* * *
Grandy menggunakan waktu yang kian sempit itu sebaik-baiknya untuk berada dekat dengan Qiqi. Pelan-pelan ia memberi pengertian pada Qiqi bahwa ia harus pergi menjelang akhir minggu berikutnya. Diantarnya Qiqi tiap pagi ke sekolah. Rasanya sungguh menyesakkan dada. Ia pun tak menutup mata dan mematikan rasa akan perubahan Qiqi. Gadis mungil itu jadi lebih pendiam. Tak lagi mau bernyanyi sepanjang perjalanan dari rumah ke sekolah.
“Qiqi nggak akan lupain Om, kan?” usik Grandy suatu ketika.
“Enggak,” jawab Qiqi pendek. Menyayat hati Grandy.
Dan Mai hanya bisa menatap semua itu dengan hati lara. Tapi ia tetap berusaha untuk tetap tersenyum. Berusaha untuk tetap tegar untuk Qiqi. Entah kenapa, perpisahan dengan Grandy kali ini terasa lebih memberatkan hati. Mai mensugesti dirinya berkali-kali, bahwa semua yang sudah dilakukan Grandy padanya dan Qiqi selama ini sudah lebih dari cukup. Ia tak hendak memerangkap Grandy dalam kehidupannya bersama Qiqi.
Boneka panda raksasa pilihan Grandy itu, yang ternyata jauh lebih besar daripada yang diinginkan Qiqi, dan sudah diberikan Grandy pada hari Minggu terakhir kebersamaan mereka, seolah tak ingin dilepaskan Qiqi selama menjemput mimpi. Dipeluknya boneka itu erat-erat sambil memejamkan mata. Seolah-olah gadis kecil itu tak mau kehilangan lagi.
“Bang...,” usik Mai lirih.
Grandy menutup pintu kamar Qiqi pelan-pelan. Dibiarkannya air matanya menggenang. Dan hati Mai terasa bagai diiris-iris ketika melihat telaga bening itu.
“Ya?” sahut Grandy dengan suara serak.
“Aku dan Qiqi sama sekali tak mau memberati langkah Abang,” ucap Mai, dengan mata mulai mengaca. “Toh, suatu saat kita akan bertemu lagi.”
“Aku usahakan untuk sering pulang, Mai.”
Tapi Mai menggeleng. “Jangan. Aku khawatir nanti Abang justru akan kehilangan fokus. Nyawa manusia taruhannya, Bang.”
Grandy tercenung. Keputusan sudah telanjur diambil. Ia tak lagi punya alasan untuk mundur. Beberapa detik kemudian, diangkatnya wajah. Ditatapnya Mai.
“Cari ayah yang terbaik buat Qiqi, Mai,” gumam Grandy. “Sekaligus laki-laki yang terbaik buatmu.”
Mai berusaha untuk tersenyum. Dihelanya napas panjang. Ia tak ingin menanggapi ucapan Grandy. Baginya, semua itu terlalu absurd.
Ia merasa sudah terlalu lelah, bahkan untuk sekadar membayangkannya.
* * *
Ulang tahun Qiqi tinggal seminggu lagi. Persiapan perayaan di sekolah cukup mengalihkan perhatian Mai. Ia memikirkan hingga ke detail kecil agar perayaan itu nanti berjalan dengan baik dan bisa menghibur Qiqi.
Grandy berusaha membantunya. Menyisihkan waktu di sela-sela kesibukannya bersiap kembali ke Jepang. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Ia tahu, bantuan kecilnya itu tak akan bisa menggantikan ketidakhadirannya dalam perayaan ulang tahun Qiqi.
“Mai, kenapa tidak sekalian saja sewa badut pesta supaya lebih meriah?” usul Grandy tiba-tiba.
Seketika Mai menatap Grandy. “Ide bagus!” serunya. “Selama ini perayaan ulang tahun Qiqi belum pernah pakai badut.”
“Teman SMA-ku ada yang punya usaha badut pesta,” ujar Grandy. “Aku tahunya dari grup WA. Mau kuantar ke tempatnya?”
Mai segera mengangguk tanpa pikir panjang lagi. Apa pun ia mau lakukan demi senyum dan tawa Qiqi.
Dan urusan penyewaan jasa badut pesta itu pun selesai tanpa banyak pernik. Bahkan Mai mendapat harga diskon karena ia teman Grandy. Mai menghela napas lega.
“Bang, terima kasih banyak,” hanya itu yang ia bisa ucapkan.
“Sama-sama, Mai,” Grandy mengangguk. “Aku juga berterima kasih karena kamu membolehkan aku ikut membantu.”
“Ya,” Mai juga mengangguk. “Ngomong-ngomong, persiapan Abang bagaimana? Sudah beres semua?”
“Sudah,” jawab Grandy. Lirih.
Mai terdiam.
Hari keberangkatan Grandy terus mendekat tanpa bisa dicegah. Mendung yang lebih pekat daripada yang ada di atas sana seolah menaungi mereka tepat di atas kepala. Sekuat apa pun mereka berusaha untuk tersenyum dan tertawa, aura kelabu itu tetap terasa ketat melingkupi.
* * *
“Qiqi jadi anak manis seperti biasanya, ya?” bisik Grandy dengan susah payah. Seperti ada bola besar yang menyekat tenggorokannya. Dipeluknya Qiqi dengan hangat.
Qiqi tak menjawab. Hanya menyusupkan kepalanya di leher Grandy. Dan sebutir air mata menggelinding di pipi kiri Grandy bersamaan dengan sesuatu yang dingin dan basah terasa di kulit lehernya. Air mata Qiqi.
Mai memalingkan kepalanya. Melihat ke arah lain. Pada berbagai kesibukan di depan terminal keberangkatan internasional Bandara Soekarno-Hatta. Diam-diam ia menyusut air mata yang sudah mendesak hendak tumpah.
Baru kali ini ia dan Qiqi ikut mengantarkan Grandy ke bandara, sepanjang sejarah Grandy harus berkali-kali kembali ke Jepang, Qiqi yang memintanya. Setengah memaksa. Membuat Mai tak punya alasan lain untuk menolak permintaan itu.
Sepanjang perjalanan dari rumah Satya ke bandara, Qiqi tak mau lepas dari Grandy. Ia menempelkan tubuhnya erat-erat pada Grandy. Membuat laki-laki itu pun memberikan pelukannya yang paling hangat. Dan ketika mereka sudah duduk dalam MPV Satya yang dikemudikan oleh sopir, Qiqi bergelung di pangkuan Grandy. Menempelkan kepalanya di dada Grandy. Tak mau lepas sedetik pun.
“Om harus masuk ke dalam,” bisik Grandy lagi. “Pesawat yang akan membawa Om ke Jepang sudah menunggu. Qiqi baik-baik sama Mama, ya?”
Grandy merasakan ada gerakan mengangguk. Pelan-pelan, Qiqi pun melepaskan diri dan pindah menempel ke Mai. Grandy beralih kepada Satya, memberikan pelukan pada laki-laki itu. Kemudian pada Amey, yang memeluknya erat, kemudian menciumi pipinya.
“Jaga diri baik-baik, Gran,” bisik Amey.
“Iya, Ma. Mama dan Papa juga, ya?” balas Grandy. “Aku titip Mai dan Qiqi, Ma. Terutama Qiqi.”
Amey mengangguk.
Dan Grandy bergeser ke arah Mai begitu Amey melepaskan pelukannya. Ditatapnya Mai dengan mata mengaca. Diulurkannya kedua lengannya. Kemudian dipegangnya bahu Mai dengan lembut.
“Boleh aku... memelukmu?” bisiknya.
Mai menggangguk. Segera saja ia tenggelam dalam pelukan laki-laki jangkung itu.
“Jaga diri... baik-baik,” ucap Grandy, tersendat.
Mai mengangguk-angguk tanpa suara.
“Jaga Qiqi. Lakukan yang terbaik... untuk kalian.”
Mai kembali mengangguk-angguk. Grandy melepaskan pelukannya. Ia kemudian berjongkok. Mengelus kepala Qiqi yang menyembunyikan wajahnya di pinggul Mai. Tak ada sedetik kemudian, Qiqi sudah berada kembali dalam pelukan Grandy.
Gadis mungil itu membisikkan sesuatu. Membuat Grandy kembali tercekat untuk kesekian puluh kalinya selama beberapa waktu belakangan ini. Ia tak menjawab. Hanya memberikan ciuman di kedua belah pipi Qiqi sebelum berusaha sekuat tenaga untuk kembali berdiri tegak.
Maka Grandy pun melangkah masuk ke dalam terminal keberangkatan tanpa menoleh lagi. Tak melihat lagi lambaian tangan yang diberikan oleh orang-orang yang ditinggalkannya.
Ketika Grandy sudah tak kelihatan lagi, Satya meraih bahu Qiqi. Mengelus kepalanya lembut.
“Qiqi digendong Opa, yuk?”
Dan Qiqi pun segera menyusupkan kepalanya ke leher Satya. Menangis tanpa suara.
* * *
Keesokan harinya, Mai berusaha keras mengusir suasana mendung itu dengan mengajak Qiqi menyibukkan diri. Ada banyak bingkisan kecil yang belum dibungkus untuk teman-teman sekelasnya. Ada banyak makanan ringan dan aneka permen yang harus dikemas. Sedikit banyak, hal itu membuat Qiqi lebih bersemangat. Apalagi ketika Rama dan Hening bergabung untuk membantu. Dan memang kegiatan itu dipusatkan di ruang tengah rumah Rama.
“Kue ulang tahunku nggak lupa, kan, Ma?” celetuk Qiqi.
“Enggak, dong...,” senyum Mai. “Nanti hari Senin, langsung diantar sendiri oleh Tante Lila ke sekolah.”
Dan senyum pun mulai terbit di wajah Qiqi. Apalagi ketika Mai memberitahukan padanya bahwa akan ada badut yang akan ikut memeriahkan perayaan ulang tahun Qiqi di sekolah.
“Kakek ikut pesta Qiqi, kan?” Qiqi menatap Rama.
“Oh, iya, dong!” Rama mengangguk mantap. “Kalau Kakek tetap kerja, nggak cuti, nanti nggak kebagian kue ulang tahun Qiqi.”
Qiqi mengacungkan jempolnya. Beberapa detik kemudian gadis mungil itu menguap. Hening menoleh sejenak ke arah jam dinding. Masih kurang beberapa menit dari pukul sebelas siang.
“Qiqi sudah ngantuk?” Hening mengelus kepala Qiqi.
Gadis mungil itu mengangguk.
“Makan dulu, yuk!” ajak Hening. “Nenek temani. Biar Mama sama Kakek yang beresin ini. Setelah makan, baru Qiqi bobok.”
Hening pun menggandeng Qiqi, kembali ke rumah sebelah. Rama menatap Mai.
“Kamu tak apa-apa?” tanyanya lirih.
Mai menggeleng. “Kenapa aku harus kenapa-napa, Yah?” senyumnya. Tegar seperti biasa.
Rama menunduk. Kembali ke kesibukannya semula. Menempelkan selotip pada ujung lipatan bungkus bingkisan.
“Dia benar-benar tidak mengatakan apa-apa?” gumam Rama.
“Hm... Dia berpesan agar aku mencari ayah yang terbaik buat Qiqi, dan laki-laki terbaik buatku. Cuma itu,” Mai mengangkat bahu.
Rama menghela napas panjang. Mengharapkan putri kesayangannya itu membuka hati terhadap kehadiran laki-laki lain serasa bagai menegakkan benang basah. Mai sudah menetapkan fokus kehidupannya. Qiqi. Hanya Qiqi. Bukan hal lain.
“Bu, maaf...”
Mai menoleh. “Ya?”
“Ada tamu cari Ibu,” Yayah memberitahu. “Mbak Winda.”
“Suruh langsung ke sini saja, Yah,” sahut Rama. “Bukakan pintu depan saja.”
“Baik, Pak,” angguk Yayah.
* * *
Ares meletakkan cangkir tehnya di atas meja pantry pagi itu, begitu mendengar bel pintu berbunyi. Ia segera membukanya, dan mendapati seraut wajah cerah Winda berdiri di depan pintu. Dan Winda tidak sendirian. Ada sosok lain bersamanya. Bukan Obet. Tapi Dira. Dengan wajah manisnya terlihat ragu-ragu.
“Ayo, masuk! Masuk!” Ares melebarkan bukaan pintu. Juga melebarkan senyumnya.
Winda segera menarik tangan Dira. Masuk ke dalam apartemen.
“Kapan datang, Dir?” Ares menatap Dira.
“Kamis kemarin, Mas,” Dira menyambut jabat tangan Ares.
“Duduk, Dir.”
“Lo mau minum apa, Dir?” seru Winda dari arah pantry.
“Apa saja, Win. Terserah lo,” jawab Dira sambil duduk di atas sofa yang ditunjuk Ares.
“Gimana penelitianmu? Lancar?” Ares mengambil tempat di seberang Dira.
“Lancar, Mas,” angguk Dira. “Orang-orang di sana kooperatif sekali, kok.”
“Sudah selesai atau masih kembali lagi ke sana?”
“Masih harus kembali. Nanti, akhir minggu ini.”
Winda datang membawa tiga gelas es sirup berwarna hijau segar. Dipindahkannya gelas-gelas itu dari nampan ke atas meja pendek. Juga sebuah piring berisi lapis Surabaya. Setelah meletakkan kembali nampan ke pantry, Winda langsung melangkah ke arah pintu.
“Lho, kamu mau ke mana?” Ares mengangkat alisnya.
“Masku yang paling ganteng ini ternyata kulkasnya kosong,” gerutu Winda. “Aku belanja dulu ke bawah.”
“Eh, Win!”
Tapi Winda sudah menghilang di balik pintu. Mengabaikan seruan Ares.
* * *
Dan ada penyesalan yang diam-diam muncul di hati Ares. Tolol! Ares memaki dirinya sendiri.
Sekian lamanya ia bersikukuh menutup hati hanya karena rasa penasarannya akan keadaan Mai, dan mengabaikan kehadiran Dira. Padahal dalam diri Dira ditemukannya semua yang ia harapkan sebagai seorang pendamping hidup.
Gadis cerdas itu adalah teman bicara yang sangat menyenangkan. Sedikit demi sedikit berhasil melunturkan sekat yang membatasi hati Ares. Canda dan tawa ringannya mampu membuat Ares turut terseret ke dalamnya.
Winda yang diam-diam menyelinap masuk seusai berbelanja seolah hanya bayang-bayang yang tak nyata. Ares dan Dira sepertinya tak menyadari kehadiran Winda kembali. Keduanya terlalu asyik mengobrol dan tertawa, seolah dunia ini isinya hanya mereka berdua.
Winda tersenyum sambil menata belanjaan yang dibelinya. Kulkas dan lemari pantry mulai terisi kembali. Lalu ia ingat bahwa kemarin Ares mengajaknya ke rumah Mai hari ini.
Hm... Sebetulnya sayang sekali kalau diganggu.
Winda menatap arlojinya. Pukul 10.38.
Sudah menjelang siang.
Ia kemudian memutuskan untuk mengganggu keasyikan itu. Dilangkahkannya kaki keluar dari pantry.
“Ehm!” ia berusaha menarik perhatian. Meringis ketika obrolan itu terhenti dan kedua orang di depannya menoleh ke arahnya. “Asyik banget!”
Ares tertawa. Winda kemudian menjatuhkan tubuhnya di sebelah Ares.
“Ini katanya mau ke tempat Kak Rara?” celetuk Winda. “Jadi, nggak?”
“Ya, jadilah...,” sahut Ares.
Dan laki-laki itu makin memantapkan diri untuk menuruti kata hatinya. Tentang seorang Dira.
“Mau berangkat sekarang?” tawar Ares.
Winda mengangguk sambil menghabiskan minumannya yang sudah tidak dingin lagi.
Tepat ketika Ares membuka pintu, seorang tamu datang untuk menemuinya. Setelah keempatnya mengobrol sejenak, Ares menyuruh Winda dan Dira berangkat lebih dulu. Ia akan menyusul kemudian.
* * *
Ilustrasi : www.123rf.com
Mb Liiiissss garai baper soro.
BalasHapusUwaaaaaaa kejer golong"
*kuabooorrr* 😝😝😝
HapusIkut larut pas baca adegan perpisahan antara Grandy, Mai en Qiqi. Bude jahat ih. Hiks hiks. :'(
BalasHapusHahaha... Aku aja nulisnya sambil berurai air mata kok... 😚😚😚
HapusGood post mbak
BalasHapusMakasih dah singgah, Pak Subur... 😊
Hapus😭😭😭😭ikut nangis ketika perpisahan di bandara
BalasHapusHiks kenapa grandy gak bilang i love u mai hehhe
Gebuk aja si Grandy itu... 😝😝😝
HapusAh, semoga Qiqi nggak merasa kesepian. Main sama aku aja yuk, Qi!
BalasHapusHayuuuk... 😋😋😋
HapusManstaf :)
BalasHapusMakasih hadirnya, Pak Edy... 😊
Hapus