Enam
Dengan santai Sisi membelokkan mobil mungilnya masuk ke area parkir sebuah resto terkenal di daerah Kemang, EuropeSky. Pukul enam sore ini, ia ada janji untuk bertemu dengan Dion dan kekasihnya. Diam-diam Sisi tersenyum simpul dalam hati. ‘Kedudukannya’ di geng memang sangat strategis. Sebagai satu-satunya cewek, ia punya hak penuh untuk berkenalan lebih dulu dengan para kekasih sahabat-sahabatnya. Termasuk kali ini, saat Dion hendak ‘membawa masuk’ seorang kekasih yang usianya jauh di atas mereka.
Sesungguhnya Sisi ragu-ragu, apakah kekasih Dion itu nantinya akan bisa membaur di geng seperti ketiga cewek lain yang sudah hadir lebih dulu? Atau... Sambil mengedikkan bahu, Sisi menarik tuas rem tangan mobilnya. Dengan langkah yakin ia kemudian menuju ke pintu masuk resto yang cukup eksklusif itu. Ia kembali tersenyum simpul.
Gile juga si Dion! Ngajak ketemuan di tempat kayak gini!
Dan, sahabatnya itu ia temui di salah satu meja di sudut. Duduk menunggu dengan manis. Berdua dengan seorang perempuan yang tidak tampak sudah berusia 33 tahun. Seorang pramusaji menggiring Sisi ke arah meja di sudut itu atas instruksi seorang resepsionis.
“Hai!” Sisi menahan seruannya.
Dion segera berdiri menyambut dengan wajah cerah. Begitu juga perempuan yang duduk bersamanya.
Oh... Nggak cuma imut, ternyata juga mungil... Sisi terus melangkah mendekat sambil sibuk menilai.
Perempuan yang bersama Dion itu tingginya sekira 155-an sentimeter dengan berat proporsional. Terlihat seperti liliput di sebelah Dion yang berbadan cukup besar. Sisi tahu betul standar tubuh Dion. Tinggi 174 sentimeter, dengan bobot badan nyaris menyentuh angka 90 kilogram. Rambut perempuan-yang-ia-belum-tahu-siapa-namanya itu dipotong pendek dan ringkas. Tampak serasi dengan bentuk wajah bulat telurnya. Terlihat sangat manis, apalagi dilengkapi dengan ekspresi wajah ramah dan mata berbinar cerah di balik kacamata yang bentuk bingkainya cukup modis. Terlihat antusias dengan pertemuan itu.
Sisi mengulurkan tangannya begitu sampai di meja. Menyalami lebih dulu perempuan itu, sebagai perwujudan rasa hormatnya. Perempuan itu menyambutnya dengan senyum manis menghiasi wajah.
“Hai, Mbak,” sapa Sisi. “Saya Sisi, sahabat Dion. Senang sekali bertemu dengan Mbak, yang--,” tatapan sadis Sisi sekilas menyambar wajah Dion, “—sayangnya Dion belum pernah kasih tahu siapa namanya.”
Dion meringis. Perempuan mungil di sampingnya itu tertawa.
“Masha,” ucap perempuan itu kemudian, manis.
Sisi ternganga sejenak.
“Masha and the Bear,” sambar Dion telak. “Gue tahu apa yang ada dalam kepala lu.”
Seketika Sisi tergelak. Begitu juga Masha.
Suasana kian cair. Sambil menikmati aneka makanan, mereka mengobrol. Pada detik-detik tertentu, Sisi seolah tidak percaya bahwa Masha benar-benar berusia sembilan tahun lebih tua daripadanya dan Dion, dan merupakan seorang ibu dari sepasang anak kembar berusia menjelang tujuh tahun. Masha begitu nyambung dan ‘meremaja’ sekali. Tapi tetap terlihat elegan dan sama sekali tidak genit.
“Masha suka sekali menulis cerita romans,” celetuk Dion pada suatu detik, menatap Masha dalam. “Penggemar blog-nya dari anak SMP sampai emak-emak.”
“Whoaaa...,” Sisi melebarkan matanya. “Sudah pernah dibukukan?”
“Ada,” Masha terlihat sedikit tersipu. “Lagi proses. Sudah masuk ke tahap editing.”
“Novel? Kumpulan cerpen?” Sisi terlihat antusias.
“Novel. Ah, masih abal-abal, Si,” Masha mencoba merendah.
“Dari penerbitnya Bunda, lho, Si. Bianglala Media,” timpal Dion.
“Oh ya?” mata Sisi kian lebar.
“Oh, ibu Sisi gabung di penerbitan?” kali ini Masha terlihat lebih antusias.
“Iya,” angguk Sisi. “Bundaku editor, Mbak. Seringnya, sih, menangani novel yang masuk ke Bianglala Media. Mbak Masha editornya siapa?”
“Mbak Tia.”
“Tia Adiatma?” Sisi memastikan.
Masha mengangguk.
“Itu bundaku. Lho, Mbak Masha ini Violet Sha? Yang punya blog Fiksi Violet?”
“Iya...,” Masha mulai tertawa.
“Aaah...,” Sisi sedikit berseru. “Aku sudah ikutan baca naskah ‘Golden Sky of Flammingworth’. Itu novel, ya, gile bener! Bisa, deh, fantasi dipadukan sama romans. Belum lagi fiksi-fiksi Mbak yang lain di blog! Aaah... Aku ketemu sama penulisnyaaa!”
Masha sedikit salah tingkah melihat Sisi heboh sendiri. Sementara itu Dion terkekeh. Sudah maklum dengan berbagai kelakuan ajaib Sisi.
“Gitu, kok, lu nggak pernah cerita, sih?” protes Sisi pada Dion.
“Lho, gue juga belum lama tahu, kok,” jawab Dion, kalem.
Selanjutnya obrolan itu berlangsung dengan lebih seru. Sisi dan Masha makin terlihat seperti kawan lama. Dion menatap keduanya dengan hati lega.
“Ayo, kapan Mbak Masha mau kenalan sama temen-temen yang lain?” tanya Sisi saat pertemuan itu menjelang tiba di ujung.
“Terserah Dion,” Masha menatap Dion.
“Mm... Kapan, ya, kita bisa kumpul bareng? Masalahnya Danny masih sibuk banget,” Dion balas menatap Masha. “Nanti kalau semua bisa kumpul, pasti aku kenalkan pada mereka. Secepatnya.”
“Coba nanti gue ulik-ulik si Danny,” timpal Sisi. Ia kemudian menatap Masha. Tersenyum. “Welcome to the club, Mbak. Nanti jangan kaget kalau Arnetta-nya Reza lebih heboh daripada aku. Dia fans berat Violet Sha. Itu, lho, Mbak. Yang tiap fiksi Mbak nongol di blog, dia selalu komen ‘jempol seribu!’ itu...”
“Oh... Arnetta itu?”
“He eh...,” Sisi mengangguk.
Masha tersenyum lebar. Anak-anak, para fans blog-nya yang datang dari berbagai usia dan latar belakang, kesehariannya sebagai dosen pengajar dengan berbagai tingkah laku absurd para mahasiswa, itulah yang membuatnya awet muda.
Menjelang pukul delapan malam mereka berpisah. Dion sudah memesan tiga kotak makanan untuk dibawa pulang Sisi. Dan ternyata semua yang mereka makan sore ini gratis. Gadis cantik dengan garis wajah Eropa yang terlihat masih sangat kental, yang duduk di meja kasir, membebaskan Dion dari kewajiban membayar tagihan. Dion tersenyum senang.
“Kapan-kapan gue kencan di sini lagi, ya, Mbak Sya,” ucap Dion dengan jahilnya.
Sasya – gadis kasir itu – tertawa lebar. Ternyata ia adalah putri pemilik resto ini. Masih kerabat Dion dari pihak ibu.
Ketika akan melangkah menuju ke mobilnya, sebuah seruan menghentikan langkah Sisi.
“Sisi Adiatma?!”
Gadis itu berbalik. Dilihatnya seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap tengah menyelinap keluar dari balik pintu resto, dan bersiap mengejarnya.
“Ya?” Sisi mengerutkan kening.
* * *
Sosok yang baru saja masuk ke resto itu seolah memiliki magnet yang langsung menyedot seluruh perhatian Sander. Sekali lagi, gadis itu seolah malaikat yang turun begitu saja dari langit, menyelinap masuk ke dalam resto, lengkap dengan pendar lembut halo yang menyelubungi dirinya.
Sudah hampir empat minggu lamanya ia setengah mati menahan kesabarannya. Anindya belum bisa menjanjikan perkenalan dengan gadis boneka porselen itu.
“Informannya masih sibuk,” begitu ucap Anindya. “Maklum, ko-as.”
Yang bisa ia lakukan hanyalah jadi seorang secret admirer dan stalking akun Instagram gadis itu. Xixi Adiatma. Walaupun lebih sering hanya menjumpai unggahan foto-foto berbagai bentuk terrarium dan kaktus imut, tapi sesekali terselip juga wajah berkilau gadis itu dalam berbagai pose.
Untuk menghubungi gadis boneka porselen itu melalui direct message, ia belum punya keberanian. Hanya sesekali meninggalkan komentar berupa pujian pada beberapa foto ‘dagangan’ gadis itu. Hatinya selalu melambung tinggi setiap kali mendapat balasan singkat berupa ucapan “terima kasih...” dengan gadis itu me-mention dirinya. Hanya itu.
Dan sekarang...
Gadis itu duduk di depan sebuah meja di sudut terjauh. Berhadapan dengan sepasang muda-mudi yang seusia. Berbincang akrab, mengumbar senyum, berbagi tawa akrab. Berkali-kali tatapan Sander jatuh padanya, tanpa gadis boneka porselen itu pernah menyadari.
Dari tempatnya duduk, seutuhnya Sander bisa mengamati garis wajah gadis itu. Sekali lagi, yang terpatri mati dalam benaknya adalah keindahan sebuah boneka porselen. Cantik, imut, mulus, dan tampak begitu mengagumkan. Membuatnya ingin menyimpan boneka itu baik-baik.
“Lu dengar nggak, sih, San?”
Senggolan di lengan dan suara yang mengandung sedikit kejengkelan itu membuat Sander tersentak kaget. Ia menoleh dan mendapati tatapan tajam tiga pasang mata mendarat telak di wajahnya.
“Sorry...,” ungkapnya kemudian, penuh penyesalan.
Mereka berempat – Sander, Helmi, Yodya, dan Alfons – sedang membicarakan acara pesta bujangan untuk Victor dua minggu lagi. Yodya berkali-kali mendapati Sander hilang fokus, sehingga terpaksa menegur dan menyenggol lengan sahabatnya itu.
“Kalau memang penasaran akut, dekatin,” ujar Helmi, tersenyum simpul.
Sander melengos dengan wajah sedikit memerah. Ketiga sahabatnya itu tertawa.
“Cantik...,” gumam Yodya. “Perlu dibantu?”
“Nggak usah,” jawab Sander cepat, melirik ke sudut. Gadis itu tengah tertawa bersama kedua teman semeja. Yang ada malah bisa kacau!
“Lha, daripada lu cuma curi-curi pandang saja dari jauh?” gumam Alfons.
“Hm...,” Sander mengembalikan tatapannya. “Nantilah. Gue udah tahu siapa dia, kok. Minimal namanya.”
“Siapa?” tanya ketiga sahabatnya, serempak.
Sander tertawa ringan sebelum menjawab dengan suara rendah, “Xixi – pakai ‘x’ – Adiatma. Dia punya usaha bikin terrarium dan aneka kaktus. Aku sering stalking akun IG-nya.”
“Wooo...,” tanggapan serempak itu kembali ia dapatkan.
“Lu jadi kayak abege lagi, San,” Yodya tertawa.
“Di situ seninya,” Sander menanggapi dengan nada sok bijak.
Pembicaraan itu berlanjut, dengan sesekali Sander masih hilang fokus dan menjatuhkan tatapan ke sudut. Ketika ketiga orang di sudut itu berdiri, Sander sedikit tersentak. Seketika pembicaraan mereka berempat berhenti.
“Samperin!” suara Helmi terdengar mengintimidasi.
Sander terhenyak. Hatinya terbagi dua. Antara mengikuti impuls yang ditimbulkan oleh komporan Helmi, dan menahan diri. Perhentian ketiganya di depan meja kasir memberinya sedikit ruang untuk berpikir.
“Udah... samperin...,” Alfons ikut memanasi.
Sander menoleh ke arah Yodya, meminta pendapat. Yodya seketika mengangguk. Sander pun memantapkan hati. Ia berdiri hampir bersamaan dengan ketiga orang itu membuka pintu resto untuk keluar. Dibukanya pintu hampir bersamaan dengan langkah gadis itu menyeberangi area parkir.
“Xixi Adiatma,” gumamnya.
Gadis itu sudah hampir sampai ke dekat sebuah city car mungil berwarna putih. Sander benar-benar tak rela bila harus kehilangan momen yang mungkin sangat penting bagi hidupnya itu.
“Xixi Adiatma?!” ucapnya dengan suara lebih keras.
Napas Sander tertahan di leher begitu gadis itu menghentikan langkahnya, berbalik, dan mengalunkan suara yang terdengar begitu merdu di telinga.
“Ya?”
Waktu seolah membeku di sekitar Sander. Gadis itu masih berdiri tegak di sisi mobil, menatapnya dengan mata bulat yang terlihat begitu bening dan berkilau-kilau dalam siraman cahaya lampu area parkir yang terang benderang.
Ya? Sander mendegut ludah, kemudian melepaskan helaan napasnya. Lalu apa?
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com
Catatan :
1. Paket pesanan novel “Eternal Forseti” hasil PO II dan III yang ternyata digabung pengerjaannya oleh Penerbit Jentera Pustaka sudah sampai di rumah saya kemarin (hari Kamis siang, 21 September 2017, pukul 1 siang). Akan dikirim serentak kepada para pemesan pada hari Sabtu besok.
2. PO IV dibuka kembali mulai hari Senin, 25 September 2017. Akan ditutup pada tanggal 10 Oktober 2017 pukul 23.59 (konfirmasi masuknya pembayaran). Silakan bagi para pengunjung FiksiLizz yang masih berkenan untuk memesannya. Caranya masih sama, silakan intip di SINI.
3. Terima kasih banyak atas komentar-komentar yang masuk ke blog FiksiLizz. Mohon maaf yang sebesar-besarnya karena hingga saat ini saya masih belum ada kesempatan untuk membalasnya satu per satu. Saya sehat-sehat saja, masih waras lahir batin alias belum edan, tapi masih tetap sengklek seperti biasa. Hanya saja memang saat ini saya lagi sibuk buanget (sibuk menikmati hidup di tempat baru dan menikmati hobi yang lain yaitu bikin cemilan, huehehe...). Sekali lagi, terima kasih banyak.
Good post mbak
BalasHapuskhan gini enek woro woro lek sehat, jd gak kuwatir mbak. biarpun jauh, teteup ingetin jugalah..... ooh, masha itu matrix-nya jeng lis toh? hebat mbak
BalasHapus