Jumat, 27 Februari 2015

[Cerpen] Stalker








“Dia merasa dikuntit seseorang akhir-akhir ini,” Tania menatap Danet. “Aku takut semuanya itu benar, Pa... Dan...”

Tania tak sanggup meneruskan ucapannya. Danet utuh menangkap kekhawatiran dalam tatapan Tania. Pelan, lembut, dielusnya bahu Tania.

“Aku tak akan membiarkan hal itu terjadi, Ma,” ucapnya lirih. “Aku sudah berjanji padamu.”

Tania kemudian menenggelamkan dirinya dalam pelukan Danet. Terasa hangat. Selalu terasa hangat dan menenangkan.

“Mungkin memang sudah seharusnya Fresca tahu.”

Bisikan Danet seolah halilintar yang menggelegar di telinga Tania. Membuatnya seketika menarik dirinya dari pelukan Danet. Ditatapnya laki-laki itu, yang balik menatapnya dengan ketenangan yang tak berubah.

“Setelah semua yang dia lakukan padaku?” desis Tania.

Danet mengerjapkan mata. Bimbang. Setelah semua yang pernah terjadi, entah mana hal benar yang harus terjadi kemudian.

* * *

Cukup sudah!

Fresca membelokkan mobilnya ke halaman parkir sebuah mall dan menunggu selama beberapa saat untuk memastikan apakah nalurinya benar. Dan ternyata semua perasaannya tidak salah.

Sedan hitam itu ikut masuk ke parkiran mall, bahkan parkir tak jauh dari tempatnya memarkir city car-nya. Hingga beberapa lama kaca gelap city car itu menyamarkan kehadiran Fresca yang masih berada di dalamnya. Ketika tak ada tanda-tanda ada orang turun dari dalam sedan itu, layaknya orang yang hendak berkunjung ke mall, Fresca pun keluar dari mobilnya. Dengan langkah gagah dan mantap, dihampirinya sedan hitam itu.

“Halo!” Fresca mengetuk kaca depan kanan tiga kali.

Perlahan jendela kaca itu turun, menampakkan seraut wajah berusia sekitar lima puluhan yang menatap Fresca dengan sorot mata yang sungguh sukar diartikan.

“Saya merasa sudah sekitar sebulanan ini Anda menguntit saya,” ucap Fresca lugas. “Siapa Anda? Dan, ada apa?”

Pintu mobil terbuka dan laki-laki itu keluar dari mobilnya. Fresca mundur sedikit. Memasang kuda-kuda. Siap menghadapi segala sesuatu yang mungkin terjadi.

“Fresca?” suara laki-laki itu terdengar bergetar. “Aku... ayahmu, Nak...”

* * *

Ada kemarahan. Ada kesedihan. Ada penyesalan. Dan masih banyak lagi perasaan yang bergumul dan bergulung jadi satu dalam hati Fresca. Antara percaya dan tidak. Antara ingin marah dan ingin menangis. Antara ingin menghabisi laki-laki di depannya itu dan sekaligus ingin memeluknya.

“Aku sebenarnya tidak membayangkan kita bertemu dalam keadaan seperti ini,” ucap laki-laki itu, patah.

Fresca terhenyak di kursinya. Ditatapnya segelas jus jeruk yang sedari tadi tak juga disentuhnya. Kini ia meraihnya. Menyedot isinya hingga hanya tersisa sepertiga. Berusaha untuk mendinginkan hati dan otaknya.

“Kenapa Anda melakukan itu?” bisiknya kemudian, dengan getar sisa kemarahan yang belum surut.

“Aku mencintai ibumu,” desah laki-laki itu, tertunduk.

“Mencintai itu tidak menyakiti. Tapi apa yang sudah Anda lakukan pada mama saya?”

“Aku khilaf, Nak. Terbawa gejolak muda yang aku tak bisa menahannya.”

“Lalu kenapa Anda baru mencari saya sekarang?”

Pertanyaan itu telak menghantam Dean, laki-laki itu. Ditatapnya Fresca sedetik, untuk kemudian tertunduk lagi.

“Aku sudah mencarimu bertahun-tahun. Setelah membuatku menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengganggu lagi selamanya, Tania menghilang. Bersamamu yang selama ini tak pernah kutahu wujudnya. Maafkan aku, Nak...”

Fresca menggelengkan kepala sambil menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi.

“Satu-satunya papa yang saya kenal cuma papa saya. Yang tak pernah saya ragukan kasih sayangnya. Bukan Anda.”

Fresca berdiri. Membuat Dean mendongak.

“Tolong, dengarkan dulu,” Dean berucap lirih. “Kamu punya adik, dan sekarang dia butuh donor ginjal. Satu-satunya harapanku cuma kamu. Tolonglah...”

Fresca utuh mendengarkan kalimat itu. Untuk kesekian kalinya ia harus limbung. Tapi dengan membekukan rasa ia melangkah pergi. Perlu jeda sejenak untuk menata hatinya yang hancur porak-poranda.

* * *

Danet mendekap buah hatinya yang kini tersedu hebat. Sesungguhnya hatinya hancur. Tak bisa membayangkan akan kehilangan Fresca dengan cara yang begitu tiba-tiba. Tapi ayahnya juga berhak atas putrinya ini, bisik hati Danet, terbata-bata.

“Katakan semua itu tidak benar, Papa... Katakan...,” ucap Fresca di tengah uraian tangisnya.

Danet makin erat mendekap Fresca.

Setelah dua puluh empat tahun, akhirnya ketakutannya menjadi kenyataan. Laki-laki itu, ayah kandung Fresca, mendadak muncul dan berpotensi menghancurkan lagi semuanya yang sudah ditatanya rapi dengan susah-payah.

Tahukah dia hal apa saja yang sudah terjadi setelah dia melakukan perkosaan terhadap Tania?

Danet mengerjapkan matanya yang menghangat. Fresca masih tersedu dalam pelukannya. Menuntaskan tangisnya yang entah kapan akan berhenti.

“Ada apa ini?”

Danet menoleh. Tania yang baru pulang arisan berdiri di ambang pintu teras belakang dengan kerut di keningnya. Tapi tatapan putus asa Danet seolah sudah menjelaskan semuanya. Membuat Tania terduduk lunglai. Berusaha mengatur napasnya yang terasa sesak.

* * *

Seumur hidup, Tania tak akan pernah melupakan peristiwa hitam itu. Peristiwa hitam ketika Dean memperkosanya sore itu. Entah bagaimana detilnya, ia tak lagi mau dan mampu mengingat.

Yang tertinggal di dalam benak, tubuh, dan hatinya adalah rasa sakit yang nyaris tak tertanggungkan. Apalagi yang melakukannya adalah Dean, kekasihnya sendiri. Seseorang yang selalu diharapkannya dapat menjaga dan melindunginya. Ketika semua itu dilanggar Dean, sakitnya sungguh tak terkira.

Bahkan sampai sekarang masih juga terasa sakitnya, Tania tergugu.

Ketika ia tahu dirinya hamil dan berusaha meminta pertanggungjawaban, perlakuan yang diterimanya sungguh-sungguh sukar diterima nalarnya. Ibu Dean menolak mentah-mentah permintaan itu. Bahkan menuduhnya perempuan jalang yang mencoba menjebak Dean.

Sebetulnya Dean mau mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi keluarga Tania telanjur tidak terima. Ketika ia datang sendirian untuk menemui Tania di rumah, yang dihadapinya adalah puncak kemarahan Rudy dan Abe, abang-abang Tania. Kalau saja orangtua mereka tak mencegah, bisa jadi Dean pulang hanya tinggal nama.

Di situ Dean dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan tidak akan mengganggu lagi Tania dan janin yang dikandungnya. Selamanya. Lalu semuanya dianggap selesai. Tania dinikahi Danet, sahabat Rudy.

Benar-benar selesai?

Tania menggelengkan kepalanya.

* * *

Setelah semua yang ia lakukan untuk ‘mengembalikan’ Tania seutuhnya, rasanya tak rela bila ada yang hendak mengusik ketenangan itu. Bila menuruti egonya, ingin rasanya Danet menghancurkan saja manusia bernama Dean itu.

Tak akan pernah hilang dari ingatan Danet, betapa berpuluh malam setelah pernikahan mereka, Tania masih saja histeris karena diganggu hantu mimpi buruk. Tiap malam. Tanpa jeda. Membuatnya nyaris putus asa.

Butuh berminggu-minggu untuk membujuk Tania menjalani terapi untuk memulihkan kondisi kejiwaannya. Sama sekali bukan masa yang mudah, apalagi diikuti kekhawatiran kondisi Tania akan mempengaruhi janin yang dikandungnya.

Dan, ketika bayi cantik itu terlahir ke dunia, masalah belum selesai. Tania berbulan-bulan mengalami baby blues syndrome. Membuat bayi mungil itu hanya sekedar mendapatkan ASI tanpa sentuhan kasih sayang. Setelah sindrom itu berlalu, masih juga ada banyak kesulitan yang menghadang.

Butuh waktu bertahun-tahun bagi Danet untuk bisa ‘menyentuh’ Tania. Traumanya terlalu berat hingga butuh kesabaran lebih untuk pulih seperti sedia kala. Semuanya itu sudah melampaui batas kekuatannya hingga Danet pun harus tumbang karena radang lambungnya berada pada titik terparah dari yang pernah dideritanya.

Tapi Gusti mboten nate sare, Tuhan tidak pernah tidur. Kondisi itu justru menjadi titik balik pulihnya Tania secara utuh.

Gadis mungil yang sangat cantik itu kini punya ibu yang paling menyayanginya sedunia, dan punya ayah yang tak akan membiarkan seekor semut pun menempel di tubuhnya untuk menggigitnya. Fresca tumbuh menjadi sosok mandiri, penuh kasih dan cinta. Dan, Danet memiliki dua orang pemuja fanatik yang dengan sepenuh hati dicintai dan dilindunginya.

Menatap senyum Tania dan mata gemerlap Fresca, seolah semua kelelahan dan rasa sakit itu terbayar lunas. Ia tak lagi membutuhkan apa-apa.

Tapi kehidupan Fresca setelah ini? Semuanya tak lagi sama ketika laki-laki brengsek itu muncul dengan permintaannya yang sungguh tak masuk akal!

Danet menggeram dalam hati.

Kalau menuruti emosi, ingin rasanya Danet menjauhkan Fresca dari semua hal yang belakangan ini sangat melukai hati malaikat kecilnya itu. Sejauh-jauhnya. Tak terjangkau, kalau mungkin. Selamanya Fresca akan tetap menjadi malaikat kecilnya. Tapi sebagai seorang ayah, ia memahami keinginan Dean. Sepenuhnya. Mungkin ia akan melakukan hal yang sama kalau menghadapi situasi yang sama.

Dan, semua itu membuat Danet diserang rasa nyeri yang luar biasa. Rasa nyeri di ulu hati yang sudah bertahun-tahun tak pernah menghampirinya lagi. Membuatnya limbung seketika.

* * *

Fresca melihat cairan infus yang menetes satu-satu itu dengan tatapan kosong. Ketika didengarnya helaan napas panjang yang terdengar berat, ia tersadar dan tatapannya beralih pelan-pelan. Mengikuti jalur slang infus yang berakhir di jarum yang menancap di tangan kiri ayahnya.

Tangan kekar yang sudah bertahun-tahun melindunginya dari rasa sakit dalam bentuk apapun. Tangan kekar yang selalu memberinya belaian lembut di kepala. Tangan kekar yang  selalu memberinya pelukan hangat kapan pun ia butuhkan.

Airmata Fresca menetes tanpa bisa ditahan. Dan isakan tertahannya membuat Danet membuka mata. Pelan.

“Kok, nangis?” bisik Danet kemudian, nyaris tak terdengar.

Fresca buru-buru menyusut airmatanya. Ia kemudian berusaha untuk tersenyum.

“Papa mau minum?”

Danet menggeleng.

“Perutnya masih sakit?”

Danet memutuskan untuk tak menjawab.

“Mama mana?” ia malah balik bertanya.

“Aku suruh pulang. Kasihan, Pa. Mama kelihatan capek sekali.”

“Oh... Kamu tidak masuk kerja?”

Fresca menggeleng. “Aku ambil cuti.”

Hening. Danet memejamkan matanya.

“Pa...”

Danet membuka lagi matanya.

“Sudah jangan pikirkan lagi hal yang itu, ya?” tangan Fresca lembut mengelus pipi Danet. “Aku tidak akan pernah meninggalkan Mama dan terutama Papa. Setelah semua yang sudah Papa lakukan untukku dan Mama.”

“Fres... Kamu sayang sama Papa?”

Tanpa ragu Fresca menganggukkan kepalanya.

“Kamu lihat Papa sekarang. Seandainya Papa harus menjalani cangkok salah satu organ tubuh, dan di luar sana ada orang yang kemungkinan besar cocok dengan Papa, apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku akan mencarinya sampai ketemu,” Fresca menjawabnya tanpa berpikir panjang lagi.

Danet mengangguk lemah, “Ya. Dan itulah yang ayahmu lakukan belakangan ini.”

Fresca terhenyak. Ditatapnya senyum tipis ayahnya.

“Tapi semuanya terserah kamu, Nak. Itu tubuhmu. Kamu punya hak penuh atasnya.”

Dan, Fresca pun meluruh dalam tatapan penuh kasih sang ayah.

* * *

Pelan-pelan Tania menutup daun pintu di belakangnya. Ketika ia melihat pintu kamar Fresca masih terbuka lebar, ia melongok ke dalamnya. Kosong. Dan ketika ia turun ke lantai bawah, dilihatnya Fresca tengah asyik menatap layar televisi. Tapi tatapan itu terlihat kosong.

“Fres... Melamun?” diusapnya lembut bahu Fresca, membuat gadis itu tersentak.

Fresca mengalihkan tatapannya. Tania duduk di sebelahnya.

“Papa sudah tidur?”

Tania mengangguk.

“Kelihatannya Papa senang sekali sudah boleh pulang.”

Tania kembali mengangguk. “Siapa, sih, yang betah diopname?”

Fresca tersenyum tipis.

“Kamu memikirkan laki-laki itu lagi?”

Senyum Fresca lenyap. Dengan jelas ia mendengar nada bicara ibunya mulai menajam.

“Memikirkan permintaannya, Ma, bukan memikirkan dia.”

“Sama saja,” dengus Tania. “Selalu mau menangnya sendiri.”

Fresca menggenggam tangan Tania.

“Ma,” ucap Fresca, lembut. “Papa menyuruhku memikirkan permintaan laki-laki itu. Menyuruhku memikirkan apa yang akan kulakukan kalau menghadapi situasi yang sama dengan yang dialami laki-laki itu. Aku...”

“Papamu selalu begitu,” potong Tania, setengah mendesah. “Selalu memikirkan orang lain. Tak pernah memikirkan dirinya sendiri.”

“Ma, dengar dulu,” senyum Fresca, sabar. “Aku paham semua yang pernah terjadi di masa lalu itu sangat-sangat-sangat berat buat Mama. Buat Papa juga. Semua rasa sakit itu membentuk kita jadi kita yang sekarang. Aku juga sakit, Ma, tahu bahwa kehadiranku di dunia ini caranya seperti itu. Sementara setahuku aku anak kesayangan Mama dan Papa yang lahir dari buah cinta.”

Tania meraih Fresca ke dalam pelukannya.

“Aku tak tahu akan jadi apa kita tanpa papamu, Fres,” bisik Tania.

Fresca balas memeluk Tania.

“Aku kuat karena Papa, Ma. Mari kita sama-sama memulihkan diri. Aku sudah diskusi sama Alfons. Dia menyerahkan semua keputusan padaku. Akan mendukung semua keputusan yang kuambil. Ini baru awalan. Baru cek kecocokan. Selanjutnya biar Tuhan yang membantu.”

Tania makin erat memeluk Fresca.

* * *

Sejak awal mengenal Fresca, Alfons selalu mempercayai hatinya bahwa Fresca memang benar-benar perempuan yang istimewa. Perasaan itu makin teguh setelah ia diperbolehkan mengenal Danet dan Tania, orangtua Fresca. Orangtua istimewa yang membentuk Fresca menjadi sosok istimewa pula.

Ketika Fresca limbung saat harus mengetahui sejarah hidupnya dengan cara tiba-tiba, yang bisa dilakukannya adalah sekuat tenaga menopang Fresca dengan segala cara. Membuatnya merasa berarti dalam hidup Fresca.

Dan kini ketika Fresca menggenggam tangannya dengan sedikit sisa gemetar dan rasa dingin, Alfons menggenggamnya erat Berusaha menyalurkan seluruh kehangatan yang ia punya.

“Kamu masih bisa mundur kalau memang tidak mau,” ucap Alfons halus.

Tapi Fresca menggeleng.

“Cuma pemeriksaan, Fons,” Fresca berusaha untuk tersenyum.

Alfons kemudian menatap laki-laki berjas putih yang berjalan mendekat itu. Dokter yang akan melakukan rangkaian pemeriksaan pada Fresca. Seorang laki-laki yang sangat dikenalnya. Yang semalam menuturkan kalimat yang akan diingatnya seumur hidup.

“Kalau kamu mau menyakiti Fresca, sebaiknya ingat dulu almarhum Mama, Fons. Jangan pernah menyakiti perempuan yang sudah mencintaimu sedemikian rupa.”

Tak perlu banyak kata untuk membuat Alfons meyakini bahwa yang dikatakan ayahnya itu adalah benar adanya. Selama bertahun-tahun ia melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa ayahnya merawat ibunya yang terkena stroke di usia 38 tahun, saat Alfons masih SMP. Bertahun-tahun hingga perempuan terkasih itu berpulang lima tahun yang lalu.

“Fresca, sudah siap?”

Fresca menatap Dokter Anton sebelum mengangguk mantap. Ia bangkit dari duduknya sambil menatap Tania dan Danet. Keduanya mengangguk sambil tersenyum, memberi semangat. Dan dengan kepala tegak, Fresca kemudian melangkah mengikuti Dokter Anton.

“Pa...”

Dokter Anton memutar tubuhnya sejenak. “Ya?”

“Titip Fresca,” senyum Alfons.

Dokter Anton membalas senyum dan permintaan itu dengan acungan jempolnya.

* * *


Epilog


Fresca menatap arlojinya sejenak sebelum melanjutkan langkahnya memasuki cafe itu. Dan di sebuah sudut, laki-laki itu sudah menunggunya. Tanpa banyak kata, Fresca duduk di depan laki-laki itu. Berseberangan meja. Ketika seorang pramusaji menawarkan menu, Fresca menggeleng dengan tegas tapi ramah. Selanjutnya ia menatap laki-laki itu.

“Saya harap semuanya berakhir di sini,” ucap Fresca datar.

Laki-laki itu menatapnya dengan sorot mata memohon. Tapi Fresca menggeleng dengan kukuh.

“Saya tahu harapan Anda, Pak. Tapi tentunya Anda tidak menutup mata terhadap ketentuan Tuhan. Ginjal saya tidak cocok dengan yang dibutuhkan putri Anda walaupun mungkin ada tetes darah kami yang sama.”

Laki-laki itu tertunduk dengan wajah muram.

“Kami, terutama Mama, sudah memaafkan perbuatan Anda di masa lalu. Perbuatan yang membuat saya hadir di dunia ini dengan banyak alasan. Saya harap itu cukup buat Anda. Tolong jangan ganggu kami lagi. Setidaknya kalau memang ada setitik rasa sayang Anda terhadap saya, lakukan itu buat saya. Kalaupun tak ada rasa itu, tolong lakukan itu untuk menghormati mama saya yang kehormatannya pernah Anda renggut dengan paksa. Kalaupun Anda tak bisa menganggap semua itu sebagai alasan, tolong lakukan itu untuk menghormati papa saya sebagai sesama laki-laki.”

Laki-laki itu menatap Fresca dan ucapannya yang nyaris tanpa jeda. Otaknya serasa lumpuh dan lidahnya kelu. Ia tak mampu mengucapkan apapun.

“Saya berharap putri Anda kelak mendapatkan donor yang cocok. Ketidakcocokan ini jelas bukan kemauan saya. Jadi, marilah kita kembali ke kehidupan masing-masing. Darah Anda memang ada yang mengalir dalam tubuh saya. Tapi secara emosional dan hukum, saya mutlak putri papa saya. Papa Danet. Saya harap Anda menghormati itu.”

Fresca bangkit dari duduknya. Laki-laki itu masih menatapnya dengan putus asa.

“Saya berharap Anda berbahagia dengan hidup Anda, Pak. Selamat sore.”

Tanpa menunggu lama, Fresca segera meninggalkan cafe dengan laki-laki itu masih terduduk lesu di dalamnya. Ada yang mengaca dalam telaga bening Fresca. Tapi ia berusaha untuk tersenyum ketika tatapannya bertemu dengan tatapan laki-laki lain yang sangat disayangi dan dihormatinya. Yang sudah dengan sangat sabar menunggunya di dalam mobil.

“Bagaimana?” tanya Danet sambil menghidupkan mesin mobil.

“Sesuai keinginanku, Pa. Supaya dia tak lagi mengganggu kita,” Fresca meraih kotak tissue, mengambil selembar tissue dari dalamnya, kemudian mengusap matanya.

“Seandainya pikiranmu berubah, Papa yakin dia masih tetap akan menunggumu membuka hati,” Danet mulai menekan pedal gas.

“Nanti, Pa,” Fresca menoleh sekilas. “Bukan sekarang. Yang penting aku sudah memaafkannya. Aku hanya ingin hidupku kembali. Bersama Mama, Papa, Alfons. Sementara ini aku ingin seperti itu.”

Danet mengangguk. Selalu mengerti. Berharap tak ada lagi stalker lain lagi yang akan mengacaukan hidup putri kesayangannya.



* * * * *

Sumber gambar

Lagu latar : Until The Last Moment - Yanni




23 komentar:

  1. perutku langsung semriwing... cangkok ginjal ??? sereeeemmmm... untung gak jadi...

    BalasHapus
  2. Jadi kasihan juga ya sama om Dean...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya... Gimana ya? Jadi bingung jawabnya, hehehe...
      Makasih mampirnya, Mas Pical...

      Hapus
  3. Apik kok banget gitu toh mbak, salut buat mbak'e..... Cerpen'e baru khan? Yg lama mana? Jangan ditinggal di lapak sebelah, eman eman.......

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang lama udah tak'usungi semua ke sini, tinggal klik entry cerpen atau cermin kan keluar semua judulnya...
      Makasih singgahnya, LeeAnn...

      Hapus
  4. Gak iso komen. Sibuk mengusap air mata


    Ciamik mbakyu...

    BalasHapus
  5. Hhmm.. kudu ati-ati nih yang sering stalkingin, huihihihiii :D
    Muantap banget tan ceritanyaaaaaa..

    BalasHapus
  6. Mba Liiiiis aq ga isok komen wes! Mbrebes mili ambek ndekep bayiku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... Suori banget, Niiit! Suwun mampire yo...

      Hapus
  7. weeekkk -_- napa 2 hari ni orang-orang pada hobi bikin mata menggenang??????
    ada ava iniiiii................??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Efek tanggal tua, Mas Andooo... Hahaha...
      Makasih kunjungannya ya...

      Hapus
  8. Balasan
    1. Padahal ceritanya cenderung datar lho... Makasih mampirnya, Mbak MM...

      Hapus
  9. Ending yang tak terduga, mengharukan di sisi lain, mengecewakan yang begitu berharap. Apakah ini sebuah karma? Kisah hidup memang selalu saja ada dan begitu indah diceritakan oleh imajinasi terampil mbak Lis Suwasono.

    Salam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jiaaah... jadi nggak tau harus nanggepin gimana, hehehe...
      Makasih kunjungannya, Mas TP...

      Hapus
  10. Uhuk! Kirain happy ending for all...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hm... Hidup nggak selalu harus sesuai keinginan dan perkiraan... (halaaah)
      Makasih mampirnya, Mas Ryan...

      Hapus