Delapan Belas
Seusai mengarahkan Muntik tentang tugas yang harus dikerjakan sepanjang hari ini, Arlena naik ke kamarnya untuk mandi dan berdandan. Sudah cukup rasanya terkungkung selama beberapa minggu di rumah. Kantornya memang tetap bisa berjalan dengan baik karena bisa dipantau dari jauh. Tapi ia tetap butuh penyegaran.
Lagipula...
Ia tak bisa melepas bisnis berliannya begitu saja. Belakangan ini beberapa nyonya sosialita pelanggan lama bisnis berliannya mulai kasak-kusuk menghubunginya. Menanyakan barang baru. Apalagi sudah jelas di depan mata, berapa keuntungan yang bisa ada dalam genggaman tangannya.
Lagipula...
Arlena berhenti sejenak di depan pintu kamar mandi di dalam kamarnya. Masih tersisa aroma wangi segar khas Prima. Tapi mendadak aroma wangi itu membuat hatinya terasa nyeri.
Navita... Harmono... Jadi Prima sudah tahu soal Harmono? Dari mana? Sejauh apa?
Berkali-kali dihelanya napas panjang untuk mengurangi rasa sesak di dada. Ketika rasa yang berat menindih itu mulai terurai, Arlena masuk ke kamar mandi dan memutuskan untuk berendam dalam bathtub. Air hangat itu membuat ketegangannya sedikit mengendur. Pada saat itu, muncul kilasan peristiwa yang dialaminya tadi pagi.
Ia duduk menunggu gulai nangka muda sisa semalam mendidih di atas kompor. Ditelungkupkannya kepala di atas kedua tangan yang menangkup di atas island. Entah kenapa pagi ini ia merasa letih sekali. Semangatnya seolah kabur dan tak mau kembali. Tampaknya kali ini Prima benar-benar marah padanya. Bahkan terkesan terlalu defensif.
“Pagi, Ma...”
Suara halus itu membuatnya seketika menegakkan kepala. Olivia sudah membuka pintu kulkas untuk mengambil sesuatu. Rupanya simpanan bumbu halus untuk nasi goreng.
“Pagi, Liv,” jawab Arlena.
Samar, mulai tercium aroma gulai nangka muda dari panci kecil yang bertengger di atas kompor menyala. Arlena beranjak untuk mengaduk sedikit sayur itu sebelum benar-benar mendidih. Ia menoleh ke arah Olivia yang sudah mengambil piring dan mengisinya dengan nasi putih.
“Sayur dan ayam sisa semalam masih banyak,” celetuk Arlena. “Nasinya juga sudah matang. Sarapan itu saja, ya? Atau mau tetap bikin nasi goreng?”
Olivia menoleh sekilas sambil membuka pintu lemari gantung untuk mengambil toples berisi ikan teri medan.
“Ini nasi goreng pesanan Pak Luken,” gumam Olivia.
“Oh...”
Arlena kemudian membuka kulkas dan mengeluarkan ayam bakar dari dalam kotak plastik kedap udara. Dipindahkannya potongan-potongan ayam itu ke sebuah piring pyrex bundar, dan dimasukkannya piring itu ke microwave.
“Kamu nanti dijemput Pak Luken jam berapa?”
Olivia mengangkat bahu. “Yang penting jam enam aku sudah siap.”
Gadis itu kemudian sibuk menggoreng nasi dan membuat telur mata sapi. Arlena tak berani mengusiknya lagi. Ia memilih untuk menghindar dan menata piring di meja makan.
Ketika hendak kembali ke dapur untuk membuat minuman, sudah ada Prima di dalam. Tengah menuangkan air putih ke dalam sebuah gelas, dan meminumnya sambil duduk di depan island. Olivia tengah menyiapkan kotak bekal di seberang Prima. Arlena ragu sejenak, tapi ia memutuskan untuk melanjutkan maksudnya. Dalam diam, dibuatnya lima cangkir teh hangat di sudut.
“Masih kirim sarapan ke Bu Sandra lagi, Liv?” celetuk Prima.
“Enggak, Pa,” Olivia menggeleng. “Pak Riza sudah boleh pulang, kok, kemarin menjelang siang. Ini request Pak Luken. Katanya, dia suka nasi gorengku.”
“Memang nasi gorengmu enak banget, kok,” senyum Prima. “Lihat saja Maxi. Kalau makan nasi gorengmu, nggak pernah cukup satu piring munjung.”
Olivia terkekeh ringan. Arlena meraih nampan dan memindahkan cangkir-cangkir teh ke atasnya, kemudian membawanya ke ruang makan.
“Kok, sudah nggak ekspos kemesraan lagi?”
Samar, ia mendengar Olivia mengucapkan itu. Disambut dengan tawa ringan Prima.
“Papa juga punya batas kesabaran, Liv.”
“Bukannya sama saja?” nada suara Olivia terdengar sarat sindiran. “Yang satu termehek-mehek dunia maya, satunya lagi termimpi-mimpi barang nggak jelas.”
“Setidaknya, Papa tahu bahwa tidak terjadi apa-apa antara Papa dengan orang yang namanya Papa igaukan tanpa Papa tahu kenapa itu,” suara Prima terdengar tegas.
Arlena menggeleng samar. Ketika ia kembali ke dapur untuk mengambil sayur dan lauk, Prima sudah tidak ada di sana. Olivia sudah selesai memasukkan bekal itu ke dalam kantong. Tanpa berkata apa pun, gadis itu meninggalkan dapur, kembali ke kamarnya untuk menyiapkan diri.
Arlena menyandarkan kepalanya yang tertutup shower cap. Memikirkan lagi perjalanan hidupnya yang akan datang. Selama ini ia yang menjauh. Dan ia bisa melakukannya dengan perasaan ‘nyaman’. Atau lebih tepatnya, tanpa perasaan.
Lalu kenapa ketika Mas Prima mendiamkan aku, rasanya sakit sekali? Seperti inikah perasaannya dan anak-anak ketika aku ‘menghilang’ dari kehidupan mereka?
Kini ia mulai bisa memahami semua kemarahan itu.
* * *
Olivia mengulum senyum ketika sekilas melihat betapa bernafsunya Luken menyantap nasi goreng teri dalam kotak bekal yang dibawakannya. Tadi dia menyempatkan diri untuk sarapan di rumah sebelum Luken menjemputnya. Ia hanya membawa satu kotak saja. Khusus untuk Luken. Dalam porsi jumbo. Lagipula, Sandra belum hadir. Luken memberinya ijin untuk meneruskan cuti hingga hari Jumat ini berakhir. Tanggung, begitu ucap laki-laki itu kemarin.
Ini doyan apa lapar?
Diam-diam ia terkikik dalam hati. Walaupun mereka berada seruangan karena Luken duduk di kursi Sandra, tapi Olivia tidak mau pura-pura sibuk hanya karena ada sang boss. Jam kerja, toh, belum dimulai. Maka ia pun melewatkan waktu dengan browsing berita-berita ringan melalui laptopnya.
“Wah, besok libur, nih,” gumam Luken tiba-tiba. “Nggak bisa lagi menikmati nasi goreng ala Nona Olivia.”
Olivia menoleh. Tersenyum lebar. Dilihatnya laki-laki itu sudah menyelesaikan sarapannya dan tengah meringkas kotak sambil mengangkat gagang telepon. Tak berapa lama, Mimin muncul.
“Ini, tolong dicuci, ya, Min. Nanti kasih ke Mbak Livi. Makasih,” ucap Luken ringkas.
Mimin mengangguk dan mengundurkan diri. Luken menatap Olivia. Tersenyum lebar.
“Nah, aku sudah isi bensin. Full tank. Siap untuk bekerja.”
Olivia menanggapinya dengan tawa.
* * *
“Kamu sudah bertaruh terlalu banyak, Len,” Virnie menatap Arlena dengan pandangan mencela. “Kalau aku jadi kamu, aku akan berhenti sekarang juga, dan tidak kembali lagi ke sana.”
Arlena mengedikkan bahu. Acuh tak acuh.
Siang itu, seusai bertemu dengan salah seorang pelanggannya yang minta dicarikan seperangkat perhiasan bermata berlian, Arlena mengajak Virnie bertemu di sebuah kafe di daerah Kemang, dekat dengan kediaman Virnie. Sudah beberapa waktu lamanya mereka tidak saling kontak. Ketika Arlena menelepon untuk mengajaknya mojok di kafe, Virnie yang tengah kesepian – seperti biasanya – tak menolak.
“Jujur, aku masih butuh aktualisasi diri,” ujar Arlena kemudian.
Virnie menatapnya dengan pandangan skeptis.
Arlena... Ah! Ternyata dia jauh lebih parah daripada aku...
“Mas Prima mengigaukan nama seorang perempuan,” Arlena mengalihkan tatapannya, jauh menerawang ke luar jendela besar kafe itu. “Dan dia bersikukuh mengatakan tidak ada apa-apa. Bahkan lupa tentang apa mimpinya itu. Apa aku harus percaya?”
Virnie menyandarkan punggungnya. Bibirnya mengerucut. Tatapannya masih tetap jatuh pada Arlena.
“Dia sering pulang telat?” tanyanya.
Arlena menggeleng. “Dia lebih senang menghabiskan waktu luang bersama anak-anak.”
“Jatah uang bulananmu berkurang?”
Arlena kembali menggeleng. “Slip gajinya pun selalu diserahkan padaku.”
“Gadget-nya diamankan?”
“Dia geletakkan di sembarang tempat.”
“Sikapnya berubah?”
“Hanya setelah aku memergokinya mengigau. Dan...,” Arlena mengerjapkan matanya, “... dia tahu soal Harmono.”
Virnie mencebikkan bibirnya, mencela tanpa ampun, “Memang kamu bodoh.”
Arlena menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi.
“Entahlah, Vir,” perempuan itu mengedikkan bahu dengan ekspresi wajah keruh.
Sesaat kemudian ponsel Arlena berbunyi. Rupanya ia sengaja memasang alarm untuk maksud tertentu. Dirogohnya tas dan dikeluarkannya benda itu. Sudah pukul satu kurang lima menit. Ia menatap Virnie.
“Aku harus jemput Mela di sekolah,” ujarnya sambil menghabiskan sisa espresso di cangkir dalam sekali teguk. Ia mengernyit sedikit ketika rasa pahit membanjiri pangkal kerongkongannya. “Makasih atas waktumu, Vir.”
“Anytime, Len,” senyum Virnie sambil menyalakan rokoknya.
Tampaknya perempuan itu masih ingin tinggal di tempat.
* * *
Ia tak sengaja melihat perempuan itu masuk ke dalam kafe sejam yang lalu.
Benar-benar sempurna... Ia menelan ludah.
Dan kini perempuan itu melenggang keluar dari dalam kafe, kemudian masuk ke dalam sebuah city car berwarna putih. Masih lekat di matanya sosok ramping terbalut blus putih tanpa lengan berkelepak leher lebar dipadu dengan celana jeans ketat itu. Makin sempurna dengan ankle boots yang sewarna dengan hobo bag hitam yang disandang di bahu.
Aku yakin anak gadisnya pun tak pernah berbusana seperti itu...
Masih jelas diingatnya sosok cantik bernama Olivia itu. Penampilannya amat sangat sopan dengan busana cukup tertutup. Terlihat sangat profesional.
Dan lihat saja proteksi Luken! Diam-diam ia mencebik.
Ketika city car putih itu meluncur, ia pun melajukan sedan Eropa-nya. Berusaha menjaga jarak aman beberapa belas meter di belakang.
Ternyata perhentian berikutnya adalah sebuah sekolah swasta yang cukup elit. Seorang gadis remaja terlihat berwajah riang ketika melihat penjemputnya sudah datang. Setelah gadis itu masuk bersama seorang temannya yang berambut pendek, mobil itu melaju lagi. Di sebuah daerah perumahan, mobil itu berhenti di depan sebuah rumah bercat putih. Gadis remaja yang berambut pendek turun, dan melambaikan tangan ketika mobil itu melaju lagi. Ia berusaha menghafalkan daerah itu baik-baik.
Perjalanan city car putih yang dibuntutinya itu berakhir di sebuah rumah berlantai dua bercat kuning gading. Sekilas ia mengamati bahwa rumah di deretan kiri nomornya ganjil berurutan secara normal. Ia terus melajukan mobilnya hingga beberapa puluh meter dan menemukan sebuah toko Sevel di ujung jalan. Dibelokkannya mobil ke toko itu. Setelah berlagak membeli sesuatu, ia mengunci posisinya pada GPS ponselnya.
Gotcha!
Tinggal menggunakan fasilitas street view untuk menemukan nomor tepatnya rumah berwarna kuning gading yang bentuknya sudah ia hafal baik-baik.
* * *
“Mama tadi dari mana?” tanya Carmela setelah Cindy mereka turunkan di depan rumahnya.
“Ketemuan sama teman Mama, minta dicarikan berlian,” Arlena menoleh sekilas.
“Mama mau sibuk lagi?”
Seutuhnya Arlena mendengar nada khawatir dalam suara Carmela. Ia ragu sejenak.
“Mm... Kalau bisnis berlian, kayaknya belum bisa Mama lepas, Mel. Hasilnya lumayan. Kalau penyalur ART... mm... Bisa, sih, Mama tetap pantau dari jauh. Tapi sesekali Mama tetap harus datang ke sana. Semuanya bisalah nggak rutin tiap hari.”
“Oh...”
“Memangnya kenapa?” Arlena kembali menoleh sekilas.
Carmela mengangkat bahu sambil menggumam. “Aku sudah mulai terbiasa lagi dengan kehadiran Mama.”
Gema kalimat itu membuat Arlena tercekat seketika. Dalam diam, ia kemudian membelokkan mobil ke depan pintu pagar dan membunyikan klakson dua kali dengan ringan. Setelah pintu pagar terbuka lebar, ia meluncurkan mobilnya hingga masuk ke garasi yang pintunya juga sudah dibuka lebar oleh Muntik.
Tanpa tahu bahwa ada sebuah sedan Eropa yang membuntutinya sejak dari Kemang.
* * *
Maxi sudah hendak menutup pintu pagar ketika sebuah motor berhenti di depannya. Pengemudinya yang memakai jaket biru langit dengan tulisan Great di belakang punggung turun dari motornya dengan membawa sebuah tas kertas.
“Selamat sore, Mas,” sapa pengemudi itu dengan sopan. “Dari Great-kurir ini, Mas, mau antar kiriman. Benar rumah Ibu Arlena, ya?”
“Oh, iya, benar,” Maxi mengangguk. “Kiriman dari mana, ya, Mas?”
“Mm... Nggak mau disebut namanya,” senyum pengemudi Great-kurir itu sambil menyerahkan tas kertas itu pada Maxi. “Sudah saya serahkan, ya, Mas. Permisi...”
“Oh, ya, ya, terima kasih.”
Setelah Great-kurir berlalu, Maxi segera menutup pintu pagar dan berbalik sambil menenteng tas kertas itu.
“Apa itu, Max?” tanya Prima yang masih menunggu setelah keluar dari mobil.
“Nggak tahu, Pa,” Maxi mengangkat bahu. “Buat Mama.”
“Oh...”
Beriringan keduanya masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah hanya ada Arlena dan Carmela yang tengah asyik menikmati risoles dan minuman. Prima menghampiri Carmela dan mendaratkan sebuah kecupan di puncak kepala. Arlena sudah bersiap menerima hal yang sama, tapi Maxi ‘mengganggu’-nya. Diulurkannya tas kertas yang ditentengnya.
“Kiriman, Ma,” ucap Maxi pendek.
“Dari mana?”
Maxi hanya mengangkat bahu, sementara Prima berjalan lurus ke arah ruang baca untuk meletakkan tas, sebelum keluar lagi dan langsung naik ke lantai dua. Menoleh ke arah Arlena pun tidak. Di ujung tangga, ia berpapasan dengan Olivia yang sudah segar dan wangi setelah mandi.
“Hai, Pa,” sapa Olivia dengan seulas senyum yang mampu meluruhkan semua keletihan yang dirasakan Prima.
“Sudah cantik,” Prima menghadiahi gadis sulungnya dengan kecupan di puncak kepala. “Mau keluar?”
“Iya,” angguk Olivia. “Ke Sevel, beli roti tawar buat besok pagi. Papa mau nitip?”
“Mm... Aftershave Papa habis. Bisa tolong belikan sekalian?”
“Yang biasanya kita beli itu?”
“Iya.”
“Oke.”
“Tadi sudah Mama belikan, Pa,” tiba-tiba saja suara Arlena menyeruak dari belakang punggung Prima.
“Oh, ya, sudah,” gumam Prima sambil meneruskan langkah ke kamar.
Olivia mengangkat kedua alisnya sambil berlalu. Di bawah, ia segera menggamit lengan Maxi. Carmela memang sejak tadi sudah menyatakan tidak mau ikut karena sedang menunggu kedatangan temannya. Maxi menyambar kunci motornya dari atas console table, tapi dicegah oleh Olivia.
“Jalan kaki saja, sih, Max. Dekat ini.”
Maxi pun tak membantah.
“Nyadar, nggak, Papa diemin Mama?” celetuk Olivia ketika mereka sudah berada di luar pagar, berjalan berdampingan di bawah langit yang sudah mulai gelap.
“Iya,” angguk Maxi. “Bingung, aku. Waktu kutanya soal Navita, Papa biasa saja reaksinya.”
“Sama, padaku juga.”
“Oh?” Maxi menoleh seketika. “Papa cerita sama Mbak?”
“Aku sengaja tanya. Malah waktu mampir makan pas waktu aku jemput Rabu kemarin itu, ketemu sama yang namanya Navita itu. Duduk semeja pula.”
Maxi ternganga. Olivia kemudian menceritakan pertemuan dengan Navita. Maxi mendengarkannya dengan penuh perhatian.
“Makanya aku bingung dengan Papa. Ketemu Navita sikapnya biasa saja. Navita itu juga pendiam, agak pemalu, nggak ada bawaan genit. Sudah punya pacar pula,” tutup Olivia.
“Hadeeeh... Nggak tahulah, Mbak,” gerutu Maxi. “Sudah, biarin sajalah.”
Olivia mengangkat bahu.
* * *
Malam sudah lama menghening. Pelan-pelan Arlena beringsut turun dari ranjang agar tidak membangunkan Prima yang sudah cukup lama terlelap. Tanpa suara ia menyelinap keluar dari kamar dan turun ke ruang baca. Kiriman untuknya yang datang sore tadi – entah dari siapa – masih diletakkannya di ruangan itu.
Sesampainya di sana, ia duduk di atas kursi, menghadap ke meja tulis, dan mengeluarkan tas kertas dari dalam lemari kecil di bagian bawah meja. Dengan kening berkerut, ia menarik sebuah kotak terbungkus kertas kado. Ukuran kotak itu cukup besar. Sekitar 30 x 30 cm. Rasa penasaran membuatnya merobek begitu saja kertas pembungkus berwarna dasar hitam bergambar hati dengan garis berwarna emas di tepiannya. Terlihat sangat elegan sekaligus misterius.
Isinya ternyata adalah sebuah kotak perhiasan. Dan Arlena ternganga ketika membukanya. Di dalam kotak yang berlapis beledu berwarna merah hati itu, ada seperangkat perhiasan terdiri dari seuntai kalung, sepasang anting, dua buah gelang, dan dua bentuk cincin. Perpaduan antara emas putih asli, mutiara putih, dan kristal Swarovski warna-warni kualitas prima. Memang bukan berlian, tapi tetap saja ia tahu bahwa harganya tidak main-main.
Iseng, Arlena mengambil salah satu gelang. Dengan hati-hati, ia menggigit salah satu mutiara pada gelang itu, kemudian menggeserkan giginya. Terasa berpasir halus.
Asli.
Diletakkannya kembali gelang itu pada tempatnya. Ketika hendak membuang kertas kado pembungkus kotak itu, barulah ia mendapati sehelai kartu kecil polos berwarna kuning gading.
‘Untukmu, Nyonya... Semoga suka. Salam hangat penuh cinta, Anggara.’
Seketika kening Arlena berkerut.
Anggara? Anggara siapa?
Satu-satunya Anggara yang ia tahu adalah...
Astaga! Apakah dia?
Arlena membekap mulutnya dengan telapak tangan kanan.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Lanjut terus nyah! Sumprit penasaran endinge.
BalasHapusOuch !
HapusKedisikan rek aq !
Critane balapan moco tah iki? 😆😆😆
HapusHarnomo ato Harmono seh nama 'simpenan' Arlena? Heuheu, coba dibaca lagi deh, Tan. :-)
BalasHapusMbak, saya nulis segini banyak, keselip salah naruh huruf saja (di dalam FIKSI), Anda sampai ngegas begini bahasanya, gimana dengan komen Anda beberapa waktu lalu yang salah nulis nama saya (padahal cuma di kolom komen yang cuma beberapa huruf) dengan alasan auto typing?
HapusMohon maaf dan makasih koreksinya.
Pinisirin endingnya,,,, suwe2 kq yo mbulet jalan ceritanya... Anggara itu apanya arlena????
BalasHapusAda di bab-bab awal, Mbak. Monggo dipriksani lagi... 😊😊😊
HapusWoh Anggara kuwi sik gondes kae ya dik? 😅 Aku ngintip part rada awal.
BalasHapusApik tenan. Nembe isa maca rapel iki mau. Aja ditamatke sik ya 😃
Nggak tamat-tamat lak sing maos bosen, Mbak... 😁😁😁
HapusMakasih mampirnya... 😘😘😘
Good post mbak, nanti jadikan buku ya mbak
BalasHapusNggak janji ya, Pak. Utangnya masih banyak 😁😁😁
HapusSelalu gemesinnn...!!! Maksudku ceritanya.
BalasHapusMakasih mampirnya ya... 😊😊😊
HapusAku gelem kui set perhiasane haha
BalasHapusSayange sing arep menehi emoh 😆😆😆
Hapus