Untuk kesekian kalinya Renata hanya berdua saja dengan laki-laki itu di dalam lift. Sudah hampir sebulan. Mau tak mau Renata nyaris hafal lekuk liku wajah laki-laki itu. Bersih, tampan, tampak profesional dengan kacamata yang bertengger di puncak hidung mancungnya.
Siapa
dia? Renata tidak tahu. Bahkan seujung nama pun tidak. Di lantai berapa
laki-laki itu bekerja? Renata pun terpaksa geleng kepala. Dia selalu keluar
dari lift di lantai 11, sebelum laki-laki itu keluar. Tanpa sadar Renata
mendesah. Dan dia melihat pantulan bayangan di pintu lift, laki-laki itu
menoleh sekilas ke arahnya. Renata langsung pura-pura melihat arlojinya. Selalu
angka yang hampir sama, sekitar pukul 7 pagi.
Dan
selalu pula melewati 3 kejadian yang hampir sama. Yang pertama, mereka
berbarengan menunggu sejenak di depan lift yang sama. Yang kedua, Renata muncul
belakangan saat laki-laki itu sudah berada di dalam lift dan laki-laki itu
menahan tombol open untuk Renata. Yang ketiga, adalah kebalikan dari kejadian
kedua. Dan sesudahnya hanya ada pertukaran ucapan ‘terima kasih’ dan
’sama-sama’, singkat dan sopan.
Ting!
Pintu
lift terbuka di lantai 11. Renata keluar. Tapi sebelummya sempat menoleh
sekilas pada laki-laki itu.
“Mari,”
ucap Renata sambil tersenyum dan melangkah.
“Silakan,”
jawab laki-laki itu, tersenyum singkat.
Hanya
itu. Membuat Renata gemas sendiri.
* *
*
Rafael
hampir melupakan Sarah setelah dia melirik arlojinya. Hampir pukul 7! Masih
bisakah dia masuk ke lift yang sama seperti biasanya?
Lift itu
tidak istimewa. Hanya lift biasa. Tapi siapa yang biasa berada dalam lift itu
yang istimewa.
Seorang
perempuan bertubuh mungil, manis, dan kelihatan penuh semangat. Buktinya dia
sudah sampai di gedung perkantoran itu tiap pukul 7 pagi, padahal kantor-kantor
di situ rata-rata baru beroperasi pukul 8.
Siapa
nama perempuan itu? Rafael menggeleng pelan. Dia ingin bertanya, tapi cincin
belah rotan di jari manis tangan kanan perempuan itu berhasil membuatnya
bungkam.
“Pa!”
Rafael
tersentak. Sarah! Oh, dia sudah melupakan gadis kecilnya itu!
“Iya,
Sayang?”
“Papa
buru-buru amat sih? Katanya janjiannya jam 8. Ini jam berapa?”
Rafael
terhenyak sejenak. Ini hari Sabtu, bukan hari kerja resmi. Ah, perempuan itu
pasti tidak ada, gumamnya dalam hati.
Digandengnya
Sarah keluar dari basement. Mereka pun berjalan santai menuju ke lift. Tapi di
dalam lift, ketika hendak berbalik untuk menekan tombol close, Rafael mendengar
teriakan itu.
“Tunggu!”
Demi
melihat siapa yang berteriak, otomatis tangan Rafael menekan tombol open.
* *
*
Renata
hampir berlari menuju ke lift. Oh gee… Laki-laki itu ada di sana!
Di hari Sabtu? Renata sudah tak mau berpikir lagi.
“Tunggu!”
teriaknya.
Dilihatnya
laki-laki itu berbalik. Dan pintu lift pun tertahan untuknya. Renata bergegas
masuk sambil mengucapkan terima kasih.
Huufft…
Diam-diam Renata menghembuskan napas… Lega? Entahlah!
“Hari
Sabtu enggak libur?”
Renata
tersentak. Dia menoleh ke arah laki-laki itu. “Maaf?” ucapnya bego.
“Mbak
hari Sabtu gini enggak libur?” ulang laki-laki itu sambil tersenyum.
Renata
limbung sesaat. Tapi dia segera tersadar. “Oh, ada janji dengan klien, Pak.”
“Dari
kantor apa Mbak?”
“Savannah
And Co.”
“Desain
interior?” laki-laki itu melebarkan matanya dengan antusias.
Renata
menelan ludah. “Iya,” jawabnya dengan suara terjepit.
“Oo…,”
ucap laki-laki itu tanpa suara.
Renata
kembali berdiri diam. Baru disadarinya ada satu lagi pantulan bayangan di
dinding lift. Serta merta dia menoleh.
“Putrinya,
Pak?”
Laki-laki
itu tersenyum dan mengangguk.
“Cantik
sekali…,” guman Renata tulus.
Ting!
Lantai 11. Mau tak mau Renata harus keluar.
“Mari,
Pak…”
“Silahkan,
Mbak…”
* *
*
Jadi
namanya Lily, gumam Rafael dalam hati. Dialah klien yang harus ditemui interior
designer dari Savannah & Co itu. Dan perempuan mungil manis itulah yang
akan menemuinya. Lily.
Ting!
Lantai 15.
Rafael
menggandeng Sarah keluar. Mereka ke kantor Rafael sebelum bertemu dengan
interior designer rumah baru mereka.
Sarah
kelihatan senang. Dia sudah lama memimpikan kamar ala Princess. Dan papanya
yang baik hati itu sudah membeli rumah baru dengan kamar yang boleh dihias
sesuka hatinya.
“Entar
kamarku kayak apa ya, Pa?” Sarah menerka-nerka.
Rafael
menatap putri semata wayangnya. Tersenyum melihat binar di mata Sarah.
“Nanti
perancang kamarmu akan membawa banyak gambar. Kamu boleh memilih yang maaana
saja.”
Sarah
memeluk papanya sambil mengucapkan terima kasih. Dia kemudian duduk manis di
sofa, menghadap ke dinding kaca. Rafael menatapnya dengan hati berdarah.
Steve,
kau lihat anakmu? Cantik seperti Anna. Suatu saat dia harus mengenalmu. Tapi
tidak sekarang.
Rafael
menghela napas panjang. Mengerjapkan matanya yang mendadak mengaca. Lalu dia
meraih telepon di meja kerjanya.
Pada
dengung yang keempat, terdengar suara ramah dari seberang sana.
“Selamat
pagi… Savannah & Co di sini, ada yang bisa dibantu?”
“Selamat
pagi… Bisa minta tolong disambungkan dengan Ibu Lily?”
“Oh, Ibu
Lily masih dirawat di RS, Pak. Maaf dengan Bapak siapa?”
“Saya
Rafael, sudah janji mau melihat presentasi desain Ibu Lily. Saya tidak mendapat
pemberitahuan soal ini. Ibu Lily kenapa?”
“Mohon
maaf sebelumnya Pak Rafael, Ibu Lily ditabrak motor 2 minggu yang lalu. Untuk
sementara tugas Bu Lily beralih pada saya. Kami dari Savannah & Co tidak
akan mengecewakan Bapak. Saya siap untuk presentasi di hadapan Bapak hari ini.”
“Oh…
Begitu…,” Rafael mengangguk-angguk. “Kalau begitu saya tunggu kedatangan Ibu di
kantor saya jam 8 ya?”
“Baik
Pak, saya siap menuju ke kantor Bapak.”
“Oke…
Oke… Eh, maaf, dengan Ibu siapa ya?”
“Renata,
Pak.”
* *
*
“Anda?”
Renata menatap Rafael dengan takjub.
Rafael
mengulurkan tangannya sambil tersenyum. “Senang bertemu lagi dengan Anda, Mbak
Renata… Mari masuk!”
Di
belakang punggung Rafael menyembul sebentuk wajah mungil.
“Hai,
Cantik!” sapa Renata ramah. “Rupanya ini Princess yang punya pesanan khusus?”
Sarah
mengulurkan tangannya, tersenyum manis. “Hai Tante… Aku Sarah.”
“Halo
Sarah! Senang berkenalan denganmu.”
Gadis
kecil itu tidak melepaskan tangan Renata. Dia menggandeng Renata ke arah sofa.
“Jadi,
kamarku nanti seperti apa?” tanya Sarah ceria.
“Sarah…,”
tegur Rafael lembut. “Tante Renata biar duduk dulu. Ditawarin minum. Yang sopan
dong…”
Renata
tertawa. “Nggak apa-apa, Pak.”
Dan tak
lama kemudian mereka sudah asyik membicarakan rancangan Renata. Ketika Renata
membuka file kamar Ariel si Putri Duyung, Sarah segera berteriak antusias.
“Aku mau
yang ini, Pa!”
“Ya nanti
kita bikin yang seperti ini ya?”
Ada yang
bergetar dalam hati Renata mendengar kelembutan Rafael bertutur. Ayah yang
hebat, guman Renata. Alangkah bahagia istrinya…
“Untuk
kamar utama, saya ingin hitam dan putih saja, Mbak Renata. Simpel. Nggak
terlalu ribet.”
Renata
mengangkat wajahnya. Ditatapnya Rafael sejenak.
“Maaf,
apa ini sudah mengakomodasi keinginan Ibu?” tanya Renata.
“Oh… Ibu
saya lebih senang warna krem. Sudah kita bicarakan tadi kan?”
Renata
terbengong sejenak. “Eh, maksud saya Ibu, istri Anda, Pak…”
“Oh… Mama
Sarah sudah meninggal Mbak. Kami hanya tinggal bertiga. Sarah, ibu saya, dan
saya. Ya berlimalah, dengan asisten RT.”
“Ooo…,”
Renata tak bersuara.
Kembali
hatinya bergetar hebat.
* *
*
Rafael
tak hentinya menatap wajah manis itu. Ada yang berdetak kencang di dadanya
ketika Renata melayani celotehan Sarah dengan sabar.
Betapa
cepat akrabnya!
Renata
mengangguk ketika Sarah mengajukan perpaduan warna yang aneh. Dan ketika contoh
paduan warna itu muncul di layar laptop Renata, tawa mereka pun meledak. Dengan
ringan Sarah pun menyetujui warna awal yang sudah dibuat Renata, melupakan
paduan warna aneh pilihannya sendiri
Rafael
melirik arlojinya. Ah, cepat sekali waktu berlalu. Sudah lewat pukul 11.
“Sarah,”
tegurnya halus. “Sudah siang. Kita ajak Tante Renata makan yuk!”
“Tak usah
repot-repot, Pak,” tolak Renata.
“Ayolah,
Tante…,” Sarah menyandarkan tubuhnya dengan manja pada Renata. “Tante baiiik
banget mau bikinin aku kamar yang bagus. Sekarang kita traktir Tante makan ya?
Ya?”
Renata
menatap Rafael. Laki-laki itu mengangkat alis sambil tersenyum lebar. Renata
pun menyerah.
Sebelum
turun ke basement, mereka mampir ke kantor Renata di lantai 11. Setelah
mengambil semua barang Renata, mereka pun menuju ke parkiran mobil.
“Pakai
mobil saya saja, Mbak Renata. Nanti Mbak saya antar lagi ke sini. Gimana?”
Setelah
bimbang sejenak, Renata pun merasa tak punya pilihan lain kecuali menyetujui
usulan Rafael. Dia pun menggangguk.
* *
*
“Pa, aku
boleh main di sana ya?” Sarah menunjuk ke area bermain di seberang resto.
Rafael
mengangguk. Dia berdiri, menoleh ke arah Renata.
“Mbak,
saya antar Sarah bentar ya?”
Renata
mengangguk. Dia menunjuk ke arah bangku kayu di dekat area bermain.
“Saya
tunggu di sana ya?”
“Oke!”
Rafael menatap Sarah. “Papa bayar dulu makanannya ya?”
Sarah
mengangguk.
Renata
melangkah menuju bangku kayu agak di sudut mall itu. Sambil duduk bersandar dia
menatap Sarah. Ada perih yang perlahan menggigit hatinya. Pasti sudah sebesar
dia sekarang, gumam Renata dalam hati, pilu.
“Melamun?"
Renata
tersentak. Rafael duduk di sebelahnya. Renata mengerjapkan matanya yang sedikit
basah. Dia menggeleng pelan.
“Suami
Mbak kerja di mana?” tanya Rafael sopan.
Renata
tercenung sejenak. Tanpa sadar diamatinya cincin belah rotan di jari manis
tangan kanannya. Beberapa detik kemudian dia tersadar.
“Ini ya?”
sekilas disodorkannya tangan kanan ke arah Rafael, mencoba untuk tersenyum.
“Saya belum menikah. Hampir iya, tapi belum.”
“Ooo…,”
ucap Rafael tanpa bersuara. Entah kenapa ada denyar-denyar kelegaan
meloncat-loncat dalam hatinya.
“Hampir?”
Renata
mengangguk. “Dia meninggal dua minggu sebelum pernikahan kami.”
“Sakit?”
Renata
menggeleng. “Pesawatnya jatuh di Kalimantan. Dia pilot pesawat kecil. Sewaan.”
“Maaf
Mbak, saya turut berduka,” ucap Rafael tulus.
“Tidak
apa-apa Pak, sudah terlalu lama. Hampir delapan tahun. Saya sendiri sudah lupa
rasanya seperti apa.”
Nada
suara itu terdengar begitu datar, tapi Rafael dapat menangkap luka yang sarat
di sana. Tanpa sadar digenggamnya hangat tangan Renata.
“Tuhan
akan memberi gantinya Mbak, semoga yang jauh lebih baik,” ucapnya lembut.
“Ya,”
desah Renata. “Semoga….”
* *
*
Rafael
tersenyum sambil meluncurkan mobilnya di belakang sebuah Estilo mungil berwarna
pink. Beriringan kedua mobil itu masuk ke basement.
Tak lama
kemudian Renata keluar dari mobil mungilnya sambil menenteng tas laptop dan tas
kerjanya.
“Pagi,
Mbak Renata…”
Renata
menoleh. Dia mengulas senyum manis.
“Pak
Rafael, selamat pagi…,” sahutnya ramah.
“Selalu
pada jam yang hampir sama,” Rafael tertawa.
Renata
mengangguk ringan. “Malas macetnya kalau lebih siang lagi, Pak.”
Bersama-sama
mereka menuju ke lift. Rafael menekan tombol, dan pintu lift terbuka. Dia
membentangkan tangannya kanannya. Renata tertawa sambil melangkah masuk duluan.
“Terima
kasih, Pak.”
Mereka
berdiri berdampingan dalam lift. Rafael dapat mencium bau wangi segar rambut
Renata. Renata sendiri hampir terbuai membaui wangi maskulin cologne Rafael.
“Mbak
Renata biasanya makan siang di mana?”
“Nggak
tentu juga sih, Pak. Kadang-kadang di food court sebelah. Kadang-kadang sama
klien. Kadang-kadang ya di mana aja di pinggir jalan kalau lagi keluar,” jawab
Renata panjang lebar.
Rafael
mengangguk. “Nanti siang bisa kita makan bareng?”
“Oooh…
Kebetulan saya mau ke Kebon Jeruk, Pak. Finishing SOHO klien. Kayaknya bakal
seharian di sana.”
“Ooo…,”
ada sedikit nada kecewa dalam suara Rafael.
Renata
merasa tidak enak. “Mungkin besok bisa, Pak,” ucapnya kemudian.
Rafael
tertawa masam. “Saya besok harus ke Bogor.”
Renata
ikut tertawa, menetralkan suasana. “Ya sudah, kapan-kapan saja, Pak. Bapak
sudah punya nomor ponsel saya kan?”
“Ya, ya,
nanti saya hubungi lagi.”
Ting!
Pintu lift terbuka. Renata harus keluar.
“Mari,
Pak…”
“Silahkan,
Mbak…”
* *
*
“Ren…”
Renata
mengangkat wajahnya, menatap Donny, bossnya. “Iya, Mas?”
“Proyek di
rumah Pak Rafael kapan mulai?”
“Besok
lusa, Mas.”
“Mmm…
Udah ketemu orangnya kan?”
“Udah,
Sabtu kemaren.”
“Eh, Lily
gimana, bed rest lama banget ya?”
“Ya biar
pulih dululah, Mas. Urusan kerjaan juga udah dibagi tiga.”
“Ya kalau
ada kesulitan cepet bilang aku, biar aku bantuin handling.”
“Iya,
Mas. Eh Mas, saya mau ke Kebon Jeruk, SOHO-nya Pak Iwan. Sampai sore kayaknya.
Dari sana langsung pulang ya? Nggak usah mampir kantor lagi.”
“Ya udah
situ, atur sendiri. Kemarin Bu Iwan telepon aku, katanya puas banget sama hasil
kerjamu,” Donny tersenyum senang.
Renata
ikut tersenyum senang, campur bangga.
* *
*
Satya
melajukan mobil Renata pelan-pelan. Renata sendiri sibuk menengok ke kanan dan
kiri.
“Itu
‘kali Sat,” tunjuk Renata. “Kayaknya urutannya dari sini jatuh di situ.”
Satya
menghentikan mobil Renata di depan sebuah rumah baru bercat putih. Ada sebuah
CRV terparkir di carport rumah itu.
“Bener
Sat, tuh mobilnya!”
Ketika
mereka keluar dari mobil, Rafael keluar dari rumah itu.
“Halo,
Mbak Renata!” sapanya akrab.
Renata
menyambut jabat tangan Rafael.
“Apa
kabar Pak?” Renata berusaha keras menutupi getar nada rindu dalam suaranya.
Sudah dua
pagi mereka tak bertemu. Kemarin pagi Rafael tidak ke kantor, langsung meluncur
ke Bogor. Dan pagi ini tadi, rupanya dia langsung ke rumah barunya ini.
“Kabar
baik, Mbak.”
“Oh iya
Pak, kenalkan ini Satya, partner kerja saya,” Renata memperkenalkan Satya.
“Cuma
asisten kok Pak, belum partner,” ralat Satya, membuat Rafael tertawa.
“Ayo
masuk!”
Renata
dan Satya mengikuti langkah Rafael. Di dalam, seorang perempuan setengah baya
sudah menunggu.
“Ma, ini
Mbak Renata dan Mas Satya dari Savannah. Mama temenin ya? Aku harus ke kantor
sekarang. Nanti kalau sudah selesai, Mama tinggal telepon aku, nanti aku
jemput.”
Perempuan
itu menggangguk sambil tersenyum.
“Selamat
pagi, Ibu, saya Renata. Dan ini partner saya, Satya,” Renata menyalami perempuan
berwajah cantik dan kelihatan ramah itu.
“Iya
Mbak, saya Lea, omanya Sarah.”
“Oke,
Mbak, Mas, saya tinggal dulu ya? Nitip Mama dan rumah,” senyum Rafael.
“Iya
Pak…,” Renata menoleh ke arah Satya. “Mobil kita menghalangi. Pindahin dulu,
Sat.”
“Mari
Mbak Renata, mau keliling dulu?” ucap Bu Lea ramah.
Renata
mengangguk.
Bu Lea
membawa Renata berkeliling di dalam rumah kosong itu. Satya bergabung tak lama
kemudian.
Benak
Renata sudah dipenuhi bayangan bentuk ‘jadi’ ruangan-ruangan dalam rumah itu.
Satya sesekali mencatat dalam notesnya. Sesekali pula mereka berdiskusi ringan,
dan kembali meneruskan langkah.
Hampir 2
jam mereka menyusuri rumah itu dari sudut ke sudut. Renata pun memutuskan untuk
mengakhiri kunjungannya.
“Ibu,”
Renata menatap Bu Lea. “Untuk sementara kami sudah selesai. Ibu bisa menelepon
Pak Rafael untuk dijemput. Kami bisa temani Ibu sampai Bapak datang.”
“Oooh…,”
Bu Lea tampak memikirkan sesuatu. “Begini, Mbak, ini seandainya lho ya, saya
numpang Mbak sama Mas sampai kantor Rafael gimana? Satu gedung sama Rafael
kan?”
“Bisa Bu,
boleh,” jawab Renata tulus. “Tapi saya harus antar Satya dulu ke Radio Dalam.
Hanya nge-drop saja kok, Bu. Nggak apa-apa?”
“Oh,
nggak apa-apa Mbak! Sudah untung boleh numpang,” Bu Lea tersenyum malu.
Renata
tertawa ringan. Digamitnya lengan Bu Lea. Satya mengunci semua ruangan dan
pintu depan. Tak lama kemudian mereka meluncur ke daerah Radio Dalam.
Setelah
menurunkan Satya, Renata pindah dari jok belakang ke belakang kemudi. Saat itu
ponsel Bu Lea berbunyi. Renata melajukan mobilnya.
“Ya, Raf,
ada apa?”
… … … …
“Udah…
Ini Mama ikut Mbak Renata, mau ke kantormu.”
… … … …
“Ya…
Gimana? Udah terlanjur.”
… … … …
“Iya,
iya. Ya udah, tunggu Mama.”
Bu Lea
menutup pembicaraannya. Dia menoleh ke arah Renata, tersenyum malu.
“Rafael
agak marah,” ucap Bu Lea pelan. “Maaf ya Mbak Ren, saya merepotkan Mbak.”
“Ibu…
Nggak usah dipikirinlah… Saya nggak apa-apa kok Ibu nebeng. Toh tujuan kita
sama. Nanti kalau Bapak masih marah, biar saya yang bilang.”
“Makasih
banyak ya Mbak Ren? Mbak Ren memang baik. Pantesan Sarah nggak berhenti
menceritakan Tante Renata,” Bu Lea tersenyum lebar.
“Pak
Rafael pasti sedih banget ya Bu, ditinggal mamanya Sarah?” Renata bertanya
iseng.
Terdengar
helaan napas dari sebelah Renata. Mendadak Renata merasa tak enak sendiri atas
sikap keponya.
“Anna
namanya,” ucap Bu Lea lirih. “Dia mamanya Sarah, tapi bukan istri Rafael.”
Renata
tertegun. Pengemudi di belakang sampai harus membunyikan klakson karena lampu
lalu lintas sudah hijau tapi Estilo pink itu belum bergerak.
* *
*
“Sudah
malam, Raf,” tegur Bu Lea lembut. “Istirahatlah dulu.”
Rafael
menerima uluran secangkir teh hangat sambil menggumamkan terima kasih. Sambil
meneguk tehnya, dia mematikan laptop.
“Dia baik
sekali ya?” Bu Lea tersenyum simpul.
Sekilas
Rafael menatap mamanya. “Siapa?”
“Kamu
tahu siapa yang Mama maksud,” gerutu Bu Lea.
Rafael
tertawa. Direngkuhnya bahu mamanya itu.
“Mama mau
aku gimana?” goda Rafael.
“Kamu
sudah bukan abege lagi, Raf. Umurmu sudah hampir tiga empat. Kamu berhak
menggapai hidupmu sendiri,” ucap Bu Lea tegas.
Rafael
menutup tirai ruang kerjanya. Sejenak kemudian dia berbalik, berdiri bersandar,
menatap mamanya serius.
“Aku
harus memikirkan Sarah juga, Ma. Satu-satunya ayah yang dia kenal cuma aku. Dia
masih terlalu kecil untuk paham jalan hidupnya. Umurnya baru 7 tahun.”
“Mama
paham, sepenuhnya, Raf. Tapi kamu juga butuh pendamping. Perasaan Mama jarang
salah. Ada sesuatu yang istimewa dalam relasi kalian, kamu dan Renata.”
“Renata…
Dia berhak untuk dapat perjaka tanpa anak, Ma. Dia perempuan baik.”
“Dan kamu
perjaka tanpa anak!” tegas Bu Lea. “Dia sudah tahu. Mama sudah katakan
padanya.”
“Ma??”
Rafael
terhenyak. Tak mampu berpikir apa-apa.
* *
*
Renata
masuk ke lift dengan lelah. Klien cerewet seperti Nyonya Hanggoro betul-betul
menguras kesabarannya. Disandarkannya tubuh ke dinding lift sambil memejamkan
mata. Pintu lift terbuka di lantai 9. Renata tak peduli. Toh di sudah
berdiri menyempil di pojokan lift kosong itu.
“Lho!
Mbak Renata?”
Renata
langsung membuka matanya. Rafael sudah ada di dalam lift itu. Baru masuk dari
lantai 9.
“Mbak
Renata baru pulang?”
“Iya,
Pak, over time. Bapak dari mana?”
“Ketemu
klien. Sudah makan?”
Renata
menggeleng. Jujur.
“Kita
makan bareng ya?” tawar Rafael tulus.
“Nggak
usah repot-repot, Pak,” tolak Renata cepat. “Terima kasih.”
“Ayolah…
Anggap saja ucapan terima kasih karena Mbak sudah bersedia membawa Mama ke sini
beberapa hari yang lalu,” senyum Rafael.
Renata
bimbang. Sebenarnya dia lelah sekali. Ingin segera berendam air hangat di
bath-up mungilnya. Tapi tawaran makan malam itu terdengar menggoda.
“Gimana?
Oke?”
Renata
menatap Rafael. Dan senyum itu membuatnya luluh. Tanpa sadar ia menggangguk.
* *
*
Suasana
tenang bistro itu perlahan mengurangi kepenatan Renata. Rafael bukan orang yang
cerewet. Bahkan cenderung pendiam. Begitu juga Renata. Tapi entah kenapa pembicaraan
mereka mengalir begitu lancar.
“Jadi
Sarah bukan putri Mas?”
“Bukan,
Ren,” Rafael menggeleng.
Bahkan
panggilan itu pun sudah berubah. Bukan lagi ‘Pak’ dan ‘Mbak’.
“Tapi
sampai kapan pun dia tetap putriku. Dia tahunya ya akulah ayahnya. Dia kan bisa
melihat dari foto pernikahan Steve dan Anna yang kami simpan. Wajahku dan Steve
sama, Ren, karena kami kembar identik. Sarah tidak bisa membedakannya. Suatu
saat dia memang harus tahu, tapi tidak sekarang.”
Renata
menatap Rafael lama. Di dalam mata Rafael hanya ada sorot kelembutan seorang
ayah. Membuat hatinya bergetar hebat. Ketika tatapan Rafael mendadak menyapu
wajahnya, Renata langsung tertunduk.
Rafael
menatap sosok mungil di hadapannya itu. Yang sedang menunduk menekuni makanan
di piringnya. Wajah manis itu masih tampak lelah.
“Ren,
maaf ya sudah memaksamu ke sini,” ucap Rafael halus. “Kamu kelihatan capek
banget.”
Renata
mengangkat wajahnya. Ada sorot kelembutan yang lain dalam mata Rafael. Bukan
tatapan seorang ayah pada anaknya. Tapi sesuatu yang lain. Begitu berpendar.
Begitu menenangkan. Begitu indah.
* *
*
Pengerjaan
interior rumah Rafael hampir selesai. Selama dua minggu perhatian Renata
tercurah untuk proyek itu. Sesekali dia bertemu Bu Lea. Sesekali dia bertemu
Sarah. Dan hampir tiap pagi pula dia bertemu Rafael.
Kadang-kadang
Rafael tidak langsung ke kantor. Sesekali dia turun langsung mengawasi
pembangunan gudang barunya di Bogor. Saat ini usahanya sedang berkembang pesat.
Banyak klinik dan rumah sakit baru yang membutuhkan pasokan alat kesehatan.
Sebagai pemain lama sejak perusahaan dipegang almarhum ayahnya, reputasi
perusahaan Rafael sebagai pemasok alat-alat kesehatan sudah cukup teruji.
Ada
kerinduan yang menyesakkan dada Rafael tiap kali tidak bisa menemui senyum
Renata. Walau hanya sekejap pertemuan di dalam lift, itu sudah cukup baginya.
Renata
sendiri merasakan hal yang sama. Untuk menghindari terlalu sering memikirkan
Rafael, dia memilih untuk menghabiskan waktunya dengan bekerja.
Renata
menggeliat di kursi kantornya. Setelah menguap dia menengok jam dinding. Sudah
hampir pukul enam sore. Dia pun bersiap untuk pulang.
Ponselnya
berbunyi ketika Renata mengambil segelas air putih. Diraihnya ponsel itu.
Rafael? Renata buru-buru menjawabnya.
“Halo!
Sore, Mas,” sapanya.
“Sore,
Ren. Masih di kantor? Aku lihat mobilmu masih di basement.”
“Iya,
Mas, tapi aku sudah mau pulang ini…”
“Oooh…
Kita makan bareng ya?”
“Mmm…
Boleh deh!”
“Ya udah,
kutunggu di bawah ya?”
* *
*
Rafael
melajukan mobilnya dengan santai di tengah kemacetan. Renata duduk manis
disebelahnya. Estilo pink kesayangannya sudah aman di basement, berada di bawah
pengawasan sekuriti gedung.
“Rumah
kita tinggal finishing aja ya, Ren?”
Renata
tergagap sejenak. Rumah kita? Dia berdehem sebelum menjawab.
“Ehm! Dua
hari ke depan selesailah, Mas. Sebelum deadline kan?”
Rafael
tersenyum. “Kerja kalian memuaskan, Ren. Sangat memuaskan!”
“Ouwh!
Makasih…,” Renata tertawa kecil.
Cukup
lama ada keheningan di antara mereka. Entah kenapa, tapi keheningan itu
mengguratkan kedamaian tersendiri dalam hati.
“Ren,”
suara Rafael lembut memecahkan kebekuan. “Kalau boleh kutahu, usiamu berapa
sekarang? Eh, nggak sopan ya? Hehe…”
Renata
tertawa ringan. “Mas sendiri?”
“Aku tiga
empat.”
“Tiga
satu.”
“Belum
kepingin nikah?”
“Mmm…
Males nyari,” Renata meringis. “Mas sendiri? Mau menghuni rumah baru bersama
calon istrikah?”
Rafael
tertawa. “Mauku sih… Tapi semuanya mundur begitu tahu aku bermaksud tetap
mempertahankan Sarah. Bisa sih Sarah kutinggalkan pada Mama. Tapi mana aku
tega, Ren?”
“Ya
janganlah, Mas… Kasihan Sarah. Masak dia harus kehilangan ayah untuk kedua
kalinya?”
Rafael
menghela napas panjang. “Nggak gampang untuk mencari perempuan yang mau ikut
merawat dan menyayangi Sarah, Ren. Aku nggak cuma cari calon istri, tapi juga
ibu buat Sarah.”
“Nggak
gampang bukan berarti nggak ada kan?” senyum Renata.
Ada getar
hebat di dalam dada Rafael mendengar suara lembut itu. Impulsnya bekerja kilat.
“Kalau
begitu kamu mau, Ren?”
Rafael
menepikan mobil dan menghentikannya di depan sebuah rumah. Ditatapnya Renata. Hati
Renata bagai hilang. Apa tadi katanya?
“Kamukah malaikat
yang dikirimkan Tuhan untuk menemani kami, Ren?” Rafael makin dalam menatap
Renata.
Renata
jadi salah tingkah sendiri.
“Aku…
Aku… Eh… Maksudku… Kenapa tidak tanyakan dulu pada Sarah?” Renata tertawa
gugup.
Rafael
tertawa lebar.
“Kalau
itu yang kamu mau, ayo kita turun! Di dalam ada banyak makanan untuk kita
berempat.”
Renata
menoleh ke arah kirinya. Dia menunjuk sambil menoleh ke arah Rafael.
“Ini…”
“Ya,”
Rafael mengangguk. “Ini rumah yang akan segera kami tinggalkan. Kita makan
malam di sini saja ya? Ada Mama dan Sarah di dalam.”
Renata
melongo.
* *
*
“Oma!
Papa pulang!” Sarah berteriak girang. Dan dia lebih girang lagi melihat siapa
yang datang bersama papanya.
“Tante
Renata!” Sarah berjingkrak riang.
Bu Lea
menyambut Renata dengan hangat. Renata agak kikuk. Tapi setelah merasakan
ketulusan itu, pelan-pelan semuanya mencair.
Betapa
hati Renata meleleh ketika Sarah berceloteh sambil memamerkan album foto
pernikahan papa dan mamanya. Mereka sudah selesai makan dan kini pindah ke
ruang duduk. Bu Lea menyelinap pergi ke ruang belakang.
“Lihat
Tante, ini mamaku. Cantik nggak, Tante?” Sarah mendongak ke arah Renata.
“Cantik!
Cantik banget, tapi masih cantikan Sarah dooong…”
Sarah
tertawa lucu. “Tante, Papa ganteng ya?” bisik Sarah.
“Iya,”
jawab Renata, berbisik juga. “Tapi jangan bilang Papa ya? Nanti Papa ge-er.”
Mereka
terkikik berdua.
“Hayo,
bisik-bisik apa?” Rafael nimbrung.
“Enggaaaak…”
Sarah dan Renata menjawab berbarengan.
“Tante
punya mama nggak?” Sarah menatap Renata polos.
“Punya.”
“Tante
pernah nggak dipeluk mamanya Tante? Rasanya gimana sih, Tan?”
Renata
hampir menangis.
“Sarah
pernah nggak dipeluk Oma atau Papa?”
Sarah
mengangguk.
“Gimana
rasanya?”
“Enak,”
senyum Renata.
“Ya
seperti itulah dipeluk Mama.”
Sarah
menunduk lagi. Mengamati foto-foto di pangkuannya.
“Semua
teman Sarah punya Mama,” gumam Sarah. “Cuma Sarah yang enggak. Ah! Sarah
ngantuk, ah!”
Renata
tertegun ketika melihat ada tetesan bening jatuh di atas album foto. Diraihnya
wajah Sarah. Mata gadis kecil itu merah dan berair. Renata memeluknya.
“Kok
Sarah nangis?” ucap Renata lembut. “Tante peluk Sarah ya?”
“Tante…
Mau nggak nemenin Sarah bobok? Sekaliii aja Tante ya?”
Renata
pun menuntun Sarah ke kamarnya. Sekilas Renata melihat ada butir bening
meluncur dari mata Rafael yang duduk diam di sofa.
Selesai
menyelimuti Sarah, Renata duduk bersimpuh di atas karpet di depan bed pendek
itu. Dibelainya rambut Sarah dengan sayang.
“Tante,”
Sarah berucap lirih. “Mau nggak Tante jadi Mama Sarah?”
Renata
memeluk gadis kecil itu erat.
* *
*
EPILOG
Sarah
membawa tangan mungil yang menggenggam erat jari telunjuknya itu ke pipinya.
Dia tertawa ketika si pemilik tangan mungil itu menguap.
“Sarah,
ayo bobok dulu. Tadi kita udah berdoa kan?” tegur Renata lembut.
“Dedek
Steve, Kakak bobok dulu ya…” Sarah mencium pipi gembul bayi di depannya itu
dengan sayang. “Besok kita main lagi ya…”
Rafael
mencium kening Sarah di kamarnya. Setelah menyelimuti Sarah, dia pun berdiri.
Renata
masuk ke kamar Sarah sambil menggendong baby Steve.
Diserahkannya tubuh mungil itu pada Rafael.
Renata
duduk di tepi bed Sarah. Sarah segera meringkuk nyaman dalam pelukan Renata.
“Ma…,”
bisik Sarah.
“Ya,
sayang?” Renata juga berbisik.
“Aku
sayang Mama…”
Renata
mempererat pelukannya
* *
* * *
ini kedua...yang terbaca..! nice.....**jd iri sama Renata**..hiks.......lanjuuut ah..:D
BalasHapusMakasih kunjungannya ya, Mak... ;)
HapusLanjutan rru ya mbak
BalasHapusBetul, Mak... Makasih dah berkunjung :D
HapusIni lanjutannya cerbung rinai rinjai ungu ya ,,,, tp steve sm ana kemana ya ????
BalasHapusIya, Mbak, ini lanjutan RRU. Steve sama Anna nanti akan diceritakan di judul tersendiri, tapi mungkin nggak dipublikasikan di sini atau di blog saya yang lain ;)
HapusMakasih kunjungannya... :D
Mbak liz ,, klo ada blog yg lain bagi alamatnya dong
BalasHapusBiar sy bisa menikmati artikelnya mbak liz
Dear Mbak Ema Wijayanti,
HapusMohon maaf baru balas komentar Mbak sekarang karena blog ini baru saja aktif kembali. Untuk selanjutnya blog ini akan aktif terus dengan penambahan berbagai fiksi baru.
Silakan berkunjung kembali, terima kasih...
Mbak Liz,,, boleh minta tolong utk cerbung Rinai Rinjani Ungu di upload disini juga dong. Saya belum baca cerita awalnya si Rafael. Terima kasih sebelum dan sesudahnya
BalasHapusSiap, Mbak... Nanti saya re-edit dulu sebelum tayang ya? Mungkin baru bisa 1 atau 2 minggu lagi soalnya saya masih punya banyak tanggungan, hehehe... *kayak orang penting aja*
HapusMakasih atensinya, salam kenal...