Sebelumnya
* * *
Tiga
Melihat gelagat Sander yang adem-ayem saja sepulang mereka dari bertemu keluarga Edwin, Erlanda pesimis misinya akan berhasil. Sejak awal Prisca memang sudah mengingatkan bahwa kemungkinan berhasil dan gagal mereka adalah 50:50. Dan melihat sikap Sander, kemungkinan itu bergeser menjadi lebih dari 50% gagal.
Erlanda menghela napas panjang. Tatapannya terpaku pada titik acak layar laptop yang terbuka lebar di depannya. Dalam perjalanan pulang tadi, Hadi menghubunginya soal pekerjaan. Ada sedikit revisi dari klien. Dan ia menyanggupi untuk mengerjakan penyesuaiannya malam ini juga. Benar-benar hanya secuil. Selesai dikerjakannya sebelum waktu lima belas menit berlalu.
Prisca tak pernah mengganggu Erlanda saat laki-laki itu berada di ruang kerjanya. Dibiarkannya Erlanda sendirian. Ia lebih memilih untuk tidur nyenyak di dalam kamar. Diselimuti keheningan malam yang kian tua. Membuat Erlanda bebas untuk melakukan apa saja, termasuk memikirkan si bujangan tunggal mereka.
Gadis itu...
Mendadak Erlanda tersentak. Gadis itu, yang dilihatnya datang bersama serombongan teman yang lelaki semua di kedai kopi tadi. Entah kenapa kehadirannya diam-diam mengusik perhatian Erlanda. Dan tanpa sengaja, berkali-kali ia memergoki Sander tengah menatap ke arah yang sama. Ke arah gadis itu. Seketika Erlanda memakluminya.
Like father like son...
Ia segera memaklumi bahwa pada akhirnya seleranya terhadap perempuan berada pada satu titik temu yang sama dengan si anak laki-laki. Tertarik pada sosok yang fisiknya serupa. Mau tak mau ingatannya berguling pada titik waktu puluhan tahun silam. Pada saat ia berusia jauh lebih muda daripada Sander saat ini. Bagaimana ia begitu tergila-gila pada seorang perempuan muda yang serupa dengan gadis di kedai kopi tadi.
Laurentia namanya.
* * *
Sander menutup pintu apartemennya pelan-pelan. Setelah menguncinya baik-baik, ia segera melangkah ke arah sofa. Di sana, ia merebahkan diri dan mulai membiarkan lamunan menyeretnya pada sesuatu yang terbatas. Terkotak pada satu sosok tertentu.
Gadis boneka porselen...
Di antara sekian nama dan sosok gadis yang pernah hinggap dalam kehidupannya selama ini, belum ada satu pun yang menyerupai si boneka porselen itu. Rata-rata para gadis itu adalah sosok menarik cenderung cantik, energik, cerdas, dan nyambung saat diajak mengobrol. Se-type dengan Anindya yang baru saja ditemuinya sore tadi. Tapi entah kenapa, sekarang semuanya jadi tak menarik lagi. Dunianya mendadak saja sudah dikuasai oleh sosok yang sama sekali lain. Si boneka porselen.
Kenapa mendadak saja seleraku berbalik arah?
Sander benar-benar tak tahu. Kali ini ia benar-benar merasa tertarik saja. Bagaimana dan kenapanya, ia benar-benar tak memahami. Ia hanya bisa berharap, ketertarikan itu akan beranjak ke level berikutnya. Berharap Anindya tak sekadar saja menjanjikan mencari informasi tentang si boneka porselen itu, tapi benar-benar melakukannya.
Mengingat itu, Sander jadi bersemangat kembali, sekaligus ingat janjinya pada Anindya. Janji untuk mengenalkan teman-temannya pada gadis itu. Dan semuanya bisa dimulai dari sekarang. Menyeleksi siapa sekiranya teman-temannya sesama bujangan yang sekiranya layak untuk Anindya.
Sander pun beranjak.
* * *
Sisi tersenyum simpul ketika serombongan laki-laki itu mengikutinya keluar dari dalam mobil Marco. Para sahabat yang setia dan baik hati. Sudah jadi kebiasaan yang mendarah-daging bagi kelima pemuda itu untuk mengantarkan Sisi sampai di depan pintu rumah, sekaligus menyerahkannya kembali pada sang ayah atau ibu. Seperti juga kali ini.
Himawan sudah membuka pintu depan begitu mendengar pintu pagar terbuka, diikuti dengan dengungan-dengungan rendah layaknya suara lebah. Kelima pemuda itu segera menyalami Himawan.
“Antar Sisi pulang, Yah,” ucap Marco. “Masih hidup, dia.”
Himawan terkekeh melihat Sisi mencubit pinggang kiri Marco. Membuat pemuda itu terjingkat kaget.
“Ayo, masuk dulu,” Himawan membuka pintu lebih lebar lagi.
Kelima pemuda itu serempak menggeleng.
“Makasih, Yah,” ucap Jonggi. “Kami langsungan saja. Sudah malam. Besok kami ke sini lagi. Mau bakar ayam di belakang, kalau boleh.”
“Boleh saja,” senyum Himawan. “Daripada kalian kalap bakarin rumah tetangga.”
Semua tergelak. Kelima pemuda itu kemudian berpamitan. Himawan dan Sisi mengiringi mereka menyeberang halaman, sekalian mengunci pintu pagar. Setelah mobil Marco meluncur pergi, Himawan meraih bahu putri tunggalnya.
“Tadi ke mana saja?” tanyanya sambil melangkah kembali ke rumah.
“Cuma ke kedai kopi di Tebet,” Sisi menoleh sekilas. “Kedai baru, Yah. Top banget menunya,” Sisi mengacungkan jempol.
“Wah, kapan-kapan bisa ke sana, nih!” Himawan menanggapi dengan antusias.
“Ajak Bunda, tuh!” Sisi terkekeh. “Kan, lumayan, ada tempat kencan baru.”
Himawan kembali terkekeh.
Salah satu cara untuk menyegarkan kembali kedekatannya dengan Lauren adalah dengan sesekali kencan dadakan. Seringnya berburu kafe yang baru dibuka untuk mencicipi suasana baru. Sejauh ini usaha itu selalu berhasil. Kemesraannya dan Lauren selalu terjaga dan terbarui tiap saat.
“Itu beneran, besok mau bakar-bakar ayam di sini?” tangan Himawan menjangkau pegangan pintu.
“Iya, beneran,” angguk Sisi. “Tapi yang belanja cewek-cewek mereka. Aku ogah repot lah, Yah.”
“Hm...,” Himawan manggut-manggut.
“Bunda sudah tidur?” Sisi mengunci pintu.
“Sudah,” Himawan menjangkau saklar lampu.
Sesaat sebelum ruang tamu itu jadi gelap, Sisi melihat jam dinding besar di dekat meja konsol menunjukkan angka sebelas dan dua. Pantas..., gumamnya. Sejenak kemudian keduanya berpisah dan masuk ke kamar masing-masing.
* * *
Sisi...
Danny menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang.
Entah sejak kapan rasa itu muncul. Yang jelas, ia mulai tidak melihat Sisi seperti biasanya. Ada getar yang meliar dan ia tak bisa kendalikan setiap kali menatap Sisi. Tapi semua seolah mentah ketika terbentur kata ‘persahabatan’ yang belakangan sering ia kutuk karena membuatnya seolah terjebak pagar yang sangat tinggi. Untuk nekad melompati pagar itu, rasa-rasanya ia belum sanggup. Ia masih sangat menghargai persahabatan yang sudah terjalin sekitar dua puluh tahun lamanya.
Seandainya aku nekad melompat pagar dan terjatuh, apakah persahabatan itu akan tetap sama?
Danny menggeleng samar.
Pasti tidak akan sama lagi. Terutama Sisi dan aku. Dan itu pasti akan memengaruhi grup.
Dihelanya napas panjang.
Hingga saat ini, perasaan itu hanya disimpannya sendiri. Seerat apa pun kedekatannya dengan para sahabat yang berjenis kelamin sama dalam grup, ia tak ingin mengambil risiko sekecil apa pun yang bisa menggoyahkan persatuan grup. Tak boleh egois, hanya itu yang bisa ia katakan pada diri sendiri untuk sekadar menghibur diri.
Kata-kata itulah yang saat ini gumamkan lagi. Berulang-ulang. Hingga ia jatuh dan terseret ke alam mimpi. Yang sebagian besar berisi nama dan sosok yang sama.
Sisi.
* * *
Lauren menggeliat dan mengerjapkan mata ketika mendengar pintu kamar terbuka dan tertutup dengan suara cukup halus. Tangannya menjulur dan menjangkau saklar lampu di atas nakas.
“Terbangun, Bun?” bisik Himawan.
“Hm...,” Lauren kemudian menguap. “Sisi sudah pulang?”
“Sudah,” Himawan berbaring di sebelah kanan Lauren. “Besok anak-anak mau ke sini lagi. Punya rencana mau bakar ayam buat makan siang.”
“Wah, kalau begitu aku harus belanja pagi-pagi,” gumam Lauren.
“Nggak perlu,” Himawan menggeleng. “Kata Sisi, ceweknya anak-anak yang pada mau belanja. Dia saja ogah repot.”
“Oh... begitu... Ya, sudah. Tidur, Yah. Ngantuk banget aku.”
Himawan menggulingkan tubuhnya. Memberi satu kecupan lembut di kening Lauren. Perempuan itu kemudian mematikan lampu, dan bergelung nyaman di balik selimut, dalam dekapan hangat Himawan.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com
himawan kuwi arek tawangmangu kulon tah mbak? he he he.... akhirnya tayang juga. lanjoottt kemis.....
BalasHapusHimawan adalah adik dari himawari wakkk
BalasHapusMbak Lizz gak sakit kan? Kok lanjutannya lom diposting sampe hari ini ya? Semoga Mbak Lizz selalu sehat dan terus berkarya
BalasHapus