Gulungan mendung abu-abu tua yang menggantung di langit sedari pagi akhirnya mulai merinaikan rintiknya. Alisa menoleh sekilas ke luar jendela, sekaligus ke arah jam dinding yang tergantung di atas pintu. Menjelang pukul satu siang. Ia pun memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya. Hanya menyiapkan berbagai guntingan kertas origami warna-warni aneka bentuk untuk kegiatan “Menempel” esok hari.
Lokal Smart Bee International Kindergarten itu sudah sepi. Tiada lagi suara anak-anak yang sudah pulang sejak pukul sebelas tadi. Yang tersisa hanya beberapa guru yang memang jam kerjanya hingga pukul satu siang. Dan...
Alisa menatap area di sudut ruang kelasnya. Di atas matras empuk itu terbaring seorang gadis kecil berusia menjelang empat tahun. Wajah cantik dan imut yang dihiasi pipi bulat kemerahan itu tampak begitu damai dalam tidurnya yang cukup lelap. Alisa tersenyum, sekaligus terenyuh.
Sejak bayi, Alea sudah terbiasa ikut dengannya mengajar di sekolah ini. Peraturan sekolah yang begitu longgar walaupun tetap berselimutkan disiplin memungkinkan para pengajar yang memiliki anak boleh membawa anak mereka bekerja. Alisa dan Alea salah satu pasangan ibu-anak yang menikmati fasilitas itu. Alisa jadi bisa mengajar dengan tenang, karena tahu Alea tidak akan kenapa-kenapa saat berada dekat dengannya.
Kilatan petir diikuti guntur yang menggelegar membuat Alisa tersentak, sekaligus membangunkan Alea. Gadis kecil itu mengerjapkan mata beberapa kali, sebelum menemukan sang ibu berada tak jauh darinya.
“Kaget, ya?” Senyum Alisa.
Alea menyambut senyum itu dengan mengucek matanya sambil menguap. Ia memang tak pernah takut petir. Baru saja, ia hanya kaget.
“Siap-siap, yuk!” ujar Alisa sambil meringkas mejanya. “Sebentar lagi kita pulang.”
Alea mengangguk patuh. Tanpa disuruh lagi gadis kecil itu meringkas matras dan bantal kecil yang baru saja dipakainya. Matras yang empuk dan ringan itu dikembalikan ke tempatnya di sudut lain, begitu pula bantalnya. Tanpa disuruh pula, ia mengenakan kembali sepatunya. Ketika alarm berdering pendek, keduanya sudah siap untuk meninggalkan kelas.
“Ayo, kuantar pulang, Miss.”
Alisa yang tengah menutup pintu kelasnya menoleh mendengar suara lembut itu. Ditemukannya senyum Menik, rekannya sesama guru TK. Alisa menggeleng.
“Aku naik taksi saja, Miss,” jawabnya manis.
“Hujan-hujan begini,” gerutu Menik, menjajari langkah Alisa yang menggandeng Alea. “Ayolah... Kasihan Alea.”
Alisa ragu sejenak. Biasanya ia memang membawa mobil sendiri. Hanya saja pagi tadi mobilnya rewel sehingga ia terpaksa nebeng ibu-ibu tetangga sebelah untuk keluar dari kompleks dan mencapai pangkalan taksi terdekat. Sudah tidak ada waktu lagi untuk memesan taksi online. Tapi tetangga yang baik hati itu malah mengantar sampai ke depan gerbang sekolah karena kantornya memang searah. Belum sempat Alisa memutuskan, sosok laki-laki yang duduk di sebuah bangku di lobi itu membuatnya makin kehilangan kata.
“Oo... Oo... Taksi khusus rupanya....” Menik tersenyum simpul.
Alisa merasa wajahnya menghangat. Maksudnya benar-benar tidak begitu. Ia bahkan sama sekali tidak pernah memikirkan kemungkinan bahwa laki-laki itu akan menjemputnya. Sebelum ia sempat menanggapi, Alea sudah melepaskan tangan dari genggamannya dan berlari ke arah laki-laki itu.
“Om Ronny!” serunya dengan nada riang.
Laki-laki tinggi besar itu segera menyambut Alea dengan senyum lebarnya. Tak hanya itu, gadis mungil itu segera melayang sembari tertawa-tawa dalam gendongan Ronny.
“Oke, aku duluan, ya?” Menik tak kuasa lagi menahan senyumnya agar tidak mekar. “Titip Alisa dan Alea, ya, Dik Ronny,” sambungnya sambil berjalan melewati laki-laki itu, adik sepupu suaminya.
“Siap, Mbak!” jawab Ronny, dengan tawa empuk mengudara.
Sementara itu, Alisa berdiri dengan sedikit canggung di dekat Ronny.
* * *
Pernikahannya dengan Jody memang harus berakhir, walaupun Alisa sama sekali tak menghendaki ataupun membayangkan bahwa kisahnya akan berujung seperti itu. Ia memang sudah salah memilih seorang pasangan hidup. Seperti membeli kucing dalam karung. Karung bungkusnya bagus tak bercela, tapi kucing di dalamnya korengan. Begitu juga Jody. Manis ketika mereka masih berpacaran, tapi berubah jadi buas begitu sudah menikah.
Mungkin memang benar Jody ada indikasi sakit jiwa. Begitu mengiba-iba setiap kali selesai melakukan kekerasan padanya, tapi akan mengulanginya lagi dan lagi. Lama-lama Alisa muak. Hanya demi anak dalam kandungannya saja Alisa bertahan. Setidaknya agar anak itu punya ayah. Ia tak takut melalui masa depan hanya dengan bayinya. Ia punya pekerjaan yang memberinya cukup penghasilan untuk bertahan hidup. Hanya tinggal menunggu bayinya lahir, kemudian ia akan melakukan gugat cerai.
Itu rencananya.
Tapi, Tuhan rupanya punya skenario lain. Jauh lebih ‘indah’. Jody dipanggilNya dalam sebuah kecelakaan lalu lintas setelah mengantarkan kedua orang tuanya pulang seusai acara tujuh bulanan kandungan Alisa. Begitu saja. Membuat Alisa tertegun antara rasa percaya dan tidak.
Hanya saja kehidupannya terus berjalan. Memaksanya kembali ke realita. Bayi cantiknya harus diasuh baik-baik dengan jutaan rasa sayang yang tak bersyarat. Menjadi janda di usia 24 tahun dengan tanggungan seorang bayi menjadikan Alisa menatap lurus jauh ke depan dengan titik fokus membesarkan Alea. Tak berusaha menoleh ke samping kiri atau kanan.
Hingga ia bertemu dengannya. Ronny Laksmono. Laki-laki tinggi besar berusia 30 tahun dengan wajah teduh yang mampu mengguncang dunianya. Sebuah rasa yang seketika melarangnya untuk berharap banyak.
Ia tahu siapa itu Ronny Laksmono. Dari kalangan mana laki-laki itu berasal. Perkenalan mereka dalam pesta ulang tahun anak bungsu Menik beberapa bulan lalu adalah awalnya. Ronny adalah adik sepupu Prahasto Arjuno, suami Menik. Dan, Menik kelihatan cukup menggebu untuk menjodohkannya dengan Ronny.
“Mbak Menik, kan, tahu sendiri statusku. Kondisiku,” gumam Alisa, sedikit putus asa.
Tapi Menik tidak peduli.
“Sudahlah, percaya padaku, kalian cocok,” sergah Menik, keras kepala.
Alisa tetap tak hendak memelihara harapan itu. Lebih ke arah sadar diri. Tapi rupanya Ronny menerobos begitu saja pertahanan itu. Laki-laki itu datang lagi dan datang lagi menemuinya. Tak hanya menemuinya, tapi juga menemui Alea, putri kecilnya. Membuat Alisa melihat bahwa Ronny menganggap penting kehadiran Alea, alih-alih mengabaikannya. Dan, ia mulai luluh
Lantas apa lagi?
Alisa menggeleng samar. Benar-benar tak tahu jawabannya.
Alisa menggeleng samar. Benar-benar tak tahu jawabannya.
* * *
“Alea lapar, nggak?”
Suara berat dan hangat itu menghentakkan kesadaran Alisa. Mereka masih berada di lobi sekolah yang sudah sepi. Dengan sebelah tangannya yang bebas, Ronny menggapai bahu Alisa dan mendorongnya lembut. Beriringan keduanya melangkah keluar dari lobi, dengan Alea tetap berada dalam gendongan Ronny.
Jawaban Alea jelas, “Lapar.” Apalagi memang udara pelan-pelan mendingin seiring dengan datangnya hujan yang lebih lebat.
“Kita mampir makan dulu, ya,” putus Ronny, menoleh sekilas ke arah Alisa.
City car Ronny parkir di bawah kanopi yang menaungi teras lobi hingga ke depan gerbang sekolah. Laki-laki itu membuka pintu kiri depan sambil menatap Alea.
“Alea mau duduk di depan?” tawarnya manis.
Tapi gadis kecil itu menggeleng.
“Aku mau bobok lagi,” jawab Alea polos.
Ronny tertawa sambil menurunkan Alea dari gendongannya. Ia membuka pula pintu kiri belakang, sehingga Alea bisa masuk secepatnya ke dalam mobil. Mau tak mau, Alisa duduk di jok kiri depan. Dengan halus Ronny menutup kedua pintu itu bersamaan. Tapi ia tidak langsung duduk di belakang kemudi. Dibukanya pintu bagasi, kemudian ditutupnya lagi. Ia membuka pintu kanan belakang.
“Ini, ada bantal dan guling buat Alea,” ujarnya lembut.
Alisa menengok ke belakang. Ronny dengan cekatan mengalasi kepala Alea yang sudah berbaring dengan sebuah bantal dan meletakkan guling di depan Alea. Gadis kecil itu mengucapkan terima kasih dengan sangat manis sembari memeluk guling, membuat Ronny mengelus kepalanya sebelum menutup pintu dan bersiap di belakang kemudi.
“Terima kasih,” bisik Alisa.
Ronny menoleh sekilas sebelum mulai melajukan mobilnya.
“Sama-sama,” balasnya halus, tersenyum tipis.
* * *
Alisa ternganga. Ditatapnya Ronny dengan mata bundar. Tapi laki-laki itu terlihat tetap tenang. Dengan santai menyantap makan siangnya. Sejenak kemudian Ronny mengangkat wajah.
“Kenapa?”
Alisa mengerjapkan mata. Ia menunduk sedikit untuk menghindari tatapan Ronny.
“Aku...,” gumamnya, “... belum siap.”
Ronny menghela napas panjang. Masih menatap Alisa.
“Kita memang belum lama berkenalan,” ucap Ronny. “Belum ada setahun. Tapi aku tidak bisa mengingkari hatiku. Aku mendapatkannya bersamamu. Bersama kalian. Kamu dan Alea. Semua rasa damai dan nyaman itu.”
Alisa mendegut ludah.
Dulu, ia juga belum genap setahun berkenalan dengan Jody saat menerima pinangan Jody. Dan, hasilnya?
Alisa kembali mendegut ludah. Kali ini dipenuhi rasa getir. Pelan, ia mengangkat wajah.
“Mas tahu statusku, kan?” ucapnya lirih. Patah. Sekilas ditatapnya Alea yang sibuk menikmati makan siang. “Mas berhak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik daripada aku.”
“Alisa...." Ronny menatapnya. Dalam. “Masalahnya adalah kamu terlalu rendah menakar dirimu sendiri. Ayolah! Tinggalkan semua kepahitan itu di belakang. Melangkahlah kembali ke depan bersamaku. Kamu dan Alea, bersamaku. Lagipula, aku sudah menceritakan semuanya tentang kamu dan Alea pada Bapak dan Ibu. Karena itu, Bapak dan Ibu ingin sekali bertemu denganmu. Kalau bisa, sebelum pernikahan Dipa.”
Alisa terdiam. Lama.
* * *
Ia tak lagi mampu mengelak. Ronny berencana untuk membawanya menghadiri acara pernikahan salah satu sepupunya. Tapi sebelum itu, Ronny ingin membawa ia dan Alea untuk bertemu kedua orang tuanya. Sialnya, ia tak memiliki alasan untuk menolak keinginan itu.
Ditatapnya setengah sosoknya melalui pantulan cermin. Ada lompatan-lompatan pertanyaan yang ia sendiri tak mampu menjawabnya. Sehingga hanya berputar saja. Seolah ruwet melayang di atas kepalanya.
Apakah keluarga Ronny akan menerimanya dalam satu paket, ia dan Alea? Atau akan ada hinaan apa yang akan diterimanya?
Ronny berasal dari keluarga pemilik sebuah perusahaan besar. Kakeknya pendiri perusahaan itu. Ayahnya seorang profesor. Ibunya seorang pengusaha. Kakak sulungnya seorang dokter, bersuamikan seorang dosen sekaligus arsitek. Abangnya yang nomor dua memegang dua jabatan direktur sekaligus, beristrikan seorang pengacara. Ronny sendiri adalah seorang direktur sebuah perusahaan di bawah panji perusahaan keluarga itu. Keluarga yang hebat!
Seandainya bisa, ingin ia menyusup dan menghilang di kedalaman bumi yang hangat. Bersama Alea. Tapi ia sudah telanjur mengangguk. Terpaksa menuruti keinginan Ronny untuk mempertemukan ia dan Alea dengan ayah dan ibu laki-laki itu. Sore ini.
Cermin sudah memantulkan penampilan sempurnanya. Dandanan sepantasnya. Terbaik. Tapi tak berlebihan. Alea sendiri sudah didandaninya secantik mungkin. Tetap dengan gaya kanak-kanak yang polos dan menggemaskan.
Sejak Ronny menjemputnya hingga mereka turut melaju dalam mobil yang dikemudikan Ronny, debar liar itu tak juga mau berhenti bermain dalam dada Alisa. Sekuat apa pun ia berusaha meredamnya. Sekuat apa pun ia berusaha larut dalam keceriaan senandung Alea di jok belakang, yang ditimpali Ronny dengan nada riang.
Dan, pada akhirnya perjalanan itu memang harus berakhir. Ronny membelokkan mobilnya masuk ke halaman sebuah rumah apik berhalaman cukup luas. Ada taman yang sangat terawat dan terlihat asri menghiasi bagian depan rumah itu. Bukan rumah yang megah dan mewah, tapi cukuplah bisa diperhitungkan seberapa tinggi harganya, mengingat rumah itu berada di daerah yang cukup elit. Pintu pagar yang terbuka lebar seolah mewakili kehangatan pemilik rumah itu.
Kehangatan itu pula yang kemudian menyambutnya dan Alea. Ibu Ronny langsung menyebut dirinya dengan ‘eyang’ ketika berbicara dengan Alea. Walaupun masih malu-malu, tapi gadis kecil itu terlihat mulai nyaman. Begitu pula ketika berinteraksi dengan ayah Ronny. Laki-laki yang berperawakan sama dengan anak laki-lakinya itu terlihat sangat sabar. Kehangatan memancar dari wajah keduanya.
Perlahan, harapan itu timbul kembali dalam hati Alisa. Walaupun ia berusaha untuk menekannya pada titik terendah. Agar bila semua yang terjadi kemudian tidak sesuai dengan harapannya, ia tidak terlalu kesakitan karena terbanting dari ketinggian.
“Ronny sudah menceritakan semua tentang Alisa pada Ibu,” ucap Marisa, ibu Ronny, dengan lembut ketika mereka berkesempatan bicara berdua di sudut dapur yang cukup luas dan beratmosfer hangat. “Ibu jamin, Alisa tidak akan mengalami hal buruk itu lagi bila nanti bersama Ronny.”
Sesungguhnya ia percaya. Tapi semudah itukah? Ditatapnya Marisa.
“Sebetulnya...,” ucapnya sedikit terbata, “... Mas Ronny berhak mendapatkan... yang terbaik. Perempuan yang terbaik... untuk mendampinginya... seumur hidup. Bukan saya." Ia menggeleng lemah.
Tangan Marisa terulur. Menggenggam kedua telapak tangan Alisa dengan hangat.
“Kenapa merasa diri tidak baik dan tidak layak?” tukas Marisa lembut. “Apakah karena Alisa seorang janda? Apakah karena Alisa sudah memiliki anak? Apakah karena masa lalu Alisa?”
Alisa tertunduk. Napasnya terasa sedikit sesak.
“Apakah Alisa memang menginginkan segala hal buruk itu terjadi pada diri Alisa? Pada pernikahan terdahulu Alisa?” lanjut Marisa.
Perlahan Alisa menggeleng.
“Nah!” Genggaman tangan itu bertambah erat. “Alisa berhak untuk berbahagia. Ronny juga. Ronny sudah dewasa. Dan, Ibu rasa, demikian juga dengan Alisa. Apalagi Alisa sudah menjadi seorang ibu dari seorang anak yang manisnya luar biasa. Memangnya mudah mendidik anak?”
Alisa mengangkat wajahnya. Sedikit. Ditangkapnya senyum teduh Marisa. Pelan ia menggeleng. Senyum Marisa melebar.
“Tapi Alisa sudah melakukannya dengan sangat baik,” sambung Marisa. Lembut. “Jadi, apa lagi yang perlu dikhawatirkan?”
Mata Alisa mengerjap. Pelan-pelan, rasa sesak dan debar liar yang memenuhi dadanya pun mulai pupus.
* * *
Alisa menuntun Alea masuk ke dalam rumah. Di belakangnya, Ronny mengikuti. Baru saja Alisa menawarinya untuk mampir sejenak, dan laki-laki itu langsung mengangguk.
“Alea temani Om Ronny dulu, ya?” Alisa membuka pintu rumah mungilnya. “Mama mau bikin minuman.”
Alea mengangguk dengan patuh.
Setengah melamun Alisa mengaduk dua cangkir teh di dapur. Sayup-sayup didengarnya celoteh Alea, dengan sesekali suara berat Ronny menanggapi. Ia tersenyum seraya meraih stoples berisi nastar di lemari dapur.
Entah kenapa napasnya terasa lebih ringan sekarang. Senyum masih terukir di bibirnya ketika ia mengangkat nampan ke ruang tamu. Tapi di perbatasan antara ruang tengah dan ruang tamu langkahnya terhenti. Alea berada di pangkuan Ronny. Laki-laki itu berucap lembut.
“Alea, boleh nggak, Om Ronny jadi papa Alea?”
“Ng...”
“Alea mau nggak, jadi anak Om Ronny?”
“Mau.” Alea mengangguk.
“Mulai sekarang panggil Om Ronny ‘papa’, ya? Oke?”
Alea kembali mengangguk.
“Nah, ini ada cincin untuk Alea, tapi kayaknya masih kegedean. Nanti biar disimpan sama Mama, ya?”
“Ih! Cincinnya bagus!”
“Alea suka?”
Gadis cilik itu mengangguk.
“Bilang apa, dong?”
“Makasih, Om...”
“Eh, kok, ‘om’? Papa, dong...”
“Oh, iya, makasih, Papa,” ulang Alea dengan manis.
“Anak pintar.” Ronny mengecup puncak kepala Alea.
Ia memasukkan sebentuk cincin ke ibu jari kanan Alea. Masih kebesaran. Keduanya kemudian terkikik geli. Sejenak kemudian Ronny mengangkat wajahnya. Tertangkap oleh matanya, Alisa masih tertegak sambil membawa nampan. Dilihatnya mata Alisa mengaca. Alea yang juga menyadari kehadiran Alisa segera merosot dari pangkuan Ronny. Gadis cilik itu berlari menghampiri Alisa.
“Mama! Mama! Aku dikasih cincin sama Om Ronny, eh... Papa.” Alea menyodorkan ibu jari kanannya pada Alisa. “Bagus, kan?”
Alisa mengerjapkan matanya beberapa kali. Sementara itu Ronny sudah berdiri dari duduknya. Dengan halus, diambilalihnya nampan dari tangan Alisa. Sejenak kemudian, ia sudah duduk kembali. Alisa duduk di dekatnya. Memangku Alea yang masih mengagumi sebentuk cincin bermata tiga yang melingkar longgar di ibu jari kanannya.
“Aku baru saja melamar Alea untuk jadi anakku.” Ronny mengulaskan senyum teduhnya.
Alisa tercekat. Ia ternganga ketika beberapa detik kemudian Ronny sudah berlutut di hadapannya dan Alea. Di tangan laki-laki itu ada sebuah kotak kecil yang terbuka. Di dalamnya ada cincin serupa milik Alea, cincin emas putih berhias garis tebal berwarna rose gold yang sangat cantik, hanya saja polos tanpa permata.
“Alisa, maukah kamu jadi pendamping hidupku selamanya? Mengizinkan aku untuk jadi ayah Alea?”
Alisa menutup mulutnya dengan tangan kiri. Ditatapnya Ronny.
Kebahagiaan sepertinya tak lagi jauh. Hanya beberapa belas sentimeter di hadapannya. Seketika itu juga ia memutuskan, akan menjangkaunya. Tak akan melepaskan lagi kebahagiaan itu. Dan, akan mempertahankannya seumur hidup. Mungkin tidak akan mudah. Tapi melihat kerlip di setiap lorong dalam mata Ronny, ia tahu ia tak akan lagi melangkah sendirian.
* * * * *
Ilustrasi : pixabay.com (dengan modifikasi)
side story EF. tokoh banyak, ceritapun banyak. apiikkkkk tenan iki mbak.... suwun nggih
BalasHapusSami-sami...
HapusGood post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur...
HapusAduh bagusnya beneran cerpenya ini mbak Lizz. 👍💕💞
BalasHapusMakasih mampirnya, Mbak Lidya...
HapusWuuuuuuu garai aq terharu soro mb Lis.
BalasHapusApike to the max.
Kejutan tapikir gada terbitan baru.
Bakno ada cerpen ciamik !
Ahihihi... cik meriahe, Niiit...
HapusWaah.....keren banget ..semoga EF laris manis ya mbak
BalasHapusAmin... Makasih banyak, Mbak Bekti...
HapusWaaaah, mantap...
BalasHapusMaaf baru bisa berkunjung, baru buka blog juga soalnya. hehehe
Iya, ke mana aja nih? Makasih kunjungannya ya...
HapusIni... ini... khas Mbak Lizz, cerita yang manis :)
BalasHapusYang nulis juga manis... Ihik!
Hapus#glodhaaak