Sebelas
Sasya membelalakkan mata ketika melihat siapa yang membuka pintu pagar untuknya Jumat malam menjelang pukul sepuluh itu. Ia buru-buru melajukan skuternya ke garasi sebelum parkir dan membuka helmnya. Dipeluknya laki-laki itu dari belakang ketika tengah mengunci pintu garasi.
“Aku kangeeen!” serunya meriah.
Laki-laki itu, Runa, balas memeluk adik kesayangannya dengan hangat.
“Era nggak bisa pulang karena besok ada event yang melibatkan resto. Jadi kuputuskan aku saja yang pulang menengokmu, dengan seizin Papa.”
Runa merengkuh bahu Sasya dan menghelanya masuk ke rumah. Sasya melingkarkan lengan kanannya di sekeliling pinggang abangnya.
“Kamu sudah makan?”
Sasya mengangguk. “Mas Runa?”
“Sudah, tadi aku antar Brielle (baca : Briy-el) pulang dulu, terus sekalian diajak makan di rumahnya.”
“Oh, sama Kak Brielle juga?” Sasya melebarkan matanya.
Runa mengangguk. “Gimana resto? Ada kesulitan?”
Sasya menggeleng. “Sejauh ini lancar, kok. Tapi coba besok Mas Runa cek aja.”
“Boleeeh...”
Keduanya duduk di sofa. Marsih datang membawa dua cangkir coklat hangat dan menghidangkannya di atas coffee table. Di sana sudah ada piring bundar berisi beberapa buah risoles. Sasya mencomotnya satu.
“Nggak mandi dulu, Mbak?” ujar Marsih.
“Sudah tadi di resto. Ini Yu Mar yang bikin?” Sasya menggigit dan mengunyah risoles di tangannya. “Enak banget!”
“Bukan, Mbak...,” Marsih tersenyum jahil. “Ibu camernya Mbak Sya, tuh, yang kirimin sore tadi.”
“Hah???” Sasya terlonjak kaget.
“Nggak usah kartun banget gitu ‘kali, Sas...,” Runa tertawa.
“Lha, ini, Yu Marsih enak aja bilang camer-camer,” gerutu Sasya.
Marsih langsung ngibrit sambil meninggalkan tawanya di ruangan itu. Runa mencolek dagu Sasya.
“Ngaku aja...,” ledeknya.
“Pret!” Sasya mengerucutkan bibir.
“Nggak usah prat-pret-pra-pret gitu,” sindir Runa. “Kalau kejadian bener, aku, lho, yang bakalan ketawa paling keras.
Sasya manyun. Tak bisa membalas godaan abangnya.
“Eh, besok sekalian maksi di resto, ya? Kita jemput Brielle dulu sebelum berangkat,” Runa serius kembali.
Sasya mengangguk.
* * *
Hari Sabtu, menjelang pukul sembilan pagi, Runa meluncurkan city car Yuliani dengan Sasya duduk manis di sampingnya. Tujuan pertama adalah rumah Brielle, tunangan Runa. Gadis manis itu sudah menunggu di teras rumah ketika mereka sampai sekitar dua puluh menit kemudian. Tak berbasa-basi lama, ketiganya kemudian meluncur lagi ke Kemang.
Setelah memeriksa sana-sini dan memastikan bahwa EuropeSky Kemang baik-baik saja, Runa mengajak Brielle duduk di depan sebuah meja untuk berempat di sudut belakang. Sasya datang belakangan dengan membawa dua buah buku menu dan catatan. Ia duduk di seberang Brielle.
“Mau makan apa, nih?” Sasya bersiap mencatat.
Ketiganya kemudian sibuk memilih makanan. Sasya mencatatnya dengan teliti. Setelah selesai, ia membawa catatan itu ke dapur. Ketika kembali, hanya ada Brielle. Runa tengah melayani serombongan tamu di meja depan.
“Jadi kamu sekarang pacaran sama tetangga?” mata Brielle terlihat berbinar ketika memulai gosipan itu.
Sasya terbengong sejenak sebelum mengelak, “Belum, Kaaak...”
“Ha! Belum!” berkas-berkas sinar menggoda berlompatan keluar dari mata Brielle. “Bagus itu, optimis.”
Sasya menatap senyum lebar di bibir Brielle dengan wajah putus asa. Brielle melepaskan tawanya. Terkikik geli.
“Ayolah, Sas...,” gadis berusia 25 tahun itu mencolek punggung tangan Sasya. “Sudah waktunya kamu bersenang-senang.”
“Sebentar,” Sasya menatap Brielle dengan curiga. “Sebenarnya siapa, sih, penyebar gosip ini?”
Brielle kembali terkikik. Tentu saja ia tahu sumbernya, tapi ia sengaja menggoda calon adik iparnya itu dengan tak mau menjawabnya.
“Kenapa?” Runa kembali ke tempat duduknya di sebelah Brielle.
“Ini pasti Kak Brielle tahu soal tetangga sebelah dari Mas Runa,” Sasya menatap Runa dengan jengkel. “Terus, Mas Runa tahunya dari siapa?”
“Ya, Mama-lah...,” jawab Runa dengan nada dan wajah lempeng.
Sasya gondok setengah mati. Tapi kejengkelannya sedikit melumer ketika seorang pramusaji datang membawa tiga botol air mineral, tiga gelas kosong, dan tiga gelas citrus squash. Apalagi ketika makanan pembuka mereka datang. Avocado shrimp cocktail1) untuknya, niçoise salad2) untuk Runa, dan huzarensla3) untuk Brielle.
Kalau Mama sampai menggosipkan hal itu, berarti...
“Kom op, Sas,” celetuk Runa. Wajahnya terlihat serius. “Kamu sendiri tahu Mama nggak akan sembarangan kasih lampu hijau.”
Sasya menghela napas panjang.
“Ya, aku jalani dulu, deh,” ia kemudian menyerah. “Lagian dia juga belum bilang apa-apa. Kan, nggak mungkin aku nyosor duluan.”
Bersamaan dengan itu, terdengar dering lembut sebuah ponsel. Sasya segera mengambil benda itu dari sling bag-nya. Keningnya seketika berkerut ketika melihat siapa yang menelepon. Segera ia berdiri dan menyisih ke dekat pintu kantor.
“Ya? Selamat siang, Mas,” sapanya lirih.
* * *
Ronan tersenyum lega ketika mendengar sahutan dari seberang sana.
“Iya, Sya, selamat siang. Kamu sibuk nggak?” Ronan benar-benar harus menjaga suaranya agar tidak terkesan ‘bersorak gembira’.
“Oh... Aku lagi di Kemang. Lagi makan siang bareng Mas Runa. Sekalian cek resto. Ada apa, ya, Mas?”
“Mm...,” bahu Ronan sedikit turun. “Kukira kamu di rumah. Pantesan, kok, sepi. Tadinya mau minta kamu temani untuk ambil baju anak-anak di rumah teman Mama.”
“Buat anak-anak panti?”
“Iya. Ya, sudah, deh. Nggak apa-apa. Lain kali aja,” Ronan tersenyum kecut.
“Memangnya ambil bajunya di mana?”
“Di Ampera.”
“Lho, kan, dekat banget ituuu dari siniii! Mas Ronan mampir sini dulu, deh, nanti aku temani.”
“Nggak ganggu?” hampir saja ia melonjak kegirangan.
“Enggaklah... Eh, Mas Ronan sudah makan?”
“Hehehe...,” Ronan diam-diam meringis. “Belum. Tadinya mau ajak kamu sekalian keluar makan siang.”
“Oh... Ya, sudah, makan di sini saja. Mau makan apa? Biar aku pesankan dulu.”
“Apa sajalah, Sya. Kamu lebih tahu.”
“Oh, oke. Aku tunggu, ya?”
"Makasih banyak, ya, Sya..."
"Makasih banyak, ya, Sya..."
Tanpa bisa dicegah, bibir Ronan melebar. Sejenak kemudian diam-diam ia tersipu sendiri.
Aku ini seperti ABG lagi dilanda cinta monyet saja...
Ia pun segera menyambar kunci mobilnya dan meluncur ke Kemang.
* * *
Setelah mengakhiri pembicaraan itu, mendadak Sasya tersadar. Ia, kan, tidak sendirian di resto. Ada Runa, ada Brielle.
Hadeeeh... Bisa-bisa aku di-bully, nih!
Tapi sudah kepalang tanggung. Ia kemudian mengambil sebundel kertas catatan dari meja pramusaji. Dengan cepat ia menuliskan :
1 citrus squash (TUNDA),
1 beef ‘n cheese croquettes4),
1 chicken cordon bleu w/ frites ‘n veg,
1 caramel flan no.2.
MEJA 12 (Sasya)
Disobek dan dijepitkannya kertas itu di kawat pesanan di jendela dapur, kemudian ia kembali ke meja.
“Papa?” Runa menatapnya.
Sasya menggeleng, lalu mengguman, “Dia mau ke sini.”
“Siapa?” Runa mengerutkan kening.
“Tetangga sebelah.”
“Oh...,” seketika Runa mengulum senyum. “Ada acara?”
Sasya kembali menggeleng. “Dia mau ajak aku ambil baju untuk anak panti di Ampera. Aku nggak di rumah. Dekat ini, aku suruh mampir sini dulu. Sekalian makan.”
“Oh...,” Runa kembali tersenyum. “Biasa aja, sih, nggak perlu salting gitu.”
Sasya mengibaskan tangannya dengan wajah tersipu.
“Siapa namanya, Sas?” celetuk Brielle.
“Ronan.”
“Dosennya,” sambung Runa, nyengir jahil.
Ronan?
Ada yang tiba-tiba saja berdenting dalam benak Brielle.
Ronan? Dosennya? Jangan-jangan... Ronan-nya Yuke-kah? Waduh...
Dan memang Ronan ‘yang itu’-lah yang muncul kemudian di resto itu. Ronan jelas mengenalinya. Tapi laki-laki itu menjabat tangan Brielle dengan hangat. Bahkan begitu saja menghubungkannya dengan Yuke dalam sikap tenang dan biasa.
“Brielle temannya Yuke, kan?” Ronan menatap gadis itu baik-baik.
Brielle balas menatap Ronan.
Apakah Sasya sudah tahu? Tapi... Ah!
Brielle balas menatap Ronan.
Apakah Sasya sudah tahu? Tapi... Ah!
“Iya,” Brielle kemudian mengangguk dengan senyum cerah. “Apa kabar, Mas?”
“Baik,” angguk Ronan.
Mereka kemudian asyik mengobrolkan berbagai hal. Tanpa sedikit pun menyinggung Yuke lagi. Brielle berpikir keras. Menimbang-nimbang.
Ia memang tidak terlalu mengenal Ronan. Apalagi memang tidak satu kampus dengan Yuke, sahabatnya sejak SMP itu. Hanya tahu Ronan pernah berpacaran dengan Yuke, dan sempat bertemu satu atau dua kali. Dari Yuke pula ia tahu sedikit tentang Ronan. Juga hubungan mereka yang harus berakhir. Sekilas pula Yuke pernah mengatakan padanya bahwa selepas berakhirnya hubungan itu, Ronan tertarik pada salah seorang mahasiswinya. Tapi tidak jadi masalah bagi Yuke. Yang didengarnya, sampai sekarang Yuke dan Ronan masih berteman.
Apakah mahasiswinya itu Sasya? Tapi bukankah sudah cukup lama? Sementara yang ‘ini’ baru sekadar gosipan walau ada tanda-tanda mengarah ke sesuatu yang lebih serius.
“Brielle kerja di mana sekarang?” tanya Ronan pada suatu detik.
“Di Surabaya,” senyum Brielle. “Bank swasta. Ketemu Mas Runa juga di sana, di Surabaya. Nggak tahunya sama-sama dari Jakarta.”
“Oh...”
Brielle sama sekali tidak bermaksud mengotak-atik soal Yuke. Baginya masalah itu rumit. Dan ia tidak mau jadi aktris pemecah-belah suatu hal yang ia belum tahu pasti. Tapi melihat Ronan, tampaknya laki-laki itu juga bukan player.
“Dia laki-laki baik, Elle,” ucap Yuke suatu ketika. “Jauh dari segala hal yang berbau prostitusi dan free sex. Dia mengajariku banyak hal. Dan dia berhak untuk mendapatkan yang terbaik. Yang jelas bukan aku.”
Tapi Sasya?
Ada sebersit perasaan tidak rela. Bagaimanapun Sasya adalah calon adik iparnya. Ia sayang pada gadis unik dan ajaib itu. Dan yang bisa dilakukannya saat ini adalah menunggu. Sekaligus berharap Sasya baik-baik saja, dan ada kejujuran dalam hubungan Ronan dengan Sasya. Sementara ini, ia tak akan mengatakan apa-apa.
* * *
Menjelang pukul tiga sore, Ronan meluncurkan mobilnya masuk ke halaman panti asuhan “Cinta Putih”. Wanda menyambut keduanya dengan seulas senyum teduh. Semua kardus baju untuk bayi dan batita segera diurus para pengasuh. Wanda menggiring Ronan dan Sasya masuk ke kantornya.
“Gaby mana, Ma?” celetuk Ronan.
“Ikut Papa ke panti putra. Lihat bagian yang temboknya mau dibobol itu. Biar cepat dikerjain.” Wanda ke menatap Sasya, “Sasya nggak ke resto ini tadi?”
“Iya, Tante, ke sana,” Sasya tersenyum manis. “Tapi cuma cek sebentar, terus makan siang sama Mas Runa dan tunangannya. Pas Mas Ronan minta ditemani ke Ampera, saya suruh nyamperin saya dulu, sekalian makan.”
“Wah,” tatapan Wanda tampak menyesal. “Jadi ganggu Sasya, dong?”
“Enggak, Tan,” Sasya menggeleng. “Kan, saya kalau Sabtu resminya libur.”
“Dengar-dengar, Papa sama Mama lagi ke Bali, ya, Sya?”
“Iya, Tan,” Sasya tertawa. “Habis dari sini minggu lalu itu, lihat Ela, Papa jadi kayak ngidam ingin ketemu Alta. Sore itu juga langsung browsing tiket pesawat. Rabu pagi berangkat.”
“Mas Runa itu abangmu yang di Surabaya, ya?”
“Iya,” angguk Sasya. “Eh, Tan, boleh nengokin Ela, nggak?”
“Boleeeh... Ke sana saja,” Wanda mengangguk dengan mata berbinar-binar.
Tanpa menunggu lama, Ronan meraih tangan Sasya dan menggandengnya ke lokal batita, kemudian meninggalkannya untuk mencari Pradana dan Gaby. Sudah hampir waktunya para batita mandi. Dan bayi itu ditemukannya tengah menggeliat dan menguap di dalam boksnya. Terlihat baru terjaga. Cahaya mata bayi itu terbit ketika melihat ada yang menyambutnya ketika bangun.
“Ho...,” Sasya mengulurkan tangan untuk meraih Ela. Segera saja bayi cantik itu berpindah ke dalam gendongannya. “Anak cantik sudah bangun,” diciuminya pipi bulat Ela. “Bau acem. Mandi dulu, yuk... Yuuuk...”
Bersama Nur, Sasya membawa Ela ke tempat mandi. Di sebuah kamar mandi yang cukup besar itu sudah berjajar lima bak mandi plastik yang menyisakan satu bak kosong berisi air hangat bersih. Dengan cekatan Nur melepaskan baju, celana, dan diaper yang dipakai Ela, kemudian memasukkan bayi itu ke dalam bak. Ela menepuk-nepukkan telapak tangan mungilnya ke permukaan air. Wajahnya terlihat gembira. Mulutnya tak berhenti mengoceh.
“Mbak Sasya mau mandiin Ela?” Nur menoleh ke arah Sasya.
“Boleh?”
Nur mengangguk. Sasya segera melakukan pekerjaan itu dengan senang hati. Kirana pernah mengajarinya memandikan Alta. Saking asyiknya, ia tidak tahu bahwa Ronan mengabadikan peristiwa itu dengan ponselnya. Bahkan meminta tolong pada Nur untuk mengabadikannya dari sisi lain.
Setelah selesai membentangkan dan menempelkan handuk di depan dadanya, Sasya mengangkat Ela dengan hati-hati. Bayi itu menjejak-jejakkan kakinya dengan wajah tidak puas. Bahkan sedikit merengek. Sasya gemas melihatnya. Benar-benar mirip Alta! Pasti rewel kalau diangkat dari air. Tapi ia segera menggendong dan membungkus bayi itu dengan handuk. Dicandainya Ela sambil berjalan ke ruang perawatan bayi, agar Ela melupakan bak air hangatnya.
Setelah didandaninya, bayi cantik itu dibawanya ke ruang bermain untuk berinteraksi dengan anak-anak lain. Di sana, sudah menunggu Dennis. Di tangannya ada sebuah pisang ambon yang kuning sempurna dan sebuah sendok kecil. Mata perjaka kecil itu berkilau ketika melihat Ela datang dalam gendongan Sasya.
“Halo, Dennis!” sapa Sasya dengan wajah ceria. “Ini Ela panggilnya gimana? Abang? Mas? Kakak?”
“Abang Dennis,” jawab Dennis tegas, tanpa melupakan senyum tampannya.
“Ela mau ikut Abang Dennis?” Sasya berucap lembut pada Ela sambil untuk kesekian kalinya mencium pipi bulat bayi itu. “Tante Sya yang suapin pisang. Mau?”
Lalu Dennis sudah siap duduk lesehan di atas karpet, bersandar pada dinding. Dengan hati-hati Sasya meletakkan Ela ke pangkuan Dennis. Perjaka kecil itu terlihat sangat terampil memangku adiknya.
“Dedek Ela tadi mandi sama siapa?” ucap Dennis lembut dengan tatapannya lurus pada Ela. “Sama Bu Nur? Oh, sama Tante Sasya? Maem yang banyak, ya? Biar cepet gede, bisa lari-larian sama Abang.”
Dan Ela seolah mengerti. Ia menoleh dan tersenyum lebar, sejenak menatap sang abang, sebelum kembali membuka mulutnya untuk melahap pisang halus yang ada di ujung sendok yang disodorkan Sasya. Dennis terus mengajak adiknya mengobrol dengan nada lembut. Airmata Sasya hampir runtuh melihat kejadian itu. Begitu pisang habis, ia berdiri.
“Sebentar, ya, Den,” ucapnya sambil keluar dari ruangan.
Di balik pintu, Sasya mengusap matanya yang merah dan berair.
“Kenapa?”
Gadis itu tersentak. Ronan sudah berada di dekatnya. Gadis itu buru-buru menggeleng.
“Nggak apa-apa. Cuma terharu saja lihat Dennis dan Ela. Dia sayang banget sama Ela.”
Ronan tersenyum. Tangannya mengusap lembut bahu Sasya. Ditatapnya gadis itu.
“Sya, habis ini mau langsung pulang?”
Sasya mendongak sedikit, menatap Ronan yang terpaut sekitar sepuluh sentimeter dari tingginya yang mencapai 173 cm.
“Mas Ronan sudah pernah ke taman antara blok kita dan Blok D?”
“Belum,” Ronan menggeleng. “Kamu mau ajak aku ke sana?”
Sasya mengangguk sambil membuang kulit pisang di tangannya ke tempat sampah terdekat.
“Boleh, deh,” putus Ronan,.
“Sambil jajan,” senyum Sasya melebar.
“Jajan?” Ronan terbengong.
“Banyak yang jual jajanan di sana. Kalau malem Minggu aku sering ke sana sama Mama dan Papa. Jajan di sana. Kayak siomay Bandung, dimsum, bakso, jagung bakar, mie ayam, bubur ayam, jajan pasar, kue basah. Banyak, deh! Cuma ada Sabtu sore sama Minggu sore doang. Ramai sampai malem. Masa, sih, nggak pernah lihat?”
Ronan menggeleng. “Aku, kan, kalau pulang ke apartemen lewat jalan belakang.”
“Oh...,” bibir Sasya mengerucut sedikit.
“Ya, sudah, berhubung aku belum pernah ke sana, ayo, habis ini kita ke sana,“ senyum Ronan.
Mata Sasya langsung terlihat bercahaya. Ronan sungguh takjub melihat ekspresi Sasya. Gadis itu kemudian kembali ke dalam ruang bermain, diikuti Ronan. Segera saja laki-laki itu diserbu anak-anak yang memintanya untuk mendongeng. Ronan kemudian duduk di dekat Dennis dan mulai mendongeng dengan sabarnya.
Ketika keduanya masuk tadi, Ela tengah menyusu. Setelah susu di botolnya habis, Ela mulai menguap. Dennis terlihat kesulitan hendak berdiri sambil tetap menggendong Ela. Sasya segera mengulurkan tangan. Ela pun berpindah ke gendongannya.
“Mau dibawa ke boks?” bisik Sasya.
Dennis mengangguk.
“Yuk!” sebelah tangan Sasya yang bebas segera menggandeng tangan Dennis.
“Taruh di boks aja, Tante,” ujar Dennis begitu mereka sudah sampai di kamar. “Nanti biasanya bobok sendiri. Asal ditungguin. Kalau jam segini biasanya nggak lama boboknya. Nanti bangun waktunya makan.”
Sasya mengangguk. Perjaka kecil itu benar. Ela tidak rewel meskipun tidak digendong saat hendak tidur. Dengan mengelus punggung dan menepuk-nepuk lembut bokongnya, tak perlu waktu lama bagi bayi cantik itu untuk terlelap.
* * *
Catatan :
1) Avocado shrimp cocktail adalah makanan pembuka berupa udang (yang dikupas kulitnya, menyisakan bagian ekor) rebus dengan saus terbuat dari daging buah alpukat yang dihaluskan dan dicampur dengan bawang putih, air jeruk lemon, sedikit garam dan minyak zaitun.
2) Niçoise salad (dibaca niswa salad, ada bunyi ‘o’ tipis antara ‘s’ dan ‘w’) adalah salad berasal dari daerah Nice – Perancis, yang berbahan utama potongan ikan tuna segar dan/atau anchovy, potongan kentang rebus, irisan tomat, irisan telur rebus, daun selada, buah zaitun hitam, yang dicampur dengan saus yang terdiri dari campuran minyak zaitun, cuka anggur merah (red wine vinegar), cincangan parlsey, irisan chives, cincangan bawang putih, sedikit garam, dan lada hitam.
Saus ini pula yang dipakai untuk merendam (marinade) anchovy sebelum dimasak dengan cara dipanggang di atas pan, dan dicampurkan pada salad.
Anchovy adalah ikan kecil sebangsa ikan harring yang panjangnya sekitar 10-15 cm. Biasanya dijumpai dalam bentuk awetan yang dikeringkan, atau diasinkan dan direndam dalam minyak.
3) Huzarensla adalah selada atau salad yang berasal dari Belanda, terdiri dari irisan daun selada, daging sapi rebus potong dadu, kentang rebus potong dadu, irisan nanas, bit rebus potong dadu, irisan tomat dan mentimun, irisan telur rebus, irisan bawang bombay, dicampur dengan sausnya yang berbahan kuning telur yang dihaluskan, cuka, lada bubuk, gula pasir, garam, dan minyak salad (semua bahan saus diaduk rata).
4) Beef ‘n cheese croquettes adalah kroket yang terbuat dari campuran daging sapi cincang, keju cheddar parut, susu cair, kentang rebus halus, irisan halus perterseli atau seledri yang dimasak dengan tumisan bawang putih, bawang bombay, garam, pala, dan lada hingga jadi adonan yang bisa dibentuk menjadi silinder kecil pendek dan digoreng setelah dilapisi telur kocok dan tepung roti.
Ilustrasi : pixabay.com (dengan modifikasi)
Yes! Dikit lagi resmi, ya? Seyu!
BalasHapusBrielle.... mungkin secantik cinta laura? Ato nadine? Seru, eng ing eng akhirnya jadian nih
BalasHapusRonan ronan..... Ciye ciye. Pedekate m syasya
BalasHapusgood post mbak
BalasHapus