Kamis, 27 Juni 2024

[Cerbung] Guci di Ujung Pelangi #2-2





Episode sebelumnya


* * *


Pertemuan Kedua - 2



Carina membuka pintu tengah kiri SUV BMW abu-abu tua mengilat yang sudah menunggunya di depan teras lobi RSGH.


"Ke teras timur dulu, Rid. Lily di sana," ucapnya sebelum laki-laki di belakang kemudi menekan pedal gas.


"Kenapa nggak sekalian aja, sih, Ma?" gumam si anak sulung Carina.


"Lily taruh berkas dulu di kantor."


Tadi pagi, Carina memang diantar oleh Hasan, sopir pribadinya. Berhubung hari ini adalah jadwal servis rutin mobil yang biasa mengantarnya ke mana-mana, maka Hasan disuruhnya langsung ke bengkel.


Pikir Carina, dia bisa 𝘯𝘦𝘣𝘦𝘯𝘨 Lily naik motor dari RSGH ke d'Nali. Toh, jaraknya tak terlalu jauh. Apalagi ada jalur pintasan untuk motor. Tak tahunya Lily justru berangkat naik ojol. Sempat berpikir untuk naik taksi saja bersama Lily, tapi anak sulungnya sudah lebih dulu menawarkan diri untuk mengantar.


"Ma, ini nanti langsung mampir makan dulu, ya," ucap Erid begitu menghentikan mobil di depan teras sayap timur. "Lapar banget aku."


"Tumben?" Carina terkekeh. "Masih belum genap pukul sebelas ini, Rid."


"Aku nggak sempat sarapan tadi pagi. Telat bangun. Semalam aku baru sampai rumah pukul dua lewat. Ada dua 𝘱𝘢𝘳𝘵𝘶𝘴."


Tepat saat itu, Erid melihat bayangan sosok Lily tampak dari balik kaca bening lobi sayap timur. Sedikit lagi mencapai pintu.


Hampir saja ia tak bisa menahan tawa saat melihat lagi sosok itu. Apa lagi kalau bukan karena kejadian di meja Tamtama menjelang siang kemarin?


Sambil menggigit bibir, Erid segera keluar dari mobil, memutar, lalu membuka pintu depan kiri. Hal itu membuat langkah Lily terhenti sejenak di tepi teras. Berusaha mencerna mobil siapakah itu gerangan. Karena mobil yang biasa dipakai Carina ke mana-mana adalah sedan Audi berwarna putih.


"Ayo, masuk!" Ajakan bernada lembut itu keluar dari sela bibir Erid. "Mama sudah menunggu di dalam."


Mau tak mau, Lily menurutinya. Dengan wajah kembali memerah. Memang, serasa malunya tak juga mau hilang. Dengan sungkan, ia masuk ke mobil, duduk di jok kiri depan.


"Sabuknya jangan lupa dipasang, ya. Saya nggak mau ditilang."


Dan, Lily sungguh tahu dari mana asalnya kesopanan dan kelembutan itu berasal. Bosnya. Carina Denali Garudeya adalah sosok perempuan lembut keibuan yang tak pernah bersikap semena-mena kepada siapa pun, termasuk para karyawannya.


Iya, Dok," gumam Lily sembari memasang sabuk pengaman.


"De-o-ka atau de-o-ge?"


Dalam kondisi 'normal' Lily pasti langsung tergelak seperti Carina saat ini yang duduk di jok belakang mereka. Dok? Atau 𝘥𝘰𝘨? Berhubung sedang dalam mode 'abnormal', maka Lily hanya bisa meringis sekilas. Tanpa suara.


Pada lampu merah pertama, ada tangan kanan yang tiba-tiba saja terulur di depan Lily.


"Erid," ucap Erid dengan nada ramah. "Kita belum kenalan, 'kan?"


Lily pun menyambut jabat tangan itu. Dengan sedikit gemetar.


"Lily," bisiknya. Hampir tak terdengar, tapi bisa dipahami seutuhnya oleh Erid.


"Ingat, ya, Erid. E-rid. Bukan Tamtama," Erid balas berbisik.


𝘉𝘭𝘶𝘴𝘩!


Sungguh, untuk kesekian kalinya Lily ingin mengamalkan aji-aji musnahwati kalau saja ia bisa dan ilmu itu ada. Pipinya sudah memerah panas tak terkira.


Lalu, hening. Erid asyik dengan kemudinya, sedangkan Lily asyik dengan perasaan malunya. Carina? Diam-diam tersenyum-senyum di belakang keduanya.


* * *


Lily tak berkomentar ketika Erid membelokkan mobilnya begitu saja ke halaman sebuah restoran. Sebelum ia lepas dari bengong dan usahanya untuk membuka kait sabuk pengaman, pintu kiri depan dan tengah sudah terbuka dari luar. Erid yang melakukannya. Hanya sekian detik setelah mobil berhenti dan laki-laki itu keluar.


"Ayo, Ly," ucap Carina. "Kita sekalian makan dulu."


Tak ada yang bisa dilakukan Lily kecuali menuruti titah bosnya. Tanpa bisa dicegah, pipinya kembali memerah. Apalagi kalau bukan karena mengingat kejadian bunyi 'kruyuk' membahana yang digemakan perutnya kemarin siang? Memalukan!


Dan, Erid pun sungguh mengingat kejadian itu. Sekilas ia menatap Lily yang berjalan dengan kepala sedikit tertunduk. Pipi gadis itu tampak merona. Membuat Erid setengah mati menahan gerak bibirnya yang ingin terus melebar dan melengkung ke atas.


Mereka mendapatkan meja untuk berempat di sudut depan resto itu. Berhadapan langsung dengan dinding kaca yang mengarah ke deretan panjang taman kecil di halaman samping resto.


Lily menjawab 'gado-gado siram dan es teh tawar' ketika Carina menyuruhnya untuk memilih menu. Gadis itu duduk di sebelah kiri Carina, langsung menghadap ke dinding kaca. Sedangkan Erid duduk berhadapan dengan ibunya.


Sesekali Lily menanggapi obrolan yang mengikutsertakan dirinya. Menjawab pula beberapa pertanyaan yang ditujukan padanya. Selebihnya, ia memilih untuk diam. Bagaimanapun, ia adalah 'orang luar'.


Begitu juga setelah makanan dan minuman mereka diantarkan ke meja. Lily menikmati diam-diam sepiring gado-gado siram menggiurkan di depannya. Saat seperti ini, memang hanya ada hening di meja mereka. Lily pun paham, bahwa hening selalu menjadi kebiasaan Carina saat menikmati makanan. Selama ia mengenal Carina, memang selalu begitu keadaannya.


"Kamu mau es teler atau es campur, Ly?" tanya Carina yang sudah selesai makan.


Lily buru-buru menggeleng. Gado-gado di piringnya masih belum habis, tersisa seperempat porsi.


"Enggak, Bu, makasih," tolaknya halus, setelah menelan kunyahan terkininya. "Ini porsi gado-gadonya cukup besar."


"Es puter saja, ya?" tawar Erid. "Porsinya mini, kok."


Lily kukuh menggeleng sembari tetap mengucapkan terima kasih. Sungguh, ia sudah merasa cukup kenyang dengan seporsi gado-gado siram yang mengandung potongan lontong, dan segelas es teh tawar. Gratis pula.


"Kamu diet apa gimana?" usik Erid lagi, mengulum senyum.


Lily terbengong sejenak sebelum kembali menggeleng. '𝘋𝘪𝘦𝘵 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘢𝘣𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘱𝘰𝘳𝘴𝘪 𝘨𝘢𝘥𝘰-𝘨𝘢𝘥𝘰 𝘱𝘰𝘳𝘴𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘫𝘶 𝘫𝘶𝘮𝘣𝘰 𝘨𝘪𝘯𝘪? 𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘴𝘢𝘫𝘢!


"Enggak, Dok," bantahnya halus. "Saya nggak diet, kok."


"Masa, sih?" senyum Erid.


Senyum yang membuat hati Lily serasa kebat-kebit.


"Lily, loh, tiap pulang kerja mampir ke pusat jajan di sebelah." Carina menimpali, merujuk ke sebuah lokasi di sebelah gedung tempat d'Nali Jewellery miliknya berada.


"Oh, ya?" Erid tertawa. "Jajan apa memangnya?"


"Banyak, Dok," jawab Lily. Kali ini dengan binar memenuhi matanya. "Cilok, cireng isi, siomay, bakso, pecel lele, 𝘤𝘩𝘪𝘯𝘦𝘴𝘦 𝘧𝘰𝘰𝘥, nasgor gila, mi ayam, telur gulung, leker, pukis, martabak. Segala macam ada, deh." 


"Wah, baru tahu, nih!" gumam Erid.


'𝘏𝘦𝘭𝘦𝘩! 𝘗𝘢𝘯𝘵𝘦𝘴𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶. 𝘈𝘯𝘢𝘬 𝘴𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘭𝘦𝘷𝘦𝘭 𝘫𝘢𝘫𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘮𝘶𝘳𝘢𝘩𝘢𝘯? 𝘋𝘰𝘬𝘵𝘦𝘳 𝘱𝘶𝘭𝘢! 𝘔𝘢𝘬𝘪𝘯 𝘫𝘢𝘶𝘩𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘫𝘢𝘫𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘳𝘦𝘤𝘦𝘩 𝘨𝘪𝘵𝘶𝘢𝘯,' cibir Lily dalam hati.


Tak urung, antusiasme yang sempat ditunjukkan Erid menghasilkan sesuatu yang cukup meronta dalam diri Lily. Tepi-tepi rasanya mulai meleleh. Untuk mengatasinya, Lily pun meraih es teh tawarnya yang masih tersisa dua per tiga gelas dengan tangan kanannya.


Gerakan itu tertangkap oleh mata Erid. Bukan sembarang gerakan, tapi ada kilatan sekilas yang menyambar matanya begitu jemari Lily bergerak.


Sebentuk cincin bermata berlian mungil tertanam di bagian tengah. Tersemat di jari manis tangan kanan. Membuatnya terkesima sejenak. Hal yang segera terputus karena pesanan es campurnya datang.


* * * * *


Bersambung hari Senin


Ilustrasi dari pixabay, dengan modifikasi



3 komentar:

  1. waaa...udah gak avaliable nih?

    BalasHapus
  2. Hader mb Liiiiiiiissssss !!!!! Drijiku ngatung ☝

    BalasHapus
  3. Wah ikut deg degan menunggu Senin

    BalasHapus