Selasa, 17 Februari 2015

[Cerpen] Ombre




addhairstyle.com




Keinginan Malini untuk memiliki 2 tone warna rambut makin bulat. Sudah 6 rekan sekantornya yang berubah warna rambutnya menjadi ombre. Semuanya jadi kelihatan makin cantik di mata Malini.

Ditatapnya wajahnya di cermin. Membayangkan warna apa yang kira-kira cocok untuknya. Hm... Ia tersenyum. Zus Memy pasti lebih tahu...

Lalu ke sanalah ia melangkahkan kaki. Ke salon langganan di sebelah gedung apartemennya. Joyce, asisten Zus Memy menyambutnya dengan meriah dan manis, kemayu seperti biasa. Membuat Malini turut terseret dalam keceriaan itu. Satu lagi yang Malini suka dari salon Zus Memy, semua pekerja di sana tak pernah bicara dalam gaya lebay dan alay.

Begitulah keistimewaan salon Zus Memy. Selalu ramah pada para pelanggan. Membuat pelanggan setianya makin betah, dan pelanggan baru terus berdatangan.

“Aih, Jeng Lin...,” Joyce mencolek bahu Malini. “Lama banget deh, ndak ke sini...”

“Iya ya...,” Malini tertawa. “Sibuk, Zus Joyce. Sampai nggak sempat ke sini. Padahal udah kangen creambath-nya Zus.”

“Bisa aja deh,” Joyce terkikik. “Eh, Jeng. Zus Memy lagi ndak ada kerjaan. Aku oper dirimu ke dia aja ya?.”

“Boleh deh!”

Kebetulan, batin Malini, kemampuan Memy jauh di atas asisten-asistennya. Pasti hasilnya te-o-pe be-ge-te.

Tak butuh waktu lama, Malini sudah duduk manis di depan cermin di sudut yang biasanya disediakan bagi para pelanggan istimewa. Diutarakannya maksudnya pada Zus Memy. Zus Memy berdiri di belakang Malini sambil menatap ke arah cermin.

“Sebetulnya sayang lho, Jeng,” Zus Memy menyisir rambut Malini yang panjangnya sepunggung. “Rambut Jeng Lin itu bagus, item, ikal alami kayak gini. Mana terawat lagi!”

“Tapi lama-lama bosen juga, Zus. Pengen di-ombre.”

“Hm... Saran aku nih ya, Jeng... Kita pakai warna yang agak gelap aja di atas, terus dimudain di bawah. Gimana?”

“Gelapnya kayak gimana?”

“Ya mau pakai dark blue, dark purple, dark brown, burgundy, pokoknya yang nggak jauh-jauh dari gelap.”

“Ya... Nggak gitu kelihatan dong?”

“Tetep kelihatanlah... Atau mau 3 tones?”

“Hah? Gimana lagi tuh?”

“Bagian atas kita kasih dark brown, tengah brown, ujungnya dibikin lebih blondy gitu.”

“Hm... Terserah Zus Memy deh! Asal bagus ya, Zus.”

“He em. Kalau aku rekomendasikan yang red tones, kayaknya nggak cocok deh! Brown lebih cocok buat wajah eksotik Jeng Lin.”

Malini mengangguk-angguk.

Tak perlu waktu lama bagi Zus Memy untuk segera mulai mengobrak-abrik rambut Malini. Sebelum memulai proses pewarnaan, Zus Memy merapikan ujung-ujung rambut Malini hingga potongannya kelihatan lebih trendy. Dan keseluruhan proses yang memakan waktu berjam-jam itu membuat Malini terkantuk-kantuk.

Tapi kantuknya segera lenyap begitu melihat perubahan penampilannya di depan cermin. Perfect! Persis seperti apa yang pernah dibayangkannya. Gelap di atas, dan bernada pirang di ujung. Di tengahnya ada tone yang menyatukan keduanya. Perfect!

“Aduh, Zus Memy... Nggak salah deh, aku jadi pelanggan salon Zus. Nggak pernah mengecewakan.”

Zus Memy tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata, “Tapi jujur nih ya, Jeng Lin lebih cantik kalau rambutnya tetep hitam.”

“Hehehe... Sesekalilah berubah penampilan,” ganti Malini yang mengedipkan sebelah mata.

* * *

Ternyata perubahan penampilan Malini membuat hidupnya berubah juga. Dan itu cukup membuat Malini terganggu. Entah kenapa ia jadi menerima banyak tawaran untuk makan siang bersama dari rekan-rekannya. Yang laki-laki, bukan yang perempuan. Hal yang jarang diterimanya ketika ia masih berambut hitam, dan sering disanggulnya.

Penampilannya memang jadi kelihatan lebih segar dan cantik. Membuatnya jadi lebih dilirik lawan jenis. Ia bukannya tak menyadari itu. Padahal busana dan dandanannya tetap biasa-biasa saja. Tak pernah se-sexy teman-temannya. Hanya warna rambut dan modelnya yang sedikit berubah. Tidak lebih.

“Kamu itu cantik, cuma selama ini terlalu kuno,” bisik Yulita, teman akrabnya di kantor.

“Hehehe...,” Malini terkekeh menanggapinya. “Ya sudah, kalau gitu besok aku sanggul lagi rambutku.”

“Telat,” Yulita nyengir. “Cowok-cowok udah terlanjur bisa melihat kalau kamu sebenarnya cantik. Apalagi dengan warna rambut yang cukup menggoda kayak gitu. Baru kamu yang berani ombre 3 tones. Bagus pulak!”

“Hadeeeh... Udah deh! Kerja, kerja,” Malini tertawa.

* * *

Dan Malini makin pusing ketika Pak Yusril, atasannya, pun kelihatan ikut ‘tertarik’ padanya. Duda beranak tiga itu cukup ekspresif ‘menyatakan’ rasa tertariknya pada Malini.  Mulai dari mengajak makan siang, memintanya untuk mendampingi meeting dengan klien di Puncak, sampai mengajak makan malam. Semuanya ditolak Malini dengan halus, dengan berbagai alasan.

Gerah dengan semua itu, Malini pun melangkahkan kakinya kembali ke salon Zus Memy. Hari ini jadwalnya melakukan spa rambut supaya rambutnya yang sudah terlanjur ‘dirusak’ karena diwarnai masih bisa diselamatkan kesehatannya.

Zus,” ia mulai mengadu pada Zus Memy. “Balikin warna rambutku ke hitam lagi deh, please...

“Lho! Kenapa?” Zus Memy mengangkat alisnya tinggi-tinggi.

“Gara-gara rambutku kayak gini, aku jadi dikejar-kejar laki-laki sekantor,” Malini mengerucutkan bibirnya.

Zus Memy meledakkan tawanya. Bahunya sampai terguncang-guncang karenanya. Mau tak mau Malini ikut tertawa walaupun masih setengah dongkol dengan kondisinya.

“Kubilang juga apa? Jeng Lin lebih cantik kalau rambutnya tetep item. Inner beauty-nya lebih kelihatan. Kalau di-ombre memang lebih nge-jreng luarnya.”

“Hehehe... “

“Tapi kalau mau dibalikin ke item lagi harus bleaching, Jeng Lin. Itu lebih merusak lagi.”

“Hadeeeh...,” Malini menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi. “Bisa rusak ya?”

“He em. Sayang. Bisa sih tetep dirawat dengan spa. Tapi mendingan ditunggu aja sampai 2 bulan lagi. Biar yang udah kejadian kita rawat dulu.”

Dua bulan masih terlibat keruwetan? Malini menelan ludah. Nggak janji deh...

“Terus aku harus gimana dong, Zus Memy?”

“Bertahan, “ Zus Memy tersenyum. “Bersikap biasa aja. Biar ombre-nya nggak terlalu kelihatan, digelung aja.”

“Hm... gitu ya...,” Malini bergumam sambil menatap bayangannya di cermin.

“Oke? Siap di-spa aja ini ya?”

Malini mengangguk.

* * *

Dengan tidak mengindahkan setiap tawaran yang terindikasi muncul karena perubahan penampilannya, Malini mulai nyaman dengan kondisinya sekarang. Berdamai dengan keadaan selalu lebih baik daripada menyesali apa yang sudah terjadi. Apalagi bila apa yang sudah terjadi itu adalah karena kemauannya sendiri.

Malini hanya menggerai rambutnya setelah pulang kerja dan di luar jam kantor. Selebihnya ia berpenampilan ‘lebih tua’ dengan menggelung rambutnya dengan rapi. Para lelaki yang kemarin-kemarin mendadak gatal melihat penampilannya dalam rambut ombre mulai mundur teratur. Pun Pak Yusril. Bahkan laki-laki itu kelihatan jadi lebih menaruh respek pada Malini karena keteguhan sikapnya.

Dan siang itu Malini buru-buru melangkah ke lift untuk mengejar waktu makan siangnya yang makin menipis. Sudah tak mungkin lagi pergi ke deretan kantin di sebelah gedung kantornya. Dalam hati ia menyesali kengototannya menyelesaikan pekerjaan walaupun waktu makan siang telah tiba. Terlambat 15 menit itu berarti banyak.

Hadeeeh... Malini memutuskan untuk naik saja ke lantai 12. Ada food court di sana. Dengan harga yang lebih mahal daripada kantin-kantin di luar, tentu saja? Apa boleh buat?

Sebelum pintu lift tertutup, sesosok tubuh berhasil menyelipkan dirinya masuk. Mas Bhre... Rekan sekantornya.  Malini mengangguk sambil tersenyum. Laki-laki itu pun membalas senyumnya.

“Mau ke mana, Lin?”

“Ke food court, Mas. Nggak keburu kalau harus ke kantin di luar.”

“Oh... Sama kalau begitu.”

Sepanjang pergerakan dari lantai 3 ke lantai 12, mereka hanya berdiam diri. Malini bukan orang yang mudah membuka percakapan dengan laki-laki sependiam Bhre.

Diam-diam Malini mencuri pandang ke arah bayangan sosok Bhre yang tepantul pada dinding lift. Kebetulan hanya ada mereka bedua dalam lift itu. Bhre bukanlah sosok yang tidak menarik. Wajahnya cukup menarik dengan kesan serius, terpelajar, dan profesional. Tubuh tinggi tegapnya sungguh mencerminkan kegemarannya berlatih judo.

Hm... Cuma dia yang nggak mengejarku ketika penampilanku berubah jadi lebih ‘nakal’...

Pintu lift terbuka di lantai 12. Bhre menyilakan Malini untuk keluar lebih dulu.

“Kita satu meja aja, Lin? Nggak keberatan?”

“Oke,” senyum Malini.

Setelah memilih makanan sesuai selera masing-masing, Malini mengarahkan langkahnya ke meja untuk berempat di sudut dekat jendela kaca besar. Bhre duduk di seberangnya.

“Selamat makan,” Bhre tersenyum menatap Malini sekilas.

Malini mengangguk sambil mulai menikmati sepiring gado-gado siram kesukaannya.

“Beberapa hari kulihat rambutmu cuma digelung aja. Kenapa?”

Pertanyaan sederhana bernada sambil lalu itu membuat Malini menghentikan suapan keenamnya. Ditatapnya Bhre. Yang ditatap balik menatapnya. Malini nyengir.

“Gerah, Mas.”

“Lho, kantor kita kan AC-nya cukup dingin?”

“Hehehe... Gerah sama reaksi para cowok yang jadi kayak kucing lihat ikan goreng.”

“Oh... Hehehe...”

“Padahal niatku cuma pengen merubah penampilan aja. Lapar mata lihat pada merubah warna rambutnya jadi ombre.”

Bhre tersenyum mendengar jawaban jujur Malini.

“Kamu sih mau rambutmu item atau ijo sih, menurutku tetap cantik, Lin...”

Malini hampir tersedak mendengarnya. Ini beneran apa rayuan? Ditatapnya Bhre. Wajahnya masih tampak serius dan ‘tanpa dosa’ seperti biasanya. Ketika mengangkat wajah, Bhre melihat tatapan aneh Malini.

“Kenapa?”

“Rasanya aneh aja dengar Mas Bhre ngomong begitu,” Malini nyengir sekilas.

“Ngomong gimana?”

“Yang itu tadi...,” Malini menghindari tatapan Bhre dengan kembali menyuapkan sesendok gado-gado ke dalam mulutnya.

“Soal kamu cantik?”

Malini mengangguk sekilas.

“Lho, memang kamu cantik kok!”

Malini buru-buru meneguk es teh manisnya sebelum benar-benar tersedak lontong dari gado-gadonya.

“Saking cantiknya sampai aku takut mendekatimu.”

“Uhuk!”

Malini betul-betul tersedak sekarang. Ia terbatuk beberapa kali. Bhre menatapnya khawatir.

“Pelan-pelan makannya, Lin. Masih cukup kok, waktu istirahat kita,” ucap Bhre sabar.

Bukan karena ituuu... Malini melap airmatanya dengan sehelai tissue. Kemudian ditatapnya Bhre.

“Mas bukannya orang yang nggak menarik, tapi kenapa sih dingin sama perempuan?”

“Dingin?” Bhre mengangkat alisnya. “Aku nggak pernah dingin sama perempuan. Aku cuma takut ada yang salah paham aja.”

Hm... I see...

Siapa juga sebetulnya yang tidak senang bila mendapat perlakuan ramah dari Bhre? Bahkan rekan-rekan perempuan yang sudah menikah sekalipun! Tapi Bhre tak pernah menggunakan daya tariknya itu untuk hal-hal yang ‘di luar jalur’. Ia tetap berusaha bersikap formal dan profesional di kantor. Kepada siapa pun. Buat Malini itu sangat mengagumkan, sekaligus membunuh harapannya.

Harapan? Wake up, Malini!

Bhre sudah selesai makan. Dengan rapi ia menangkupkan sendok-garpunya di atas piring yang sudah kosong. Ditatapnya Malini.

“Minggu depan aku sudah nggak di sini lagi. Aku sudah lama bergabung sama teman-temanku, buka kantor konsultan. Dan usaha kami makin tumbuh. Makanya aku resign untuk mengurusnya karena dua orang temanku memutuskan untuk lepas. Satu harus tugas belajar ke Jepang, satu lagi ikut suaminya tugas ke Kanada. Suaminya orang deplu.”

“Oh...,” mau tak mau ada nada kecewa dalam tanggapan singkat Malini.

“Kenapa?” senyum Bhre.

Malini menatap Bhre dengan wajah bersemu merah. Seperti telah tertangkap basah melakukan sesuatu yang memalukan.

“Jadi nggak bisa ketemu sama Mas Bhre lagi,” gumam Malini.

“Kan masih bisa di luar jam kantor. Kantor baruku nggak jauh dari sini kok. Masih bisa disempatkan makan siang bareng. Kalau kamu mau...”

Malini meletakkan sendoknya. Ditatapnya Bhre. Baru sekarang ia bisa menangkap pendar-pendar ‘yang lain’ di dalam mata Bhre. Pendar-pendar yang membuat perasaannya tergetar bagai tergelitik ribuan sayap kupu-kupu.

“Gimana, Lin?”

Malini tersentak.

“Euh... Aku... Tapi kenapa?”

“Tertarik mungkin perlu alasan, Lin, tapi tidak untuk cinta. Aku hanya menunggu waktu yang tepat. Supaya profesionalisme kita nggak terganggu. Dan setahuku, aku juga belum terlambat,” Bhre menatap Malini, penuh arti.

“Hm...,” Malini balik menatap Bhre. “Kita coba dulu ya? Yang jelas rasa itu... ada.”

Bhre mengulas senyum.

“Tapi bukan karena ombre-ku kan?” Malini mencoba untuk melepaskan diri dari jebakan getar-getar hatinya.

Bhre tertawa. Membuat Malini seolah dilemparkan ke sebuah taman bunga.

“Sudah kubilang, mau rambutmu item atau ijo, buatku kamu tetap cantik.”

Malini tersipu. Semoga...


* * * * *

Lagu latar : Just The Way You Are - Billy Joel


19 komentar:

  1. waah...model rambut...asyik..mbak ceritanya..

    BalasHapus
  2. Racun cerpen ini, bikin saya pengen ngecat rambut aja :). Salut, produktifitas mbak Lizz dalam menulis seakan gak pernah surut.

    Salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju ma mbak Dyah. Kalu saya yg pertama muncul di benak itu bagaimana ya kira2 visualisasi sosok Malini. Bikin penasaran :D

      Hapus
    2. @Mbak Dyah Rana : wuahaha... aku kabooor aja... nggak mo tanggung jawaaab...

      @Mas Pical : visualisasinya? Hm... gimana kalo ngelirik nyonya ajaaa? Hihihi...

      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  3. aku mau ombre nuansa ungu ajah... ungu = unyu = akyuuuuu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oleh ngakak nggak aku??? Wuakakakakak...
      Nuwus mampire jo, Jeng...

      Hapus
  4. Ombre = oh malini dan bre......haha sing ini asli sotoy
    Ini bukan mas Bhre yang itu kan?
    Apik.mbakeee.......

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jiaaah... isooo ae... wakakak...
      Iya ini nyatut namanya Mas ilustrator super oke itu. Nggak ijin lagi! Hihihi...
      Makasih mampirnya ya, Mbak...

      Hapus
  5. Wuihihihiii..seksiiii gimanaaaaa gitu tannn..
    seksih ceritanya, seksi ilustrasinyaaa :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Whoaaa... gitu ya? Hihihi...
      Makasih kunjungannya, Mbak...

      Hapus
  6. Keyen buanget mbak, romantis, apik pol.... Sik, tak nggelar kloso, nyumet lilin, disambi maem ramen..... Pas, pake bingits....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbok ojok kloso ngunu rek... Tatami ngunu lho... Ndek Jepun kok sik pancet ae kloso, wuakakak...
      Suwun mampire yo, Jeng Ayu Leeann...

      Hapus
  7. ide nya liat rambut siapa bu lis?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Liat rambut ombre-nya orang pas lagi jalan. Kebeneran warnanya nggak cocok sama warna kulitnya, hehehe... Makasih mampirnya, Mak Nun...

      Hapus
  8. waduh...sdh dr bulan kemarin pengin ngoprek rambut..malah sekarang baca ini. weeees...bsk berangkaaat....bonding rambut..hahahha. VOTED : Apik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... Emange nek nggak dibonding opo'o, Mak?
      Nuwus mampire yo...

      Hapus
  9. aku suka warna ijo.... pengen nyoba ah... kan nggak kelihatan, krn ketutup kerudung hehehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... Lucu kali ya, bayangin Mbak Avy rambutnya jadi ijo...
      Makasih singgahnya ya, Mbak...

      Hapus