Tujuh
Begitu
Sasya melangkah masuk ke garasi setelah selesai mencuci motornya di carport, tercium olehnya aroma khas
karamel yang begitu wangi dan selalu menimbulkan sensasi yang menyenangkan
dalam hatinya. Ia segera menghampiri dapur dan mendapati Fritz tengah sibuk
menuangkan karamel yang masih mengepul ke dalam dua puluh mangkuk aluminium
kecil yang dijajar rapi dalam dua baris memanjang di atas island. Gadis itu kemudian duduk di seberang Fritz.
“Bikin
flan lagi, Pa?” usiknya.
“Ja,” angguk Fritz. “Nanti Papa minta
tolong kamu yang masak pudingnya, ya?”
“Lho,
aku, kan, mau pergi.”
“Jam
berapa?” tanya Fritz tanpa mengalihkan tatapan dari pan dan mangkuk-mangkuk aluminiumnya.
“Jam
sebelas.”
“Ini
masih jam berapa?” tanya Fritz lagi, sabar.
“Belum
genap jam tujuh.”
“Nah,
cukup waktu, kan?”
“Banyak
banget?” Sasya mengitung jumlah mangkuk di atas island.
“Mama
belum katakan padamu kalau sore nanti kita mengundang keluarga Pradana untuk
makan malam?”
“Hah?”
Sasya mendongak. “Nee,” gelengnya.
“Mama nggak bilang apa-apa.”
Bersamaan
dengan itu, Yuliani menyahut dari arah depan kompor, “Sorry, Mama lupa.” Perempuan itu tengah sibuk memasak mongolian beef1) yang dimodifikasi dengan tambahan potongan buncis dan
irisan buah nanas segar untuk sarapan mereka. “Sas, tolong, siapkan nasinya,
ya?”
Sasya
mengangguk sambil dengan cekatan mengambil empat mangkuk saji keramik, dan
mengisinya dengan nasi panas. Fritz kemudian meminta agar Sasya tidak pulang
terlalu malam. Gadis itu berjanji untuk sampai di rumah lagi sekitar pukul tiga
atau empat sore. Fritz berpesan pula agar Sasya sekalian menjemput chef Abraham dan seorang asisten dari
resto ke rumah.
“Oh,
mau pakai Om Bram?” Sasya memastikan.
“Ja. Masa ada tamu, Papa malah sibuk
sendiri di dapur?”
Sasya
tersenyum menanggapinya. Yuliani mematikan kompor dan memindahkan mongolian beef ke atas nasi dalam empat
mangkuk keramik itu. Tak lupa ia menaburkan wijen sangrai di atasnya. Sasya
segera memanggil Marsih. Fritz dan Yuliani lebih senang menikmati sarapan
berupa ricebowl itu dengan santai di
teras belakang. Sedangkan Sasya memilih untuk sarapan bersama Marsih di dapur,
sambil ngerumpi.
* * *
Dengan
hati-hati Gaby membawa semangkuk bubur ayam hangat ke kamar abangnya. Ketika ia
masuk, abangnya terlihat masih berbaring di ranjang dengan kepala disangga dua
buah bantal. Tampak sibuk dengan ponselnya. Laki-laki itu menoleh ketika pintu
terbuka. Wanda mengikuti di belakang Gaby, membawa segelas besar air putih
hangat dan secangkir besar air seduhan jahe geprek
yang masih mengepulkan asap tipis. Pelan-pelan Ronan bangun.
“Masih
pusing?” Wanda duduk di tepi ranjang.
“Masih,”
suara Ronan terdengar serak.
“Makan
dulu,” Wanda meraih mangkuk bubur yang diletakkan Gaby di atas nakas. “Setelah
itu minum obat. Terus mandi, biar Bik Omi ganti spreimu. Setelah itu mau
rebahan lagi, terserah.”
Ronan
mengangguk sedikit. Dengan cekatan Gaby naik ke atas ranjang, menumpuk dua bantal
dan satu guling agar Ronan bersandar dengan nyaman. Setelah itu ia beringsut
dan mulai memijat kaki Ronan dengan lembut. Walaupun sering menjadi obyek bully-an si abang tunggal, tapi hati
Gaby luluh juga melihat abangnya tepar
tak berdaya seperti ini.
“Kamu
ini jarang sakit,” gumam Wanda sambil menyuapi Ronan. “Tapi begitu dihajar flu,
kok, ya, langsung parah begini, to, Ron.
Sama persis kayak Papa.”
Laki-laki
itu hanya bisa meringis tak jelas.
“Tuyang tatih tayang itu, Ma,” sahut Gaby
dengan wajah disetel sok imut.
“Hah?”
Wanda menoleh cepat. “Apa itu?”
Gaby
tergelak seketika. Ronan menggeleng samar. Tambah pusing mendengar celoteh
ngawur adiknya.
“Kurang
kasih sayang, Mamaaa...,” jelas Gaby. “Abang, kan, masih jomlo.”
“Oh,
hehehe...” Tapi sedetik kemudian wajah Wanda berubah jadi serius lagi. “Padahal
nanti sore kita diundang makan malam sama tetangga sebelah,” Wanda melanjutkan
gumamannya.
Ronan
tersedak seketika.
“Makan
sudah pelan-pelan begini, kok, ya, bisa sampai keselek iki piye, to?” gerutu Wanda sembari meraih gelas berisi air
putih hangat.
“Lha,
iya, keselek,” sahut Gaby, melihat
celah untuk terus mem-bully abangnya. “Dengar kata ‘tetangga sebelah’ aja
Abang sudah klepek-klepek dag dig dug
dueeerrr!”
Wanda
terkekeh seketika, sementara yang digoda hanya bisa melebarkan sedikit tatapan
sayunya. Gaby meleletkan lidah dengan wajah luar biasa jahil sebelum meloncat
dari atas ranjang dan keluar dari kamar itu. Pelan-pelan Ronan meneguk isi
gelas yang disodorkan Wanda. Ketika Wanda menyodorkan lagi sesendok bubur ayam
ke depan mulut, Ronan menghindar dengan berpaling sedikit.
“Sudah,
Ma.”
“Lagi,”
tegas Wanda.
“Sudah,
Ma. Kenyang. Mana aku mual begini.”
Wanda
menyerah. Daripada makanan yang sudah masuk itu ‘keluar’ lagi, maka ia memilih
untuk menuruti ucapan anak sulungnya itu. Diraihnya kantong kertas kecil berisi
obat di atas nakas. Dengan telaten disiapkannya masing-masing sebutir dari tiga
macam obat itu, kemudian diminumkannya pada Ronan. Laki-laki itu menyandarkan
kepala ke belakang sambil memejamkan mata ketika kepalanya berdenyut lagi. Demamnya memang sudah turun walaupun badannya masih terasa pegal di sana-sini. Tapi secara keseluruhan kondisinya sudah jauh lebih baik daripada kemarin.
“Benar
yang dibilang Gaby?” selidik Wanda.
“Hah?”
Ronan membuka mata dan mengangkat sedikit kepalanya. Gerutunya, “Gaby
didengerin.”
Wanda
menghela napas panjang. Ditatapnya si anak sulung. Perempuan itu sepertinya
kesulitan untuk merangkai kata. Dalam tatapan yang meredup itu, Ronan masih
dapat menemukan bersit-bersit luka melompat keluar begitu saja, meskipun ia
tahu Wanda selalu menyembunyikannya rapat-rapat. Semua itu adalah tentang ia
dan Yuke.
Ronan
susah payah mendegut ludah. Terasa nyeri. Wanda mengerjapkan mata. Ia
mengalihkan tatapan dengan menyibukkan diri meringkas mangkuk dan gelas bekas
sarapan Ronan. Ketika hendak beranjak, suara lirih dan serak Ronan membuat
gerakannya terhenti.
“Maafkan
aku, Ma...”
Wanda
kembali mengerjap. Kali ini berusaha mengusir telaga bening yang sudah
menggenang dalam matanya. Ia kemudian menggeleng lemah.
“Sudah,
tidak apa-apa,” bisiknya. “Apa pun yang terjadi, kamu tetap anak Mama.”
Tanpa
menunggu tanggapan Ronan, Wanda berdiri dari duduknya dan cepat-cepat keluar
dari kamar itu. Ronan menatapnya dengan dada terasa sedikit sesak.
Omi
muncul dengan membawa seperangkat sprei bersih ketika Ronan pelan-pelan
menurunkan kakinya dari atas ranjang. Laki-laki itu duduk diam sejenak untuk
mengurangi rasa pusing. Ia kemudian berdiri dan melangkah ke kamar mandi dengan
perasaan agak melayang.
* * *
Selesai
sarapan, Sasya mulai menyiapkan semua bahan untuk membuat flan. Fritz menemaninya. Sementara Sasya sibuk menakar bahan, Fritz
menata semua mangkuk aluminium yang karamelnya sudah mulai mengeras ke dalam
dua buah pinggan lebar. Masing-masing pinggan berisi sepuluh mangkuk.
“Sasya,
nanti langsung kamu tuang ke sini saja setelah adonannya agak dingin, ya,”
gumamnya.
Sasya
mengangguk sambil mulai menyiapkan milk
pan. Untuk dua puluh mangkuk, ia memilih untuk dua kali memasak adonan
puding. Supaya takaran dan rasanya tetap terjaga.
Dengan
cekatan ia mengocok telur dan gula di dalam sebuah baskom kecil hingga
tercampur rata. Setelah itu, ia mulai memanaskan campuran susu, krim, sejumput
garam, dan beberapa tetes ekstrak vanila. Diaduknya pelan-pelan. Ketika
campuran itu mulai berbuih, ia menuangkan sedikit susu ke baskom telur dan
mengaduknya hingga benar-benar tercampur rata. Kemudian dituangkannya campuran
telur ke dalam panci berisi susu, diaduknya sambil dipanaskan hingga matang.
Fritz
menyiapkan sebuah panci bertangkai lainnya yang sudah dipasanginya saringan
sebelum meninggalkan putri bungsunya itu sibuk sendirian di dapur. Ia sempat
berpesan, “Nanti kalau sudah siap masuk ke oven, kamu panggil Papa. Biar Papa
yang menyelesaikannya. Kamu siap-siap saja untuk pergi.”
Setelah
mematikan kompor, Sasya mencicipi sedikit adonan puding panas itu. Keningnya
segera mengernyit. Terasa ada yang kurang.
Kurang gurih... Nggak
seperti bikinan Papa. Hadeeeh! Gassswaaat!
Otaknya
kemudian berputar. Lalu ia menemukan sesuatu. Diputuskannya untuk menambahkan
bahan lain setelah menyaring adonan panas itu. Sambil menunggu adonan kloter pertama menjadi hangat, ia
mengulangi lagi proses yang sama pada kloter
kedua. Termasuk menambahkan bahan lain itu.
Ia
kemudian mulai menuangkan dengan hati-hati adonan puding hangat ke dalam
mangkuk-mangkuk aluminium berisi karamel yang sudah benar-benar mengeras. Sepuluh
menit kemudian semuanya siap. Ia segera memanggil ayahnya.
“Rapi!”
puji Fritz sambil memanaskan sepanci air.
Ketika
air dalam panci itu sudah mulai mengeluarkan asap, dengan hati-hati Fritz
menuangkan air hangat itu ke dalam kedua pinggan. Ia kemudian mengangkat
pinggan dan memasukkannya ke dalam oven. Puding itu masih harus menjalani
proses lebih lanjut. Dipanggang dengan cara au
bain marie. Lebih sederhananya, ditim di dalam oven. Lamanya sekitar 45
menit sebelum mangkuk-mangkuk itu dikeluarkan dari oven, didinginkan, dan disimpan
di dalam kulkas.
* * *
Setelah
mandi, tubuh Ronan terasa sedikit lebih segar. Sprei ranjangnya sudah diganti.
Pelan-pelan Ronan duduk di tepi ranjang. Akhirnya ia mendapat kamar juga di
rumah baru. Tidak sebesar kamarnya di rumah lama, tapi cukuplah untuk
beristirahat tiap akhir pekan.
Kepalanya
masih terasa pening. Ia kembali membaringkan tubuhnya dan meraih ponsel. Dengan
berbaring miring dan kepala bertumpu pada dua buah bantal yang ditumpuk jadi
satu, ia mulai sibuk dengan ponselnya.
‘In, lu kasih tahu Yuke
kalau gue sakit?’ tulisnya melalui aplikasi Whatsapp.
Balasannya
muncul di layar tak lama kemudian. ‘Iya.
Dia hubungin lu?’
‘Ya, tapi WA-nya belum gue
bales.’
‘Lu udah mendingan?’
‘Lumayanlah.’
“Sorry, gue juga cerita ke Yuke
soal Sasya. Ternyata dia udah tahu. Lu udah pernah cerita sama dia?’
‘Udah. Yuke juga udah tahu
Sasya. Awal-awal Sasya masuk kuliah dulu, kan, Yuke belum lulus. Tapi waktu itu
Yuke sama gue udah bubaran. Dia udah suruh gue deketin tuh cewek. Tapi gue
masih perang batin.’
Cukup
lama Ronan menunggu balasan dari Inna sebelum akhirnya muncul juga di layar
ponselnya. ‘Beneran, Ron, gue gak mau
lihat lu gagal kali ini. Semua udah pas di tempatnya. Yuke udah lepasin lu.
Tinggal lu-nya aja yang kudu berani melangkah maju. Kudu jujur juga.’
Jujur...
Ronan
mengerjapkan mata. Ya, ia harus jujur tentang Valina dan Yuke. Harus siap
menanggung risiko apa pun. Termasuk
risiko kehilangan gadis yang dicintainya kelak.
Tapi bisakah aku kehilangan
Sasya?
Ronan
menggeleng samar. Ia bahkan belum memulainya. Dihelanya napas panjang.
‘Ya, In. Gue coba begitu gue
siap.’
‘Ya, udah. Istirahat, Ron,
biar lu cepet pulih. Sampai ketemu Senin.’
‘Thanks, In.’
Ronan
berpikir sejenak sebelum kembali mengarahkan tatapannya pada layar ponsel.
Dibalasnya pesan Yuke semalam.
‘Halo, Ke. Sorry, baru
bales. Iya, aku sakit. Cuma flu sama radang tenggorokan aja, kok. Kamu
baik-baik di sana ya...’
Setelah
itu ia memindahkan ponselnya ke mode pesawat dan menggeletakkannya di atas
nakas. Obat yang ditelannya kira-kira sejam lalu membuatnya mengantuk.
Ditariknya salah satu bantal dan disingkirkannya ke belakang punggung. Lalu ia
mulai memejamkan mata. Memberi kesempatan pada tubuhnya untuk memulihkan diri.
* * *
Ini awalan...
Ronan
memaksakan diri untuk ikut menghadiri undangan makan malam santai itu. Kepalanya
masih terasa berat, tapi selebihnya ia tidak apa-apa. Masih terlihat sangat lesu,
hingga Pradana menatapnya dengan khawatir.
“Kamu
kuat?”
Ronan
mengangguk sambil menyandarkan kepalanya di punggung sofa ruang tengah. Ia
sudah siap. Memakai kemeja lengan pendek warna hitam polos yang dipadu dengan
celana jeans biru pudar. Pradana
sendiri mengenakan kemeja berwarna merah marun yang lengan panjangnya dilipat
hingga siku, dan celana jeans yang
hampir sama dengan yang dikenakan Ronan. Keduanya duduk menunggu dengan sabar
hingga Wanda selesai berdandan. Lagipula, undangannya masih setengah jam lagi.
Hanya perlu waktu sekian detik untuk mencapai rumah sebelah.
Gaby
muncul tak lama kemudian dan duduk di sebelah abangnya. Gadis remaja itu tampak
ringkas dan nyaman dalam balutan celana jeans
dan kaus berpayet berlengan pendek warna oranye pastel. Rambut sebahunya
dikucir tinggi dan dihiasi karet rambut sewarna kausnya. Diulurkannya tangan.
Meraba kening Ronan.
“Masih
anget,” gumamnya.
Ronan
tersenyum sedikit, tanpa membuka mata.
“Ron,
minum obat dulu biar nggak kelihatan terlalu teler begitu,” celetuk Wanda yang
sudah selesai berdandan.
Perempuan
itu tampak cantik dalam balutan gaun terusan berwarna merah marun polos,
sewarna dengan kemeja Pradana. Lehernya dihiasi kalung kristal berwarna hitam
yang panjangnya hingga ke dada. Seperangkat dengan antingnya. Rambutnya
digelung rapi. Terlihat sangat pantas untuk bertamu.
“By, tolong, ambil biskuit buat abangmu. Sekalian minta dibikinin teh hangat sama Bik Omi
atau Bik Sanah,” ujar Wanda lagi.
“Air
putih hangat saja, By,“ tukas Ronan sambil membuka mata dan mengangkat
kepalanya.
Gaby
menurut tanpa kata. Sejenak kemudian muncul lagi membawa sebungkus crackers manis dan segelas air putih
hangat. Tanpa disuruh, gadis remaja pun berinisiatif mengambil obat Ronan di
kamar.
“Yakin
kamu kuat?” Wanda menatap jejaka sulungnya lekat-lekat.
“Ya,
kalau bener-bener nggak kuat, aku pulang duluan saja, Ma,” gumamnya.
Wanda
mengangguk.
* * *
Acara
makan malam bersama itu berlangsung dalam suasana santai, penuh aroma kekeluargaan, dan sangat menyenangkan. Mereka bertujuh duduk mengelilingi meja bundar besar di ruang makan
keluarga Voorhoof yang terasa begitu intim dan hangat. Dinding ruangan itu
cukup penuh dengan pigura berisi foto-foto keluarga yang diambil di berbagai
tempat, dalam berbagai ekspresi dan posisi, dalam berbagai usia, yang disusun
secara berurutan dari foto paling kuno hingga paling baru.
Diam-diam
Ronan mengamati foto-foto itu, dan menemukan bahwa sepertinya Sasya Voorhoof
adalah gadis yang paling berbahagia sedunia sejak bayi hingga sedewasa ini.
Diam-diam pula ia mengamati Sasya yang sore itu tampak begitu cantik dalam balutan blus
berlengan pendek warna biru tua dengan motif bola-bola warna putih, dipadu
dengan rok jeans span pendek berwarna
biru pudar. Memperlihatkan kakinya yang mulus dan jenjang. Rambut gadis itu
seperti biasa, dikucir tinggi. Dan keseluruhan penampilan sederhana Sasya itu membuat
hati Ronan berdesir hebat tanpa bisa dicegah.
Ketika
Pradana menanyakan sejarah foto-foto itu sambil menikmati makanan pembuka berupa
kroket makaroni dengan mayonaise, Fritz menjelaskannya dengan senang hati.
Menceritakan putra pertama bersama menantu dan cucunya, kemudian tentang putra
kembarnya dan tunangan mereka masing-masing, dan terakhir tentang putri bungsunya.
“Jarak
Sasya dengan si kembar cukup jauh,” Yuliani menambahkan dengan senyum lebar.
“Sekitar tujuh tahun. Makanya Sasya jadi kesayangan papanya. Dari awal sudah
ingin anak perempuan.”
“Sama,
Bu,” timpal Wanda. “Jarak Ronan dengan Gaby malah lebih kacau lagi. Empat belas
tahun. Selama itu blong, saya nggak ‘isi’ sama sekali.”
“Sudah
siap punya anak tunggal, eh... nongol Gaby,” sambung Pradana, tertawa.
Bersamaan
dengan itu, hidangan pembuka mereka licin tandas. Sasya segera berdiri untuk
mengambil hidangan berikutnya. Sup krim brokoli. Wanda sampai tak bisa
berkata-kata ketika lidahnya mencecap kelezatan sup itu. Bahkan Gaby yang
biasanya ngeles melulu kalau disuruh makan
brokoli, kali ini sama sekali tidak terlihat bahwa ia membenci sayuran yang
satu itu. Malah tampak sangat menikmati. Diam-diam Wanda mengulum senyum
melihatnya.
Yang
terhidang berikutnya sebagai makanan utama adalah beef bourguignon2)
yang disajikan bersama kentang panggang merekah dengan keju meleleh dan taburan
peterseli yang terlihat luar biasa melaparkan mata. Pujian di sana-sini kembali
bertaburan. Aroma dan rasa beef
bourguignon maupun kentang panggangnya benar-benar juara.
“Pak
Fritz, kenapa tidak buka kelas memasak?” celetuk Wanda.
Fritz
tersenyum. “Mungkin nanti, kalau saya sudah bisa lepas EuropeSky Kemang, Bu Wanda. Tapi kalau Ibu mau belajar, dengan mamanya
Sasya juga bisa,” Fritz menatap Yuliani dengan sorot mata memuja. “Dia sudah
pegang semua rahasia memasak saya.”
“Ahahaha...,”
Yuliani sedikit tersipu. “Mungkin benar rahasianya sudah saya pegang, tapi hasil
rasanya tetap lain.”
Mereka
tertawa ringan. Dan kembali mengobrol tentang banyak hal. Ketika dilihatnya
makanan utama itu sudah hampir habis, Sasya minta diri lagi untuk kembali ke
dapur demi menyiapkan hidangan penutup.
“Wuuuh!”
Iman berseru tertahan ketika membalikkan sebuah flan di atas piring saji. “Perfecto!”
Abraham
menoleh sekilas dan ia membenarkan pendapat asistennya. Flan itu tampak menggunung mulus di atas piring saji. Lapisan tipis
karamelnya terlihat sempurna.
“Itu
aku, lho, yang bikin,” Sasya menyombongkan diri sambil nyengir “Flan-nya. Kalau karamelnya, sih, Papa. Coba,
deh, icipin dulu.”
Kedua
laki-laki itu saling berpandangan begitu memasukkan sesendok flan ke dalam mulut masing-masing. Rasa
yang tidak biasa, tapi...
“Enak!”
seru Abraham dan Iman berbarengan.
“Serius?”
Sasya ternganga.
Abraham
mengangguk mantap, sementara Iman menyendok lagi flan itu.
“Beneran
enak?” Sasya masih tidak percaya.
“Bener,
Mbak!” Iman mengangguk. “Masa bohong? Lain dari flan bikinan Bapak, tapi ini enak. Banget!”
Abraham
tersenyum simpul. Lidahnya merasakan jejak tambahan bahan tertentu yang
dikenalnya. Bukan hal yang biasa ditambahkan dalam flan, tapi tetap saja menarik dan enak.
“You did it, Mbak Sya,” Abraham
mengacungkan jempol. “Great job!”
Sasya
tertawa senang.
Caramel flan itu menjadi penutup yang
sempurna bagi acara makan malam mereka. Lembut, manis, dan gurihnya puding
dingin itu berpadu dengan rasa asam-manis yang berasal dari tambahan berbagai
jenis buah beri. Fritz segera mengenali ‘kelainan’ rasa caramel flan itu. Samar ia menggelengkan kepala. Anak bungsunya ini
benar-benar jahil.
Yuliani
menawarkan lagi flan di piring kedua,
yang segera disambut dengan anggukan penuh harap dari para tamu. Kali ini
Abraham sengaja membuat variasi lain dengan menambahkan anggur hijau, anggur
merah, dan jeruk mandarin.
Dan
Ronan serasa tak ingin pulang, walaupun mereka sudah menikmati flan tambahan. Ingin ia menikmati flan itu
lagi dan lagi hingga entah kapan. Rasa berat di kepalanya masih sangat terasa,
tapi ia mengabaikannya. Ia bisa tetap bertahan hingga acara itu berakhir
menjelang pukul sepuluh malam. Membawa kesan mendalam atas petualangan rasa
yang baru saja mereka selesaikan.
“Sudah
kubilang, dokternya nggak jauh-jauh,” ujar Gaby dengan nada jahil sambil
mendorong pintu pagar rumah mereka.
Ronan
menjitak lembut kepala Gaby. Wanda dan Pradana tergelak ringan.
“Kalau
yang itu, Mama setuju,” bisik Wanda di telinga Ronan ketika laki-laki itu
menutup pintu pagar.
Ronan
kemudian menjajari langkah Wanda menuju ke arah rumah.
“Dia
mahasiswiku, Ma,” gumamnya.
“Mama
yakin kamu tahu apa yang harus kamu lakukan,” Wanda mengelus bahu perjaka
sulungnya itu. “Jangan pikirkan Mama, Papa, atau Gaby. Pikirkan saja dirimu
sendiri. Mama yakin kamu tidak akan pernah mengecewakan dirimu sendiri. Hanya
saja kamu harus jujur. Lakukan itu di awal. Mungkin memang benar kamu bukan
orang yang sempurna, tapi kamu bukan penipu, Ronan.”
Laki-laki
itu tercenung. Sekali lagi pesan tentang kejujuran.
Apakah aku bisa?
Kepalanya
terasa berdenyut lagi.
“Ma,
aku istirahat dulu, ya?” ujarnya begitu sudah masuk ke dalam rumah. “Kepalaku
pusing lagi.”
Wanda
mengangguk.
* * *
Catatan
:
1)
Mongolian beef adalah irisan-irisan tipis daging sapi
(biasanya bagian has dalam) yang di-marinade
(dibumbui dengan cara dicampur dan direndam) dalam campuran saus hoisin,
kecap asin, kecap manis, dan gula pasir selama 30 menit, kemudian ditumis
dengan bawang putih, bawang bombay, dan paprika (dan/atau cabai merah), ditambah bumbu lain berupa lada bubuk,
garam, minyak wijen, dan irisan daun bawang.
2) Beef
bourguignon (dibaca
: biif buerginyon, huruf ‘n’ terakhir dibaca setengah ‘ny’ setengah ‘ng’) adalah
irisan-irisan daging sapi yang dimasak dengan red wine, kaldu sapi, bawang putih, dan bawang bombay. Bahan pearl onion, bouquet garni, dan jamur ditambahkan menjelang akhir proses pemasakan.
Pearl onion
adalah sejenis bawang-bawangan dengan nama latin Allium ampeloprasum. Di Inggris dikenal sebagai baby onion atau button.
Bouquet garni
adalah sekumpulan rempah-rempah herbal yang disatukan dan diikat dengan benang katun (benang kasur).
Tidak ada aturan baku rempah herbal apa saja yang diikat jadi satu. Dalam resep
masakan Perancis, bouquet garni biasanya
terdiri dari thyme, bay leaf, dan parsley. Tergantung pada resepnya, bouquet garni bisa juga berisi basil,
burnet, chervil, rosemary, peppercorns, savory, sage, dan tarragon.
Ilustrasi : pixabay.com
(dengan modifikasi)
Bouquet garnie, kl diriku pake bwg bombay, thyme, bay leaf, ama cengkeh. Benangnya mst pk benang kasur.... udah pakem dr sananya. Suwun mbak, apiikkkk tenan
BalasHapusSoal benang kasur, tak'tambahkan ke keterangan ya. Makasiiih... 😘😘😘
HapusSumprit judul menue nyikso!!!!
BalasHapusWakakak... Lha ngunu kok yo sek mampir ae 😝😝😝
HapusKoment apa ya.....
BalasHapusKebetulan lapernya jd agak kenyang mbayangin makan malam bersama.
Btw, si Ronan kenapa ya??? Ada sesuatu kah????
#kepo
Hehehe... Just stay tune, Mbak... 😘😘😘
HapusBaca cerita ini serasa ikut kursus masak. Bagus banget mbak Liz... ga sabar nunggu lanjutannya...
BalasHapusMakasih singgahnya ya, Mbak... 😊😊😊
HapusSambil baca berasa laper perutku keroncongan 😂
BalasHapusGood post
Hayuuuk maem dulu, Sylla 🍮🍮🍮
HapusMbak cantik, mau Flan-mu juga, dong...
BalasHapusBikin sendiri, Neng... 😁😁😁
HapusOke, OTW Europesky. (Padahal nggak tau alamatnya)
Hapus