Kamis, 26 Mei 2016

[Cerbung] Miss Cempluk #2







* * *


Dua


Dalam bayanganku, hanya Kakung, Uti, dan aku saja yang akan jalan pagi. Ternyata Om Nor sekeluarga bergabung juga. Sebelum pukul lima, mereka berempat sudah muncul di rumah Eyang. Jadilah kami bertujuh ramai-ramai berjalan menuju ke taman.

Kania dan Endra, putra-putri Om Nor dan Tante Laras, tampak asyik meluncur sambil bergandengan tangan di atas roller blade masing-masing. Kami mengikutinya dari belakang. Sambil berjalan, kami mengobrol tentang banyak hal.

Taman besar yang kami tuju tak jauh letaknya dari rumah Eyang. Sudah ada sejak dulu. Saat harus tinggal di sini, aku juga sering main ke taman ini. Tapi sekarang taman ini terlihat jauh lebih rapi dan indah. Ketika Kakung, Uti, Om Nor, dan Tante Laras bergabung dalam sebuah kelompok besar untuk mengikuti senam, Kania menarik tanganku ke bagian lain taman.

Ketika melangkah mengikuti luncuran Kania dan Endra, lamat-lamat telingaku mendengar ada alunan musik yang didominasi strings. Aku berhenti sejenak untuk mencari arah datangnya alunan indah itu. Kania rupanya mengerti.

“Mbak Riri mau lihat?” tanyanya.

Aku mengangguk.

“Biasanya di sana, tuh,” Kania menunjuk ke satu arah di sudut lain taman di balik berbagai perdu. “Dekat taman cemara.”

“Oh, oke!” aku mengacungkan jempol. “Aku ke sana dulu, ya?”

Kania mengangguk. Kami berpisah di titik ini. Kania dan Endra berlanjut meluncur ke area khusus untuk bermain roller blade, skate board, dan sejenisnya. Sedangkan aku melangkah menyusuri jalan setapak untuk menuju ke deretan pohon cemara yang tadi ditunjuk Kania.

Segera saja aku mendapati ada belasan orang dari berbagai usia yang tengah mengalunkan komposisi-komposisi yang cukup ringan di telinga. Benar, hanya ada satu orang yang memegang flute, tiga orang yang memegang gitar, selebihnya memegang strings seperti violin, viola, dan cello. Sekira lima meter di seberang mereka, ada deretan bangku beton yang salah satunya masih kosong. Di situlah aku duduk.

Air on the G String menyapa telingaku. Seketika membawaku melayang pada masa-masa saat aku masih berada di Brisbane.


“Arinda!”

Aku menghentikan langkah dan menoleh. Kulihat Cetta Sharma melambaikan tangan dari sudut lorong. Memberiku kode agar aku menunggunya. Dia kemudian melangkah cepat untuk menyusulku.

“Ada apa, Cetta?” tanyaku begitu dia sampai di depanku.

“Kamu masih bermain violin?”

Aku mengangguk.

“Ha!” wajah Cetta berubah jadi jauh lebih cerah. “Kamu mau bergabung dengan OPQ?”

Aku mengerutkan kening. “Memangnya OPQ mau berubah jadi quintet?”

Cetta menggeleng. “Aku mau mundur.”

“Hah? Kenapa?” aku cukup kaget mendengarnya.

“Aku...,” wajah Cetta mendadak berubah jadi berseri-seri, “... hamil, Arinda.”

“Ooow...,” aku segera memeluk Cetta. “Selamat!”

Berita inilah yang selama ini ditunggu Cetta. Sudah hampir dua tahun Cetta menikah dengan Lakshan. Selama itu pula keduanya harap-harap cemas menunggu hadirnya sang buah cinta.

“Jadi?” Cetta melepaskan diri dari pelukanku. “Mau menggantikanku?”

“Hm... Apa James, Hide, dan Myung-Ok setuju?” aku menatapnya.

“Satu-satunya nama yang muncul di otak kami cuma namamu, Arinda.”

“Hm...,” aku berpikir sejenak.

Omni Piano Quartet atau OPQ adalah sekumpulan mahasiswa yang iseng menyalurkan hobi bermusik klasik. Hampir tiap akhir pekan OPQ mengadakan konser mini di taman kampus, di atas sebuah truk. James Finders yang asli Brisbane sayang sekali pada pianonya hingga mutlak tiap kali harus memboyong piano itu dari rumah orang tuanya untuk konser mini itu.

Walaupun hanya kegiatan iseng, tapi aku tahu James Finders, Hideki Maeda, Cetta Sharma, dan Seon Myung-Ok selalu mempersiapkan penampilan mereka dengan serius. Aku adalah penonton OPQ yang paling setia. Bahkan kadang-kadang menggantikan Cetta saat Cetta ada kesibukan yang tak bisa ditinggalkan.

“Oke...,” putusku kemudian.

Sekarang ganti Cetta yang memelukku dengan erat sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali.


Suara tepuk tangan di sekitarku seketika melemparkan aku dari lamunan. Aku pun memberikan aplaus untuk menghargai penampilan mereka. Walaupun ada beberapa nada yang meleset sedikit, tapi bagiku sudah cukup bagus karena sepertinya beberapa dari mereka sedang dalam taraf belajar.

“Maaf, kosong?”

Aku mendongak mendengar logat asing itu. Seorang laki-laki berambut coklat, berkulit terang, dengan warna mata setingkat lebih muda daripada rambutnya, berdiri dan menatapku dengan senyumnya. Tanpa sadar aku mengangguk. Tempat duduk di sebelahku memang masih kosong. Laki-laki itu kemudian duduk sambil menggumamkan ucapan terima kasih.

Kini mereka mengalunkan Spring from the Four Seasons. Aku kembali menikmati alunan itu. Alam lamunan kembali menyergapku. Mengembalikan aku ke Brisbane.


Aku tak menemukan kesulitan untuk segera beradaptasi dengan James, Hide, dan Myung-Ok. Akhir pekan berikutnya, aku sudah resmi tampil di atas truk, menggantikan Cetta. Menjadi anggota OPQ yang termuda. Dan aku sangat menikmati aktivitas baruku itu.

Satu-satunya cara untuk sejenak melepaskan diri dari rutinitas belajar yang terkadang menjemukan adalah bermain musik. Setelah dulu mulai belajar dengan piano saat aku masih kecil, kemudian mencoba gitar, pada akhirnya aku jatuh cinta pada violin.

Pada posisi itulah aku berada di OPQ. Violin player. Bersama James di piano, Myung-Ok di viola, dan Hide di cello. Bersama OPQ kemampuanku makin terasah karena James, sebagai leader, menginginkan kami semua berlatih bersama di rumah orang tuanya setiap hari Minggu dan Rabu sore, atau hari lain sesuai dengan waktu kosong bersama.


“Suka?”

Suara itu menyentakkan aku. Aku menoleh ke kanan dan mengangguk. Laki-laki dengan garis wajah Eropa Selatan itu tengah menatapku.

“Mereka cukup bagus,” ujarnya lagi.

Aku kembali mengangguk. “Hanya perlu lebih banyak berlatih,” timpalku.

Dia menatapku lekat selama beberapa saat sebelum bertanya, “Arinda Wirahadi, bukan?”

Aku benar-benar terkejut ketika dia menyebut namaku secara lengkap dan fasih. Kutatap dia, mencoba mengingat-ingat kapan kami pernah bertemu. Seutuhnya aku gagal. Ingatanku buntu. Tapi kusambut juga jabat tangannya.

“Alessandro Tardini,” ucapnya sambil mengguncang lembut tanganku.

“Arinda Wirahadi,” balasku.

Dia mengangguk sambil tersenyum. “Saya tahu.”

“Bagaimana...,” pertanyaanku menggantung begitu saja.

Omni Piano Quartet,” jawabnya. “Bermain di Embassy of Japan di Canberra pada suatu matsuri. Saya ada di sana waktu itu.”

“Oh...,” mulutku membundar tanpa suara. Berapa tahun lalukah itu?

Pada saat yang sama, ponselku berbunyi. Aku minta maaf pada Alessandro karena tampaknya aku harus menjawab panggilan itu. Ternyata dari Kakung.

“Kamu di mana, Pluk?”

“Lagi nonton konser, Kung.”

“Oh... Sudah lapar belum?”

“Hm...”

“Kakung pesankan bubur ayam sekalian, ya? Takutnya kehabisan.”

“Iya, Kung. Aku segera ke situ. Di tempat yang tadi, kan?”

“Iya, dekat tempat senam tadi.”

“Siap, Kung!”

Sambil memasukkan ponsel ke saku celana, aku menatap Alessandro.

“Maaf, saya harus pergi.”

Alessandro mengangguk.

“Sampai ketemu lagi,” ucapku sambil berdiri.

Dia mengangguk lagi. Melambaikan tangan ketika aku mulai melangkah meninggalkannya.

* * *

Semangkuk bubur ayam yang masih mengepulkan asap hangat sudah menungguku di atas sebuah bangku beton di tempat Kakung, Uti, dan Tante Laras duduk. Tak kulihat Om Nor dan kedua sepupuku. Tante Laras melambaikan tangannya, menyuruhku segera duduk.

“Om Nor ke mana?” tanyaku sambil menerima mangkuk bubur ayam yang disodorkan Tante Laras.

“Masih cari anak-anak,” jawab Uti.

Beberapa saat kemudian Om Nor muncul bersama Kania dan Endra. Kami kemudian menikmati bubur ayam lezat itu sambil mengobrol ini-itu.

“Kamu tadi menonton konser?” tanya Kakung.

Aku mengangguk.

“Tiap Minggu mereka main, tuh,” celetuk Om Nor. “Kadang-kadang kami juga nonton.”

“Cukup bagus, kok,” timpal Tante Laras. “Buat ukuran orang-orang yang lagi belajar.”

Aku kembali mengangguk.

“Bergabung saja, Pluk,” ucap Uti. “Lumayan buat mengasah lagi kemampuanmu.”

Seketika aku menghentikan kunyahan. Bergabung? Setelah sekian lama? Berapa lama sebenarnya? Rasanya baru kemarin...


“James, aku...,” menatap James, aku jadi kehilangan kata.

James meraihku ke dalam pelukannya. Di dada James kutumpahkan tangisku yang sudah kutahan selama beberapa hari. Ketika sudah cukup puas, kutegakkan lagi kepalaku. Kulihat Myung-Ok mengusap matanya yang basah. Hide pun menatapku dengan mata mengaca.

“Aku... tak bisa lagi,” desahku, terbata. “Maafkan aku...”

James mengangguk. “Aku paham. Lagipula sebentar lagi Hide lulus dan kembali ke Jepang. Tampaknya memang OPQ harus tutup usia sampai di sini.”

Airmataku mengalir lagi. Aku tahu bukan aku yang mengakhiri usia OPQ, tapi tetap saja aku merasa akulah penyebab utamanya. Dua tahun bergabung dengan OPQ sudah mengentalkan chemistry kami berempat di OPQ. Tak mudah untuk mencari penggantiku dan Hide sekaligus.

Mungkin masih akan ada lagi konser mini di atas truk atau di taman kampus. Tapi yang jelas bukan OPQ. OPQ yang harus kutinggalkan setelah Otto... Ah!


Aku mengerjapkan mata yang tiba-tiba terasa panas.

“Kepedasan?” Tante Laras mengulurkan sebotol air mineral padaku.

Aku mengangguk sambil menerima botol itu dan meneguk seperempat isinya. Dengan cepat aku kemudian menghabiskan bubur ayam dalam mangkuk. Matahari sudah merambat naik dan udara pagi mulai panas. Setelah semuanya selesai, kami pun berkemas dan bersiap untuk pulang.

* * *

Aku sedang menikmati nasi goreng buatan Uti yang lezat tiada tara ketika Mbak Witra muncul dengan wajah secerah mentari Senin pagi ini. Setelah memberi salam pada Kakung dan Uti, Mbak Witra langsung mengambil piring dan menyendok semua sisa nasi goreng dari dalam mangkok besar dengan penuh semangat.

“Memangnya tidak dikasih sarapan sama ibumu?” Kakung tersenyum lebar.

Mbak Witra mengerucutkan bibirnya. “Cuma roti, Kung,” gerutunya. “Mana kenyang?”

Kandas sudah niatku untuk menghabiskan sisa nasi goreng dalam mangkuk besar itu. Kalah cepat dengan Mbak Witra. Kakung dan Uti tertawa geli melihat ekspresiku. Mbak Witra tampak heran.

“Kenapa?”

“Itu tadi sisa nasi goreng sudah diincar sama adikmu,” jawab Uti di tengah tawanya.

“Iyakah?” Mbak Witra menatapku. Sok polos.

Aku berlagak cemberut. Membuatnya tergelak.

“Jangan manyun begitu, Pluk,” ujar Mbak Witra. “Kita jalan setelah ini.”

“Ke mana?”

“Ke Bandung? Ke Puncak? Terserah kamu. Mumpung masih pagi ini...”

“Hm...”

* * *

Akhirnya Mbak Witra membawaku ke Lembang. Bukan nongkrong tanpa tujuan, melainkan membawaku ke sebuah spa bernuansa alam milik tantenya, adik tunggal Budhe Marisa. Tante Valina menyambut kedatangan kami dengan hangat. Beliau kemudian menyilakan kami untuk menikmati semua layanan sesuai dengan keinginan kami. Gratis, tentu saja.

Mbak Witra tanpa malu-malu memilih paket dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dari creambath, facial, pijat refleksi, pijat lulur, hingga manikur-pedikur. Semua rangkaian perawatan itu kami nikmati diseling dengan suguhan jus jeruk dan aneka croissant berasal dari La Petite Fleur Patisserie yang juga milik Tante Valina, di sebelah spa. Benar-benar layanan kelas premium.

Matahari sudah menggelincir ke tiga per empat langit ketika kami menyelesaikan seluruh rangkaian perawatan tubuh itu. Aku betul-betul merasa rileks dan segar. Sebelum meluncur pulang ke Jakarta, Mbak Witra membawaku menikmati makan siang yang sungguh terlambat di sebuah kafe.

“Besok enaknya ke mana lagi?” tanya Mbak Witra.

Aku mengerutkan kening. Sejujurnya, aku masih ingin menikmati kebersamaanku dengan Kakung dan Uti. Tapi untuk menolak ajakan Mbak Witra, aku tak tega. Aku bisa melihat betapa bersemangatnya Mbak Witra berusaha untuk membuatku senang berada di sini. Lagipula, kesempatanku bersama Mbak Witra mungkin tak akan lama lagi karena sepertinya Mbak Witra harus mempersiapkan penempatannya ke luar Jawa. Sambil menunggu penempatan itu, Tante Laras sudah meminta Mbak Witra untuk membantu beliau di rumah bersalin mulai Senin depan. Rumah bersalin itu dulunya milik Uti. Kini dikendalikan oleh Tante Laras.

“Ke Puncak?”

“Jangan jauh-jauh,” aku menggeleng.

Mbak Witra menggaruk pelipisnya dengan bingung. Sedetik kemudian wajahnya berubah menjadi cerah kembali.

“Ha! Ke rumahku saja kalau begitu! Bagaimana?”

“Boleh, deh!” senyumku.

“Hitung-hitung kamu membantuku bebenah kamar.”

Mbak Witra melanjutkan kalimatnya dengan tawa panjang ketika melihatku manyun.

* * *

Langit sudah gelap ketika Mbak Witra dan aku sampai di rumah lagi. Mbak Witra hanya mampir sejenak untuk mengucap salam dan berpamitan pada Kakung dan Uti. Sepeninggal Mbak Witra, aku segera mandi dan bergabung dengan Kakung dan Uti yang sudah duduk manis di depan meja makan.

Aroma sedap soto ayam segera menyergap hidungku begitu aku duduk di seberang Uti. Aku tidak ingat lagi bahwa baru saja empat jam yang lalu aku menghabiskan nasi bakar beserta iga penyet dan segala pendampingnya di Lembang. Astagaaa... Kalau begini caranya bisa-bisa aku tambah lebar tanpa guna. Tapi segera kubuang jauh-jauh pikiran itu. Soto ayam lengkap yang mengepul di depanku ini sepertinya terlalu enak untuk dilewatkan begitu saja.

“Jadi, rencananya kapan kamu mulai masuk ke Eternal, Pluk?” tanya Kakung. Terkesan sambil lalu.

“Bagaimana kalau tiga minggu lagi, Kung?” aku justru balik bertanya.

“Pertimbangannya?” Kakung menatapku.

“Hm... Minggu ini sepertinya aku mau bersenang-senang dulu,” aku meringis sedikit. Kakung dan Uti tersenyum lebar. Lanjutku, “Minggu depan aku mau latihan menyetir. Minggu depannya lagi, kuharap aku sudah lebih mantap untuk mulai mandiri. Dan berikutnya, aku sudah siap untuk bekerja secara penuh di Eternal.”

Kakung manggut-manggut mendengar penuturanku. “Kakung suka dengan cara berpikirmu,” gumam Kakung kemudian. “Jadi kamu benar-benar sudah siap tempur saat masuk ke Eternal nanti.”

“Betul, Kung,” anggukku.

“Tadi ke mana saja?” tanya Uti sambil menambahkan lagi kuah soto ke piringku.

“Ke spa-nya Tante Valina, Ti,” jawabku setelah menggumamkan terima kasih. “Di Lembang. Enak banget di sana.”

Wong gratis, ya, enak,” sahut Uti, tergelak.

Aku terkikik geli.

“Besok ke mana?” tanya Kakung.

“Ke tempat Mbak Witra, Kung. Disuruh bantu bebenah kamarnya.”

Jawabanku membuat Kakung terbahak seketika. Sampai tersedak dan terbatuk-batuk. Aku secepatnya bangkit dan mengelus-elus punggung Kakung, sementara Uti menyodorkan segelas air putih.

“Duh, Kung,” gerutuku, “semangat amat tertawanya...”

Kakung-mu memang suka nggak ingat umur,” gerutu Uti.

Selanjutnya aku berusaha untuk mengatur ucapanku agar lebih serius dan tak terkesan lucu. Supaya Kakung tidak tersedak dan terbatuk-batuk lagi.

* * *

14 komentar: