down dululah. Sadari juga dia berasal dari kalangan mana,” ucap Indira
bijak.
“Iya, Mbak.”
Menjelang sore Aji pamitan. Tak lupa dia
mampir ke rumah Ornella. Mobil yang berpapasan dengannya tadi masih ada di
depan rumah. Dilihatnya pintu depan terbuka lebar dan ada banyak tawa dan suara
dari dalam rumah. Sebelum Aji melangkah mendekati rumah itu, kepala Ornella
melongok dari arah pintu.
“Eh, kirain lupa jemput,” tawa Ornella
terdengar renyah.
Aji tersenyum lebar. “Nggaklah. Paling kalau
lupa beneran aku balik lagi.”
Tawa Ornella pecah. “Masuk dulu yuk?”
Aji menurut. Di dalam Ornella
memperkenalkannya pada seluruh anggota keluarga. Obrolannya tak lama, karena
Ornella sudah mengajaknya kembali ke desa. Dengan diiringi banyak lambaian
tangan mereka meluncur pulang.
“Kenapa buru-buru banget sih?”
“Keburu sore nanti, Mas. Kabutnya itu lho!”
“Seneng ya punya keluarga lengkap?” celetuk
Aji sambil lalu.
“Ya gitu deh! Keluarga Mas?”
Aji menggeleng. “Sudah nggak lengkap lagi.
Aku ke sini tadi kan sekalian nyekar.”
“Lho! Kok nggak ngajak aku sih?”
“Kapan-kapan juga bisa.”
Hawa dingin mulai terasa. Padahal baru jam
empat sore. Kabut tipis perlahan mulai turun. Aji menghentikan motornya di
depan rumah dinas Ornella. Segera Ornella meloncat turun.
“Masuk dulu, Mas,” tawar Ornella.
Tapi Aji menggeleng. “Mulai berkabut. Aku
pulang dulu ya?”
“Makasih banyak ya, Mas.”
“Sama-sama.”
Ornella masuk ketika Aji sudah menghilang
dari pandangannya. Tapi tak lama kemudian terdengar lagi deru motor Tiger
memasuki halaman. Ornella mengerutkan kening dari balik jendela. Aji kembali
lagi. Ornella buru-buru membuka pintu.
“Kok balik?” senyum Ornella.
“Ehm, aku lupa minta nomor ponselmu,” Aji
terlihat kikuk.
Ornella bengong sejenak.
“Boleh?”
Ornella buru-buru mengangguk.
* * *
Lima
Setelah sibuk non stop tanpa sempat banyak
istirahat, akhirnya Ornella bisa juga mengambil libur dua hari. Dan Ornella
langsung merencanakan untuk pergi ke Surabaya. Menemui Ian dan Bertha, dan
Bimbim, keponakan tersayangnya. Dengan diantar sopir ayahnya, Ornella pun
meluncur ke Surabaya.
Dua minggu penuh dilalui Ornella dengan
kesibukan yang sangat padat. Entah kenapa bisa ada lima ekor sapi yang bunting
sungsang dan perlu ditolong saat melahirkan. Belum lagi ada wabah PMK (Penyakit
Mulut dan Kuku) melanda beberapa sapi di desa di ujung utara. Belum lagi para
peternak yang hobi berombongan melakukan IB (Inseminasi Buatan) untuk sapi-sapi
mereka.
Biasanya Ornella dibantu oleh Pak Harno,
seorang mantri hewan. Tapi dua minggu yang lalu Pak Harno terpaksa mudik ke
Magetan karena ibunya sakit parah, yang disusul dengan wafatnya sang Ibu
seminggu kemudian. Menunggu tujuh harian, Pak Harno baru kembali kemarin sore.
“Sudah, Bu Ella libur saja,” kata Pak Harno.
“Mosok kerja non stop begitu. Saya saja yang tangani, Bu.”
Dan Surabaya langsung menyambutnya dengan
hawa panas yang luar biasa. Ornella meminta sopir untuk membawanya langsung ke
butik milik Bertha. Kakak iparnya itu menyambutnya dengan meriah.
“Jiaaah! Dokternya sapi datang!”
Ornella tergelak. Dipeluknya kakak iparnya
itu. Terlihat sangat cantik dengan gaun hamil batiknya.
“Untung Mama tadi telepon, bilang kamu mau ke
sini. Kemarin sore baru ada barang baru datang. Cakep-cakep! Tuh, udah
kusisihkan buat kamu, ada di kantor.”
Ornella menurut ketika Bertha menarik
tangannya. Ada sejumlah gaun batik yang sangat elegan berjajar di gantungan
khusus. Ornella tertawa melihatnya.
“Kak, aku senang banget sih gaun batik, tapi
sekarang buat apa? Mau show di depan sapi?”
Bertha tergelak. “Disimpan dulu kan bisa.
Buat jaga-jaga kalau ada acara penting. Kamu betah di sana, El?”
Ornella mengangguk. “Asyik, Kak, di sana.”
“Udah ketemu sama siapa?”
Ornella mengangkat alisnya ketika mendengar
ada nada menggoda dalam suara Bertha. Bertha sendiri meringis jahil.
“Mama cerita apa?”
“Enggak,” Bertha menggeleng. “Cuma ada
seorang dokter gagah, kata Mama.”
“Ah, itu,” Ornella mengibaskan tangan. “Cuma teman
biasa...”
“Begitukah?”
Ornella tertawa lagi mendengar godaan Bertha.
“Dia baik. Itu aja.”
“Dia udah ketemu Dino?”
Ornella mengangguk.
“Any
comment?”
“Enggak,” Ornella menggeleng. “Nggak ada
komentar apa-apa. Belum ada, tepatnya. Terakhir ketemu ya pas aku nebeng dia ke
farm itu. Dua minggu lalu. Terus aku
sibuk banget. Cuma sempat SMS-an sesekali. Itu juga biasa aja.”
Bertha mengangguk-angguk mendengar penuturan
Ornella. “Kamu nggak apa-apa pulang ke farm?”
Ornella menggeleng. “Aku belum pulang lagi
kok. Cuma mampir bentar kapan hari itu. Nantilah, Kak, aku juga belum lihat
lagi rumah itu.”
Bertha mengerti. Tak mudah untuk
menghilangkan kenangan buruk masa kecil tentang pemandangan rumah terbakar,
dengan sahabat yang mengalami hal mengerikan di dalamnya. Ornella pernah
bercerita padanya. Tentang sosok teman kecil bernama Caka. Dan kenangan itu
selalu ada dalam hati Ornella. Tak pernah lekang oleh waktu.
“Jam segini Bimbim belum pulang?”
“Sabtu libur, Non...”
“Oh, iya ya! Kenapa aku tadi nggak langsung
ke rumah?”
“Percuma, nggak ada orang di rumah. Bimbim
diajak Mas Ian mancing.”
“Hah? Di mana?”
“Tauk deh! Asal nggak mancing perkara aja.”
Ornella terbahak.
Sambil ngerumpi Ornella memperhatikan
gaun-gaun batik di depannya. Semuanya bagus. Semuanya menarik. Semuanya indah.
Apalagi yang hijau lumut itu. Atau yang biru. Atau yang coklat gelap itu. Atau
yang kuning kecoklatan dengan aksen prada keemasan. Ah! Semua menarik!
Bertha mengambil sehelai gaun batik dari
gantungan. Gaun batik tulis terbuat dari sutra. Berwarna dasar merah bata yang
sangat-sangat elegan. Diulurkannya gaun itu pada Ornella.
“Nih, aku tahu seleramu.”
“Whoaaa...,” mata Ornella langsung berbinar
melihat gaun itu.
Bertha tersenyum penuh kemenangan. “Bungkus
ya?”
“Bayar gajian?”
Bertha tergelak. “Gratisss!”
“Beneran?”
“Iya. Apa sih yang enggak buat adik sendiri?”
Bertha mengedipkan sebelah mata.
“Yippy!” Ornella berseru kegirangan.
“Pulang yuk!” ajak Bertha. “Kamu menginap
kan?”
Ornella mengangguk. Setelah Bertha mengunci
kantornya mereka turun ke lantai 1, ke ruangan butik. Bertha bertegur sapa
sejenak dengan beberapa langganan yang sedang berbelanja. Ketika Bertha sedang
mengobrol, Ornella memutuskan untuk berkeliling butik sejenak.
Di sebuah sudut dekat etalase asesori,
seseorang menyerukan namanya. Ornella menoleh. Seorang gadis berambut coklat
terang sedang menatapnya sambil tersenyum lebar. Ornella ternganga.
“Chia? Chiara?”
Mereka tertawa sambil berpelukan.
“Kamu bukannya di Jakarta?” Ornella
melebarkan matanya.
“Iya, lagi ada kerjaan di sini. Kamu masih di
sini?”
“Enggak. Aku dinas di Pujon. Udah hampir dua
bulan.”
“Pujon?” Chiara membelalakkan matanya. “Pacar
aku juga di sana!”
“Hah? Nggak salah?”
Ornella ternganga. Dia tahu betul Chiara,
teman SMA-nya itu, bergaul dengan kalangan seperti apa. Dan pacar Chiara ada di
Pujon katanya?
“Iya, pacar aku dinas di sana. Nyebelin tahu
nggak, El! Masak sih, dia milih kerja di desa gitu. Padahal papa aku udah
nawarin dia pegang klinik di Bandung. Eh, dia nggak mau. Malah minggat ke
Pujon. Ini aku juga mau sekalian ke sana. Tauk deh, bisa nyampai apa enggak
aku...”
“Pacar kamu kerja apa?”
“Ya dokterlah, El. Kan udah kubilang tadi
ditawarin Papa pegang klinik tapi nggak mau.”
“Dokter Aji bukan?”
Chiara kembali membelalakkan matanya. “El,
kamu kenal?”
Ornella mengangguk bodoh. Aji kekasih Chiara?
Nggak salah?
* * *
Enam
Kadang-kadang Ornella heran sendiri memandang
pertemanannya dengan Chiara. Pada satu sisi mereka sama dan sebangun, di sisi
yang lain mereka berbeda 180 derajat. Mereka sama-sama anak pengusaha berada,
anak bungsu dan anak perempuan satu-satunya. Tapi keseharian mereka sungguh
bertolak belakang.
Ornella dibesarkan dengan terbiasa melihat
ibunya aktif di bidang sosial. Kehidupan mereka dibiasakan sederhana. Semua
kebutuhan akan dipenuhi, tapi bukan melulu soal merk dan benda-benda mahal. Sedangkan
Chiara sebaliknya. Hidup terbiasa manja sebagai putri bungsu, dan agak terlalu
mudah hidup mewah dan berhura-hura.
Mereka dipertemukan pada suatu peristiwa,
saat MOS SMA. Ornella tidak tega melihat Chiara dibentak-bentak sedemikian rupa
oleh senior ‘hanya’ karena pita rambutnya hari itu salah tempat. Harusnya pita
kuning di kuncir kanan dan pita hijau di kuncir kiri, tapi Chiara memakai
sebaliknya.
“Kak, tinggal ditukar saja letak pitanya saya
kira masalah akan selesai,” celetuknya berani.
Ornella dan Chiara tak pernah lupa betapa
besarnya mata senior itu ketika memelototi mereka. Akibatnya Ornella dihukum
bersama Chiara. Mencabuti rumput liar di taman selatan sekolah.
“Mustinya kamu nggak usah membela aku.
Jadinya kamu ikut dihukum,” celetuk Chiara.
“Nggak apa-apa. Lagian aku juga bosan di
kelas melulu,” Ornella nyengir bandel.
Dan kemudian mereka berkenalan, cekikikan
berdua, dan mendapat tambahan hukuman membersihkan WC. Sebuah pengalaman yang
tak terlupakan dan bisa mendekatkan mereka selama 3 tahun sekolah di SMA.
Sepertinya mereka memang bergaul dengan kelompoknya sendiri-sendiri, tapi
sesungguhnya banyak sekali hal yang hanya bisa diceritakan Chiara pada Ornella.
Dan mereka harus berpisah karena Chiara
melanjutkan kuliah di Jogja dan Ornella tetap di Surabaya. Sesekali mereka
masih tetap bertemu kalau Chiara pulang ke Surabaya. Tapi ketika kemudian
Ornella makin sibuk dengan kuliah dan kegiatan sosial bersama ibunya, hingga
mereka kehilangan kontak ketika akhirnya Chiara pindah lagi ke Jakarta untuk
bekerja.
“Aku kangen banget tahu, sama kamu,” ucap
Chiara sambil mengaduk Strawberry Shake-nya.
“Kayak mimpi aja ketemu sama kamu lagi.”
Ornella tertawa ringan. Rasa itu juga yang
membuat dia langsung menyetujui ajakan Chiara untuk bertemu di Cafe Tosca Sabtu
sore itu. Melepas kangen. Menyediakan telinganya untuk mendengarkan curahan
hati Chiara yang hanya boleh didengarkan oleh Ornella.
“Terus gimana sih ceritanya kamu ketemuan
sama Aji itu?”
“Mas Aji itu sohib Bang Cornel. Seringlah ke
kost aku. Kan aku satu kost sama Abang.Ya gitu deh, tahu-tahu jadian.”
Ornella tersenyum lebar melihat ada semu
merah di kedua pipi Chiara.
“Tapi belakangan ini hubunganku sama dia jadi
rada rumit, El. Gila aja rasanya, dia masa depannya cerah di klinik cabang
punya papa aku, tahu-tahu malah minggat ke desa gitu. Jauh lagi!”
“Nggak desa-desa amat sih sebenarnya, Chi.
Kamu aja yang kelewat under estimate.”
“Aduh... Under
estimate gimana coba? Desa ya tetap desalah, El. Mungkin kamu memandang
biasa. Tapi aku?” Chiara menghembuskan napasnya, kesal.
“Ya cobalah ke sana dulu. Besok sore aku
balik ke sana. Kamu bisa ikut aku kalau mau. Kamu juga bisa nginep di farm, kalau nggak mau di rumah dinasku.
Anggap aja liburan ke villa. Gimana?”
Chiara menimbang-nimbang
sejenak. Ini seperti mimpi! Tampaknya berangkat sendirian ke tempat tugas Aji
adalah hal yang ‘mengerikan’. Dia tak tahu medan. Hanya tahu nama desa dan
kecamatan tempat Aji bertugas. Dan Ornella seolah-olah malaikat penolong yang
dikirimkan Tuhan untuknya. Lalu kenapa harus menolak?
“Oke deh, aku ikut kamu.”
Mereka toss sambil tertawa. Sambil menikmati menu andalan kafe itu mereka
bercerita tentang banyak hal. Chiara tampak prihatin melihat Ornella masih juga
sendiri.
“Aku tuh suka heran sama
orang-orang,” ucap Chiara setengah termenung. “Kalau dipikir, mana ada sih
orang mau dilahirkan kayak Mas Dino gitu? Kayak gitu kok jadi alasan mundur
dari hubungan sama kamu. Enggak banget deh!”
“Ya... Kita kan nggak bisa
berharap orang punya pikiran yang sama kayak kita, Chi. Buat aku sih malah
kebetulan, jadi bisa melihat siapa yang bisa terima aku apa adanya.”
Chiara manggut-manggut.
Menyetujui ucapan Ornella.
“Eh, rumahmu jauh nggak sama
rumah Mas Aji?”
“Lumayan sih, dia agak di
tengah desa. Dekat kantor desa. Kalau tempatku agak minggir dikit, dekat
pasar.”
“Kamu betah tinggal di sana,
El?”
Ornella membalas tatapan
ingin tahu Chiara dengan senyum lebar.
“Ya betahlah. Orang-orang di
sana baik-baik banget kok. Nggak terlalu pelosok juga kan tempatnya. Apalagi
sekitar 2 mungguan yang lalu Ayah, Bunda, sama Mas Dino resmi pindah ke sana.
Lain kecamatan sih, tapi dekat. Oma dulu punya farm di sana. Sekarang farm itu dipegang lagi sama Ayah.”
“Lha, terus perusahaan
ayahmu?”
“Dipegang sama Mas Ian. Udah
waktunya, Chi.”
“Eh, di sana Mas Aji ada
gebetan nggak?”
“Hah?” Ornella tertawa geli.
“Ya mana aku tahulah, Chi. Ketemu juga baru berapa kali. Itu juga nggak sampai
ngerumpi gimana gitu.”
Chiara nyengir malu.
“Chi, kamu serius sama Mas
Aji-mu itu?”
“Ya iyalah! Susah tahu cari
cowok yang sabarnya kayak Mas Aji itu. Ya aku sering keterlaluan juga sih, El.
Cuma gimana dong, aku masih suka juga clubbing
sama temen-temen kantor aku. Kalau udah jenuh sama kerjaan kan perlu juga
santai sejenak. Aku tahu Mas Aji nggak suka. Tapi aku belum bisa maksain diri
lepas dari itu.”
“Tapi kamu nggak aneh-aneh
kan?”
“Aneh-aneh gimana?”
“Ya... Minum, rokok...”
“Enggak. Aku nggak pernah
miras, rokok, narkoba, dan lain-lain. Suer!”
“Iya... Percaya... Ya kalau
menurutku sih, kamu perlu ngobrol banyak sama dia, soal masa depan kalian.
Dengar dulu apa maunya. Kamu sendiri juga jangan terlalu banyak menuntut
sementara kamu sendiri nggak suka dituntut.”
Chiara menghela napas
panjang. Ornella adalah orang ketiga yang mengatakan hal yang sama. Dan
sepertinya itulah pandangan obyektif orang lain tentang dirinya. Terlalu banyak
menuntut untuk dipahami. Karena terlalu manja.
“Kita udah dewasa, Chi.
Kalau memang ada laki-laki yang bisa kamu cintai dan mencintai kamu,
pertahankan itu. Coba deh ingat aku yang nggak seberuntung kamu.”
Ada senyum di wajah Chiara.
Ditatapnya Ornella dengan binar-binar menggoda.
“Kayaknya aku tahu laki-laki
yang cocok buat kamu deh, El. Dia dokter hewan juga.”
“Hahaha... Jangan-jangan dia
sama borjunya kayak kamu?”
Chiara cemberut. “Ih! Aku
serius, ah!”
“Hehehe... Siapa?”
“Mas Soni, kembarannya Mas
Aji.”
“Hah? Mas Aji kembar?”
“Iya, tapi kayaknya nggak
identik deh, mirip tapi nggak persis banget wajahnya.”
“Ooo...”
“Nggak kebayang kita bisa
punya mertua yang sama,” Ornella cekikikan.
“Ah, udah yatim piatu kok.
Ada sih Om sama tantenya Mas Aji di Jogja sana.”
“Ooo...”
“Jadi ceritanya Mas Aji itu
diambil tantenya itu dari bayi. Diangkat anak, gitu. Terus ortu mereka
meninggal, sekitaran Mas Aji dan Mas Soni kelas 4 SD. Mas Soni sekalian diasuh
tantenya itu. Sampai jadi orang semua.”
“Kasihan juga ya?”
“Mana meninggalnya tragis
banget, El. Kebakaran rumah. Hih! Ngeri kalau denger cerita Mas Soni.”
“Ooo...”
“Mas Soni itu memang harus
dibantuin cari jodoh deh, El! Susah move on orangnya. Bayangin, dia itu masih
terkenang-kenang sama first love-nya.
First love dari jaman jebot, jaman
dia masih kicit, masih SD. Coba?”
Ornella tertawa. “Lha, cowok
kayak gitu mau kamu tawarin ke aku? Udah deh, Chi. Aku nggak punya waktu buat
ngurusin cowok gituan.”
“Eit! Jangan nolak dulu. Eh,
kalau nggak salah kecilan dia di Pujon juga lho!”
“Masak sih?” Ornella
mengangkat alisnya.
“Beneran.”
Mendadak ada yang berdesir
dalam hati Ornella. Pujon? Kebakaran? Saat SD? Ah, tapi tak mungkin. Caka tak
punya kembaran. Cuma punya satu kakak
perempuan dan satu adik laki-laki. Mbak Wiwik dan Jojo. Lagipula...
Ornella menelan ludah. Caka
ikut jadi korban dalam kebakaran itu. Bertemu Caka kembali hanyalah sebuah
mimpi.
* * *
Tujuh
Aji hanya bisa terbengong
melihat siapa yang berada di ruang tunggu klinik ketika dia keluar dari ruang
periksa. Seulas senyum menyambutnya. Membuatnya ternganga.
“Mas Aji...”
Aji tersentak. “Chia?
Chiara?”
“Iya, ini aku,” Chiara
melebarkan senyumnya.
Aji berdiri kikuk. Memeluk
Chiara? Ah, ini di mana? Akhirnya dia
cuma bisa meraih kedua tangan Chiara dan membawanya ke pipi.
“Kamu gimana bisa sampai di
sini?”
“Rahasia dong...,” Chiara
menggoda Aji.
Aji menyipitkan kedua
matanya.
“Oke! Oke! Aku ke sini
bareng Ella. Kemarin sore, menjelang malam. Inginnya langsung ke sini, tapi
sama Ella menginap dulu di farm
ayahnya. Tengah malam Ella dijemput asistennya, ada sapi mau beranak. Dan ini
tadi aku kangen-kangenan dulu sama Om, Tante, dan masnya Ella. Baru aku diantar
sopirnya ke sini.”
“Ella?”
“Iya, Ella. Kenal kan?”
“Ella yang dokter hewan
itu?”
Iya. Memangnya ada berapa
Ella di sini?”
Aji menggeleng. “Kamu apanya
Ella?”
“Aku sohibnya waktu SMA.”
“Kok kamu nggak pernah
cerita?”
“Ya aku pikir ngapain
diceritain, nggak bakal ketemu juga. Eh... Nggak tahunya...”
Aji menatap binar di mata
Chiara. Masih terkaget-kaget.
“Kok kayaknya nggak senang
gitu sih, melihatku datang?” Chiara mengerutkan kening.
“Ehm... Ya senanglah! Aku
cuma kaget saja. Chiara, di sini. Ajaib!”
Chiara merengut manja. Aji
mengajaknya masuk ke ruang praktek. Dibiarkannya pintu terbuka. Di dalam mereka
duduk berhadapan, dipisahkan oleh meja.
“Kamu gimana bisa sampai ke
sini, Chi?”
“Aku kangen, Mas. Sengaja
ambil cuti. Aku dapat alamat Mas Aji dari Mas Soni. Sebetulnya Mas Soni mau
antar aku, tapi partner-nya lagi
jalan ke Singapore. Jadi Mas Soni nggak bisa ninggalin pet shop dan kliniknya.”
“Terus kamu ketemu Ella? Di
mana?”
“Di Surabaya. Aku memang
nggak langsung ambil cuti. Kebetulan aku ada tugas di Surabaya, ketemu klien.
Sekalian disambung cuti. Aku ketemu Ella lagi di butik. Ternyata butik itu
punya kakak iparnya. Ya udah, sorenya ketemuan di kafe, kemarin aku ikut dia ke
sini.”
“Ooo...”
“Kok cuma ‘ooo’ doang sih?”
Aji tertawa. “Beneran aku
masih kaget lihat kamu tahu-tahu nongol di sini.”
“Chiara muncul di desa.
Enggak banget kayaknya ya?”
“Terus kamu nginep di mana?”
“Kayaknya malem ini nginep
di rumah Ella, Mas. Nginep di rumah Mas nggak mungkin kan?”
“Iya sih... Tapi kamu mau ke
rumahku dulu?”
“Iyalah...”
Dan Aji pun membawa Ella ke
rumahnya. Rumah dinas mungil nan sederhana di belakang klinik. Aji memanaskan
susu segar yang diambilnya dari dalam kulkas.
Setengah mati Chiara menahan
diri untuk tidak berkomentar melihat kondisi Aji dan rumahnya. Rumah itu memang
sangat bersih dan rapi. Tapi tetap saja area untuk pembantu di rumahnya di
Jakarta masih jauh lebih bagus daripada ini. Menghabiskan waktu untuk
mendampingi Aji di tempat ini? Oh, no!
“Enak,” Chiara meneguk susu
hangatnya.
“Gratis lagi!” senyum Aji.
“Kok bisa?”
“Iya, dapat sehari seliter
dari orang klinik. Kadang malah lebih. Nggak mau beneran dibayar.”
“Jaman sekarang masih ada
orang kayak gitu?”
Aji menatap Chiara sejenak.
“Ya adalah, banyak. Di sini ketulusan nggak melulu bisa diukur dengan uang. Kok
heran gitu sih?”
Chiara meletakkan mugnya.
“Kok Mas jadi sinis begitu? Dan sepertinya Mas nggak antusias aku datang.
Kenapa?”
Ya,
kenapa? Aji tercenung.
Entah kenapa ketenangannya
di sini terasa terganggu dengan kehadiran Chiara. Atau sesungguhnya dia sudah
malas dikejar-kejar berbagai pertanyaan ini dan itu dari Chiara? Lalu ke mana
hilangnya rasa rindu yang sempat dirasakannya terhadap Chiara pada hari-hari
pertama dia berada di sini?
Chiara masih menatap Aji,
menunggu jawaban. Aji menggeleng pelan.
“Entahlah, Chi. Aku hanya
merasa kita sudah tak seperti dulu lagi.”
Chiara terhenyak.
“Apa salahnya sih, aku ingin
kehidupan kita baik di masa mendatang? Aku percaya Mas bisa mengembangkan
klinik Papa yang di Bandung. Kita juga nggak terlalu jauh. Aku juga bisa pindah
ke Bandung, tukar tempat dengan Bang Cornel. Apa susahnya sih, Mas?”
Aji menatap Chiara tajam.
“Apa susahnya? Itu semua
keinginanmu, Chi. Bukan keinginanku. Keinginanku adalah aku ingin membaktikan
ilmuku pada orang yang membutuhkan. Dan tempatku di sini, bukan di klinik
papamu. Entah nanti. Tapi setidaknya sekarang aku ingin berada di sini.”
“Kenapa?”
“Karena aku lebih tenang
berkarya di sini, Chi. Setidaknya aku ingin sedikit saja mengenal akarku.
Akarku di sini. Di daerah ini. Setidaknya dulu sekali kehidupanku berawal dari
daerah sini.”
“Kenapa Mas tidak realistis saja seperti Mas Soni? Sama-sama berurusan dengan
pasien, tapi posisinya jauh lebih enak Mas Soni?”
“Jangan pernah bandingkan
aku dengan Soni!”
Chiara kaget mendengar suara
keras Aji. Belum pernah Aji sekeras ini. Biasanya Aji hangat, ramah, sabar.
Kenapa sekarang Aji berubah seperti ini? Dan Aji menyadari kesalahannya.
“Maafkan aku, Chi. Maafkan
aku. Aku sedang menata hidupku di sini. Baru beberapa hari. Tapi aku merasa
tenang di sini. Setidaknya berilah aku kesempatan berpikir. Memikirkan kembali
semuanya yang sudah terjadi pada kita. Kita sudah terlalu banyak selisih
pendapat akhir-akhir ini. Kita perlu cooling
down, Chi.”
Chiara terdiam. Serasa ada
alarm yang berbunyi di dalam kepalanya. Instingnya mengatakan bahwa hubungannya
dengan Aji akan segera berakhir. Sungguh, dia tak rela bila hubungan itu
berantakan sedemikian rupa begitu saja. Mengalah sementara? Mungkin itu yang
harus dia lakukan. Supaya tidak kehilangan Aji.
“Halo!”
Keduanya tersentak.
Terdengar pintu diketuk. Ornella berdiri di ambang pintu. Dengan senyumnya yang
meruntuhkan dunia. Setidaknya dunia Aji.
“Eh, aku mengganggu?”
“Enggak, enggak,” jawab Aji
cepat. “Masuk, Mbak El.”
Ornella melangkah masuk.
“Aku ingin ajak kalian turun
ke Batu, ada warung ketan yang asyik di sana. Mau?”
Aji menoleh ke arah Chiara.
Masih ada segurat mendung di sana. Chiara balik menatapnya. Penuh permohonan.
Aji kembali menatap Ornella.
“Boleh deh! Aku mandi dulu.
Chi, mau mandi sekalian di sini?”
Chiara menggeleng. “Aku di
rumah Ella saja.”
“Ya udah, nanti aku ke sana.
Mbak Ella dari rumah tadi?”
Ornella menggeleng. “Aku
lagi patroli di sekitar sini. Kupikir Chia pasti ada di sini. Jadi aku mampir.”
“Ya udah, kita pulang ke
rumahmu dulu, El.”
“Oke. Mas Aji, pulang dulu
ya? Sampai ketemu di rumah.”
Aji mengangguk.
Sesaat setelah menutup
pintu, Aji bersandar letih. Kenapa hatinya serasa tertutup mendung ketika
melihat ada Chiara datang? Seseorang yang seharusnya justru menceriakan
harinya? Dan kenapa mendung itu serasa tersibak begitu saja melihat seulas
senyum di bibir Ornella?
Gila! Aji menggeleng
kuat-kuat. Mendua? Jangan pernah!
* * *
Delapan
Sambil menikmati seporsi
ketan bubuknya, Ornella mengamati Aji dan Chiara. Dingin. Itulah suasana yang tercipta di antara Aji dan Chiara. Lebih tepatnya, sikap Aji terhadap Chiara. Diam-diam
Ornella mengeluh dalam hati.
Sekian tahun mengenal
Chiara, Ornella segera tahu bahwa sebetulnya cinta Chiara pada Aji tidak
main-main. Chiara bukan type
perempuan yang sampai mau kelayapan ke tempat asing hanya demi menemui orang
yang dicintainya kalau cinta itu hanya seujung hati. Cinta Chiara jauh lebih
dalam daripada itu. Dan melihat sikap Aji terhadap Chiara, Ornella jadi sakit
hati sendiri. Tapi dia berusaha menahan diri untuk tidak ikut campur. Walaupun
sangat ingin.
“Aku belum pernah turun ke
sini,” celetuk Aji.
“Selama dinas aku juga
jarang kok,” kata Ornella. “Baru dua kali ini. Tapi ke sini sering sih, apalagi
waktu mas Ian masih bujangan dulu.”
“Jauh amat?” Chiara
terkekeh.
“Iseng aja,” Ornella
menyambungnya dengan tawa.
“Kamu sering ketemu Soni?”
tiba-tiba Aji mengalihkan pembicaraan, menatap Chiara sekilas.
“Lumayan. Aku kan langganan pet shop-nya. Emangnya Mas Soni nggak
pernah cerita?”
Aji menggeleng. “Aku juga
nggak pernah nanya.”
Sekilas Ornella menangkap
ada gurat kecewa di wajah Chiara. Hm...
Ornella berdiri.
“Aku tinggal kalian di sini
ya? Jangan ke mana-mana. Aku mau belanja sebentar.”
Dan sebelum Aji atau Chiara
berhasil menahan, Ornella sudah menghilang.
“Aku mau menjodohkan Ella
dengan Mas Soni, gimana?” ucap Chiara.
“Kamu ini... Hubungan kita
yang harus diurusi sekarang, bukan Soni, bukan Ella.”
Chiara melengak demi
mendengar suara Aji. Berdengung rendah, tapi terdengar begitu dingin.
“Lalu Mas Aji maunya
gimana?” Chiara berusaha sabar.
“Aku kan sudah bilang, kita
perlu waktu untuk cooling down,
introspeksi. Setidaknya kasih tahulah kalau mau datang ke sini. Nggak dadakan
seperti ini. Jadi merepotkan banyak orang.”
Chiara terdiam. Ya,
kata-kata Aji banyak benarnya. Tapi mau bagaimana lagi? Sungguh, dia rindu pada
Aji.
“Aku rindu padamu, Mas.”
Aji menatap Chiara, dalam.
Benar. Dia menemukan tumpukan kerinduan di sana. Tapi entah kenapa hatinya
begitu keras kali ini. Enggan terbujuk oleh sorot mata sarat kerinduan itu.
“Tapi bukan berarti harus
merepotkan Ella dan keluarganya seperti ini, Chia.”
“Mungkin benar mereka merasa
repot, tapi setidaknya peduli dengan apa yang kurasakan,” jawab Chiara. Getas.
Aji tercenung.
“Aku ingin tahu keadaanmu,
Mas. Tapi gimana? Nomor ponselmu nggak aktif. Emailku juga nggak satu pun kamu
balas. Aku khawatir.”
“Aku bukan anak kecil yang
harus kamu khawatirkan, Chia. Nyatanya aku baik-baik saja di sini. Ini
pilihanku, dan aku senang berada di sini. Kapan sih, kamu mau sedikit saja
berusaha untuk mengerti?”
Seketika Chiara paham. Aji
benar-benar tak ingin diganggu. Dan rasanya datang ke tempat ini adalah
kesalahannya yang terbesar. Dengan sedih ditatapnya Aji.
“Baiklah, aku akan pulang
besok. Tapi aku sungguh berharap Mas masih mau berbaik hati untuk memikirkan
kelanjutan kita.”
Aji menatap Chiara. Lalu ke
mana perginya getar-getar yang dulu pernah ada? Getar-getar yang selalu muncul
walau dia hanya menatap Chiara? Aji mengerjapkan mata.
“Tinggallah, Chia. Mungkin kamu bisa
mengerti kenapa aku mau bekerja di sini. Kamu punya cuti berapa hari?”
“Masih ada seminggu lagi.”
“Kamu mau tinggal, atau tetap mau
pulang?”
Chiara menatap Aji. Ada ketulusan dalam
mata Aji. Maka dia pun memutuskan untuk mengangguk.
“Baiklah, aku akan tinggal. Di rumah
Ella. Kalau dia nggak keberatan.”
Dan Ornella menyambut dengan antusias
maksud Chiara menginap sementara waktu di rumah dinasnya.
“Kalau kamu nggak betah sendirian di
rumahku sementara aku keluyuran pacaran sama sapi-sapi, teleponlah Bunda, Chi,
biar Bunda kirim sopir untuk menjemputmu. Kamu bisa main ke farm.”
“Nggak usah merepotkan gitulah, Chiara
bisa bantu-bantu aku di klinik. Tapi itu juga kalau dia mau,” Aji melirik
Chiara sekilas.
Tak urung hati Chiara bagai tersengat
mendengar nada bicara Aji.
“Ya kita lihat nantilah,” jawab Chiara,
mencoba tersenyum.
* * *
Dalam perjalanan pulang, sepi melingkupi
bagian dalam mobil yang dikendarai Ornella. Aji dan Chiara tak banyak bicara.
Ornella sendiri berusaha konsentrasi pada jalan berliku-liku di depannya.
Apalagi kabut tipis mulai turun.
“Benar juga Mbak Ella nggak mengijinkan
aku menyetir. Nyerah deh, dengan kondisi jalan seperti ini,” celetuk Aji.
“Iya, Mas. Aku yang lebih kenal medan
aja harus super waspada.”
“Kok tadi nggak ajak sopir aja sih, El?”
“Biarin dah, enakan gini keluar bertiga,
Chi.”
“Aku nanti nginep di farm aja ya, El? Soalnya barangku masih
di sana semua. Besok pagi aku boyongan ke rumahmu.”
“Oke, sip!”
Ornella mengambil jalan lurus di
petigaan dekat rumah dinasnya. Jalur menuju ke rumah orangtuanya. Setelah
mengantarkan Chiara, Ornella dan Aji kembali ke desanya. Kali ini Ornella membiarkan Aji memegang setir.
“Mm... Maaf kepo, tapi kulihat ada yang
nggak beres dengan kalian. Am I right?”
ucap Ornella hati-hati.
Aji menghela napas panjang. “Kukira kamu
sudah tahu,” jawabnya pendek.
“Iya sih, Chia udah cerita. Tapi kan itu
versinya, dan aku kenal Chia.”
“Jadi aku harus gimana? Aku senang di
sini. Tapi tahu sendiri kan Chia seperti apa?”
“Ya... Aku sih nggak bisa kasih advis,
karena aku juga nggak punya pengalaman rumit begini. Cuma pesanku, kalian sudah
mulai dengan cara yang indah, lanjutkan semuanya itu dengan cara yang indah
juga.”
Aji mengerutkan kening. “Susah ngomong
sama Chia.”
“Memang sih, tapi bukan berarti nggak
bisa.”
“Ya, akan kucoba. Makasih ya, buat
semuanya.”
“Yup,” Ornella menjawab ringan.
Setelah pindah lagi ke belakang kemudi,
Ornella meluncurkan innova-nya, pulang. Aji menunggu hingga mobil Ornella
menghilang di tikungan.
“Oh... Jadi dia, alasanmu minggat?”
Aji berbalik cepat. Sebuah senyum lebar
menyambutnya. Dia terperangah sejenak.
“Hei! Kapan kamu datang? Bisa-bisanya
nggak kasih tahu?”
“Dari jam 6 tadi. Nggak tahunya yang
punya rumah malah asyik keluyuran dengan perempuan cantik. Yakin dia manusia?
Bukan bangsa lelembut?”
Aji terbahak. “Dia dokter hewan di
sini.”
“Wah, teman sejawat. Kenalin ya?”
“Iya, besok aja, Son. Yuk masuk!”
* * *
Sembilan
Pagi-pagi Chiara sudah
muncul di depan rumah dinas Aji dengan wajah segar. Dan dia langsung terbengong
begitu melihat siapa yang membuka pintu.
“Mas Soniii...?!”
Soni tertawa lebar.
“Kok bisa sampai di sini?
Katanya pet shop nggak ada yang jaga?
Mas Soni bohong ah!” Chiara cemberut.
“Lho, siapa yang bohong?
Olaf memang ke Singapore kok, begitu dia balik, ya ganti aku yang pergi. Aku
takut kamu kenapa-napa. Bisa digoreng Aji, aku.... Untunglah kamu bisa selamat
sampai di sini.”
“Ya memang udah dikasih
jalan aku bisa sampai ke sini,” Chiara melebarkan matanya.
“Kamu mau bantuin Aji di
klinik ya? Latihan jadi nyonya dokter?” goda Soni. “Emang betah?”
“Dih! Nyebelin!”
“Siapa, Son?” Aji muncul
dari dalam. “Oh... Kamu, Chia. Dah lama?”
“Baru aja kok.”
“Kamu naik apa ke sini?”
“Tadi subuh diantar sopir
Ella naik motor, sekalian ambil mobil yang kita pakai semalam. Terus aku
sekalian diantar ke sini.”
“Hm... Merepotkan lagi kan?”
Chiara sudah membuka mulut,
tapi kemudian dia menutupnya lagi. Tak tahu harus menjawab apa. Kenyataannya,
memang dia sudah merepotkan Ornella sekeluarga. Soni paham ada sesuatu yang
panas. Dicobanya untuk menengahi.
“Daripada aku cuma
bengong-bengong di sini sementara kamu dinas, boleh nggak aku minta ditemenin
Chiara jalan-jalan di sekitar sini?”
Aji menatap Soni sejenak
sebelum mengangguk. “Ya udah, kalian menikmati libur aja yang enak di sini. Aku
kerja dulu ya?”
Tanpa menunggu jawaban, Aji
sudah melangkah pergi.
“Ya gitu deh...”
Soni berbalik. Ada kepedihan
dalam suara Chiara.
“Ya udah,” Soni menepuk
ringan bahu Chiara. “Aku mandi dulu, setelah ini kita cari tempat yang enak
buat ngobrol.”
Chiara mengangguk.
* * *
Satu-satunya tempat yang
nyaman buat Chiara adalah rumah dinas Ornella. Dan ke sanalah dia mengajak Soni
pergi. Tapi sebelumnya Soni mengajaknya pergi ke kecamatan sebelah. Chiara
menurut tanpa banyak cingcong.
“Emang Mas Soni tahu
jalannya?”
“Ya tahulah. Yuk!”
Chiara pun naik ke boncengan
tiger milik Aji. Benar. Soni tampak menguasai betul medan yang ditempuhnya.
Chiara pun mengenali jalan itu.
“Ini kan jalan ke farm milik ortu Ornella,” celetuknya.
“Siapa?”
“Ornella, Ella, yang mau aku
kenalin ke Mas Soni.”
“Oh... Namanya Ornella?
Bagus.”
“Cantik juga lho...” Chiara
menyambungnya dengan tawa.
“Semua perempuan cantik,”
jawab Soni, sok bijak.
Langit di atas tersaput
mendung kelabu muda. Angin yang berhembus cukup kencang untuk menggoyangkan
pucuk-pucuk pinus. Terasa dingin.
Sampai di belokan terakhir,
Soni menghentikan motor. Ditunjuknya sesuatu.
“Rumahku dulu di situ, Chi.”
“Lho! Dekat farm ortu Ella.”
“Yang mana?”
“Tuh!” Chiara menunjuk jalan
kecil di dekat mereka, tepat di sebelah tempat yang ditunjuk Soni, sebuah rumah
kecil yang tegak berdiri.
Soni mengerutkan kening. “Farm itu dulu milik Ibu Sepuh,” gumamnya
lirih. “Nonik...”
“Apa, Mas?”
“Eh, enggak, enggak. Udah
yuk, kita ke makam dulu ya?”
Chiara mengangguk.
Tak lama kemudian mereka
sudah sampai ke sebuah pemakaman. Chiara mengerti, keluarga Aji dan Soni
dimakamkan di sana. Ayah, ibu, kakak, dan adiknya. Soni tampak terpekur lama di
depan keempat makam itu. Chiara menungguinya dengan sabar.
“Akhirnya aku bisa kembali
lagi ke sini,” gumam Soni. “Hanya saja semuanya nggak lagi sama.”
Chiara tak bisa mengatakan
apa-apa. Dia hanya menepuk lembut bahu Soni. Soni berdiri. Mereka kemudian
berjalan beriringan kembali ke motor.
“Mas, first love-mu itu memangnya udah nggak pernah ketemu lagi?”
Soni tertawa masam. “Dari
semua pembicaraan penting yang harusnya kita kupas, kenapa harus dia yang kamu
senggol duluan?”
“Yah... Jarang aja nemu
cowok sentimentil kayak Mas Soni. Segitu eratnya menggenggam kenangan masa
kecil.”
“Aku punya keyakinan suatu
saat akan ketemu dia lagi, Chi. Nonik. Namanya Nonik. Dia cucu Ibu Sepuh yang
dulu punya farm yang kamu tunjuk tadi
itu.”
“Lho! Berarti Nonik
saudaranya Ella? Kan farm itu dulu
milik omanya Ella!”
Mata Soni melebar menatap
Chiara. “Serius?”
Chiara mendorong bahu Soni.
“Buruan ke tempat Ella!”
* * *
Hampir tengah hari ketika
mereka sampai di rumah dinas Ornella. Mbok Wuri menyuruh mereka masuk, tapi
mereka tetap menunggu di teras. Ornella belum pulang. Biasanya tengah hari dia
memang pulang untuk makan siang di rumah.
Ada yang bergetar hebat
dalam dada Soni. Entah kenapa. Tapi kenyataan bahwa Ornella adalah cucu Ibu
Sepuh sungguh memberinya harapan yang menggunung. Nonik. Pada akhirnya dia bisa
menemukan lagi jejak gadis kecil bermata bulat bening itu. Pasti Ornella kenal
Nonik.
Nonik. Seraut wajah mungil
yang tak pernah bisa dia lupakan. Gadis kecil yang tak enggan bermain di bawah
terik matahari dan di sekitar kandang sapi. Gadis kecil yang telah membawa
pergi sepotong hatinya di masa kecil yang indah.
Sebuah motor meluncur masuk
ke halaman rumah itu. Chiara langsung menyambutnya dengan wajah cerah. Dia
langsung berbisik-bisik bahkan sebelum Ornella melepaskan helmnya.
“El, itu kembaran Mas Aji
yang kemarin itu kuceritakan. Dia tahu-tahu datang. Ayo, aku kenalin.”
Ornella mengikuti langkah
Chiara.
Laki-laki tinggi tegap itu
berdiri dari duduknya di teras. Wajahnya tak mirip Aji. Matanya terlihat begitu
teduh. Membuat Ornella seketika tercekat. Dunianya seakan berputar lagi ke masa
lalu.
Soni pun tak kalah
tercengang. Dadanya berdegup kencang. Gadis mungil itu... Mata bulat itu...
Tetap sama. Tak pernah berubah.
“Nonik?”
“Caka?”
Dan waktu seakan berputar
kembali pada sepertiga pagi kehidupan mereka. Waktu yang lalu. Waktu yang
begitu indah. Seiring peluk erat yang seakan tak bakal terlepas.
Chiara ternganga.
* * *
Sepuluh
“Cak, aku kira kamu
sudah...”
Ornella tak bisa menahan
deraian airmatanya. Dia sudah tak lagi mampu menanti, karena dikiranya Caka
sudah pergi ke Surga. Tapi di saat harapan itu sudah mencapai titik minus,
tiba-tiba orang yang diimpikannya sudah ada di hadapannya. Begitu saja.
“Aku sedang berlibur ke
rumah Aji waktu kebakaran itu terjadi, Nik.”
Ada butiran bening juga di
mata Soni. Sosok yang sekian tahun dia rindukan kehadirannya kini sudah tepat
ada di depan matanya. Tanpa pendahuluan. Membuatnya sejenak tenggelam dalam
lautan euforia yang dalam.
“Kamu ke mana saja, Nik?”
desah Soni.
“Oma meninggal. Dalam
pikiranku kamu juga udah nggak ada. Apa lagi coba, alasanku berada di sini?”
“Setahuku farm Ibu Sepuh dibeli Paklik Hamid?”
“Ya, tapi dibeli kembali
oleh ayahku beberapa hari yang lalu.”
“Dino?”
“Ada... Farm itu dibeli ayahku untuk Mas Dino.”
“Ya, Tuhan... Ini
benar-benar kamu, Nik...”
“Jadi bapakmu, ibumu, Mbak
Wiwik, Jojo...”
“Ya, Nik, mereka semua pergi
dalam kebakaran itu. Aku sendirian sekarang, cuma sama Aji dan om-tanteku.”
“Cak... Bahkan aku nggak
tahu siapa namamu yang sebenarnya!”
Ornella tertawa dan menangis
sekaligus. Persahabatannya dengan Caka terlampau murni. Bahkan nama sebenarnya
pun seolah tak penting lagi. Soni juga tertawa.
“Aku juga cuma tahu nama
panggilanmu Nonik, seperti pembantu Ibu Sepuh dulu memanggilmu. Ternyata namamu
Ornella. What a beautiful name! Jadi
nama lengkapmu?”
“Ornella Berliana. Kamu?”
“Ajisaka Tri Wicaksana.”
“Mas Aji?”
“Ajisaka Dwi Pawaka.”
“Wah, pakai Ajisaka semua?”
Soni mengangguk. Ornella
terdiam. Tak tahu harus bicara apa lagi. Dia cuma bisa menatap Soni, yang balik
menatapnya, dalam. Membiarkan aroma kenangan itu berputar di sekeliling mereka.
Betapa rasa rindu itu tak kelihatan memudar sedikit pun walau bertahun telah
berlalu.
Chiara masih ternganga. Ella? Nonik? Soni? Caka? Semuanya
membuatnya jadi pusing sendiri. Terlampau mudah mempertemukan mereka, sekaligus
terlalu sulit hingga butuh waktu belasan tahun lamanya. Chiara menggelengkan
kepala.
“Ada yang mau berbaik hati
menjelaskan padaku?” celetuknya kemudian. Tak sabar.
Ella dan Soni baru menyadari
bahwa masih ada orang ketiga di antara mereka. Seseorang yang begitu berjasa
mempertemukan mereka kembali.
“Halooo... Gimana Caka bisa
jadi Soni?” Chiara melebarkan matanya.
Soni tersenyum. “Dulu memang
nama panggilanku Saka. Tapi lidah cadelku saat masih balita menjadikan namaku
Caka. Sekilas aku udah pernah cerita sama kamu soal kebakaran itu kan?”
Chiara mengangguk.
“Semua kenangan burukku ada
dalam nama Caka, Chia. Semua kehilanganku ada dalam nama itu. Keluargaku.
Nonik. Makanya ketika aku terpaksa ikut ke Jogja karena aku nggak punya
siapa-siapa lagi di sini, aku nggak lagi mau pakai nama itu. Nama panggilanku
jadi Soni. Seterusnya, sampai sekarang.”
“Ooo...,” Chiara membulatkan
mulutnya tanpa suara.
“Tapi nggak apa-apa kalau
ada yang memanggilku Caka,” tatapan Soni beralih pada Ornella. “Setidaknya
salah satu matahari hidupku telah kutemukan kembali.”
Ada semburat merah tergambar
di kedua pipi Ornella. Entah kenapa kalimat itu terdengar begitu hangat di
hatinya, menjalar hingga ke seluruh permukaan kulitnya.
“Tapi apakah matahariku
masih sendirian?”
Ornella mengerjapkan
matanya. Sepenuhnya dia mengangguk. Membuat hati Soni bergetar hebat. Setelah
sekian lama hati itu bertahan membeku.
* * *
Aji terpekur menatap binar
di mata Soni. Entah dia harus memandang kedatangan Soni sebagai berkah ataukah
musibah, dia tidak tahu. Dan tatapan Aji membuat Soni seketika tersadar. Ada
yang lebih dalam dari sekedar pudarnya rasa cinta Aji pada Chiara.
“Jadi benar ada yang lain?”
nada suara Soni terdengar hati-hati.
“Maksudmu?” Aji berusaha
menyembunyikan gelisahnya, tapi dia gagal.
“Ini bukan hanya tentang
kamu dan Chia aja kan?”
“Ini menyangkut masa depan,
Son.”
“Jangan dulu bicarakan masa
depan,” sergah Soni. “Bicarakan dulu masalah hatimu. Ella tersangkut di dalamnya
kan?”
“Ella nggak tahu apa-apa,
Son. Dan jangan pernah mencoba untuk menyangkutkan dia.”
“Aku nggak menyangkutkan
dia, tapi hatimu yang tersangkut padanya.”
Kalimat lugas Soni membuat
Aji terhenyak. Dia bisa berbohong pada siapa pun. Mengelak dari siapa pun. Tapi
bukan terhadap Soni. Ditatapnya Soni putus asa.
“Lalu aku harus gimana?”
Soni menghela napas panjang.
“Ji, Chiara memang dari dulu seperti itu. Kamu juga tahu. Dan kamu tetap
memilihnya. Kenapa sekarang hanya karena masalah pekerjaan saja kalian jadi
demikian jauh?”
Mata Aji menerawang di
kejauhan. Pucuk-pucuk pinus samar digoyang angin. Dengan latar belakang langit
yang menggelap. Di atas pucuk-pucuk pinus itu terlihat ada puluhan senyum
Ornella, membuat Aji mengeluh dalam hati.
“Dan ternyata ini bukan
masalah pekerjaan dan masa depan lagi kan? Tapi masalah hatimu,” suara Soni
mencecarnya lagi.
Aji menggosok-gosok wajahnya
dengan kedua belah tangan. Kenapa keadaan
jadi demikian rumit? Padahal yang dia cari cuma ketenangan sambil memikirkan
kembali hubungannya dengan Chiara. Tapi tanpa diingatkan oleh siapa pun, dia
sadar bahwa dia sendiri yang memperumit masalah.
Tak ada yang boleh
menyalahkan kehadiran Ornella. Gadis itu sudah ada sebelum dia bertugas di
sini. Gadis itu ada dalam dunianya sendiri. Tak pernah menyuruhnya masuk. Atau
hanya mengajaknya sekali pun.
“Apakah Ella mencintaimu?”
Aji menggeleng cepat. “Aku
tak pernah mengatakan apa-apa. Kami juga nggak gitu sering ketemu. Sikapnya
juga biasa-biasa aja.”
“Apakah kamu mencintainya?”
Pertanyaan itu sungguh
menohok hati Aji. Apakah dia betul mencintai Ella?
“Aku nggak tahu,” jawabnya
jujur. “Ya, aku tertarik padanya. Pada sikapnya yang bersahaja. Pada etos
kerjanya. Pada ketulusannya. Mau nggak mau aku membandingkannya dengan Chiara.”
“Mereka bersahabat baik, Ji.
Dua pribadi yang begitu bertolak belakang bisa bersahabat begitu baik. Karena
mereka bisa saling menerima apa adanya. Tanpa pernah berusaha mengubah satu
sama lain.”
“Katakan itu pada Chiara.”
“Sudah kukatakan padanya,”
senyum Soni. “Dan dengan bantuan Ella kurasa dia mulai memahami itu. Jauh-jauh
dia datang ke sini, Ji. Dengan resiko tersesat dan sebagainya. Selalu ada jalan
buat yang berkemauan. Terbukti ada aja jalan yang bisa membawanya ke sini
dengan selamat. Coba hargai itu, Ji.”
Aji kembali terpekur.
Secercah kesadaran merayap masuk ke dalam hatinya. Ya, hatinya yang salah.
Goyah. Hanya karena ada sosok lain yang membuatnya kagum. Sosok lain yang belum
tentu juga menganggapnya sebagai ‘apa-apa’. Ini cuma antara dia dan Chiara.
Seharusnya dia yang membatasi hatinya
sendiri, bukannya malah meletakkan semua kesalahan di bahu Chiara.
Tapi
apa salahnya mengharapkan cinta lain yang mungkin lebih baik?
Yang mungkin lebih cocok dengan dirinya? Aji mengedikkan bahu. Mungkin memang
sudah seharusnya dia dan Chiara mengakhiri semuanya sampai di sini saja. Bila
setelah itu tiba masanya dia dengan Ella, itu urusan nanti.
“Ji, ingat nggak aku pernah
cerita tentang teman kecilku di sini?”
Aji melihat ada senyum lebar
di wajah Soni. “Oh ya? Kamu ketemu dia?”
“Yup!” Soni mengangguk
mantap. “Dia Ella.”
Aji berharap telinganya
salah mendengar ucapan Soni. Tapi tidak. Soni menatapnya penuh arti. Aji
terhenyak seketika.
* * *
Sebelas
“Menurutmu,
aku harus gimana?”
Ornella
menatap Chiara. Terkadang dia merasa Chiara adalah perempuan dewasa mandiri
yang cukup cerdas. Tapi terkadang juga Chiara begitu kekanakan dengan berbagai
pikiran dan pertanyaan naifnya. Bagaimana harus menjawab pertanyaan Chiara
dengan tepat kalau pada kenyataannya selama ini percintaanya juga kandas
melulu? Dihelanya napas panjang.
“Chia,
kamu dan Mas Aji tuh udah sama-sama dewasa. Bisa kan ngomongin segalanya dengan
baik-baik? Aku nggak nyalahin kamu, karena pada kenyataannya hidup bersama
dalam pernilkahan di masa depan itu nggak gampang, nggak cuma butuh modal
pernyataan cinta aja. Dan aku juga nggak bisa nyalahin Mas Aji, karena benar
sebagai seorang dokter dia harus belajar untuk melayani semua orang. Dia wajib
dan berhak mengamalkan ilmu yang sudah diperolehnya. Dia berhak menentukan di
mana dia ingin mengabdi. Okelah, papamu punya cabang klinik yang bisa dikelola
dan dikembangkannya, tapi dia juga perlu waktu untuk mengelola dan
mengembangkan dirinya dulu kan?”
“Iya,
aku tahu, El,” Chiara mengangguk pasrah. “Justru itu yang ingin kubicarakan
dengan dia. Tapi kamu tahu sendiri kan, dia sepertinya menghindar.”
“Makanya
tadi aku bilang, Chia, dia butuh waktu. Bisa jadi dia merasa kamu kejar dengan
pernyataan dan pertanyaan tentang pengelolaan klinik papamu. Mungkin waktu
kedatanganmu kurang tepat.”
Chiara
menghempaskan punggungnya ke atas kasur. Ditatapnya langit-langit kamar Ornella
dengan dada terasa sesak.
“Mas
Aji berubah, tahu nggak,” gumam Chiara. “Kemarin-kemarin dia nggak gitu-gitu
amat. Aku cuma merasa kayaknya dia mau hubungan kami berakhir gitu aja.”
“Ah!
Kamu mulai ngaco, Chia,” sergah Ornella.
“Enggak,
Ella, perasaanku bilang gitu.”
Ornella
berhenti mengoleskan krim malam di wajahnya. Ditatapnya Chiara melalui cermin.
“Kalau
yang kamu maksudkan dia main api dengan perempuan lain, aku jamin enggak, Chia,”
Ornella menggeleng mantap. “Aku memang jarang bertemu Mas Aji. Tapi ini cuma
desa kecil. Jarum jatuh di salah satu ujung desa suaranya pasti akan kedengaran
sampai ujung lain. Apalagi masalah skandal yang salah satu lakonnya adalah Mas
Aji. Aku nggak pernah dengar. Sedikit pun. Lagipula dia mau bikin skandal sama
siapa? Bidan Ika? Anaknya sudah dua. Perawat Nina? Dia calon menantunya Pak
Lurah. Mas Triman? Lebih nggak mungkin lagi. Seputus asa apa pun Mas Aji, nggak
mungkinlah dia sampai jeruk makan jeruk.”
Mau
tak mau Chiara tertawa lebar mendengar penuturan Ornella. Ya, barangkali dia
memang terlalu curiga. Walaupun hatinya masih berbisik tentang kemungkinan
terburuk itu, dia berusaha untuk mengenyahkannya. Sulit. Tapi dia harus.
* * *
Hujan
rintik yang merinai sejak pagi masih gelap tak menghalangi Soni untuk pergi ke
rumah dinas Ornella. Ada seulas senyum Ornella yang dia ingin melihatnya. Ada
mata bening Ornella yang dia ingin selami. Ada segunung cerita yang dia ingin
bagi pada Ornella.
Kabut
yang membayang membuat dia harus hati-hati memacu tiger milik Aji. Hawa dingin
menyusup dari sela-sela helaian benang yang membentuk jaketnya. Ada rasa
familiar terhadap nuansa kelabu di sekelilingnya. Terhadap rasa dingin yang
nyaris membekukan kulitnya.
Dengan
sedikit menggigil, Soni sampai di rumah Ornella. Sepagi itu Ornella sudah duduk
di atas motornya. Soni mengerutkan kening.
“Pagi,
Nik! Mau ke mana?”
“Ada
sapi bunting yang kesulitan partus.
Mau bantu?”
“Ayo,
naik!” Soni menepuk sadel motor yang dikendarainya.
“Sebentar,”
sejenak Ornella masuk ke dalam rumah. Soni masih dapat mendengar suara Ornella,
“Chia, kalau mau ke klinik Mas Aji, pakai saja motorku. Aku pergi sama Caka.”
Terdengar
sahutan tak jelas dari Chiara. Beberapa detik kemudian Ornella sudah duduk
manis di boncengan tiger. Soni pun mengarahkan motor itu menyusuri jalan yang
ditunjukkan Ornella. Tidak jauh ternyata.
Mereka
segera menuju ke kandang di belakang rumah Pak Kandar. Keadaan sapi Pak Kandar
sungguh menyedihkan. Bisa mati kalau dibiarkan saja partus tanpa bantuan.
“Haduh,
sungsang lagi,” gumam Ornella.
“Bisa,”
ucap Soni yakin.
“Pak
Harno ke mana, Bu Dokter?” tanya Pak Kandar.
“Lagi
penataran, Pak, baru sore nanti pulangnya.”
“Pak,
bantu kami menarik anak sapinya ya?” Soni menoleh sekilas ke arah Pak Kandar.
Pak
Kandar masih terbengong menatap Soni. Ornella mengerti.
“Ini
teman saya, Pak, Pak Soni, dokter hewan juga. Pak Kandar nggak perlu khawatir,”
ucap Ornella halus.
Berkali-kali
Ornella memberi aba-aba pada Soni dan Pak Kandar untuk menarik anak sapi itu
keluar dari perut induknya. Ornella hampir putus asa. Sedari awal dia menyadari
bahwa harapan hidup induk dan anak itu sudah tipis. Berkali-kali pula mereka
gagal. Berkali-kali pula Soni harus meyakinkan Ornella bahwa mereka bisa
melakukan itu.
Dan
perjuangan itu akhirnya berhasil. Anak sapi Pak Kandar bisa diselamatkan.
Induknya lemah, tapi masih bisa dipulihkan. Ornella merasa terharu melihat
binar di mata Pak Kandar.
“Makasih
ya, Bu Dokter, Pak Dokter,” Pak Kandar membungkuk berkali-kali.
Setelah
bergantian mandi, Ornella dan Soni pun disuguhi sarapan yang sudah disiapkan Bu
Kandar. Tak lama mereka di situ setelah sarapan, mereka pun pamitan.
“Ke
sana yuk, Cak,” ajak Ornella.
Soni
menurut. Dia melajukan motornya ke arah yang ditunjukkan Ornella. Hujan rintik
sudah berhenti. Matahari pun malu-malu mulai mengintip dari balik awan. Dan
mereka pun sampai di bukit tempat Ornella biasa menikmati matahari terbit.
“Tempat
ini indah,” gumam Soni.
“Aku
suka ke sini kalau jogging. Lihat sunrise. Sayangnya sekarang sudah
kelewat waktunya. Mendung lagi,” Ornella duduk begitu saja di atas rerumputan
yang basah.
Tak pernah berubah,
batin Soni, dia tetap Nonik-ku yang dulu.
“Kamu
kelihatannya betah banget di sini ya, Nik?”
Ornella
tersenyum. “Enak tinggal di sini. Lama-lama jenuh tinggal di Surabaya. Terlalu
panas dan penuh hiruk-pikuk. Gimana Jakarta?”
“Samalah,”
Soni mengedikkan bahu.
“Karirmu
sudah mantap di sana, Cak?”
Soni
tengadah. Menatap potongan langit dari sela-sela dedaunan pohon yang menaungi
mereka.
“Prospeknya
bagus. Itu saja.”
“Kita
akan berjauhan,” gumam Ornella.
“Kita
pernah terhalang jarak, waktu, dan nyaris punahnya mimpi, Nik. Dan kita bisa
bertahan di dalamnya. Kenapa sekarang tidak?”
“Yah...
Setidaknya aku tahu kamu masih ada, Cak, untukku.”
“Seutuhnya,”
Soni menepuk lembut punggung tangan Ornella.
“Kita
masih bisa memelihara rasa itu kan, Cak?” lirih suara Ornella.
“Bisa,
Nik. Pasti bisa.”
Ornella
seketika merasakan ketenangan begitu mendengar ketegasan suara Soni. Juga
debar-debar yang tak perlu dicari dari mana datangnya. Debar-debar yang selalu
muncul setiap kali dia mengingat sepotong nama. Caka. Walaupun selama ini dia
mengira semuanya itu cuma angan kosong tak bertepi.
Pun
debar yang sama menggetarkan sepotong hati yang lain. Sepotong hati yang telah
membekukan sebentuk kerinduan akan sebuah nama. Nonik. Tak perlu jutaan kata
untuk melukiskannya. Hanya perlu keheningan pagi yang murung tertutup mendung
tipis. Hanya perlu tatapan yang bisa bicara banyak. Tentang arti kerinduan.
* * *
Dua Belas
Baik
Ornella maupun Soni kaget ketika mereka sampai di rumah dinas Ornella. Chiara
sudah siap untuk pergi. Wajahnya keruh. Matanya sembab.
“Aku
pulang sekarang, El. Nggak ada gunanya aku di sini.”
Ornella
meraih Chiara ke dalam pelukannya, tapi gadis itu mengelak.
“Kamu
berantem sama Aji?” tanya Soni.
Chiara
tak menjawab. Hanya saja kemudian tangisnya pecah.
“Aku
nggak mengira kalau ternyata orangnya kamu, El,” ucap Chiara di sela tangisnya.
Ornella
mengerutkan keningnya. Dia benar-benar tak mengerti apa yang dibicarakan
Chiara. Berbeda dengan Soni. Soni langsung memahami ucapan Chiara.
“Kamu
tega, El! Kamu tega!”
“Kamu
ini ngomong apa sih, Chia?” Ornella menatap Chiara dengan wajah bingung.
“Sudah...,”
Soni menatap Ornella. “Katanya mau ke kelurahan? Sudah sana berangkat. Aku akan
urus Chiara.”
Dan
Ornella meninggalkan kedua orang itu dengan wajah yang masih sepenuhnya
menyiratkan kebingungan. Chiara
membicarakan apa sih? Ornella diam-diam mengedikkan bahunya.
Soni
menatap Chiara. Ditunggunya sampai Chiara tak lagi sesenggukan. Cukup lama.
Tapi Soni dengan sabar melakukannya.
“Aji
bilang apa?” tanya Soni halus.
“Dia
suka sama Ella. Benar kan perasaanku? Dia berubah banyak. Ella juga ngaco. Dia
bilang berani jamin Mas Aji nggak ada skandal apa-apa. Nyatanya?!”
“Ya
tapi Ella bener ngomong gitu. Nyatanya memang nggak ada apa-apa di antara
mereka. Aji aja yang ngaco.”
“Maksud
Mas?”
Soni
menghela napas panjang. “Chia, memang benar Aji suka sama Ella. Tapi Ella
sendiri nggak tahu apa-apa soal ini. Aji nggak pernah ngomong apa-apa sama
Ella. Aku nggak sedang mencoba membela Ella, tapi aku tahu betul Ella bersih.”
“Aku
nggak percaya!” Chiara membuang muka.
“Terserah.
Tapi satu hal yang harus kamu tahu, Ella dan aku saling mencintai, Chia. Dia
nggak akan membiarkan Aji masuk ke dalam kehidupannya. Aku kenal Ella, dan aku
mempercayainya.”
Chiara
menatap Soni. Dia melihat ada kesungguhan dalam mata Soni.
“Jadi
kalian sudah...”
“Ya.
Sementara harus LDR. Kita sama-sama LDR. Kita bisa saling menjaga, Chia. Tapi
masalahmu dengan Aji harus beres dulu.”
“Udah
beres,” ucap Chiara, sedih tapi lugas. “Udah bubar. Dan aku nggak mau lagi
mengemis apa-apa darinya.”
Soni
terhenyak. Masalah Aji dan Chiara ternyata jauh lebih pelik daripada yang dia
kira. Dan sebab kerumitan yang sekarang terjadi itu cuma satu. Kebodohan Aji.
Soni menghembuskan napas keras-keras.
* * *
“Kamu
tuh gelo apa dudul?!” Soni begitu saja menghamburkan kemarahannya.
“Bisa-bisanya bilang ke Chiara kamu suka Ella!”
Aji
melengak. Dalam hati dongkol juga melihat Soni begitu muncul entah dari
mana langsung marah-marah seperti itu.
“Aku
udah nggak tahan lagi sama Chiara.”
“Tapi
nggak berarti kamu bisa seenaknya mengaku ini-itu hanya untuk alasan dan cari
pembenaran!” sergah Soni. “Tahu nggak, kamu tuh hampir aja merusak persahabatan
Chia dan Ella. Persahabatan yang udah berjalan sekian tahun dengan manisnya.
Sadar nggak sih kamu, Ji?!”
“Aku
cuma mau jujur!”
“Dalam
kasusmu, jujur dan dudul itu bedanya tipis,” tandas Soni. “Kalau mau beralasan,
cari alasan yang elegan. Bukannya malah menyeret-nyeret orang lain yang nggak
bersalah.”
“Dengar
ya, Son, kamu nggak usah ikut campur masalah ini. Ini antara Chiara dan aku,
dan Ella.”
“Oh
ya?” Soni tertawa sinis. “Tentu aja aku harus ikut campur. Kamu udah janji
padaku untuk nggak menyakiti Chiara. Nyatanya? Satu lagi, jangan pernah
libatkan Ella. Jangan lagi. Dia milikku. Dan kali ini aku nggak akan mengalah
padamu.”
Ada
nada ancaman dalam suara Soni. Aji terperangah. Soni? Ella? Aji terpekur. Habis
sudah!
* * *
Berhasilnya
Soni menjelaskan posisi Ornella membuat Chiara mau bertahan tetap tinggal hingga
beberapa hari lagi di rumah dinas Ornella. Lagipula dia merasa berhutang maaf
pada Ornella. Dengan sabar ditunggunya kedatangan Ornella. Tapi hingga malam
menjelang Ornella tak kunjung pulang.
Chiara
gelisah. Mbok Wuri sudah mengatakan kalau sudah biasa Ornella pergi dari pagi
atau siang sampai malam hari. Tapi ganjalan dalam hatinya membuatnya tidak
tenang. Dia sudah menuduh Ornella macam-macam. Itu adalah kesalahan terbesar
sepanjang sejarah persahabatannya dengan Ornella.
Menjelang
pukul sembilan Ornella baru pulang. Dengan wajah kuyu dan terlihat luar biasa
lelah. Tapi wajahnya berubah jadi sedikit cerah ketika melihat Chiara masih ada
di rumahnya.
“Lho,
nggak jadi pulang?” celetuk Ornella dengan nada menggoda.
Chiara
tersenyum malu.
“El,
maafin aku soal yang tadi pagi. Aku udah salah nuduh kamu yang enggak-enggak.”
“Iya,
dimaafin... Tapi jelaskan padaku apa yang udah terjadi.”
“Iya,
tapi kamu mandi dulu, makan dulu. Nanti aku jelasin.”
Setelah
Ornella mandi dan makan, dia pun mengajak Chiara ke kamarnya. Malam terlalu
dingin untuk dinikmati di teras. Di dalam rumah pun mereka terpaksa harus
mengenakan sweater. AC alami, celetuk
Chiara beberapa hari yang lalu, membuat Ornella tertawa.
“Nah,
sekarang ceritakan padaku, ada apa sebenarnya, Chia?”
Chiara
ragu-ragu sejenak. Tapi dia sudah mengatakan akan bercerita pada Ornella. Maka
dia pun memulainya. Dengan sangat hati-hati.
“Mas
Aji memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, Ella, justru pada saat aku udah
mulai menerima keputusannya untuk bekerja di sini. Aku pernah bilang ada yang
berubah pada Mas Aji kan? Dan aku benar. Dia goyah karena ada perempuan lain.”
“Oh
ya? Siapa? Kok aku bisa nggak tahu?”
“Kamu,
El. Dia suka sama kamu.”
Ornella melongo menatap Chiara.
“Bukan salahmu, El, sungguh. Aku udah
mengerti kok. Mas Soni udah jelasin semuanya. Kamu nggak tahu apa-apa soal
ini.”
Ornella masih blank. Dia cuma bisa mendengarkan penuturan Chiara dengan setengah
sadar. Apa yang diungkapkan Chiara sungguh mengagetkan dirinya. Aji
menyukainya? Bagaimana bisa?
“El, kalau kamu juga menyukainya,
udahlah, aku nggak apa-apa. Pasti buat dia kamu lebih baik daripada aku.”
Ornella menggeleng cepat. “Enggak, Chia.
Nggak akan. Aku nggak pernah punya keinginan untuk merebutnya darimu.
Lagipula... Caka dan aku... Kami...”
“Oh ya?” potong Chiara.
Ditatapnya Ornella dengan antusias. Jadi benar kata Soni, mereka sudah jadian.
Terasa beban di pundaknya telah berkurang separuh. Beban yang tanpa sadar dia
pikul terus sejak dia memutuskan untuk memilih Aji, bukan Soni.
Sebuah pilihan yang membuat Soni kembali
berkubang dalam kenangan masa lalu dengan cinta pertamanya. Sebuah pilihan yang
membuatnya mengusung rasa bersalah yang demikian besar selama bertahun-tahun.
Sebuah pilihan yang diambilnya karena dia memang mencintai Aji, bukan Soni.
Dilihatnya Ornella tersipu dalam
senyumnya.
“My
God... Akhirnya, Ella, kalian memang udah seharusnya bertemu lagi,” bisik
Chiara takjub.
Ornella menatap Chiara. “Berjanjilah
padaku kalian akan kembali bersama. Kamu dan Mas Aji.”
Chiara menghela napas panjang. “Aku mau,
El, tapi entah dia. Aku nggak tahu ke mana harus mengejar rasanya yang
terlanjur pergi.”
Ornella tercenung. Malam merayap semakin
larut...
* * *
Tiga
Belas
Chiara
memutuskan untuk menginap semalam lagi di farm
keluarga Ornella. Alasannya pamitan sebelum kembali ke Jakarta. Padahal
sebetulnya dia ingin memberi kesempatan pada Ornella dan Soni membicarakan
banyak hal tentang diri mereka sendiri.
Angan-angannya
kemarin adalah dia pun ingin membicarakan banyak hal dengan Aji. Sayangnya,
semuanya telah berlalu begitu saja tanpa Chiara mampu mencegahnya. Terasa sakit?
Sangat. Tapi pada akhirnya Chiara mampu memahami bahwa semuanya tak bisa
dipaksakan, termasuk cinta yang kini cuma bertepuk sebelah tangan.
Dan
di sore yang sebetulnya dingin seperti biasanya itu, Ornella merasakan
kehangatan yang berbeda. Pekerjaannya banyak. Harus membuat laporan ini-itu.
Tapi bantuan Soni membuatnya cepat menyelesaikan tugasnya. Menjelang makan
malam, Ornella pun sudah bisa menutup laptopnya.
“Semalam
aku berpikir untuk mencoba menjajaki buka cabang pet shop di Surabaya. Gimana menurut kamu, Nik?”
Ornella
berhenti mengunyah. “Nggak apa-apa sih, asal perhitungannya matang. Jangan cuma
karena asal ingin kita berdekatan.”
“Ya
sebetulnya sih, salah satu alasannya itu,” senyum Soni. “Makanya aku mau
bicarain dulu sama Olaf, partner-ku.
Kalau dia setuju ya jalan, kalau enggak ya terpaksa aku harus bertahan di
Jakarta dulu.”
“Di
mana pun kita, asal kita punya komitmen untuk saling menjaga, buat aku sih no problemo. Ya kita coba berelasi
secara dewasalah. Lagipula masih banyak hal yang terlewat gitu aja dari semua
diri kita. Kita masih perlu lebih saling mengenal lagi. Biar kita nggak saling
mengecewakan satu sama lain.”
“Hm...
Menurutku juga gitu. Gimana kalau kita mulai dengan masa lalu?” tatapan Soni
terlihat begitu jahil dan menggoda. “Pacarmu dulu ada berapa?”
Ornella
terbahak. “Empat.”
Soni
membelalakkan mata. “Dahsyat!
Ornella
tergelak lagi. “Dan semuanya kandas. Untung nggak pernah terlalu lama dan
dalam. Jadi walaupun aku kecewa dan sakit hati, aku nggak segitunya tenggelam.”
“Kok
bisa gagal? Kenapa?”
Ada
semburat murung di wajah Ornella. Dia menghela napas panjang sebelum menjawab
lirih, “Semua karena Mas Dino.”
Seketika
Soni mengerti.
“Kamu
tahu sendiri kondisi Mas Dino seperti itu. Kelak kalau Ayah dan Bunda udah
nggak ada, otomatis aku yang harus merawat Mas Dino. Aku sih nggak pernah
menganggap itu sebagai beban. Tapi orang lain yang bakal menjadi pendamping
hidupku kan bakalan harus menanggung itu juga. Wajar dong, kalau pada nggak
mau.”
“Tapi
aku nggak keberatan,” senyum Soni. “Apa-apa kalau ditanggung bersama nggak
bakalan jadi beban, Nik. Lagipula Dino yang dulu kukenal cukup mandiri juga
kan?”
“Itulah
yang kadang-kadang orang lain nggak paham, Cak. Banyak orang yang memandang
orang berkebutuhan khusus itu selalu merepotkan. Padahal kan nggak semua kayak
gitu.”
“Buat
aku sih, Nik, tiap orang itu dilahirkan istimewa. Normal atau berkebutuhan
khusus, kalau dari awalnya dipandang nggak merepotkan, ya nggak merepotkan aja.
Walaupun normal, kalau merepotkan ya merepotkan aja. Tergantung dari sisi mana
kita memandang sih...”
“Jadi
bagimu Mas Dino bukan masalah?”
Soni
menggeleng mantap. “Not at all.
Lagipula siapa sih yang pernah berharap dilahirkan atau punya saudara dalam
kondisi seperti itu? Kalau pun memang harus mengalami, ya sudahlah kita terima.
Mungkin kita punya keistimewaan yang membuat Tuhan menitipkan orang-orang
seperti Dino pada kita.”
Ornella
menatap Soni. Cukup lama. Membuat Soni salah tingkah.
“Napa
sih, Nik? Kok lihatnya gitu amat?”
Ornella
tersenyum. “Sejak dulu aku menganggapmu sebagai sebuah panutan. Dan ternyata
aku nggak salah. Kamu dewasa, Cak, selalu dewasa buatku.”
“Halah...
Nggak usah merayu kayak gitu,” wajah Soni sedikit memerah.
“Dih!
Siapa juga yang merayu?” Ornella meleletkan lidahnya. “Nah, sekarang ceritakan
masa lalumu.”
Soni
kelihatan ragu-ragu sejenak. Tapi tatapan Ornella membuatnya memiliki
keberanian lebih.
“Ehm...
Jujur, aku belum pernah punya pacar atau kekasih atau apalah namanya.”
“Serius?”
Ornella membelalakkan matanya.
“Serius...
Tapi jatuh hati sih pernah.”
“Sama
first love-mu itu ya? Teman SD-mu?”
“Siapa
bilang?”
“Chiara.”
“Wah...
Salah tuh! Yang betul aku kenal dia waktu aku masih SD, tapi dia bukan teman
SD-ku. Dia cucu Ibu Sepuh.”
Ornella
ternganga. Cucu Ibu Sepuh? Bukannya Ibu
Sepuh itu panggilan para tetangga untuk Oma? Dan Soni menatapnya penuh
arti. Seketika semburat merah muda mewarnai pipi Ornella.
“Kamu
pasti kenal dia siapa,” senyum Soni.
Ornella
tersipu. Soni menatapnya serius. Siap menceritakan cinta berikutnya.
“Kamu
selalu ada dalam pikiranku, Nik. Mungkin jadi kayak gitu karena ada yang belum
beres di antara kita, belum selesai. Setidaknya kita nggak pernah saling
mengucapkan selamat tinggal sebelum benar-benar berpisah sekian lamanya.”
“Aku
juga merasakan hal yang sama. Sadar atau enggak, aku selalu membandingkan
keempat mantanku itu denganmu. Padahal apa coba yang bisa tertinggal dari
kenangan seorang anak kelas 2 SD seperti aku waktu itu?”
Soni
tertawa kecil. “Apa kita berlebihan kalau kita bilang mungkin kita berjodoh?”
Ornella
menggeleng sambil tertawa juga. “Mau nggak percaya gimana, coba?’
Kemudian
Soni kembali serius. “Sebelumnya aku minta maaf, Nik. Aku nggak mau
menyakitimu, tapi aku harus jujur kan? Aku pernah menyukai Chiara. Dulu. Waktu
masih kuliah. Abangnya temanku berlatih kempo. Aku sering ke kostnya, jemput
dia. Kan mereka satu kost. Ya gitu deh!”
“Ooo...,”
ucap Ornella tanpa suara.”Tapi Chiara akhirnya sama Mas Aji?”
“Ya...
Karena Aji satu fakultas sama Cornel. Satu angkatan, satu kelas. Jadi
intensitas ketemunya lebih tinggi mereka. Ya udahlah, aku mengalah. Lagipula
Chiara kelihatan banget lebih menyukai Aji. Apa boleh buat?”
“Tapi
sekarang Chiara free kan?” goda
Ornella.
Soni
tertawa. “Dan membiarkanmu menghilang lagi dari hidupku? Enggak, Nonik, aku
nggak mau. Lagipula Chiara cuma sepenggal masa lalu buatku. Rasa itu udah
menguap. Makin menguap setelah aku bertemu lagi denganmu. Buatku, kamu
kehidupan sepertiga pagiku, masa kini, dan masa depanku.”
“Kalau
kita berjauhan, sementara di sini jarakku dengan Mas Aji begitu dekat, tidakkah
kamu takut akan terjadi sesuatu?” ucap Ornella lirih.
“Semuanya
tergantung padamu, Nik. Tapi pada dasarnya aku percaya kamu bisa dengan jernih
mengolah hatimu. Dan aku sendiri, nggak akan semudah itu melepaskanmu begitu
saja pada Aji. Dia boleh menyakiti hati Chiara walaupun dia pernah berjanji
padaku untuk nggak melakukannya. Tapi dia sama sekali nggak boleh melakukan itu
padamu. Setidaknya, aku nggak akan pernah membiarkannya.”
Kini
Ornella mengerti mengapa sekian lama sepotong hatinya tetap menyimpan rapi
segala kenangan tentang seorang teman bernama Caka. Caka selalu istimewa
baginya. Dengan segala sikap yang juga terasa istimewa sejak usia sepertiga
pagi mereka.
“Kalau
kamu bisa seteguh itu mempertahankan cintamu padaku, mengapa aku tidak?” senyum
Ornella.
Dan
Soni pun merasa sepotong hatinya yang pernah hilang kini sudah kembali.
* * *
Empat
Belas
“Baik-baik di sini ya, Nik? Jaga
kesehatan,” ucap Soni lembut sambil mencium sekilas pipi Ornella.
Di dekat mereka Aji dan Chiara masih
berusaha untuk bersalaman.
“Maafkan aku, Chia. Sepertinya aku
salah. Kurasa kita masih bisa memperbaiki hubungan ini. Kasih aku waktu untuk
memikirkannya lagi,” ucap Aji lirih, nyaris sama seperti ucapannya kemarin
siang, meralat keputusannya mengakhiri hubungan mereka.
Chiara terdiam. Benar-benar tak tahu
harus menjawab apa. Ditatapnya sejenak Aji. Hambar. Lalu tanpa kata dia
mengikuti langkah Soni menuju ke gerbang pemberangkatan.
Sejujurnya Chiara enggan pulang ke
Jakarta. Enggan diburu rutinitas pekerjaan. Tapi apa yang bisa menahannya?
Kenyataannya dia sudah tak lagi punya tempat dan alasan untuk bergantung.
Bahkan untuk sekedar berpegangan. Harapan yang akhirnya diberikan Aji tampaknya
terlalu rapuh.
Chiara berjalan sambil setengah melamun.
Membiarkan pikirannya mengembara bebas. Tentang berbagai rangkaian kata
semalam, pada malam terakhir dia berada bersama Ornella.
“Seharusnya aku sedikit lebih sabar,
membiarkannya memikirkan lagi hubungan kami,” ucapnya sedikit menerawang, di
depan Ornella.
Ornella menepuk lembut bahu Chiara. “Dan
membiarkannya bebas berfantasi tentangku?”
Chiara mengangkat bahu. “Kalau itu
terjadi, setidaknya aku tahu kalau orang ketiga itu jauh lebih baik daripada
aku.”
“Ah! Ngomong apa kamu ini?” tukas
Ornella.
Chiara menatap Ornella dengan serius.
“Mas Soni jauh lebih baik daripada Mas Aji, El. Sayangnya aku terlambat
menyadari itu. Tapi aku nggak menyesal. Setidaknya aku berusaha untuk nggak
menyesal. Dia pantas mendapatkan yang terbaik. Dan kamulah orangnya.”
Ornella hanya menatapnya.
“Jaga hubungan kalian baik-baik., El.
Dasar kalian udah kuat. Tinggal gimana kalian aja memelihara itu.”
“Kalau kalian bisa balikan lagi, lakukan
aja, Chia. Mungkin kejadian ini bisa membuat kalian saling memperbaiki diri.”
Chiara mengangguk. Dan mereka pun
berpelukan.
Sebuah sentuhan di bahu membuat lamunan
Chiara terburai. Ditatapnya Soni penuh tanya.
“Kamu melamun. Nggak takut kesandung?”
Mau tak mau Chiara tersenyum sambil
mengikuti langkah Soni masuk ke dalam pesawat. Dia tetap diam hingga pesawat
mengudara. Meninggalkan segala keruwetan di bawah sana.
Chiara menatap awan yang berarak di luar
jendela pesawat. Seandainya dulu Soni lebih gigih, bisa jadi dia sudah nyaman
berada di sisi Soni sekarang. Yang dengan kesetiaannya tetap tegak berdiri.
Walaupun menantang sesuatu yang absurd sekalipun. Seperti perpisahan dan
perjumpaannya kembali dengan Ornella.
Tadi Aji memang mengucapkan sesuatu.
Sepertinya kembali meniupkan harapan. Hanya saja fakta sudah terbentang begitu
saja di hadapannya. Bahwa cinta Aji padanya sudah mulai buram dan mengabur
entah bagaimana caranya.
“Mungkin dengan berjauhan kalian bisa
jadi lebih dekat satu sama lain.”
Suara rendah Soni memecahkan lamunan Chiara. Perlahan dia mengerjapkan mata.
“Kenapa aku dulu nggak memilihmu?”
“Cinta nggak bisa dipaksakan, Chia,”
ucap Soni halus.
Benar, ucap Chiara dalam hati. Semua hal
di dunia ini memang tak bisa dipaksakan. Pun keinginannya untuk melihat masa
depan yang lebih baik dari karir Aji sebagai seorang dokter. Harga yang harus
dibayarnya hanya untuk belajar tentang mengurangi egoisme ternyata sangat
mahal. Dia harus kehilangan Aji. Mungkin hanya untuk sementara. Mungkin juga
untuk selamanya.
Guncangan kecil di badan pesawat
menyadarkan Chiara. Dia mengerjapkan mata. Satu hal yang harus bisa dilakukannya
sekarang. Tetap berusaha untuk tegar. Dan mungkin memang harus menunggu Aji
siap kembali dengan seluruh cinta dan hatinya. Tapi sampai kapan?
Chiara menggeleng pelan. Dia benar-benar
tidak tahu. Juga tidak tahu apakah dia bisa benar-benar sanggup menunggu.
* * *
Ornella tersenyum sambil meneguk teh
hangatnya. Selesai sudah laporannya yang ke sekian. Tepat saat itu ponselnya
berbunyi pelan. Sebuah SMS masuk, membuatnya melebarkan senyumnya.
Chatting
yuk!
Dibalasnya, ‘Sebentar, aku baru selesai bikin laporan. Aku mandi dan makan dulu
ya?’
Oke!
Tak berapa lama kemudian Ornella sudah
anteng kembali di depan laptopnya. Tenggelam dalam percakapan maya dengan Soni.
Sesekali tersenyum. Sesekali cemberut. Sesekali tertawa tertahan.
Ketika ponselnya kembali berbunyi,
Ornella meraihnya. Sebuah SMS yang lain. El,
kapan kita jalan ke Pos Ketan lagi?
Ornella kembali melanjutkan chatting-nya dengan Soni. Diabaikannya
SMS itu. Seperti juga dia sudah mengabaikan beberapa SMS sebelumnya dari orang
yang sama. Aji.
* * * * *
S.E.L.E.S.A.I
Iyah bener, cinta emang nggak bisa dipaksakan tan #eh :D
BalasHapusUhuk! Kok mendadak jadi keselek ya? Hahaha...
HapusMakasih mampirnya, Mbak Putri...
Nostalgia sama cerita ini. Gara2 cerita ini aku jadi tahun kalo kita ae almamater.....peyuukk
BalasHapusOh iya yaaa... Waktu itu sempet kontakan via inbox gara-gara ini. Peyuk jugaaa... Suwun mampire, Mbak...
HapusKalok diblog gini enak mba aq isa numpang komen. Super apik wes critae!
BalasHapusMakasiiih, Nita... Rajin-rajin mampir ya? Sun sayang buat baby!
HapusKl pnjg gini biasanya msk bookmark dl :) (C)
BalasHapusMonggo... Maturnuwun rawuhipun...
HapusAsyiiik dapat makan "siang" dari Mb Lizz, muantap banget ceritanya. Tadi pagi dapat sarapan dari Bu Dyah, puol buanget.....Terima kasih Mb Lizz, selamat siang. Mau gelar tenda ah di sini nunggu sarapan dari Mb Lizz besok pagi....hehe
BalasHapusSarapan udah siap, Mbaaak... Makasih mampirnya ya...
Hapuspos ketan..?? hahahha....malih pengin nang mBatu maam ketan..akuh.
BalasHapusBudhaaalll, Maaak! Hahaha... Nuwus mampire yo...
Hapusasyiknya menikmati cerita keren hanya dalam satu klik..ya..Mbak Lis...selamat yaah.
BalasHapusNggak bosen karena kepanjangan to, Mbak Bekti? Hehehe...
HapusMakasih singgahnya ya...
Hmmm cinta mmg tak indah bila dipaksakan :( Trims ya sdh ksh bacaan seru ya Mbak :) Salam sore...
BalasHapusSalam pagi... :)
HapusMakasih kunjungannya ya, Mbak Fitri...
manstafff :D
BalasHapusWakakak... Jangan ambil merek dagangnya Pak Edy Priyatna dong, Mas Ando...
HapusMakasih banyak singgahnya ya...
Ngga bosan menikmati ini. Antara cinta dan kesetiaan, selalu seharusnya bersama.
BalasHapusYup! Seharusnya sih gitu... ;)
HapusMakasih mampirnya, Mbak MM...
Saya gk pernah bosen baca tulisan Mbak Liz.....bagus n bikin gimana gituuuu
BalasHapusMaaf banget, Mbak Tri... komennya baru terdeteksi hari ini . Jadi balesnya super telat. Makasih atensi dan singgahnya ya...
Hapus