Satu
Pertemuan Pertama
Kamis menjelang siang itu, ada napas lega yang terembus halus dari hidung Lily. Laporan kuartal kedua yang sudah dua kali ia revisi akhirnya mendapatkan tanda tangan dari Carina.
Yang disebut Carina sebagai d'Nali adalah d'Nali Jewellery. Sebuah ruang usaha yang dimiliki Carina sejak masih gadis. Di tempat itu didesain, diproduksi, dan dipasarkan aneka ragam perhiasan bermutu premium. Bahkan menerima pula pesanan desain eksklusif sesuai keinginan pelanggan.
"Saya belum cek laporan keuangan yang tadi disetor Bu Elida, Bu," jawab Lily dengan sangat sopan.
"Mm ... lakukan saja besok," putus Carina.
"Tidak apa-apa, Bu?"
"𝘐𝘵'𝘴 𝘖𝘒. Kamu kembali saja ke d'Nali. Masih ada satu set pesanan eksklusif yang harus kamu selesaikan desainnya, 'kan?"
"Iya, Bu. Kalau begitu sekalian saya pamit."
"Ya. Hati-hati di jalan, Ly."
"Baik, Bu. Terima kasih."
Namun, sebelum tangan kanan Lily menjangkau handel pintu, suara Carina menggema di belakang punggungnya, "Oh, iya, bisa minta tolong kamu setorkan laporan tadi ke lantai delapan belas?"
Seketika Lily berbalik. "Bisa, Bu."
"Sekalian ini, titip makan siang buat anak saya." Carina mendorong tas kertas di atas meja, menjauh dari dirinya.
Mendengar ucapan lanjutan Carina, Lily kembali menghampiri sang bos.
"Taruh saja di meja sekretaris. Tamtama namanya," Carina menyebut nama asisten merangkap sekretaris CEO RSGH. "Kalau ketemu Tamtama, bilang ini titipan makan siang dari Ibu buat anak manjanya Ibu.
"Oh, iya, besok pagi pukul delapan kamu siap-siap ikut saya rapat direksi, ya? Kita siapkan dulu semua catatan. Rapatnya pukul delapan tiga puluh tepat. Terima kasih."
"Baik, Bu. Permisi."
Carina mengangkat jempol kanannya. Lily melanjutkan langkahnya keluar dari ruangan Carina Denali Garudeya.
* * *
Ruangan tempat Lily bekerja terletak di sayap timur RS Garudeya Husada (RSGH). Sayap khusus yang diisi oleh kantor Yayasan Garudeya Peduli dan bangsal perawatan beserta seluruh sarananya, untuk pasien tidak mampu yang tak terjangkau asuransi.
Carina Denali Garudeya, yang saat ini berusia 67 tahun, adalah ketua yayasan itu. Ia adalah istri mendiang dr. Baruna Garudeya, ahli waris jaringan RS Garudeya Husada yang dulu didirikan oleh Caraka Garudeya, ayahnya.
Puluhan tahun berada di tangan Baruna Garudeya, RSGH berkembang pesat. Dari awalnya hanya lima rumah sakit bertipe biasa, kini sudah menjadi jaringan RS bertaraf internasional dengan 34 cabang di seluruh Indonesia. Belum lagi klinik-klinik kecil Garudeya Medika di kantung-kantung pemukiman sederhana di pinggir-pinggir puluhan kota.
Dokter Baruna Garudeya sendiri sudah berpulang hampir setahun yang lalu. Setahu Lily, saat ini posisi dr. Baruna sebagai CEO RSGH digantikan oleh putra sulungnya.
Lalu, sudah berapa lama Lily bergabung di Yayasan Garudeya Peduli? Baru masuk minggu kedua. Itu pun hanya sebagai tenaga pengganti asisten Carina yang sedang cuti bersalin.
* * *
Saat itu hari Selasa, tiga minggu sebelumnya. Lily sedang sibuk di d'Nali Jewellery, mendesain perhiasan eksklusif pesanan istri seorang konglomerat, ketika tiba-tiba saja Carina sudah berdiri di depan mejanya.
"Kamu kapan selesai ujian semester, Ly?"
Lily mendongak. Wajah Carina terlihat sangat serius.
"Kamis besok sudah selesai, Bu."
"Mm .... Kamu bisa saya tarik jadi asisten di yayasan, ya?"
Tanpa sadar Lily mengerutkan kening. Berpikir sembari menggembungkan kedua pipinya. Gadis berusia 23 tahun itu terlihat sangat lucu di mata Carina. Perempuan itu pun tersenyum.
"Cuma sementara, Ly," sambung Carina. "Asistenku lagi cuti bersalin. 'Kan, setelah UAS selesai, kamu libur.
"Pagi sampai pukul setengah dua belas siang, kamu di RSGH. Pukul satu sampai jam kerja normal selesai, kamu di d'Nali. Kalau sore selewat itu mau lembur, nanti aku hitung upah lemburnya. Waktumu di RSGH juga aku hitung sebagai waktu lembur. Bagaimana?"
"Oh, bolehlah, Bu."
Tanpa pikir lebih panjang lagi Lily menyetujuinya. '𝘗𝘦𝘬𝘦𝘳𝘫𝘢𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘮𝘣𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘥𝘶𝘯𝘨 𝘤𝘶𝘢𝘯? 𝘏𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘶𝘭𝘶𝘭 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘰𝘭𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢! Itulah yang ada dalam benak Lily.
Ia memang kuliah dengan mengambil kelas sore yang biasanya dimulai pukul enam. Setelah UAS selesai ia memasuki masa libur. Jadi, ia bebas memanfaatkan waktu sorenya untuk hal lain.
Carina langsung tersenyum senang. Lily yang patuh, rajin, dan sangat kreatif itu memang anak buah kesayangannya. Tak ada alasan untuk meragukan kinerja Lily.
"Mulai hari Senin, ya, Ly."
"Baik, Bu."
* * *
Kembali ke langkah Lily menuju ke lantai delapan belas. Ada sebuah map plastik berwarna biru langit di tangan kanan. Berisi laporan kuartal kedua yayasan yang harus disampaikannya ke meja Tamtama. Di tangan kiri ada tas kertas tebal lumayan berat entah berisi apa. Yang jelas, kata Carina, itu adalah jatah makan siang untuk anak manjanya. Apakah dia adalah Tamtama sang sekretaris atau asisten atau apalah sebutannya? Bukan! Anak Carina yang dimaksud adalah CEO RSGH.
Keluar dari lift di lantai delapan belas, Lily sempat celingukan. Ia belum pernah menginjakkan kaki ke kantor utama RSGH Grup. Untungnya, di seberang lift dilihatnya ada resepsionis. Setelah bertanya, ia diarahkan untuk masuk ke koridor kiri, harus sampai mentok, kemudian belok kanan. Ruang terbuka di ujung koridor kedua itu adalah ruangan Tamtama.
Dengan langkah yakin, Lily mengikuti arahan itu. Benar saja! Dari jarak sekian belas meter setelah berbelok ke kanan, ada meja agak di ujung, dengan seorang laki-laki duduk menghadap meja itu. Tengah sibuk dengan laptopnya.
𝘏𝘢! 𝘐𝘵𝘶 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘯𝘢𝘮𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘛𝘢𝘮𝘵𝘢𝘮𝘢.
Langkah Lily kian dekat. Semakin jelas pula ia mengamati sosok bernama Tamtama itu.
𝘏𝘰𝘪𝘬! 𝘎𝘢𝘯𝘵𝘦𝘦𝘦𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢𝘢𝘢!
Lily meringis sekilas. Ia masihlah seorang perempuan normal yang tahu betul definisi 'ganteng' menurut matanya. Apalagi laki-laki bernama Tamtama itu kadar gantengnya bisa membuat jantung berjoget disko dan perasaan Lily sampai kayang dan salto.
Namun, benar! Dilihat dari arah samping, laki-laki berkemeja batik sogan lengan pendek itu memang cukup menggetarkan jiwa. Kulitnya sawo matang. Wajahnya bersih tanpa kumis, cambang, dan jenggot. Hidungnya cukup bangir. Sekilas Lily pun bisa melihat bahwa bulu mata laki-laki itu panjang dan lentik. Belum lagi jemari tangannya yang kini memegang tepi layar laptop. Terlihat panjang, langsing, dan indah.
'𝘈𝘩, 𝘶𝘸𝘶 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘦𝘵, 𝘴𝘪𝘩!'
Lily menggelengkan kepala. Berusaha mengusir lekatnya pesona laki-laki itu dari benaknya.
"Selamat siang, Pak Tamtama," ucapnya sopan.
Laki-laki itu mengangkat wajah dan membalas ucapan Lily dengan ramah, "Selamat siang."
"Saya diutus Bu Arin untuk menyerahkan laporan kuartal kedua dari yayasan, dan ini." Lily meletakkan kedua bawaan di tangan kanan dan kirinya ke atas meja. "Kata Bu Arin, ini kiriman makan siang dari Bu Arin untuk anak manjanya."
Laki-laki itu terbengong. Tanpa sempat menanggapi, Lily sudah berpamitan.
Sungguh, ia tak ingin berlama-lama di situ. Takut makin terseret pesona rupawan laki-laki bernama Tamtama itu. Lagipula ini sudah lewat sedikit dari jam makan siang. Dan ....
𝘒𝘳𝘶𝘺𝘶𝘶𝘶𝘬 ....
Ada bunyi yang cukup terdengar dalam keheningan lorong itu. Lily segera melesat pergi. Malu akan bunyi perutnya sendiri.
Tanpa Lily tahu, laki-laki bernama Tamtama itu menggelengkan kepala sambil tersenyum simpul di belakang punggungnya.
* * * * *
Ilustrasi dari pixabay, dengan modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar