Senin, 03 Juni 2019

[Cerbung] Bias Renjana #32









Sebelumnya



* * *



Lima Belas


“Aku sudah bilang padanya....”

Gumaman itu sampai di telinga Minarti. Membuatnya mengangkat wajah dari bundel catatan yang terhampar di depannya. Didapatinya James tengah menjatuhkan tatapan kepadanya. Terlihat sangat serius.

“Soal undangan Pak Sagan?” ucap Minarti, dengan suara lirih.

James mengangguk.

“Dia bersedia, kan?” Minarti mengangkat alisnya.

James kembali mengangguk. Minarti tersenyum. Tampak sedikit jahil di matanya.

“Lalu, gimana rasanya?”

Tawa James terlepas mendengar nada menggoda dalam suara Minarti. Tapi ia menggeleng pelan.

“Entahlah....” James kembali bergumam.

“Lho! Gimana, sih?” gerutu Sandra. “Ke mana semangatmu?”

“Hei!” tukas James, dengan suara tertahan. “Aku bukan lagi ABG yang tengah naksir adik kelas. Cuma laki-laki kelewat ranum yang coba merenda lagi kisah kasihnya di usia senja.”

Kali ini, Minartilah yang tertawa. Selama beberapa hari banyak melewatkan waktu bersama James, ia jadi sedikit lebih mengenal laki-laki itu. Terkadang James memang romantis menjurus ke arah kacau. Ia menggeleng beberapa kali, kemudian kembali menunduk sambil tetap mengulum senyum. Sibuk dengan catatannya. Membiarkan James menghabiskan jatah makan siang.

Soal ajakan James kemarin, bagaimana cerita selengkapnya, tentu saja ia sudah tahu. Itu karena Sandra sendiri yang bercerita kepadanya.



Minarti menghela napas lega ketika urusan oleh-oleh untuk keluarga besar Prima sudah selesai dikemasnya dalam dua buah kardus besar. Hanya tinggal meminta Livi menjemput kardus itu ke sini, kemudian membawanya pulang ke rumah.

Ketika mendongak, tertatap olehnya jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul tujuh menjelang malam. Pantas saja ia merasa lapar. Ia segera meraih dompet dan berdiri. Tepat ketika tangannya menjangkau handel pintu, terdengar ketukan dari luar.

“Ya, Mbak?” sapanya ramah ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Sri, istri penjaga rumah indekos itu.

“Maaf, Bu, ada tamu buat Bu Min di luar. Menunggu di teras.”

“Laki? Perempuan?” Minarfti keluar dan mengunci pintu kamarnya.

“Perempuan, Bu. Seumuran Ibu. Pernah ke sini, kok.”

Pikiran Minarti segera terhubung ke sosok Sandra. Dan, ia benar. Sandra-lah yang didapatinya tengah duduk di salah satu sofa teras.

“Hai! Hai!” sapanya ramah.

Sandra menoleh dan secepatnya berdiri. Keduanya berpelukan ringan dan saling menyentuhkan pipi.

“Wah, yang baru pulang liburan, auranya lain,” ujar Sandra dengan nada menggoda.

Minarti tergelak karenanya.

“Terima kasih oleh-olehnya,” ujar Sandra lagi. “Banyak banget tadi yang dibawa pulang sama Angie. Belum lagi yang dititipkan ke Pak James.”

“Oh, sudah sampai yang itu?” Minarti melebarkan matanya. Menatap Sandra dengan antusias. “Saya pilih khusus buat Bu Sandra, lho....”

Semoga dia tak menemukan nada ironi dalam suaraku, lanjut Minarti dalam hati.

“Ah, cantiiik banget gaunnya. Dipakai juga pas. Nyaman banget!”

Minarti mengangguk-angguk dengan wajah riang. Sedetik kemudian, ia teringat tujuannya semula.

“Eh, Bu Sandra sudah makan? Saya mau cari nasgor, nih! Laper banget. Dari tadi beresin oleh-oleh buat Livi sekeluarga, baru saja kelar. Yuk! Makan bareng, yuk!”

“Wah, saya, sih, sudah, Bu. Tapi boleh, deh, saya temani. Kayaknya enak makan es puding di sebelah gerobak nasgor.”

Keduanya kemudian melangkah berdampingan menuju ke deretan gerobak makanan kaki lima langganan mereka. Sambil menunggu pesanan datang, keduanya duduk berhadapan di sebuah sudut.

“Mm... Saya ada perlu sama Bu Min,” gumam Sandra. Nyaris tak terdengar.

“Wah, apa itu? Bilang saja, Bu.”

“Mm....” Sandra mengangkat wajahnya. Menatap Minarti dengan sorot ragu-ragu. “Bu Min pernah ada di posisi saya. Ditinggalkan orang terkasih, dan.... Yah, Bu Min pasti pahamlah.”

Minarti memberikan respons dengan mengangguk, kemudian kembali menyimak penuturan Sandra.

“Tadi siang, Pak James mengajak saya makan siang di luar,” Sandra mengalihkan tatapannya. Tertunduk lagi. “Sekaligus... mengajak saya ke undangan resepsi nikah temannya.” Sandra kembali mengangkat wajahnya. “Menurut Bu Min, gimana?”

“Lho, ya, nggak gimana-gimana,” sahut Minarti cepat. Bahkan agak terlalu cepat. “Mm... Maksud saya, kenapa enggak?”

Sandra mengerjapkan mata. Lagi-lagi mengalihkan tatapannya.

“Kalau boleh tahu, kapan acaranya?”

Sandra kembali menatap Minarti. “Sabtu depan ini.”

Minarti manggut-manggut.

“Memangnya Pak James nggak mengajak Ibu?”

Minarti balas menatap Sandra. Terlihat sangat polos. Menggeleng pelan. “Enggak, tuh!”

Sandra menghela napas panjang.

“Saya jadi nggak enak sama Bu Min,” gumam Sandra.

“Lha, kenapa?” Minarti terlihat sedikit bengong.

Pembicaraan itu terjeda karena pesanan es puding mereka sudah diantarkan dari kedai sebelah.

“Bu Min nggak apa-apa saya terima ajakan Pak James?” nada suara Sandra terdengar ingin memastikan.

“Ya, nggak apa-apalah!” Minarti menyambungnya dengan tawa ringan. Terlihat tanpa beban. “Memangnya kenapa? Pak James sama saya cuma rekan bisnis. Nggak lebih, nggak kurang.”

Sandra kembali menghela napas panjang. Menghela kelegaan. Beban yang menggantung pada wajahnya terlihat sedikit menguap. Pembicaraan mereka terjeda lagi ketika pesanan nasi goreng mawut Minarti datang.

“Jadi..., nggak apa-apa?” Sandra mencoba memastikan lagi.

“Pergilah, Bu.” Senyum lebar mengembang di wajah Minarti. “Nikmati kesenangan yang masih boleh Ibu peroleh. Menerima ajakan Pak James bukan berarti Ibu sudah mengkhianati mendiang Pak Riza. Kita realistis sajalah, Bu. Jangan terlalu dengar kata orang.”

“Persis yang Angie bilang,” senyum tipis terulas di bibir Sandra.

“Oh, ya?” Minarti tergelak.

Sandra mengangguk. “Tapi saya pikir ada benarnya juga.”

“Jadi, masalah selesai, kan?”

Sandra kembali tersenyum. Kembali mengangguk.



“Dia nggak menyangkutpautkan ajakanmu denganku, kan?” Sekilas, Minarti mengangkat wajah.

“Maksudmu?” James mengerutkan kening.

“Misalnya, tanya kenapa kamu nggak mengajakku.”

“Oh... Sempat tanya, sih. Tapi kubilang nggak kepikiran.”

Kali ini Minarti penuh mengangkat wajahnya. Tertawa lebar.

“Hati-hati hidungmu tambah panjang,” ujarnya di sela tawa.

James seketika tertawa lepas.

“Hidungmu juga.” Laki-laki itu balas meledek. “Kan, kamu yang ngajarin.”

Keduanya pun tergelak bersama.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.