* * *
Mau tak mau, suka tak suka, siap tak siap, Nirwan merasa ia memang harus pulang ke Surabaya. Untuk menjelaskan semuanya kepada keluarga. Cutinya berlaku hingga akhir minggu. Dan itu cuma tersisa tiga hari kerja. Penerbangan terakhir pada hari Rabu ke Surabaya masih bisa didapatnya.
Dan seperti perkiraannya, ayah-ibunya jelas marah besar keesokan paginya. Menyesali kenapa tidak delapan tahun yang lalu saja membuka semua itu. Ayahnya mengamuk, tangannya hampir menambah lebam yang mulai pudar di wajah Nirwan, kalau tak dicegah oleh si sulung Arimbi.
“PEKOK!!! Gawe Isin wong tuwek ae! Mbok’guwak nang endi utekmu?!” (Bodoh!!! Bikin malu orang tua saja! Kamu buang ke mana otak/pikiranmu?!)
Nirwan hanya bisa tertunduk pasrah mendengar gelegar suara Broto. Sedangkan Murni menangis tersedu-sedu dalam pelukan Arimbi.
Setelah itu rapat keluarga segera digelar. Melibatkan Broto, Murni, Nirwan, Arimbi, dan Rheino – suami Arimbi. Keputusan pun diambil. Mereka sekeluarga akan ke Jakarta dan Tangerang untuk menyelesaikan masalah yang ada. Baik dengan keluarga Mai maupun keluarga Maika. Minus Arimbi, karena perempuan berusia 33 tahun itu harus tetap menjaga gawang perusahaan keluarga dan juga mengurus kedua balitanya.
Kemarin, Jumat sore, semuanya sudah dianggap selesai oleh keluarga Willem dengan dikembalikannya seluruh peningset yang pernah diterima Maika pada keluarga Broto. Willem pun kembali menekankan bahwa bukan keberadaan anak kandung Nirwan yang membuat Maika dan keluarganya keberatan untuk meneruskan pertunangan itu, tapi sikap tak jujur Nirwan sendiri.
Dan kini, Sabtu pagi, giliran mereka bertandang ke rumah Mai untuk mencoba menjernihkan keadaan. Berusaha maklum dengan aura penolakan yang begitu pekat dari Mai. Sesuatu yang memang harus mereka terima karena kebodohan Nirwan.
* * *
Grandy hanya bisa menatap heran ketika tiba-tiba saja Mai menarik tangannya ke arah dapur. Meninggalkan Qiqi yang masih asyik menikmati lembar terakhir roti selainya.
“Mai, ada apa?” bisik Grandy, akhirnya.
“Bang, aku bisa minta tolong?” tanya Mai di ujung helaan napasnya.
“Tentu saja,” suara Grandy terdengar tegas walaupun lirih.
“Tolong, Abang bawa Qiqi pergi selama beberapa jam ini. Ke mana saja, terserah Abang. Nanti kalau sudah waktunya pulang, aku hubungi Abang.”
Kening Grandy mengernyit sedikit.
“Ada Nirwan dan keluarganya di luar. Bertamu begitu saja,” wajah Mai terlihat dongkol. “Sinting mereka!”
Grandy paham seketika. Dipegangnya kedua bahu Mai.
“OK, I see,” angguknya.
Beberapa saat kemudian Mai sudah menyerahkan dua buah anak kunci pada Grandy.
“Mereka masih di teras. Aku akan mengajak mereka masuk dan memanggil Ayah-Ibu. Sementara itu Abang dan Qiqi keluar saja lewat kantor olshop. Pintunya otomatis terkunci kalau Abang menutupnya dari luar. Yang satunya kunci gembok pintu pagar. Biarkan saja, jangan digembok lagi dari luar,” ucap Mai panjang lebar.
Grandy mengiyakan dan kembali lagi ke ruang makan. Qiqi sudah menyelesaikan acara makannya. Saat ini tengah menghabiskan segelas susu coklat.
“Qi, Om punya kejutan, nih!” ucap Grandy dengan wajah disetel secerah mungkin.
“Apa, tuh?” binar ceria tampak memenuhi wajah Qiqi.
“Om mau ajak Qiqi... jalan-jalan!”
“Asyik!” seru Qiqi pendek sambil meloncat berdiri dari duduknya. “Kapan?”
“Sekarang juga,” senyum Grandy. “Mama lagi ada tamu. Kita keluar lewat kantor Mama, ya?”
Qiqi mengangguk antusias. Mai kemudian mencium kedua pipi Qiqi sambil berbisik, “Jadi anak manis, ya?”
Ketika keduanya sudah berada di depan pintu tembusan ke kantor olshop, panggilan lirih Mai menghentikan langkah Grandy.
“Bang...”
Grandy menoleh.
“Terima kasih,” bisik Mai.
Grandy tersenyum, mengangguk, dan mengacungkan jempolnya.
* * *
Entah kenapa, sejak bangun tidur pagi-pagi tadi, Ares merasa hatinya diliputi kegelisahan yang terasa agak luar biasa. Pikirannya tertuju pada Mai dan Qiqi. Dan ia benar-benar tak tahu alasannya.
Ia hanya menoleh sekilas ketika Winda benar-benar muncul di apartemen itu. Sesuai dengan pesan yang diterimanya semalam, bahwa Winda akan datang pagi-pagi, membawakan sarapan, dan akan menunggu kedatangan Obet.
“Halo! Halo!” sapa Winda dengan wajah ceria.
“Hai! Hai!” Ares tersenyum sedikit. Tak bergerak dari posisinya yang duduk berselonjor kaki di atas sofa. Menonton televisi yang ia tak tahu isinya apa karena kebanyakan melamun.
Winda segera melangkah ke arah pantry, dan muncul lagi tak lama kemudian. Dengan dua buah mangkuk berisi bubur ayam berada di kedua belah tangannya. Setelah meletakkan mangkuk di atas meja, Winda kembali lagi ke pantry untuk mengambil dua gelas air dingin. Barulah Ares bergerak. Menurunkan kedua kakinya.
“Beli di mana tadi, Win?” serunya.
“Di Ayung,” Winda muncul dengan membawa dua gelas air dingin.
Ayung adalah nama kedai bubur ayam Bangka di sudut luar lantai dasar gedung apartemen. Langganan Ares. Dan tampaknya Winda tahu betul selera abangnya itu.
Sedikit banyak, semangkuk bubur ayam lezat itu bisa mengurangi keresahan Ares. Apalagi ditambah dengan celoteh Winda yang banyak menceritakan kelucuan dan keluguan mahasiswa-mahasiswinya di kampus.
“Aku Jumat depan pulang ke Surabaya, Mas,” celetuk Winda kemudian.
“Tumben?” senyum Ares.
“Aku semester ini kosong ngajar hari Senin dan Selasa. Jadi weekend-ku lama. Lagipula Obet ingin ketemu Mama-Papa. Kemarin itu nggak enak mau ngomong. Obet bilang, lebih sopan kalau dia sendiri yang datang ke Surabaya.”
“Oh...,” Ares manggut-manggut. “Sudah serius bener, kayaknya?”
“Ya, iyalah,” Winda meringis. “Mas Diaz, kan, sudah kenal sendiri sama Obet.”
Ares mengangguk. Obet yang dikenalnya memang laki-laki baik-baik yang dianggapnya cukup layak untuk Winda. Walaupun usianya hanya terpaut setahun lebih tua daripada Winda, tapi Obet cukup dewasa orangnya. Lagipula, sepanjang tiga tahun masa pacarannya dengan Winda, Obet terbukti sudah menjaga Winda dengan baik.
“Mas nggak ada acara hari ini?”
Ares menggeleng.
“Nggak ke tempat Kak Rara?”
Ares menghentikan suapannya. Ditatapnya Winda. Ragu-ragu. Teringat kembali akan keresahannya.
“Ke sanalah, Mas. Sudah dikasih jalan untuk kembali menyambung hubungan, kenapa nggak dimanfaatkan?”
Hm... Begitu, ya?
Ares kembali menekuni semangkuk bubur ayamnya.
“Iya, deh. Setelah ini aku ke sana,” gumamnya kemudian.
Winda mengacungkan jempol.
“Tapi jangan mentang-mentang aku nggak ada di sini, kamu lantas seenaknya jungkir-balik sama Obet,” tegas Ares tiba-tiba.
Winda sempat bengong sejenak sebelum mengerucutkan bibir. Sebuah ekspresi yang membuat Ares tergelak seketika.
* * *
Mobil Mai bertengger manis di carport rumah mungilnya. Tempatnya memang di sana. Membuat Grandy terpaksa memarkir mobilnya tepat di depan pintu pagar kantor olshop. Sesuatu yang kini disyukurinya saat harus ‘melarikan’ Qiqi seperti ini. Setelah semuanya beres, Grandy pun mulai melajukan mobilnya.
“Memangnya kita mau ke mana, Om?” celetuk Qiqi.
“Putar-putar saja dulu, ya? Masih pagi begini. Nanti kita ke rumah Oma, oke?”
Qiqi mengangguk sambil mulai bersenandung. Tangan kiri Grandy seketika mengusap lembut kepala Qiqi. Belum jauh mobil itu berjalan, tiba-tiba Qiqi berhenti bersenandung dan menegakkan tubuhnya.
“Om Diaz! Om Diaz!” serunya sambil menunjuk ke arah luar mobil.
Grandy menyalakan lampu sign kiri seraya memperlambat laju mobil. Benar! Sosok yang tengah berjalan sendirian di trotoar itu adalah Diaz yang dikenalnya. Grandy segera menurunkan kaca jendela di sebelah kiri Qiqi.
“Om Diaz!” seru Qiqi.
Grandy mecondongkan tubuhnya ke arah kiri. “Mau ke mana?”
“Hai!” Ares menghentikan langkah dan mengembangkan senyum menyambut sapaan itu. “Kalian mau ke mana?”
“Jalan-jalan,” senyum Grandy.
“Yah... Padahal aku mau ke sana,” telunjuk Ares mengarah ke rumah Mai.
“Mai lagi ada tamu,” jelas Grandy. “Makanya aku disuruh keluar jalan-jalan bawa Qiqi. Ayo, masuk saja! Ikut sekalian,” Grandy membuka pengunci pintu kiri belakang mobilnya.
Tanpa ragu Ares kemudian masuk. Grandy kembali melajukan mobil. Berbelok ke kiri, kemudian berbelok ke kiri beberapa puluh meter lagi di depan. Masuk ke jalan yang lebih besar.
“Kok, jalan kaki?” tanya Grandy. “Memang tinggalnya di mana?”
“Itu, Mas, apartemen yang itu, tuh!” tunjuk Ares ke arah depan. “Eh, ayo, mampir, yuk!”
“Wah, merepotkan kamu, Di,” ujar Grandy.
“Enggaklah, Mas. Lagi ada adikku di sana, tunggu pacarnya datang. Ayolah, mampir. Adikku pasti senang bertemu Qiqi lagi.”
“Tante Winda, ya?” celetuk Qiqi.
“Iyak, betul!” Diaz mengacungkan jempol.
“Gimana, Qi? Kita mampir ke tempat Om Diaz?” Grandy menoleh sekilas.
“Boleh! Boleh!”
Grandy menepikan mobilnya beberapa meter sebelum mencapai pintu gerbang gedung apartemen Ares. Ia menoleh ke arah Ares.
“Benar, nggak akan merepotkan?” tegasnya sekali lagi.
“Ya, enggaklah, Mas. Aku justru senang sekali kalau kalian mau main ke tempatku. Ayo!”
Grandy mengangguk mantap sambil melajukan kembali mobilnya. Sesampai di dekat pos keamanan apartemen, Ares menurunkan kaca mobil dan menyapa satpam yang sedang bertugas. Menyatakan bahwa ia bersama temannya.
“Mas, Qiqi dan aku turun di sini saja dulu,” ucap Ares setelah mobil Grandy berlalu beberapa meter dari pos keamanan. “Mas bisa parkir di area parkir tamu, biar Qiqi dan aku belanja sebentar ke mini market situ,” tunjuknya ke satu arah.
“Oh, oke, oke!” Grandy segera menepikan mobil tepat di depan minimarket dan membuka pengunci pintu mobil.
“Nanti tunggu sebentar di lobi,” ujar Ares.
Grandy mengangguk.
Ares segera menggandeng tangan kanan Qiqi, masuk ke minimarket. Segera saja keduanya memborong berbagai jenis biskuit dan makanan kecil. Juga aneka minuman dingin, susu, dan yogurt dalam kemasan mungil. Tak lupa Ares mengambil sekotak besar es krim ukuran satu liter. Perlu dua keranjang untuk mengangkut semua belanjaan itu ke kasir.
Beberapa belas menit kemudian keduanya sudah sampai ke lobi gedung apartemen. Grandy sudah ada di sana.
* * *
Winda cukup terperangah ketika mendapati siapa yang membunyikan bel pintu. Abangnya sudah kembali. Padahal belum setengah jam yang lalu berpamitan. Tapi sosok yang mengintip dari balik tubuh Ares membuatnya terpekik seketika.
“Qiqi!”
Keduanya berpelukan dan Winda langsung memperkenalkannya pada Obet. Ares kemudian memperkenalkan pula Grandy. Setelah mengobrol sejenak, Ares mengajak Grandy pindah ke balkon. Membiarkan Obet pusing sendirian mendengarkan celoteh Qiqi dan Winda yang meriah bersahutan.
“Tamu yang datang ke rumah Mai adalah Nirwan dan keluarganya,” ucap Grandy kemudian, dengan nada rendah, tanpa ditanya.
“Mau apa lagi, sih?” jelas terdengar nada jengkel dalam suara Ares.
Grandy mengangkat bahu. “Makanya Mai memintaku untuk membawa Qiqi pergi. Seandainya Qiqi memang harus bertemu ayah kandungnya, tentunya tidak dengan cara mendadak seperti ini.”
“Rara bagaimana, Mas? Maksudku, Mai,” Ares menatap Grandy.
“Ya... Dia kelihatan marah. Mereka datang tanpa pemberitahuan.”
“Semacam tahu-tahu menggerebek, begitu?”
“Ya,” Grandy mrngangguk. “Tepat sekali!”
Ares mendesah. Rupanya ini sumber kegelisahannya. Akan ada sesuatu yang terjadi pada Mai dan Qiqi.
“Untung Mas Grandy ada di sana,” gumam Ares.
“Entahlah,” Grandy mengedikkan bahu. “Aku memang baru pulang dari Semarang semalam. Entah kenapa aku ingin sekali secepatnya menemui Qiqi pagi ini. Ternyata...,” Grandy menggantung kalimatnya.
Ares tercenung seketika.
* * *
Baca ini sambil makan rasanya gak habis2 ni😂
BalasHapusDilema di antara tiga kumbang ☺️
Love you grandy hahhah
Hihihi... Sylla kebawa suasana nih? 😚
HapusCome on, Mai. Put ur choice quickly. :-)
BalasHapusHuehehe... 😎😎😎
HapusSiiiiipppp Sabtu juga tayangggg....
BalasHapusNggih, Bu Ninik... 😘
Hapussemakin seru kisahnya.....ditunggu kelanjutannya Mbak Lis..
BalasHapusMakasih mampirnya, Mbak Bekti... 😊
HapusManstaf :)
BalasHapusMakasih hadirnya, Pak Edy... 😊
Hapus