Senin, 24 Juni 2024

[Cerbung] Guci di Ujung Pelangi #2-1





Episode sebelumnya


* * * * *


Dua

Pertemuan Kedua - 1



Begitu turun dari motor ojol, Lily langsung melepaskan helm, kemudian lari pontang-panting menuju ke sayap timur RSGH. Ia terlambat pagi ini. Jam kerjanya dimulai pukul delapan pagi. Ia datang lewat delapan belas menit setelahnya. 


Sesuai dengan ucapan Carina kemarin, hari ini Lily harus ikut Carina rapat direksi. Pukul delapan tiga puluh tepat. Itu kurang dua belas menit lagi.


"Langsung saja naik, Ly," ucap Elida begitu melihat Lily membuka pintu kantor dengan kondisi lumayan berantakan dan napas ngos-ngosan. "Semua catatan sudah dibawa Bu Arin."


"Lantai berapa, Bu?"


"Sembilan belas, ruang rapat direksi."


Lily masih sempat menggumamkan ucapan terima kasih sebelum menghilang dari balik pintu dan bergegas menuju ke lift, dengan kembali berlari.


𝘏𝘰𝘰𝘰 .... 𝘈𝘺𝘰, 𝘭𝘪𝘧𝘵, 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘶𝘬𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘪𝘯𝘵𝘶𝘮𝘶!


Permohonannya terkabulkan. Beberapa detik setelah ia memencet tombol naik, pintu lift terbuka. Sudah ada dua orang di dalamnya. Sepertinya naik dari basemen. Dua orang laki-laki berperawakan mirip, tinggi tegap menjulang. Berwajah sama-sama tampan.


Ia mengenal salah satunya. Yang tubuhnya sedikit lebih tinggi, tidak berkacamata, dan lebih tampan. Masih sama seperti kemarin, laki-laki itu mengenakan kemeja batik. Kali ini berpotongan 𝘴𝘭𝘪𝘮 𝘧𝘪𝘵 lengan panjang, dengan warna dasar merah marun. Terlihat sangat sangat saaangat elegan.


"Selamat pagi, Pak Tamtama," sapanya sopan sambil mengangguk sedikit, kemudian berdiri menghadap ke arah pintu lift.


"Pagi." Ada jawaban dari arah belakangnya.


Bertepatan dengan ponsel Lily berbunyi. Gadis itu buru-buru mengaduk tas dan menerima panggilan teleponnya.


"Halo, selamat pagi, Bu," sapanya dengan suara seolah tercekik.


"Lily, kamu di mana? Sudah jam berapa ini? Kamu kenapa? Nggak biasanya kamu telat." 


Berondongan tanya dari Carina langsung menghantam gendang telinga Lily begitu ia mengucapkan salam. Sekejap ia meringis.


"Ibu, mohon maaf, ban belakang motor saya bocor tadi pas mau berangkat," jawabnya dengan suara kecil, mirip bayi kucing terjepit pintu pagar. "Saya lama dapat ojolnya. Tapi ini saya sudah di lift, kok."


Terdengar embusan napas lega dari seberang sana. Pembicaraan pun ditutup.


Tanpa sungkan lagi, Lily pun membenahi rambutnya yang tergerai acak-acakan. Caranya mudah. Hanya dengan mengikatnya saja dengan karet rambut donat yang sedari tadi ada di pergelangan tangan kanan. Untuk riasan tipis yang agaknya mulai luntur oleh keringat, Lily masa bodohlah. Cukup ditap-tap dengan tisu kering yang selalu tersedia di dalam tas. Yang jauh lebih penting adalah kehadirannya di samping Carina dalam rapat direksi.


Di lantai enam, pintu lift terbuka. Ada seorang perempuan berjas putih khas dokter melangkah masuk dengan cepat. Dengan ramah ia mengangguk seraya melengkungkan senyum ramah kepada Lily, walaupun tak saling mengenal. Lily pun membalasnya setulus hati.


"Selamat pagi, Dokter Erid, Dokter Tama," sapa dokter perempuan itu sopan terhadap dua orang laki-laki di belakang Lily.


'𝘖𝘩, 𝘴𝘪 𝘴𝘶𝘱𝘦𝘳 𝘨𝘢𝘯𝘵𝘦𝘯𝘨 𝘗𝘢𝘬 𝘛𝘢𝘮𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢 𝘥𝘰𝘬𝘵𝘦𝘳 𝘫𝘶𝘨𝘢,' batin Lily.


Kedua laki-laki itu pun menjawab serempak. Kembali menjawab pamitnya dokter perempuan itu saat pintu lift terbuka di lantai lima belas. Selebihnya hening lagi hingga lift terbuka di lantai sembilan belas.


Setelah menggumamkan kata 'mari', Lily segera berlari menuju ke suatu arah. Namun, sebuah seruan menghentikan langkahnya.


"Mbak, mau ke mana?"


Lily berbalik, menjawab dengan nada polos, "Ruang rapat direksi."


Laki-laki yang berkacamata dan berkemeja lengan panjang biru muda tersenyum lebar. "Itu arah ke gudang peralatan kebersihan."


Lily terbengong sejenak.


Lalu, si laki-laki berkacamata mengarahkan jempol kanannya ke arah berlawanan dari tujuan Lily. "Ruang rapatnya di situ."


"Oh, terima kasih."


Dan, Lily pun segera melesat ke arah yang benar. Pintu ruang rapat yang ditujunya ada di ujung koridor. Sebelum membuka pintu, Lily berhenti sejenak. Menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya pelan. Dengan langkah tergesa tapi ditenang-tenangkan, ia pun masuk.


* * *


Buyar sudah!


Lily ingat semua pesan Carina beberapa detik sebelum dimulainya rapat. Agar ia mencatat semua poin penting dalam rapat, terutama poin yang menyangkut kegiatan yayasan. Namun, konsentrasinya telanjur buyar. Itu karena ada sederet kalimat yang pernah ia ucapkan, kini terngiang terus di telinga.


'𝘒𝘢𝘵𝘢 𝘉𝘶 𝘈𝘳𝘪𝘯, 𝘪𝘯𝘪 𝘬𝘪𝘳𝘪𝘮𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘪𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘉𝘶 𝘈𝘳𝘪𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘺𝘢.'


Membuat wajahnya didera rasa panas bertubi-tubi. Malu. Apalagi ketika matanya tanpa sengaja berserobok dengan mata tajam yang ada tepat di seberangnya. Mata tajam yang bening dan menyimpan tawa. Bukan tawa mengejek, bukan tawa kurang ajar, melainkan tawa geli. Membuat Lily ingin seketika melesap ke dalam tanah. Menghilang tanpa bekas.


* * *


Tadi, beberapa saat setelah menghenyakkan tubuh di kursi sebelah Carina Denali Garudeya, matanya menangkap pemandangan dua kursi yang masih kosong di belakang meja seberangnya dan Carina.


Yang tepat segaris dengan Carina, papan nama yang bertengger manis di atas meja bertuliskan dr. Tamtama Wijasena, M.M. - Asisten/Sekretaris CEO. Yang segaris dengan Lily bertuliskan dr. Eridani Alaska Garudeya, Sp.A., M.B.A - CEO.


Lalu, ada yang masuk ke ruangan yang sama setelah Lily. Dua orang beriringan. Yang satu, yang super ganteng, dikenalnya sebagai Pak Tamtama, tapi ....


Laki-laki super ganteng itu dengan gerakan yakin langsung mengambil tempat tepat di seberang Lily. Kursi CEO.


Laki-laki itu ....


'𝘏𝘢𝘩??? 𝘋𝘪𝘢 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘛𝘢𝘮𝘵𝘢𝘮𝘢. 𝘓𝘢𝘭𝘶, 𝘴𝘪𝘢 ...'


Pikirannya berhenti, tapi matanya tidak mau. Dibacanya sekali lagi papan nama tepat di seberangnya, di depan laki-laki super tampan tak berkacamata yang ditemuinya siang kemarin. Tulisannya tetap sama, dr. Eridani Alaska Garudeya, Sp.A., M.B.A - CEO.


'𝘒𝘢𝘵𝘢 𝘉𝘶 𝘈𝘳𝘪𝘯, 𝘪𝘯𝘪 𝘬𝘪𝘳𝘪𝘮𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘪𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘉𝘶 𝘈𝘳𝘪𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘺𝘢.'


Itu yang sudah ia ucapkan langsung  kepada si '𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘯𝘫𝘢-nya Bu Arin' sendiri! Bukan lagi sekadar titipan ucapan jenaka melalui seorang sekretaris CEO bernama Tamtama.


Untuk kesekian kalinya, Lily benar-benar ingin otomatis bisa menghilang dari ruangan itu.


'𝘔𝘢𝘮𝘱*𝘴 𝘨𝘶𝘦!'


Apalagi ketika matanya tanpa bisa dicegah seolah tersedot magnet iris mata gelap laki itu. Mata yang menyorot cukup tajam, mengandung senyum geli, bahkan kedua ujung bibirnya sudah membentuk seulas senyum samar.


Susah payah Lily melepaskan tatapannya. Lalu, ia hanya bisa menunduk, seolah takzim dengan catatan yang dipegangnya.


* * *


Untungnya, kalau masih boleh dibilang untung, seusai rapat Lily harus membenahi semua berkas yang tadi dibawa Carina. Sang bos sendiri saat ini sudah berdiri agak jauh. Sedang berbicara dengan 'anak manja'-nya.


Lily sedikit tersentak ketika sebuah map plastik bening tersodor di depannya. Ia mendongak. Tamtama berdiri di depannya. Tamtama yang asli. Tamtama yang berkacamata. Tamtama yang sebenar-benarnya.


"Mbak, ini ada catatan poin-poin tentang yayasan yang dibutuhkan Ibu. Saya titipkan ke Mbak, ya? Terima kasih."


Lily pun mengembalikan ucapan itu dengan sopan. Ketika pekerjaannya sudah selesai, ruang rapat sudah lebih sepi. Hanya ada dua orang sekretaris direktur saja yang tertinggal tak jauh darinya. Tiga dengan dirinya. Dengan sopan, Lily pun berpamitan.


Ternyata Carina masih menunggunya di luar. Duduk dengan anggun di sofa yang ada di koridor. Perempuan ayu itu berdiri melihat kedatangan Lily.


"Ayo, kita sekalian saja bareng ke d'Nali," ucapnya sambil meraih bahu Lily. "Kamu beneran naik ojol tadi?"


"Iya, Bu," Lily meringis sekilas. "Sekali lagi mohon maaf, saya terlambat."


"Sudahlah, nggak apa-apa. Bukan kebiasaanmu juga."


"Saya taruh berkas ini ke kantor dulu gimana, Bu?"


"Iya, deh, boleh. Tolong, sekalian bilang Elida kalau kita langsung ke d'Nali. Laporan keuangan sudah masuk ke emailmu?"


"Sudah, Bu, sejak kemarin pagi. Semalam sudah sempat saya cek sebagian. Aman. Nanti bisa saya lanjutkan sambil menunggu klien yang janji mau datang sekitar pukul tiga."


"Kalau begitu, saya tunggu kamu di depan teras sayap timur, ya?"


"Baik, Bu. Terima kasih."


Sekeluarnya dari lift, keduanya berpisah. Lily berbelok ke arah sayap timur, sementara Carina melangkah lurus menyeberangi lobi tengah.


* * *


Episode selanjutnya


Ilustrasi dari pixabay, dengan modifikasi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar