Sebelumnya
* * *
Enam Belas
Dalam gerakan lambat, James menyesap kopinya. Tatapannya jatuh ke keremangan yang menyelimuti taman kecil di depan rumah.
Sudah sekitar tiga hari ini lampu teras depan padam. Baik ia maupun Luken tak pernah ingat untuk mengganti lampu itu. Tapi ada untungnya juga. Saat ini ia bisa duduk diam menikmati pendar cahaya lampu taman dalam kegelapan teras. Merasa aman. Tak terusik. Tak terganggu. Apalagi Luken belum pulang.
Kegelapan dan keheningan itu memberinya sedikit ruang untuk merenung. Memaksa pikirannya melakukan kilas balik pada apa yang sudah dialaminya siang hari tadi. Pelan dihelanya napas panjang.
Dengan jelas, bisa dilihatnya keterkejutan Sandra ketika ia muncul menjelang siang hari. Sesuai dengan rencana semula, ia memang mengenakan kemeja lurik sarimbit dengan gaun Sandra. Gaun yang semula hendak dikenakan Minarti untuk menghadiri acara Sagan dan Luna. Tapi Sandra segera menutupi keterkejutan itu dengan senyumnya. Tak berkomentar apa-apa.
Acara yang dihadirinya bersama Sandra setelah itu sepertinya kurang tepat disebut sebagai sebuah resepsi. Diadakan di sebuah bistro yang merupakan milik sang mempelai sendiri, dan hanya dihadiri oleh keluarga, kerabat, dan teman-teman dekat. Sebuah suasana yang cukup privat dan sangat hangat.
James bisa melihat ada berkas-berkas keterkejutan dalam mata Sagan ketika melihatnya datang. Ia tahu sebabnya. Ia muncul bersama Sandra. Bukan Minarti. Tapi keterkejutan itu berubah jadi pemakluman karena Sagan masih bisa mengenali Sandra sebagai salah satu orang dekat James. Disambutnya dengan hangat kedua orang itu.
Makan siang bersama digelar di beberapa meja bundar. Sekilas-sekilas, James melemparkan tatapan ke arah Sandra. Perempuan itu tampak begitu anggun dibalut gaun bermodel sederhana namun elegan hasil pilihan Minarti. Perpaduan warna lurik biru muda dan merah jambu tampak menyempurnakan kecantikan Sandra. Kecantikan yang terlihat tak memudar walaupun harus melalui sekian puluh tahun untuk mencapai titik waktu terkini.
Ia tak sepenuhnya bisa mengingat semua rangkaian acara perayaan pernikahan Sagan dan Luna. Kalaupun ada hal yang menyangkut di pikirannya, itu hanya sedikit-sedikit saja. Yang lebih banyak menyita pikiran dan perhatiannya adalah sosok Sandra.
Tapi...
James menggeleng samar.
Kenapa rasa-rasanya seperti ada sesuatu yang tidak benar?
Dihelanya napas panjang.
Kebersamaannya dengan Sandra sepanjang siang tadi bukanlah sesuatu yang tidak menyenangkan. Sama sekali bukan hal semacam itu. Seutuhnya ia menikmati ekspresi riang Sandra sepanjang acara. Semua hidangan di bistro La Lune yang tersaji untuk mereka dan para tamu sangatlah lezat. Sangat memuaskan. Belum lagi hiburan live music dengan sepasang penyanyi bersuara merdu yang mengiringi acara santap siang mereka. Pendeknya, cukup sempurna.
Hanya saja, perasaannya berbisik lain. Sebuah bisikan yang ia belum juga menemukan artinya hingga detik ini.
“Haish! Jangan cuma sekalilah mengajak Bu Sandra keluar, James....”
Begitu tanggapan Minarti begitu ia berkisah tentang pengalamannya itu. Selesai mengantarkan Sandra pulang, ia memang singgah ke kedai. Bertemu dengan Minarti dan sejenak duduk bersama di sudut pantry untuk mengobrol.
“Apa nggak ada rencana untuk ambil kesempatan libur panjang lagi? Pergilah dengannya. Jangan denganku lagi.”
Kalimat berikutnya yang dilontarkan Minarti itu membuatnya ternganga sejenak, sebelum terbahak sedetik kemudian.
“Hei! Aku serius, James!” Minarti sedikit mengerucutkan bibirnya. Sebuah ekspresi yang terlihat sangat menggemaskan di mata James. “Lebih seringlah berkencan dengannya.”
Nada serius dalam suara Minarti membuat James seketika menghentikan gelak tawanya. Minarti menatapnya. Lekat. Serius. Membuatnya berdehem untuk sedikit mencairkan suasana.
“Ehm! Mm... Oke... Mungkin aku akan menuruti saranmu.” James mengangguk sedikit.
“Jangan ‘mungkin akan mengikuti saranmu’, James!” tukas Minarti dengan bibir masih setengah mengerucut. “Tapi lakukan saja!”
James tersenyum lebar. Memilih untuk tidak menanggapinya lebih lanjut.
Apakah harus?
James mengerjapkan mata. Sama sekali belum menemukan jawabannya.
* * *
James yang pernah dikenalnya selama bertahun-tahun tetaplah James yang sama. James yang memperlakukannya dan semua orang dengan baik dan sopan. James yang masih tetap tak pernah celamitan mulutnya. James yang selalu berusaha untuk membuat orang lain yang tengah bersamanya merasa nyaman.
Pak James yang baik....
Sandra menggigit bibir bawahnya.
... Sangat baik....
Sandra menghela napas panjang.
Biasanya kesempatan jarang datang dua kali. Lalu, apakah kesempatan untuk kembali dekat dengan James adalah benar-benar kesempatan kedua itu? Ia sama sekali tidak tahu. Sama tidak tahunya dengan kenapa hingga detik ini James masih juga tetap bertahan hidup sendiri.
Sejujurnya, ia senang berdekatan kembali dengan James. Merasa menemukan kembali sosok yang bisa mengayominya. Tapi tetap saja masih ada perasaan belum ‘lepas’. Masih juga sama seperti dulu. Selalu saja ada rasa segan terhadap kharisma yang dipancarkan oleh sosok seorang James Sudianto. Dan, perasaan itu membuatnya sedikit kurang nyaman.
Ia menggeleng pelan.
Ia tak pernah merasakan hal itu bila berada di samping Riza. Ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa dibelit perasaan ‘kecil’ dan segan. Ia tahu James selalu menganggapnya dan semua orang setara, tapi tetap saja ada perasaan ‘lain’ yang membuatnya kurang bisa ‘lepas’ menikmati kebersamaannya dengan James.
Tapi ini, kan, baru permulaan...
Tiba-tiba saja nuraninya berbisik.
Kalau tidak? Kalau benar-benar tidak ada lagi kelanjutannya?
Secuil nuraninya yang lain mengusik. Membuat Sandra terhenyak.
Ah... Barangkali memang aku berharap terlalu banyak. Bahkan makam Mas Riza pun belum sepenuhnya kering. Masa aku sudah tergoda lagi oleh pesona Pak James? Padahal dia cuma mengajakku untuk sekadar menemaninya sejenak. Sama sekali tidak lebih.
Sandra memutuskan untuk beranjak dari ruang tengah. Seisi rumah itu kian sunyi ketika ia mematikan televisi. Benda yang menyiarkan gambar dan suara yang ia tidak tahu persis bagaimana jalan ceritanya karena terlalu banyak melamun.
Sekilas, ditatapnya jam dinding. Sedikit lagi tepat pukul sepuluh malam. Angie belum pulang. Sedang menghabiskan malam Minggu berdua dengan Tony. Sandra menguap. Ia beranjak untuk memeriksa pintu dan jendela. Tadi ia sudah mengunci semuanya, tapi masih perlu dicek ulang.
Setelah memastikan semuanya sudah aman, Sandra menguap sekali lagi dan melangkah ke arah kamarnya. Tapi telinganya mendengar derum halus sebuah mobil berhenti di depan rumah. Ia pun berbalik dan menghampiri jendela. Berusaha mengintip kejadian di luar.
Ternyata Angie sudah pulang. Tampak melangkah menyeberangi halaman diiringi Tony. Sandra buru-buru membuka pintu. Tony segera memberi salam dengan sangat sopan.
“Tumben, sudah pulang?” ucap Sandra. Tersenyum lebar. “Baru juga pukul sepuluh.”
“Nih, Tony rada meriang badannya, Ma,” Angie menanggapi.
Pemuda yang namanya disebut oleh Angie itu pun segera berpamitan. Benar, Sandra baru tersadar kalau telapak tangan Tony yang sejenak menggenggam tangannya terasa lebih hangat daripada biasanya.
“Ya, sudah, Ton. Istirahat dulu,” ujarnya. “Makasih, ya, sudah antar Angie.”
Tony mengangguk dan segera berlalu dengan mobilnya.
“Ke mana saja tadi?” Sandra menggandeng tangan putrinya ketika mereka bersisian melangkah ke arah rumah.
“Cuma makan di food truck yang di kawasan belakang kantor bank itu, Ma,” jawab Angie. “Eh, tadi aku lihat Bu Min lagi makan juga di sana. Sama temennya. Laki-laki. Kelihatannya akraaab banget. Saking asyiknya ngobrol sampai nggak tahu aku melintas di sebelahnya.”
“Pak James?” Tanggapan Sandra terdengar sambil lalu.
“Bukan....” Angie menggeleng. “Kalau Om James, sih, aku sudah hafal bentuknya. Pacar Bu Min, ‘kali, Ma.”
“Ish!” Sandra mengibaskan sebelah tangannya yang bebas. “Kamu gosipan melulu, ah!”
Angie tergelak.
“Habisnya kayak mesra banget!”
Sandra mengerutkan kening.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.
Catatan :
Selamat ber-Hari Raya Idul Fitri 1440 H bagi para pembaca blog FiksiLizz yang merayakannya. Mohon maaf lahir dan batin...