Sebelumnya : Part Five : Canopus
Part
Six
Something Surprising
Kutatap undangan itu untuk kesekian kalinya.
Tetap saja tulisan calon mempelainya tak berubah. Yolanda Kumalasari dengan
Eugene Eric Setiyadi. Bukan Canopus. Sama sekali bukan!
Dan calon pengantin cantik yang berbahagia
itu sekarang sedang fitting gaunnya,
dilayani Inke. Tak jauh dari mejaku. Ketika selesai, Inke keluar membawa gaun
itu untuk finishing, sementara Yola
mampir ke mejaku.
“Nanti aku transfer sisa pembayarannya sambil
jalan pulang ya, Mbak?” Yola duduk di seberangku dengan wajah terlihat puas.
“Santai saja...,” aku tersenyum simpul. “Toh
gaunnya masih nginep di sini.”
“Hehehe... Iya,” Yola tergelak ringan. “Oh
ya, Mbak, nanti beneran datang ke nikahanku ya?”
“Oh, pasti...,” aku mengedipkan sebelah mata.
“Bahkan kalau boleh sekalian saja aku datang ke pemberkatan kalian.”
“Wah! Boleh, Mbak! Boleh banget!” Yola
terlihat antusias sekali. “Beneran ya, Mbak?”
Aku mengangguk. Tanpa dia minta pun aku sudah
menandai tanggal pernikahan Yola dan Eugene (sekarang aku tahu bagaimana
mengeja nama ‘Yujin’ dengan benar, hehehe...) dengan spidol merah. Tanda yang
sudah tak lagi bisa diganggu gugat.
Beberapa saat kemudian Yola berdiri untuk
berpamitan. Tapi sebelum mencapai pintu dia berhenti, berbalik, dan menatapku.
Terlihat ragu-ragu.
“Mm... Mbak, boleh aku tanya?”
“Yup!” aku mengangguk.
“Mm... Masuk ke ranah pribadi sih... Mm...
Mbak nggak pakai cincin apapun, aku lihat. Mm... Mbak masih single... atau... bagaimana?”
Wajah Yola terlihat rikuh di mataku. Pun
ketika dia menggumamkan kalimat minta maaf. Aku pun tersenyum maklum.
“Kenapa memangnya?” aku balik bertanya.
“Mm... Kalau Mbak masih single, ada seorang best man yang
kirim salam buat Mbak. Kalau sudah enggak, ya... abaikan saja,” Yola meringis.
“Best
man?” aku mengerutkan kening.
“He em,” Yola mengangguk. “Sepupuku kan best man-nya Eugene.”
“Yang mana?”
“Canopus.”
Seketika aku lupa menutup mulutku.
* * *
Aku pernah jatuh cinta! Sangat pernah! Dan
rasanya persis seperti ini. Ketika semuanya terlihat indah bercahaya di
sekelilingku, tapi terasa serba salah. Ketika otak, mata, dan perasaanku seolah
tidak sinkron.
Jadi...
Aku benar-benar jatuh cinta padanya? Pada
laki-laki yang baru dua kali kutemui? Yang begitu saja sudah memberi efek yang
luar biasa pada kesehatan jantungku? Yang ternyata... uhuk! Dia masih single dan mengirim salam padaku?
Apakah aku masih boleh berharap saat ini?
Perasaanku bilang ‘ya!’ dengan jelas, tapi otakku mengatakan sebaliknya.
“Jangan
terlalu senang dulu! Kau ingat rasanya terbanting dari ketinggian kan???” begitulah
otakku berseru-seru.
Maka aku memilih untuk berdiam diri sejenak.
Menata hatiku. Meredakan debar jantungku. Menormalkan mataku. Menyelaraskan
semua indera dengan otakku.
Huuuh... Haaah... Huuuh... Haaah... Huuuh...
Haaah...
Perlahan kepalaku terasa mendingin begitu aku
menarik napas panjang dan menghembuskannya. Begitu berulang kali. Hingga
semuanya menjadi lebih tenang dan otakku mulai jernih.
Oke! Dia mengirim salam buatku. Oke! Dia mungkin memang tertarik padaku. Oke! Itu
semua positifnya. Oke... Oke...
Lalu?
Aku memutuskan untuk menunggu sejenak.
* * *
“Mbak...”
Aku mengangkat wajah dari buku sketsaku.
Badan Inke terlihat menyembul separuh di ambang pintu.
“Gaun Mbak Vin sudah jadi. Mau dibawa ke sini
atau fitting dulu?”
“Hm...,” aku menimbang sejenak. Lalu aku
berdiri. “Fitting dulu deh!”
Kemudian Inke dan aku beriringan menuju ke
bagian belakang studioku, tempat bengkel kerja berdiri.
Betul, gaunku sudah jadi. Gaun yang hendak
kupakai ke acara pernikahan Yola dan Eugene. Kutatap gaun pendek berwarna biru
itu dengan puas. Modelnya sederhana saja. Berlengan pendek dengan bagian atas
dari bahan brokat, dan bagian bawah berbahan sutra. Ada aksen bunga merekah di
pinggang depan kiri.
Ketika coba kukenakan, gaun itu terasa
memeluk tubuhku dengan begitu pas. Tak ada yang perlu diubah. Dan Mbak Tira,
penjahitnya, menatapku dengan lega. Saat sedang mematut-matut diriku bersama
gaun itu di depan cermin, Linda melangkah terburu-buru dari ruang depan.
“Mbak Vin, gaun Mbak Yola mau diambil
sekarang bisakah?”
“Oh...,” aku menatap Linda dari cermin.
“Bisa. Hm... Padahal aku sudah bilang akan diantarkan sore ini.”
“Aku suruh tunggu sebentar yang ambil ya,
Mbak?”
“Suruh tunggu di studioku saja, Lin,” ucapku sambil
menutup tirai bilik pas.
Dengan cepat kulepas gaun biruku dan berganti
dengan blus dan celana capri yang tadi kupakai. Setelah rapi, aku pun segera
kembali ke studio bersama Inke.
“Nanti tolong cepat dikemas gaunnya ya,
In...”
“Siap, Mbak!”
Dan yang tidak siap sesungguhnya adalah aku!
Ketika aku membuka pintu studio dan menemukan dia ada di sana. Duduk manis di
atas sofa.
Dia! Yang beberapa hari ini membuat kacau
otak dan perasaanku!
* * *
Bersambung
ke bagian berikutnya : Part Seven : The Best Man And Me
Surprise.... Tayang pas banget mengawali hari. 😃
BalasHapusMakasih singgahnya, Mbak MM... Hari ini tamat ya...
HapusPagi2 dpet sarapan yg manis dr mba lizz...jd nambah semangat d awal minggu...
BalasHapusMakasih udah berkenan berkunjung ke sini, Mbak Tri...
HapusAsik dibaca pas di sini hujan. Sambil ngopi...
BalasHapusCemilannya? Hehehe...
HapusNuwus mampire, Mbak Boss...
Woh .... Jan melu deg2an tenan iki hlo sik maca!
BalasHapusIsa bae sik nulis ya .... Jempol!
Ish ! Kalah pagi rek kambek bu Tiwi ! :D
HapusAuthor'e cen jempolan kok ! Membuat q terkiwir2 pd Opus meong wakwakwakwak
Jiaaah... Eike jadi maluuu...
HapusMakasih mampirnya, Mbak-Mbak cantik...
Haduh berdebar-debar nih
BalasHapusHihihi... Makasih mampirnya, Bu...
Hapussemoga hatinya tak sekacau sidang MKD ya mbak Lis....
BalasHapusHahaha... Iyaaa benar, Mbak Bekti!
HapusMakasih mampirnya ya...
Menanti lanjutan. Wes tak injen ra njedul2
BalasHapusHo'oh wingi kawanen thithik. Suwun mampire, Mbak...
Hapusnice post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur...
Hapus