Dua Puluh Satu
Bunyi ponsel yang seolah tak ingin ada jeda membuat Arlena terjaga. Sejenak ia mengerutkan kening ketika menyadari tertidur di mana. Ia tidak berada di ranjang di dalam kamar, tapi di sofa ruang tengah. Sekilas ia teringat apa yang sudah ia alami.
Semalam, menjelang pukul delapan, ia pulang dan mendapati rumah dalam kondisi lengang. Tak ada Prima, Olivia, Maxi, maupun Carmela. Mobil Olivia pun tidak ada.
Hm... Mungkin Livi dan Mela belum pulang dari Puncak.
Dengan tenang ia menutup pintu pagar dan garasi.
Tapi Papa dan Maxi? Oh... Mungkin menjemput Livi dan Mela ke Tebet.
Maka ia pun menunggu sambil mandi. Setelahnya, ia duduk di ruang tengah. Mencoba melewatkan waktu dengan menonton televisi. Dicobanya untuk menghubungi ponsel Prima, tapi ponsel di seberang sana itu kelihatannya dalam kondisi mati. Kemudian Carmela, sama. Olivia, tidak diangkat. Maxi, malah di-reject. Dengan kesal, dilemparkannya ponsel ke atas coffee table.
Ia kemudian membaringkan tubuhnya di sofa. Tanpa sadar ia terlelap. Sekitar pukul dua dini hari, ia terjaga karena rasa haus. Setengah sadar ia melangkah ke dapur untuk mengambil air minum. Setelah itu kesadarannya seolah kembali. Ia melangkah ke depan. Mengintip dari balik tirai jendela samping ruang tamu yang mengarah ke depan pintu garasi. Kosong. Mobil Olivia tetap tidak ada.
Ini sebetulnya pada ke mana, sih?!
Keresahan mulai melanda hatinya. Ia pun naik ke lantai dua. Hampir berlari. Tapi kondisi di atas sama seperti ketika ia selesai mandi tadi. Semua pintu kamar dalam keadaan terbuka. Tanda bahwa para penghuninya tidak ada di dalam. Ketika hendak kembali menelepon, baru ia teringat bahwa ponselnya tertinggal di bawah. Dengan langkah sedikit menghentak karena dilanda kejengkelan, ia kembali turun. Kali ini panggilan ke ponsel Prima tersambung, tapi tak diangkat. Begitu pula ke ponsel Olivia. Maxi dan Carmela sama, ponsel keduanya dalam kondisi mati. Diembuskannya napas keras-keras sambil sekali lagi menghempaskan ponselnya ke atas coffee table.
Ini mau ngerjain atau gimana, sih?!
Arlena menggeleng gusar, kemudian kembali ke posisinya semula. Berbaring di atas sofa. Ia berusaha tetap terjaga, tapi kantuknya menang. Lelap kemudian menguasainya, hingga ponselnya berbunyi baru saja.
Arlena mengangkat tubuhnya dari sofa, hendak meraih ponsel yang tergeletak di atas coffee table. Tapi benda itu justru tak bersuara lagi. Ia mendecak gusar. Ketika hendak beranjak, ponselnya berbunyi lagi. Dengan wajah jengkel, diraihnya benda itu.
“Ya?” sahutnya tanpa melihat lagi siapa yang menelepon.
“Bu, Ibu di rumah sakit? Ini saya gimana nasibnya?”
“Kamu ini di mana?”
“Di depan garasi, Bu. Saya...”
Kening Arlena mengernyit. Ia ingat, semalam memang tidak menggembok pintu pagar, hingga Muntik bisa masuk ke halaman rumah.
“Tunggu sebentar,” Arlena mengakhiri pembicaraan itu dan beranjak ke garasi. Dibukanya pintu dari dalam. Benar, Muntik sudah berdiri di sana. Menatapnya dengan ragu-ragu.
“Saya kira nggak ada orang di rumah,” gumam Muntik.
“Ini kamu tahu, nggak, orang-orang pada ke mana?” Arlena mulai merepet. “Semalam aku pulang, kok, rumah kosong. Bapak dihubungi nggak bisa. Anak-anak juga begitu.”
Muntik seketika menghentikan langkahnya. Arlena yang menyadari hal itu pun melakukan hal yang sama.
“Jadi Ibu nggak tahu?” wajah Muntik terlihat tak percaya.
“Tahu apa?” Arlena mengerutkan kening dengan sikap tidak sabar.
“Beneran Ibu nggak tahu?”
“Apa, sih, Tik? Ngomong yang jelas!” Arlena membelalakkan matanya.
“Kan..., kemarin siang... Bapak masuk... rumah sakit.”
“Hah???” mata Arlena kian lebar. “Jangan main-main, kamu, Tik!”
“Iya, Bu. Tahu-tahu Bapak lemas, terus pingsan pas sudah masuk ke mobil. Sama Mas Maxi terus dibawa pergi. Nggak tahu ke mana.”
“Kenapa aku nggak dikabariii?!” sentak Arlena dengan wajah gemas bercampur marah.
“Saya sudah berusaha menelepon Ibu, tapi ponsel Ibu mati,” jawab Muntik tanpa kesan membela diri.
“Dirawat di rumah sakit mana?”
“Nggak tahu, Bu. Pas sorenya Mas Maxi dan Mbak Mela pulang, Mas Maxi cuma bilang Bapak harus di ruangan khusus. Ditungguin Mbak Livi.”
Arlena meninggalkan Muntik yang masih berdiri di garasi. Ia kemudian menghenyakkan tubuhnya ke sofa.
Dirawat di ruang khusus? Di mana?
Ia menoleh ketika Muntik melintas.
“Memangnya kenapa, kok, Bapak bisa tahu-tahu sakit?”
“Itu....” Seketika Muntik teringat pesan Maxi soal amplop. Maka ia memutuskan untuk menatap Arlena dengan sorot mata sepolos mungkin. “... saya nggak tahu, Bu. Tahu-tahu Bapak limbung. Lemas.”
Arlena makin terhenyak. Tapi sebelum Muntik menyingkir, ia berucap lirih, “Tik, pulsamu masih ada?”
“Ada, Bu,” angguk Muntik.
“Tolong, kamu telepon Maxi atau Livi. Kalau aku yang telepon, pasti nggak diangkat. Tanya, Bapak dirawat di mana.”
“Baik, Bu.”
* * *
Olivia mengurut pangkal hidungnya untuk mengurangi rasa pening. Sejujurnya ia terbeban dengan kehadiran Luken. Dengan jelas ia melihat kelelahan dalam wajah laki-laki itu, tapi Luken tetap bersikukuh untuk menemaninya.
Semalaman ia tak bisa tidur, sementara Luken duduk bersandar sambil memejamkan mata. Begitu juga Maxi dan Carmela. Wajah-wajah letih yang membuatnya menitikkan air mata.
Tiap kali ia mengintip kondisi Prima melalui jendela viewing gallery, yang didapatinya tetap sama. Ayahnya masih tetap terbaring diam, dengan ventilator mengalirkan udara langsung ke paru-paru. Dan berkali-kali pula ia harus mengusap air mata.
“Minum dulu, Liv,” Luken menyodorkan sebotol air mineral padanya.
Olivia menerimanya sambil mengucapkan terima kasih. Segera saja sedikit kesegaran mengaliri tubuhnya begitu ia meneguk air itu. Luken mengeluarkan sebuah roti dari kantong plastik, mengulurkannya pada Olivia. Dan laki-laki itu melakukan hal yang sama pada Maxi dan Carmela.
“Liv, setelah ini, sebaiknya kamu pulang,” ucap Luken halus. “Istirahat. Bawa juga Maxi dan Mela. Nanti kalau kalian sudah lebih segar, baru kembali ke sini. Jangan sampai kalian sakit juga karena terlalu lelah.”
Olivia tak punya pilihan lain kecuali mengangguk. Seutuhnya ia menyadari kebenaran dalam ucapan Luken. Ia juga tahu, Luken tidak akan pulang kalau ia tidak pulang. Wajah Luken terlihat lega ketika melihat anggukan kepala Olivia. Sejujurnya, ia tak keberatan bila harus tetap berada di tempat ini untuk menemani Olivia, walaupun ia juga merasa penat dan butuh membersihkan diri.
“Pak, sepertinya saya belum bisa masuk kerja hari Senin lusa,” celetuk Olivia sambil mengunyah rotinya. Tatapannya masih jauh menerawang entah ke mana.
“Take your time, Liv,” Luken mengangguk. “Jangan pusingkan soal pekerjaan. “Yang penting kesembuhan papamu. Dan jangan segan hubungi aku kalau kamu butuh sesuatu.”
“Terima kasih, Pak, atas semuanya.”
Luken kembali mengangguk. “Sama-sama, Liv.”
Saat itu ponsel Olivia berbunyi. Keningnya berkerut ketika melihat nama yang terpampang di layar.
“Ya, Bik?” ujarnya tanpa pembukaan.
“Mbak, gimana kabar Bapak?”
“Belum ada perubahan, Bik.”
“Memangnya Bapak dirawat di mana, Mbak?”
Alarm di kepala Olivia langsung berbunyi. Kewaspadaannya meningkat. Muntik bukan orang yang terlalu ingin tahu walaupun bukannya tak peduli juga.
“Bik, ini aku sama Maxi dan Mela sudah jalan mau pulang,” Olivia ngeles. “Nanti kita ngomong di rumah.”
Segera ia mengakhiri pembicaraan itu. Rasa-rasanya ia tahu siapa yang ada di belakang ke-kepo-an Muntik. Ditatapnya sejenak arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah lewat pukul delapan pagi. Ia kemudian berdiri dan mendekati seorang perawat yang bertugas di viewing gallery.
“Sus, saya bisa minta tolong?” ucapnya. Terdengar agak ragu-ragu.
“Iya, Mbak? Ada yang bisa saya bantu?” sahut perawat itu dengan sangat ramah.
“Kami, kan, sedang bermasalah dengan Mama. Papa sakit juga karena itu. Saya mau minta tolong, kalau ada perempuan yang mau menjenguk dan mengaku istri Papa atau siapa pun, tolong, jangan diizinkan. Pokoknya, kecuali kami bertiga, dan bapak itu--,” sekilas tatapan Olivia mengarah ke Luken, “—jangan dikasih masuk ke sini. Bisa, Sus?”
“Oh, iya, Mbak, saya mengerti,” perawat itu mengangguk. “Nanti saya lampirkan catatan khusus. Bisa saya minta nama-nama yang boleh menjenguk? Sekalian nomor kontak Mbak untuk konfirmasi,” perawat itu menyodorkan sehelai kertas dan bolpoin.
Olivia mengangguk. Segera ditulisnya dengan jelas nama-nama yang mendapat izin untuk menjenguk Prima melalui viewing gallery. Juga nomor ponselnya.
“Nanti kalau ada perubahan, saya infokan lagi,” ucap Olivia sambil menggembalikan kedua alat tulis itu. “Terima kasih banyak atas kerja samanya, Sus.”
“Sama-sama, Mbak.,” angguk perawat itu. “Mbak mau pulang?”
“Ya.”
“Nggak perlu khawatir, ya, Mbak. Kami akan jaga dan rawat Bapak baik-baik.”
Sekali lagi Olivia mengucapkan terima kasih sambil berpamitan. Tak lupa ia mampir sejenak ke depan jendela. Ditatapnya sosok Prima dengan hati berdarah.
Pa, aku dan adik-adik pulang sebentar. Tolong, bertahanlah untuk kami...
Ia kemudian berlalu. Di luar, ditatapnya Maxi dan Carmela.
“Kita pulang dulu,” ucapnya tegas. “Perlu istirahat. Papa butuh kita dalam kondisi kuat. Nanti kita kembali lagi. Sana, kalian pamitan dulu sama Papa. Walaupun cuma dari luar, Mbak yakin Papa dengar suara hati kita.”
Maxi dan Carmela mengikuti ucapan Olivia dengan patuh. Satu lagi kekaguman muncul dalam hati Luken. Pada saat seperti ini, ia benar-benar makin mengenal Olivia. Seorang gadis yang bisa mengendalikan situasi dalam kondisi genting. Bisa memimpin adik-adiknya dengan sangat baik. Ia tercenung sesaat mengingat usikannya pada Olivia semalam.
“Liv, kamu nggak hubungi Miko?” tanyanya halus.
Olivia menoleh sekilas, kemudian mengangkat bahu dan menjawab, “Mas Miko lagi ke Bangkok sama maminya. Makanya wisata tadi saya ajak Mela, Pak, bukan Mas Miko, walaupun saya inginnya begitu.”
Dan ia terpaksa manggut-manggut menanggapi jawaban Olivia.
“Pak...”
Luken sedikit tersentak.
“Bapak yakin bisa menyetir dalam kondisi lelah begini?”
Mata Luken mengerjap begitu melihat tatapan khawatir Olivia.
“Bisalah, Liv,” senyumnya. “Nggak terlalu jauh ini. Oh, ya, mungkin nanti sore aku nggak bisa jenguk ke sini. Siang ini papa-mamaku datang dari Purwakarta. Mungkin besok bisa. Tapi benar, kalau kamu butuh apa-apa, jangan segan hubungi aku. Janji?”
Olivia mengangguk sambil tersenyum. Sekadar menyenangkan dan melegakan hati Luken. Mereka kemudian berpisah di area parkir. Tak lupa Luken memberi kecupan di puncak kepala Carmela. Diam-diam gadis remaja itu mengusap air matanya begitu sudah berada di mobil.
“Kenapa, Mel?” Maxi menatapnya dari spion tengah sebelum melajukan mobil.
“Pak Luken itu... benar-benar kayak Papa...,” jawab Carmela dengan suara bergetar.
Mendengarnya, Olivia tercenung seketika.
* * *
Maxi mendengus saat melihat Arlena sudah menunggu di teras depan ketika mobil yang dikemudikannya berbelok dan meluncur di carport. Dalam perjalanan tadi, ketiganya sudah sepakat untuk tutup mulut tentang lokasi dirawatnya Prima.
“Kalau Mama buntuti kita saat kita balik nanti, gimana?” tiba-tiba saja Carmela menyeletuk.
“Serahkan saja padaku,” jawab Maxi sambil menarik rem tangan.
Dalam diam, ketiganya turun dari mobil.
“Papa gimana? Dirawat di mana?” Arlena berusaha menghadang langkah anak-anaknya di depan pintu garasi.
Tapi kedua tangan Olivia mencengkeram lengan Maxi dan Carmela. Menyeret keduanya masuk ke dalam rumah. Menerobos begitu saja barikade Arlena.
“Liv!” tatapan Arlena berubah jadi murka. “Kamu anggap siapa dirimu, beraninya berlaku seperti ini pada Mama?!”
Maxi membebaskan diri dari cengkeraman Olivia. Ia berbalik dan menatap tajam mata Arlena.
“Siapa Mbak Liv?!” desisnya dengan nada dingin. “Mbak Liv itu anak sulung Papa! Yang tahu semua yang sudah dilakukan Papa untuk keluarga dan anak-anaknya! Yang sudah berkorban begitu banyak ketika ada yang melupakan tanggung jawab sebagai seorang ibu!”
“Kamu anggap papamu itu malaikat! Padahal kamu tidak tahu kelakuannya di belakang punggungmu!” teriak Arlena.
Kali ini Olivia berbalik. Menatap Arlena.
“Kalau itu soal Navita, aku sudah tahu!” Olivia tersenyum mengejek. “Dan aku juga tahu bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan soal itu!”
Maxi segera meraih tangan Olivia dan menarik kakaknya itu untuk meneruskan langkah.
“Mela!” Arlena berganti haluan mengejar Carmela. “Mel, katakan pada Mama di mana Papa dirawat.”
Tapi si bungsu itu menjawab pendek dengan nada dingin, “Cari saja sendiri!”
“Livi! Beraninya kamu racuni adik-adikmu seperti ini!” Arlena makin murka.
“Bukan Mbak Liv yang meracuniku!!!” entah dari mana Carmela mendapatkan tenaga untuk melepaskan suara mengelegar seperti itu. “Tapi Mama!!! Mama sendiri!!! Mbak Liv nggak pernah gila selfie-selfie setengah bugil!!! Nggak kayak Mama!!!”
Perlu waktu beberapa detik bagi Arlena untuk mencerna ucapan Carmela. Begitu memahaminya, ia hampir kehilangan napas. Dengan mata nanar ditatapnya Carmela. Gadis remaja itu menatapnya dengan mata menyala.
Selfie setengah bugil? Dari mana dia...
Arlena terhenyak tiba-tiba.
Harmono!
Arlena bergegas meninggalkan ketiganya dan menghambur ke ruang baca. Setelah menutup pintu di belakang punggungnya, ia bersandar dan pelan-pelan merosot ke bawah. Terduduk di lantai yang dingin. Menatap ke satu arah dengan pandangan nanar.
Habis sudah! Tapi bagaimana mungkin?
Sementara itu di ruang tengah, Carmela terduduk di sofa dengan lesu. Sejenak kemudian ditatapnya Olivia dan Maxi.
“Maaf, aku kelepasan,” bisiknya dengan penuh penyesalan.
Olivia segera duduk di sebelah Carmela dan merengkuh bahunya.
“Cepat atau lambat, dia memang harus tahu,” ucap Olivia lirih, dengan nada menghibur. “Nggak apa-apa, Mel.”
Maxi menepuk lembut puncak kepala Carmela. “Sudah, ayo, mandi dulu.”
Olivia melepaskan rengkuhannya. Carmela berdiri dan menuruti gandengan tangan Maxi yang mengajaknya ke atas. Olivia tercenung sejenak sebelum beranjak. Tepat pada saat itu, tatapannya bertemu dengan tatapan Muntik yang berdiri di dapur. Mata perempuan itu tampak mengaca. Olivia menghampirinya. Mencoba untuk tersenyum.
“Mbak...,” Muntik menyodorkan segelas teh hangat.
“Makasih, Bik,” Olivia menerima gelas itu, kemudian duduk di depan island.
“Bapak gimana, Mbak?”
Olivia menggeleng samar. “Belum ada perubahan, Bik. Masih belum sadar.” Pelan-pelan ia meneguk tehnya. “Ada makanan?”
“Ada, Mbak. Cuma sempat masak nasi, bikin bening bayam, dan goreng bakwan jagung. Ayamnya belum selesai diungkep.”
“Tolong siapkan, ya? Nggak usah pakai ayam nggak apa-apa. Di sini saja, nggak usah di meja makan.”
Muntik mengangguk. “Bibik geruskan sambel dulu, ya, Mbak.”
“Ya,” Olivia berdiri. “Aku mandi dulu.”
“Mbak...”
“Ya?” Olivia berbalik.
“Tadi...,” Muntik menatap Olivia, takut-takut, “... Ibu yang suruh Bibik telepon Mbak Liv.”
Olivia mengangguk. Mengulas senyum yang menenangkan hati Muntik.
“Iya,” gumam Olivia. “Aku tahu. Nggak apa-apa.”
Ia kemudian berbalik dan meneruskan langkahnya.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Makjleebb.....
BalasHapusEdisi sekeluarga marah m arlena yaa...
Q kok ikut baper marah juga m arlena 😡😡😡😡😡
Dibom onde-onde aja, Mbak 😁😁😁
Hapuswaah..jleb banget....nih
BalasHapussampai ikut meneteskan air mata...
Hehehe... Makasih, Mbak Bekti 😘😘😘
Hapusgood post mbak, semoga ini terjadi dan hanya cerita he he
BalasHapussemoga ini tidak terjadi dan hanya ungkapan imajinasi cerita he he
HapusHehehe... Iya, Pak 😊😊😊
HapusBaper 😭😭😭
BalasHapusSodorin wafer 😁😁😁
Hapus