Kata-kata Eyang Murti adalah titah.
Titah ratu yang sama sekali tak boleh dibantah. Seolah jadi aib dan dosa besar
bagi siapa pun yang mengingkarinya. Feodalisme yang sama sekali tak masuk akal,
tapi masih juga terjadi. Sungguh menyedihkan…
Seruni pusing sekali memikirkannya.
Hubungannya dengan Hazel sudah mencapai taraf sangat serius. Dalam setiap acara
di keluarga besar Hazel, Seruni selalu diperkenalkan sebagai ‘calonnya Hazel’.
Tapi sekarang? Dibacanya sekali lagi
SMS singkat dari ayahnya. Dia sudah hapal luar kepala.
‘Pulanglah, Ndhuk. Eyang sudah menentukan tanggal pertunanganmu.
Sesaat, Seruni kembali membeku.
Bila dia mengira Eyang akan berhenti
setelah kasus Dahlia, maka dia salah. Sepenuhnya salah. Menjauh keluar dari
Solo dan bertahan hidup di Jakarta tak membuatnya bisa lepas dari kungkungan
aura dan karisma Eyang Murti.
Bahkan ayahnya pun tak mampu bersuara
bila Eyang Murti sudah ‘bersabda’. Seperti
kerbau dicocok hidungnya, pikir Seruni sebal. Tak ada sama sekali bau-bau
kebijakan dan wibawa seorang ayah. Semua kehidupan seolah berpusat pada sosok
mungil Eyang Murti. Makin memikirkan itu, makin gemas saja Seruni rasanya.
Tadi siang di telepon, Dahlia sudah
melarangnya pulang. Kakak tengahnya itu sampai menangis mengiba.
“Kumohon Runi, jangan pulang…,” ucap
Dahlia putus asa. “Kamu tidak lihat apa yang terjadi padaku? Apakah aku belum
cukup Runi?”
Seruni hampir menangis.
Dahlia dulu dijodohkan oleh Eyang
Murti dengan Pradipta, putra keluarga Notosatmoko dari trah Projolaksono. Dahlia
yang penurut itu terpaksa harus meninggalkan Rengga demi menuruti titah Sang
Nenek. Tapi pengorbanannya sia-sia.
Pradipta bukanlah lelaki baik-baik.
Dia hanyalah lelaki ringan tangan yang hobi berselingkuh. Bahkan janin berusia
6 bulan dalam perut Dahlia tidak bisa diselamatkan setelah Dahlia dihajar hebat
oleh Pradipta hanya gara-gara terlambat membukakan pintu. Janin beserta
pembungkusnya, rahim Dahlia.
Dan Dahlia baru bisa lepas dari neraka
bersama Pradipta hampir setahun yang lalu, setelah 5 tahun menikah. Itu pun
karena laki-laki bajingan itu mati karena overdosis
shabu. Pelan-pelan Dahlia kembali tegak. Meneruskan usaha salon yang dulu
pernah dirintisnya.
Sebelumnya, Haryo juga menikah dengan
Kusrini karena dijodohkan. Tapi Kusrini adalah perempuan yang baik. Tak heran
cinta tumbuh cepat di hati Haryo. Apalagi dia memang belum punya kekasih ketika
dijodohkan dengan Kusrini.
Dari Haryo, kakak sulungnya, Seruni
tahu bahwa yang akan dijodohkan dengannya oleh Eyang Murti adalah Swandito.
Laki-laki itu adalah anak bungsu keluarga Rumekso dari trah Pawokodirenggo.
Seruni bukannya tak kenal Swandito.
Laki-laki tampan dan pendiam itu adalah kakak kelasnya saat SMA. Tapi di saat
teman-teman perempuannya sibuk menggosipkan Swandito, Seruni hanya melihat dari
jauh. Ada sesuatu di mata Swandito. Kabut yang tak pernah lekang. Kabut yang
membuat Seruni tak pernah ingin terlibat di dalamnya.
Seruni menghela napas panjang.
Berusaha melepaskan rasa sesak di dadanya. Dia membaca sekali lagi SMS dari
ayahnya. Perjodohan? Ini menyangkut kehidupannya kelak. Terutama kehidupannya
bersama Hazel.
Hazel….
Mata Seruni menyusuri tiap milimeter
foto wajah Hazel di atas mejanya. Hazel yang tenang dan selalu memberi perasaan
nyaman. Pemilik mata coklat yang selalu terlihat damai. Yang selalu mengirimkan
getar-getar aneh dalam hati Seruni.
Seruni pun meraih ponselnya. Dan tak
lama kemudian sebuah suara lembut menyapa telinga Seruni.
“Halo, selamat sore, Sayang. Ada apa?”
Suara Seruni bergetar ketika membalas
sapaan itu. “Mas Heiz, kita harus bicara…”
*
* *
Hazel
menyeruput teh hangatnya dengan santai. Seruni belum bicara apa-apa, tapi
ditunggunya dengan sabar. Seruni menatap Hazel dengan bimbang. Wajah laki-laki
itu terlihat sedikit lelah, tapi cahaya tampak berkerlip di matanya. Seruni mendesah.
Hazel balik menatapnya.
“Jadi?” Hazel
menyungging senyum.
Seruni
menghela napas panjang. Sejujurnya dia tak tahu harus mulai dari mana.
“Runi sayang,
kamu bilang kita harus bicara. Jadi apa yang akan kita bicarakan?” Hazel meletakkan
cangkirnya di atas meja.
Seruni menyodorkan
ponselnya. SMS dari ayahnya. Hazel kembali menatap Seruni setelah membaca SMS
itu.
“Hm… Jadi
eyangmu sudah menentukan tanggal pertunangan kita ya? Aku nggak keberatan, tapi
pernikahan kita tetap seperti rencana semula kan? Menunggu aku pulang dari
Amerika?”
“Bukan
denganmu, Mas, tapi laki-laki lain,” suara Seruni hampir tak terdengar.
Hazel hampir
tersedak. “Maksudmu?”
“Aku
dijodohkan, Mas. Aku ndak mau, tapi
aku ndak tahu cara melawan Eyang.”
Hazel menghempaskan
punggungnya ke sandaran kursi.
“Mungkin kita
memang harus menikah sebelum aku berangkat, Runi,” nada suara Hazel terdengar
ragu.
“Aku belum
siap, Mas. Kita belum siap. Aku ndak
mau kita nikah karena dipaksa keadaan.”
Hazel menatap
Seruni. Ada setumpuk beban menggunung di mata Seruni.
“Aku akan
melamarmu pada keluargamu, Runi, sekalian dengan membawa keluargaku. Sekarang
atau nanti, sama saja. Aku sudah mantap memilihmu untuk jadi pendamping
hidupku.”
“Aku tahu,
Mas. Tapi gimana kalau kita hadapi saja dulu? Maksudku, kita berdua menghadap Romo dan Ibu.”
Hazel
menimbang sejenak keinginan Seruni. Ya,
masuk akal. Setidaknya keluarga Seruni bisa mengerti keseriusan hubungan
Seruni dengannya.
“Kapan?”
“Secepatnya,”
tegas Seruni.
“Oke, kalau
begitu besok kuurus cutiku dari kampus,” ucap Hazel mantap.
Dan betapa
lelehnya hati Hazel melihat binar di mata Seruni.
*
* *
Dua
Dari
bandara, Seruni dan Hazel langsung menuju ke rumah Dahlia. Cuti Hazel cuma 3
hari kerja. Tidak banyak waktu yang mereka punya untuk mengurai keruwetan itu.
Seruni sendiri tidak terikat waktu, karena butik batik yang dia kelola adalah
miliknya sendiri.
Dahlia
memeluk Seruni erat ketika mereka bertemu. Airmatanya tumpah. Menangisi sejarah
kelam yang bisa jadi mungkin akan terulang.
“Eyang
benar-benar terlalu,” geram Dahlia.
“Sudahlah,
Mbak,” ucap Seruni. “Yang penting aku harus bisa bertemu Swandito sebelum aku
pulang ke rumah Romo. Mbak tahu di
mana harus kutemui Swandito?”
Dahlia
mengangguk.
Seruni menatap
Hazel. Laki-laki itu mengangguk samar. Memahami sinyal yang dikirimkan Seruni.
Seruni sudah memutuskan untuk menyelesaikan keruwetan itu. Masalah ini harus
tuntas. Jauh hari sebelum pertunangannya dengan Swandito dilaksanakan. Seruni
sudah bertekad. Dia siap untuk bertempur, bersama Hazel.
‘Ya, Seruni,
kita akan berjuang bersama demi memenangkan pertempuran ini,’ batin Hazel
pasti.
*
* *
Dahlia
menuangkan teh ke cangkir. “Sudah lama kenal Seruni, Dik?” ditatapnya Hazel
sekilas.
“Iya, Mbak,
empat tahunan. Mama saya pelanggan butiknya,” Hazel menjawab sopan.
“Silakan, Dik,”
Dahlia menyodorkan teh pada Hazel.
“Makasih,
Mbak,” ucap Hazel spontan.
“Bukan
bermaksud rasis, tapi Dik Hazel bukan asli Jawa ya?”
“Mm… Asli
banget sih enggak. Mama saya dari Inggris. Papa yang asli Jawa.”
“Oh… Jadi
kalian sudah tahu betapa sulitnya kondisi hubungan kalian sekarang kan? Mungkin
bukan masalah besar buat Romo dan Ibu.
Hanya saja Eyang... Ah, sudahlah! Jangan khawatir, Mas Haryo dan aku akan
membantu, Dik. Biar kejadian buruk ndak
terulang lagi.”
“Ya, Seruni
sudah menceritakan apa yang Mbak Dahlia alami. Sedih banget mendengarnya,
Mbak,” ucap Hazel tulus.
Dahlia
tersenyum getir. “Ya beginilah nasib terlahir dari keluarga yang masih terlalu
kental feodalismenya. Jaman sudah seperti ini masih juga etnis dipermasalahkan
dan perjodohan dilakukan.”
Dalam hati
Hazel merasa gamang. Dia mencintai Seruni, seutuhnya. Tapi kenapa waktu saat
ini sepertinya sama sekali tidak tepat buat mereka? Hazel menghela napas
panjang.
“Jangan pernah
merasa kalah saat pertandingan baru dimulai, Dik,” ucap Dahlia lembut. “Jangan
pernah.”
Hazel menatap
Dahlia. Ada aura ketegaran memancar dari sosok perempuan yang pernah teraniaya
itu. Diam-diam Hazel merasa malu karena gamangnya sempat timbul.
*
* *
Sopir Dahlia
meluncurkan mobil ke arah Jogja. Sebuah perjalanan yang dingin dan sunyi.
Seruni mulai menyesali keputusannya untuk menemui Swandito sendirian. Hazel
dipaksanya tinggal di rumah Dahlia, tak perlu ikut ke Jogja. Seruni mendesah.
Betapa sebenarnya dia membutuhkan saluran kehangatan dari genggaman tangan
Hazel yang selalu membuatnya nyaman
Di depan
sebuah kantor yang megah mereka berhenti. Tak urung Seruni tertegun-tegun dalam
langkahnya. Apa yang hendak dikatakan oleh Swandito nanti?
“Seruni, apa
kabar?” Swandito menyapa ramah dan menjabat tangan Seruni erat.
“Aku
mengganggu?” tanya Seruni lugas.
Swandito
sejenak terkesima. Tapi dia segera menguasai dirinya. Dia tersenyum sambil
menggeleng.
Tanpa menunggu
lagi Seruni mulai ‘pertempuran’-nya.
Dengan
kelugasan yang sama dia menembakkan pertanyaan itu. “Mas Swan menyetujui
pertunangan ini?”
Swandito
menatapnya lama. Seruni jadi jengah. Tapi ditentangnya juga tatapan itu.
“Kau sendiri?”
Swandito balik bertanya, sabar.
“Tidak,” tegas
Seruni. “Sama sekali tidak. Aku sudah punya kekasih dan aku akan
memperkenalkannya pada Romo.”
Sebuah sensasi
yang aneh perlahan merayapi Seruni. Mata itu. Mata Swandito. Tetap menyimpan
kabut yang sama.
Tapi aku
menyetujui pertunangan itu, Seruni,” jawab Swandito akhirnya.
“Kenapa?”
sambar Seruni.
Wajah Swandito
tampak bimbang. Ditatapnya Seruni dalam-dalam. Wajah polos Seruni mengusik
nuraninya. Mengorbankan Seruni? Alangkah hinanya aku! Swandito menggeleng
sedih. Dari mana dia harus menceritakannya?
“Jawab aku,
Mas Swan!” suara Seruni menyentakkan kesadaran Swandito.
“Ibuku sakit,
Seruni,” jawab Swandito lirih. “Keinginannya cuma satu. Melihatku secepatnya
menikah. Harapan makin tipis. Aku harus berkejaran dengan waktu. Waktu Ibu tak
banyak. Tidak akan sampai setahun, menurut dokter.”
Seruni
terhenyak. Permintaan terakhir? Dia menggeleng. “Kenapa aku?” desisnya.
Swandito
menghela napas panjang. “Kau gadis paling cantik yang pernah dikenal Ibu,
Seruni. Eyangmu juga menyetujui keinginan Ibu.”
Seruni makin
ternganga. Jaman apa ini? Sudah gilakah aku? Sudah gilakah Swandito?
“Hanya kurang
dari setahun, Seruni. Setelah Ibu tiada kita bisa bercerai baik-baik. Kau bisa
menikahi kekasihmu,” suara Swandito bergema lembut.
Seruni menatap
Swandito dengan ngeri. Ditendang dalam kondisi ‘compang-camping’ sebagai bekas
istri? Apakah segampang itu Hazel bisa menerimanya kembali?
“Eyangmu juga
sudah mulai sakit-sakitan. Mungkin melihatmu menikah adalah keinginan
terakhirnya juga. Kau cucu terakhirnya kan? Kejadian yang menimpa Mbak Dahlia
cukup mengguncang Eyangmu. Tapi kau tidak akan bernasib sama, Seruni. Aku
berjanji….”
Seruni
menggelengkan kepalanya berkali-kali. Dia sadar tak punya cukup persiapan untuk
menghadapi ‘pertempuran’ itu. Awalnya dia berharap akan mendapat tambahan
amunisi dari Swandito. Awalnya dia berharap Swandito akan menolak pertunangan
itu, sama seperti dirinya. Baru dia sadar. Kali ini dia sendirian. Benar-benar
sendirian. Dia terdongak lemah ketika suara Swandito kembali bergema.
“Aku berjanji kau
akan tetap perawan sampai pernikahan kita berakhir.”
Seruni melihat
kabut menebal di mata Swandito.
“Karena aku
gay, Seruni….”
Dan Seruni pun
nyaris pingsan.
*
* *
Tiga
Seruni
menatap keluar jendela mobil dengan lelah. Bagaimana sebenarnya seorang
Swandito harus ditutupnya rapat-rapat. Punah sudah harapannya agar Swandito
juga menolak perjodohan itu.
Langit
lembayung menaungi kepalanya ketika Seruni turun dari mobil. Dahlia menatapnya
dengan kening berkerut. Hazel memilih untuk diam dulu.
“Run,
gimana hasilnya?” tanya Dahlia tak sabar.
Seruni
menggeleng lemah. “Dia setuju.”
“Swandito
mencintaimu?” tanya Dahlia.
Seruni
kembali menggeleng. “Dia hanya mau memenuhi permintaan ibunya. Katanya umur
ibunya ndak lama lagi.”
“Ah,
macam Tuhan saja!” tukas Dahlia. “Lalu setelah ibunya meninggal dia akan
menceraikanmu?”
Seruni
mengangguk.
“Lalu
kalau ibunya masih bisa hidup sampai 10-20 tahun lagi, kamu bisa apa?” tegas
Dahlia.
Seruni
menggeleng lagi. Kemudian ditatapnya Hazel. “Kita sendirian. Besok kita
menghadap ke Romo dan Ibu. Aku
pesimis, Mas, tapi tetap harus kita coba. Masih ada waktu 3 minggu sebelum
pertunangan sialan itu.”
*
* *
Sebuah
sambutan yang ramah tapi cenderung agak dingin. Hazel bisa merasakannya. Dia
berusaha memakluminya. Bagi keluarga Seruni, dia tentunya tak lebih dari orang
luar yang mencoba menyeruak masuk ketika segalanya telah ditetapkan.
Blank.
Tak ada yang
tersisa di kepala Hazel. Pun ketika Seruni mengatakan dengan suara bergetar
tentang penolakannya pada perjodohan itu.
“Saya mencintai
Mas Hazel, Romo, Ibu. Kami memang
tidak akan menikah dalam waktu dekat ini, tapi kami sudah merencanakannya
hingga jauh ke depan.”
“Tapi semua
sudah ditetapkan, Ndhuk. Kamu tahu
sendiri sekeras apa eyangmu,” ucap Priyo lembut
“Tapi
bagaimana dengan semua kehidupan saya? Mimpi saya? Harapan saya?”
Priyo menghela
napas panjang. Dia menatap putri bungsunya itu dengan sedih. Sepenuhnya dia
memahami perasaan Seruni. Tapi ibunya masih jadi sinar kehidupan dalam keluarga
besarnya itu.
Takut kualat.
Tak mau durhaka. Priyo terpojok pada dua pilihan yang sama-sama sulit.
Ibunyakah yang sudah menyalurkan begitu banyak energi kehidupan? Atau
putrinyakah yang membawa matahari dalam tiap napas hidupnya sebagai seorang
ayah?
Bayangan wajah
lebam dan tubuh nyaris hancur Dahlia membayang dalam benaknya. Priyo selalu
ingin menangis ketika mengingat peristiwa itu. Hanya keajaiban Sang Pemberi
Hiduplah yang menyelamatkan Dahlia.
Wajah Priyo
mengeras. Tatapannya beralih pada laki-laki tampan di samping Seruni. Laki-laki
itu tertunduk takzim. Wajahnya terlihat begitu tulus dan bersih. Perasaanya
sebagai seorang ayah membisikkan bahwa laki-laki itulah yang lebih cocok untuk
mendampingi Seruni.
“Nak, katakan
pada Bapak, apa yang bisa kau lakukan pada Seruni?” ucapnya sabar.
Hazel
mengangkat wajahnya. Dengan tenang ditatapnya ayah Seruni.
“Mohon maaf
sebelumnya, Bapak, Ibu, saya benar-benar mencintai Seruni. Sesuai kesepakatan,
kami memang merencanakan untuk menikah sekitar 3 tahun lagi. Saya mendapat
tugas belajar dari kampus tempat saya mengajar. Kami bermaksud menikah setelah
itu. Setelah segalanya tertata baik. Agar Seruni tetap bisa menjalankan
usahanya dan usaha kami yang sudah kami rintis sejak 2 tahun yang lalu.
Lagipula usia Seruni sekarang masih muda, baru 23 tahun. Kami harap dia bisa
lebih matang nanti saat kami menikah.”
Priyo menatap
istrinya. Srikandi balik menatapnya, dalam. Ada banyak letupan cahaya yang
ingin diungkapkan Srikandi. Priyo memahaminya. Dia kembali menatap Hazel.
“Aku tidak
bisa menjanjikan akan jadi apa hubungan kalian sekarang. Beri aku waktu
berpikir. Aku tidak menolakmu, Nak Hazel. Aku tahu kau laki-laki yang baik
untuk anakku. Hanya saja, beri aku waktu.”
Seruni menatap
ayahnya tak percaya. Sungguh dia menyesal telah menuduh ayahnya tak bijak.
Sekejap kemudian dia sudah memeluk ayahnya erat.
“Terima kasih,
Romo,” bisiknya penuh haru. “Terima
kasih…”
*
* *
Empat
Sunyi
melingkupi rumah joglo itu. Malam merambat naik. Di dalam sebuah kamar besar
ada sebuah pembicaraan serius. Tentang Seruni.
“Mas,
aku tidak ingin ada perjodohan lagi,” ucap Srikandi lirih.
“Aku
paham, Jeng,” Priyo menepuk lembut punggung tangan Srikandi. “Apalagi Seruni
sudah punya pilihan sendiri.”
“Aku
masih trauma dengan pengalaman Dahlia,” desah Srikandi. “Aku yakin Swandito
tidak seperti Pradipta. Swandito dididik dengan baik. Tapi entah mengapa aku
merasa ada yang salah dengan Swandito.”
Priyo
menghela napas panjang. Sesungguhnya dia merasakan hal yang sama dengan
Srikandi. Sementara ketika dia melihat Hazel, hatinya merasa tenang.
“Menurutmu
bagaimana dengan laki-laki yang dibawa Seruni itu, Jeng?”
“Aku
jadi ingat kita dulu, Mas,” Srikandi agak tersipu. “Hanya saja kita sudah
saling mencintai sebelum kita dijodohkan.”
“Kita
beruntung, Jeng,” gumam Priyo. “Sangat beruntung…”
“Kita
harus menghadap Ibu, Mas. Dan aku ingin mengajak Dahlia,” tegas Srikandi.
“Apa
tidak akan memperuncing masalah?” Priyo menatap Srikandi, ragu-ragu.
“Setidaknya
dia bisa jadi pengingat bagi Ibu atas kesalahan itu, Mas.”
Priyo
pun akhirnya mengangguk. “Hubungi Dahlia, Jeng.”
Srikandi
meraih ponselnya.
*
* *
Alam seakan
mengerti kegelisahan Seruni. Mendung yang menggantung begitu tebal akhirnya
menumpahkan hujan yang merinai.
“Semuanya akan
baik-baik saja, Run,” janji Dahlia tadi.
Seruni menatap
kakaknya dari belakang. Susah untuk menahan kepedihan yang selalu muncul tiap
kali dia menatap sosok Dahlia. Betapa tragedi dan waktu sudah mengubah Dahlia
yang dulu lemah dan penurut menjadi Dahlia yang setegar dan sekeras batu.
Seruni tersentak
dari buaian alam pikirnya ketika ibunya menoleh dan mengatakan sesuatu.
“Apa, Bu?”
ucapnya agak tergagap.
“Sudah kamu
hubungi Hazel?” ulang Srikandi sabar.
“Sudah,”
Seruni mengangguk. “Dia sudah menunggu di lobby
hotel.”
Tak lama
kemudian Hazel sudah bergabung dengan mereka. Duduk diam di jok paling belakang
MPV Dahlia, di samping Seruni. Pelan-pelan Hazel meraih tangan Seruni. Begitu
dingin dan lembab.
“Dik Heiz,”
suara Dahlia memecah keheningan.
“Ya, Mbak?”
“Kalau ditanya
Eyang katakan saja apa adanya. Jangan sembunyikan apa pun.”
“Baik, Mbak,”
ucap Hazel takzim.
Sopir Dahlia
membelokkan mobil masuk ke jalan nDalem
Cokrogiren. Sebuah rumah joglo yang jauh lebih megah daripada rumah joglo Priyo
Harjono. Hazel seakan terlempar ke masa sekian abad lampau.
Pun ketika
mereka sudah duduk di dalam ruang tamu. Hazel menatap Seruni. Betapa ada darah
kemegahan mengalir dalam sosok sederhana Seruni. Sosok pekerja keras yang
santun dan lembut hati. Yang sudah menyentuh relung hatinya yang terdalam dengan
cintanya yang hangat.
Seruni
mengangkat wajahnya. Mereka bertatapan. Samar Seruni menangkap senyum lembut
dalam mata Hazel. Sesuatu yang selalu menguatkannya. Seruni pun mengerjapkan
mata. Membagikan kekuatan yang sama untuk Hazel.
Dan sosok itu
pun muncul. Mungil, berwajah sepuh dengan garis aristrokat yang begitu kuat.
Masih sangat cantik dengan aura karisma yang sangat kental.
Priyo mencium
tangan ibunya, diikuti Srikandi, Dahlia, Seruni, dan terakhir Hazel. Laki-laki
itu hanya menjabat hangat.
“Ini siapa?”
Eyang Murti menatap Priyo. “Calonnya Dahlia?”
“Bukan,
Eyang,” jawab Dahlia tegas. “Hazel kekasih Seruni.”
Eyang Murti
menatap Hazel. Entah kenapa Hazel merasa terintimidasi dengan tatapan menilai
itu.
“Kau tahu
Seruni sudah kujodohkan dengan laki-laki lain?”
“Justru itu
yang ingin kami bicarakan, Ibu,” sela Priyo halus.
“Apa lagi yang
mau kau bicarakan? Pertunangannya tiga minggu lagi,” tegas Eyang Murti.
“Dan saya
menolak pertunangan itu, Eyang,” ucap Seruni tak kalah tegas.
Eyang Murti menatapnya
tajam. Seruni balik menatap dengan berani.
“Mas Hazel
sudah tiga tahun menjadi kekasih saya. Dan kami merencanakan untuk menikah
walaupun masih beberapa tahun lagi.”
“Ooo… Hmm… Priyo,
ini salahmu! Kenapa kau biarkan Seruni meliar di Jakarta? Hilang sudah sopan
santunnya. Seorang gadis…”
“Seruni tidak
pernah liar di Jakarta, Eyang,” Dahlia dengan tegas memotong ucapan Eyang
Murti. “Dia kuliah dan membangun sendiri usahanya. Haknya untuk menolak
perjodohan itu.”
Tatapan Eyang
Murti tajam menyapu wajah Dahlia. Yang ditatap balik menatap dengan tegar.
“Saya harap
Eyang tidak pernah lupa dengan apa yang terjadi pada saya,” ucap Dahlia dingin.
“Cukup saya, jangan Seruni.”
Tak urung
sedikit kekuatan Eyang Murti runtuh ketika mengingat hal itu. Kesalahan
terbesar dalam hidupnya. Tatapannya meluruh.
“Aku sudah
menerima lamaran keluarga Rumekso. Jadi aib bila aku menarik kembali
persetujuanku,” Eyang Murti terduduk kaku.
“Tak akan jadi
aib kalau mereka mau menerima saya sebagai menantu. Jangan Seruni.”
Seruni seketika
limbung mendengar ucapan Dahlia.
*
* *
Lima
Seruni
melemparkan tatapannya keluar jendela pesawat. Hazel duduk diam di sebelah
Seruni. Dia tak hendak menarik Seruni keluar dari alam lamunannya. Seutuhnya
dia tahu seberat apa beban yang ditanggung Seruni. Yang dia tidak tahu, apa
yang sesungguhnya dipikirkan Seruni jauh lebih dalam daripada yang bisa
dimengertinya.
Helaan
napas panjang terdengar tanpa Seruni mengalihkan tatapannya. Di tengah putihnya
kumpulan mega di luar, Seruni seakan melihat bayangan wajah Dahlia. Tegar.
Sekaligus dingin. Memberitahu Dahlia bahwa Swandito gay? Itu sama saja dengan
menghancurkan Swandito. Tutup mulut terhadap Dahlia tentang Swandito? Sama saja
dengan mendorong Dahlia melakoni pernikahan kedua yang sama buruknya dengan
pernikahan pertamanya dulu.
Goncangan
ringan tubuh pesawat menyentakkan lamunan Seruni. Membawanya kembali ke alam
nyata. Entah sudah berapa lama Hazel menggenggam tangan kanannya. Seruni
merasakan aliran ketenangan perlahan merasuki relung-relung hatinya.
“Kembalilah
ke Jakarta dulu, Seruni,” ucap Dahlia halus tapi tegas. Kemarin, dalam
perjalanan pulang dari rumah Eyang Murti.
Seruni
hendak mengatakan sesuatu. Tapi tatapan Dahlia berhasil membungkam mulutnya.
“Semuanya
akan beres, aku janji.”
Dan
Seruni berusaha mempercayai itu.
*
* *
Dahlia
memantapkan langkahnya menuju ke ruang kantor Swandito. Eyang Murti sudah
angkat tangan. Berani menerima tapi
menghindar ketika tahu keputusannya salah, geram Dahlia dalam hati.
“Mari, Bu,
Bapak sudah menunggu,” Mayang, sekretaris Swandito, menerima Dahlia dengan
ramah.
“Mbak Lia,”
Swandito menjabat tangan Dahlia dengan hangat.
“Selamat
siang, Dik Swan,” Dahlia mengangguk singkat.
“Mari, Mbak,”
Swandito menggiring Dahlia ke arah sofa coklat di sudut.
“Terima
kasih.”
Mereka duduk
berhadapan. Dahlia menegakkan punggungnya. Swandito menatap perempuan mungil
itu dengan penuh rasa hormat. Perempuan berparas cantik itu jadi legenda
tersendiri di kalangan darah biru Surakarta. Kemampuannya berdiri tegak seusai
tragedi yang bertubi-tubi menimpanya membuat semua orang salut dan menaruh
respek yang lebih padanya.
“Dik Swan,
seperti yang sudah saya katakan kemarin di telepon, saya datang untuk Runi.”
“Saya
mengerti, Mbak,” Swandito mengangguk takzim pada perempuan yang 3 tahun lebih
tua daripadanya itu.
“Jadi, bisakah
lamaran itu diubah untuk saya?”
Swandito
tertegun. “Maksud Mbak Lia?”
“Seruni sudah
punya kekasih, Dik. Mereka sudah jauh merancang masa depan. Seruni yang paling
terpukul ketika saya dianiaya Pradipta. Dan saya tidak mau Seruni hancur untuk
kedua kalinya karena perjodohan gila ini.”
Swandito
menatap Dahlia. Ada kilatan api dalam mata Dahlia.
“Saya tidak
akan menyakiti Seruni, Mbak,” ucap Swandito halus.
“Pikirmu dia
tidak akan menderita menikah paksa dengan seorang gay?”
Swandito
hampir tersedak mendengar kalimat Dahlia yang diucapkan perempuan itu nyaris
tanpa suara.
“Seruni
menceritakannya pada Mbak?” desis Swandito dengan suara bergetar.
Ganti Dahlia
yang tersentak kaget. “Jadi Seruni tahu?”
Mereka
bertatapan. Seruni tahu, tapi tidak mengatakan apa-apa.
“Seruni tahu?”
ulang Dahlia.
Swandito
mengangguk lemah. “Saya hanya ingin jujur pada Runi,” gumamnya.
Dahlia
menghela napas panjang sambil memejamkan mata.
“Lalu dari
mana Mbak tahu saya gay?”
Dahlia membuka
matanya. “Kau dulu pernah berhubungan dengan Sakti kan?”
“Mbak Lia
kenal Sakti?”
Dahlia
mengangguk pelan. “Sakti yang membawa Pradipta ke dalam lembah narkoba itu. Dan
dia pernah menceritakan sedikit tentangmu. Sudah sejauh mana hubunganmu dengan
Sakti?”
“Saya sudah
lama berhenti, Mbak,” ucap Swandito setengah menerawang. “Saya tak pernah kena
narkoba, tapi saya berhenti dari hubungan-hubungan tak jelas itu. Saya tak mau
tambah dosa, Mbak. Saya tahu Mbak jijik melihat saya.”
Dahlia menggeleng.
“Saya tak akan pernah dan mau menghakimi itu, Dik. Yang saya mau cuma Seruni
lepas dari perjodohan ini. Saya bersedia menggantikan posisinya. Kalau yang
ibumu inginkan adalah pernikahannu, berikan padanya. Kalau yang kau inginkan marital status, kuberikan padamu. Asal
jangan Seruni.”
“Tapi kenapa,
Mbak?”
“Aku manusia
gagal, Dik. Gagal untuk membangun kebahagiaanku sendiri, karena aku terlalu
takut untuk berontak. Yang juga menyisakan trauma tersendiri pada Seruni. Aku
hanya ingin Seruni bahagia. Itu saja.”
Swandito tak
mampu berkata apa-apa. Pun ketika Dahlia melangkah pergi meninggalkan
kantornya. Lama dia merenung, sampai kemudian dia meraih ponselnya.
Ketika ada
jawaban dari seberang sana, Swandito berucap halus, “Ibu, kita harus bicara…”
*
* *
Enam
Swandito
menatap ibunya dengan sejuta rasa bersalah. Ibunya yang begitu ringkih, tapi
kini menatapnya dengan mata menyala.
“Dahlia?!”
suara Wulansari melengking tinggi.
Swandito
tertunduk. Agak menyesali keputusannya. Walaupun baginya Seruni ataupun Dahlia
sama saja baginya, tapi tetap saja Serunilah yang diinginkan ibunya.
“Dulu
kau bilang setuju ketika Ibu melamar Seruni pada Kanjeng Eyang Murti. Kanjeng
Eyang juga sudah setuju. Kenapa sekarang Dahlia?!”
“Saya
mencintai Mbak Lia, Bu,” Swandito tetap tertunduk, tak ingin ibunya melihat
kebohongan di matanya. “Saya ingin bilang sama Ibu, tapi Ibu kelihatannya
sangat menginginkan Seruni. Saya takut mengecewakan Ibu.”
“Ya!
Kau mengecewakan Ibu, Swan!” ucap Wulansari getas. “Ada gadis yang sebaik dan
secantik Seruni, kenapa harus memilih yang lebih tua darimu? Janda lagi!”
“Bu,”
sergah Swandito halus. “Mbak Dahlia bukan orang tidak terhormat. Dia jadi janda
bukan karena pilihannya sendiri. Saya kagum padanya, Bu. Perempuan lain mungkin
tidak akan bertahan hidup bila mengalami hal yang sama. Tapi Ibu bisa melihat
sendiri Mbak Lia.”
Wulansari
melemparkan tatapannya keluar jendela. Seruni dan Dahlia. Berasal dari darah
yang sama. Dengan kecantikan khas yang sama. Dengan kesantunan dan kehalusan
perilaku yang sama. Tapi Dahlia lebih tua daripada Swandito. Dan dia tidak akan
bisa memberikan keturunan bagi Swandito.
“Tidak,
Swan” geleng Wulansari tegas. “Nikahi Seruni.”
“Tapi
saya tidak mencintai Seruni, Bu,” ucap Swandito lirih. “Lagipula Seruni sudah
punya kekasih. Kasihan Seruni, Bu...”
Wulansari
menegakkan punggungnya. Ditatapnya Swandito baik-baik. “Dengar, Swan, cuma ini
permintaan terakhir Ibu. Nikahi Seruni. Ibu tak mau berdebat lagi.”
Swandito
memejamkan mata. Kadang-kadang sulit mempercayai ibunya dalam kondisi sakit
berat bila melihatnya seperti ini. Kata-kata dan keinginannya sulit untuk
dibantah.
“Satu
lagi, Swan, jangan bantah Ibu kalau kau tak mau melihat Ibu cepat mati.”
Bulu
kuduk Swandito seketika meremang. Entah kenapa, dia merasa ada nada ancaman
dalam suara ibunya.
*
* *
Hazel
meletakkan ponselnya. Pesan keempat belas dalam tiga hari ini. Dari nomor yang
berbeda-beda, tapi dengan isi yang sama. ‘Jauhi
Seruni, atau kau mati!!’ Mau tak mau Hazel merinding. Apalagi ketika
mengingat kejadian yang baru saja dialaminya.
Hujan turun
rintik ketika Hazel keluar dari depot langganan tempat dia membeli makan malam.
Mobilnya diparkir di seberang kompleks ruko tempat depot itu berada. Ketika dia
hendak menyeberang, tanpa disadarinya sebuah mobil ngebut ke arahnya, tanpa
lampu. Beruntung seorang tukang parkir cepat menarik tangannya. Dia pun
terhindar dari kecelakaan itu.
Hazel mengusap
wajahnya. Kebetulankah? Ataukah itu tadi bagian dari ancaman? Dia tidak bisa
memberitahu Seruni. SMS-SMS ancaman itu hanya akan membuat Seruni kesayangannya
panik. Satu-satunya yang bisa dia hubungi cuma Dahlia. Dan ke sanalah dia
menuju. Nomor ponsel Dahlia.
Dia kemudian
secara ringkas menceritakan semua ancaman itu pada Dahlia. Sesuatu yang membuat
perempuan itu sangat kaget.
“Aku sama
sekali ndak menyangka imbasnya akan
seperti ini, Dik. Maafkan aku,” ucap Dahlia penuh nada penyesalan.
“Saya
mengerti, Mbak. Saya juga mengkhawatirkan keselamatan Mbak dan Seruni. Bukan
tidak mungkin kita semua akan mengalami ancaman yang sama.”
“Sepertinya
bukan Swandito pelakunya,” ucap Dahlia setengah bergumam. “Tapi siapa? Eyang?
Rasanya ndak mungkin. Semuanya sudah
dia serahkan padaku. Atau ibu Swandito?”
“Mbak, nggak
baik menduga-duga. Siapa pun pelakunya, tampaknya cuma menghendaki saya mundur
dari sisi Seruni.”
Terdengar
helaan napas panjang Dahlia dari seberang sana. “Aku akan cari tahu siapa yang
melakukan ini, Dik. Aku janji tidak akan terjadi apa-apa pada dirimu dan
Seruni.”
“Terima kasih,
Mbak.”
“Oh ya, Eyang membatalkan
pertunanganku dengan Swandito, Dik. Beliau menghendaki kami langsung menikah
saja. Mungkin baru akhir bulan depan. Sedang dicari hari baiknya.”
“Oh ya? Kok
Seruni nggak bilang ya, Mbak?”
“Seruni malah
belum tahu, Dik.”
“Oh... Hm.. Ya
sudah, Mbak. Terima kasih atas dukungan Mbak pada Seruni dan saya. Maaf sudah
mengganggu malam-malam begini.”
“Nggak
apa-apa, Dik. ndak usah dipikirkan.
Yang penting hati-hati saja ya? Jangan sampai ancaman itu jadi kenyataan.”
“Ya mungkin
semingguan ini saya aman, Mbak, saya jauh dari Seruni. Besok siang saya
berangkat ke Makassar, ada tugas dari kampus.”
“Tetaplah
hati-hati, Dik.”
Hazel menghela
napas panjang. Dia membaringkan tubuhnya di sofa. Benarkah perjodohan Seruni
sebanding dengan nyawanya? Seketika rasa pening menyerang kepalanya. Hazel
memejamkan mata. Berusaha menghilangkan rasa pening itu
*
* *
Tujuh
Seruni
terjaga dari tidurnya dengan keringat dingin bercucuran. Sesuatu akan terjadi
pada Hazel. Entah apa. Perasaan gelap seperti itu sering menyelip begitu saja.
Dengan gemetar Seruni meraih ponselnya. Tak ada jawaban dari seberang sana.
Ponsel Hazel mati. Agak terhuyung Seruni mengambil segelas air minum di dapur.
Pukul tiga pagi. Seruni duduk termenung
di depan meja makan kecil di dapur mungilnya.
Entah
kenapa dia merasa ada yang tidak beres dengan Hazel sejak Hazel pulang dari
Makassar tiga hari yang lalu. Bahkan sejak Hazel berangkat seminggu sebelumnya.
Hazel kelihatan lebih pendiam dan seperti menyimpan beban. Tapi Hazel
menggeleng sambil berusaha tersenyum ketika dia bertanya.
Seruni
menguap sambil kembali ke kamar tidurnya. Jam 9 nanti dia harus terbang ke Solo
untuk mengontrol produksi batik sutra eksklusifnya. Hazel akan mengantarnya ke
bandara. Membayangkan akan bertemu Hazel lagi mebuat pipi Seruni bersemu merah.
Ah, macam ABG saja, gerutu Seruni dalam hati.
Hazel
membuka pintu rumah Seruni tepat jam 5.15. Seruni sedang menggoreng nasi untuk
sarapan mereka.
“Halo!”
sapa Hazel ringan. “Baunya bikin lapar.”
Seruni
tersenyum lebar. Hazel meraih dua mug
dan mulai menyiapkan teh hangat. Seruni selalu menyukai sikap Hazel. Tak pernah
canggung di dapur.
“Tidur
nyenyak semalam?” tanya Hazel.
Seruni
terdiam sejenak. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk menjawab, “Ya.”
“Great!”
Dan
Hazel meluncurkan mobilnya keluar dari halaman rumah Seruni menjelang jam 6.
Seruni sekilas menatap Hazel. Masih terlihat beban yang sama. Dan dia
memutuskan untuk membicarakan itu lagi.
“Mas,
sebenarnya ada apa sih? Mas Heiz belakangan ini memikirkan apa? Jangan bilang ndak ada apa-apa. Aku tahu ada apa-apa.
Bicara dong, Mas...”
“Lho...
Memang nggak ada apa-apa kok,” jawab Hazel, berusaha santai. “Cuma capek saja.
Lagipula sudah dekat-dekat waktu ujian ini. Banyak yang harus kuselesaikan.”
Seruni
terdiam. Ingat perasaan gelapnya semalam. Sulit untuk mengenyahkan perasaan
itu. Tapi kelihatannya Hazel kukuh untuk tidak mau mengatakan apa-apa.
“Mas,
baik-baik selama aku di Solo ya?”
Hazel
menggenggam tangan Seruni. Genggaman Hazel terasa dingin merambati kulitnya.
Tanpa sadar Seruni menggigil.
*
* *
Sebuah ruangan
yang besar dan terasa hangat. Seruni selalu menyukai tempat itu. Ruang kerja
ayahnya. Ruang kerja penuh dengan buku dan catatan tentang batik yang
membuatnya betah berlama-lama di situ. Seruni mengambil napas panjang. Membaui
wangi potpourri beraroma
rempah-rempah manis racikan ibunya.
“Runi, sudah
lama datangmu, Ndhuk?”
Seruni
menoleh. Priyo menatap putri bungsunya dengan senyum di wajahnya. Seruni segera
mengambil tangan ayahnya dan menciumnya sepenuh hati.
“Ada titipan
salam dari Mas Hazel, Romo,” ucap
Seruni takzim.
“Tak ikut ke
sini?”
“Sibuk di
kampus, Romo, persiapan ujian
mahasiswa.”
“Kau jadi ke
tempat Mbokdhe Kus? Pakai saja mobil Romo.”
“Nanti sore
saja, Romo, sama Mbak Lia. Mas Haryo
bilang mau ke sini sama Mbak Rini, antar Candra dan Bintang. Saya kangen. Pas
pulang terakhir itu kan ndak sempat
ketemu mereka.”
“Sebentar lagi
datang,” Priyo melihat arlojinya. “Tunggu di ruang makan saja. Ayo!”
Sejam kemudian
ruang makan besar itu sudah penuh dengan canda dan tawa keluarga besar Priyo
Harjono. Sebuah perpaduan yang sungguh aneh. Sebuah keluarga ‘biasa’ yang penuh
keakraban, tapi sekaligus diliputi sopan santun yang ‘tidak biasa’.
Kelihatannya semua menikmati itu.
Tapi tak urung
Seruni melihat ada semburat kelam di wajah Dahlia. Dengan sabar
ditunggunya hingga ada waktu berdua dengan Dahlia. Dan waktu itu datang
juga, ketika mereka berdua pergi bersama sore harinya.
Dari tempat Mbokdhe Kus, juragan batik sutra yang
menggarap pesanan Seruni, sopir Dahlia dengan patuh mengarahkan mobilnya ke
sebuah kafe yang ditunjuk Seruni. Dan di sebuah sudut, Seruni menginterogasi
Dahlia.
Dahlia tampak
bingung dan tertekan. Ditatapnya Seruni tanpa daya.
“Jadi Hazel ndak mengatakan apa-apa padamu?” tanya
Dahlia hampir tanpa suara.
“Tentang apa,
Mbak?”
“Dia diancam
untuk menjauhimu.”
Seruni terhenyak. Jadi ini arti ekspresi wajah
Hazel?
“Kok Mbak bisa
tahu?” tuntut Seruni.
“Ya dia
hubungi aku, Run. Cuma aku yang bisa dia ajak bicara. Dia ndak mau kamu khawatir.”
“Kapan itu?”
“Sebelum dia
ke Makassar.”
Seruni kembali
terhenyak.
“Run, maafkan
aku,” ucap Dahlia penuh penyesalan. “Aku
ndak pernah mikir imbasnya akan seperti ini. Yang jelas bukan Swandito
pelakunya.”
“Kenapa Mbak
bisa seyakin itu?”
“Karena kamu
atau aku, sama saja buat Swandito.”
Seruni menatap
Dahlia. Ada ironi di balik ucapan halus Dahlia.
“Aku sudah
tahu siapa Swandito,” gumam Dahlia. “Aku salut dia mau jujur padamu. Aku juga
salut padamu karena tidak membeberkan kondisi Swan, bahkan padaku. Kamu memang
patut dapat yang terbaik, Run.”
“Tapi ndak mesti harus mengorbankan dirimu
sendiri seperti itu kan, Mbak?”
Dahlia
menggeleng. “Aku ndak berkorban apa
pun, Run. Aku cuma melakukan apa yang harus kulakukan. Dan aku ndak kehilangan apa pun.”
“Tapi Mbak
juga berhak untuk meraih kebahagiaan Mbak sendiri.”
“Aku bahagia,
Run,” tukas Dahlia. “Aku bahagia melihatmu bahagia. Seperti juga kamu menangis
ketika melihatku terpuruk. Berjanjilah untuk bahagia demi dirimu sendiri, Run.”
Seruni tak mampu
mengatakan apa-apa. Ditatapnya senyum Dahlia. Lama. Dia tersentak ketika
ponselnya berbunyi. Ketika melihat nama peneleponnya, dahi Seruni berkerut
sedikit.
“Ma? Selamat
malam,” ucapnya halus.
“Runi, kamu di
mana, Nak?” terdengar suara bergetar dari ujung sana.
“Saya masih di
Solo, Ma. Mama kenapa? Mama sakit?”
“Run, bisa
kembali ke sini secepatnya?”
“Iya, Mama,
ada apa?”
“Heiz di rumah
sakit sekarang.”
“Lho! Waktu
antar saya ke Cengkareng tadi pagi Mas Heiz
ndak kenapa-napa, Ma,” wajah Seruni seketika memucat.
“Heiz ditusuk
orang, Run,” pecah tangis di seberang sana. “Masih di ruang operasi. Kritis.”
Seruni pingsan
seketika.
*
* *
Delapan
Tepat pukul
06.10 pesawat yang ditumpangi Seruni lepas landas dari bandara Adisoemarmo.
Seruni terduduk diam di kursinya dengan wajah pucat dan mata sembab. Priyo
menggenggam erat tangan putrinya, seolah ingin menyalurkan kekuatan.
Semalam,
Seruni tersadar dari pingsannya setelah tiba di rumah. Kejadian yang cukup
menggemparkan. Seruni menangis sesenggukan dalam pelukan ibunya begitu dia
tersadar. Seandainya bisa, dia ingin terbang saat itu juga ke Jakarta.
Segera setelah
Seruni diurus Srikandi, Dahlia bergerak untuk mencari tiket pesawat paling
cepat untuk berangkat ke Jakarta. Tidak bisa malam itu. Baru bisa besok
paginya, dengan pesawat paling pagi. Itu juga cuma tersisa 2 seat. Setelah rundingan,
akhirnya diputuskan bahwa Priyolah yang akan menemani Seruni. Srikandi, Haryo,
dan Dahlia akan menyusul menggunakan pesawat berikutnya.
Seruni
mengerjapkan matanya. Priyo merasakan tangan Seruni bergetar dalam
genggamannya. Dieratkannya genggaman itu.
“Ndhuk, serahkan semua pada Tuhan,” bisik
Priyo lembut. “Romo yakin Hazel tidak
akan apa-apa. Perasaan Romo
mengatakan begitu.”
Ingin sekali
Seruni mempercayai kata-kata sang ayah. Tapi ketakutan itu lebih erat
mencengkeram hatinya. Dia teringat akan perasaan gelapnya. Tanpa bisa dicegah,
airmata Seruni kembali menetes.
Seruni menatap
keluar jendela pesawat yang terlihat memburam. Menyalahkan Dahlia? Seruni
menggeleng pelan. Tak pernah sebersit pun ada rasa ingin menyalahkan Dahlia di
hatinya. Dahlia hanya berusaha menyelamatkan hubungannya dengan Hazel, itu yang
sepenuhnya dia pahami.
Hingga pesawat
mendarat di Cengkareng, Seruni tetap tak bersuara. Juga ketika taksi membawa
mereka ke rumah sakit tempat Hazel dirawat. Pun ketika mereka melangkah ke arah
ruang ICU. Semalam Dahlia telah melakukan apa yang dia bisa lakukan, termasuk
menghubungi nomor telepon yang terakhir masuk ke ponsel Seruni sebelum adiknya
itu pingsan di kafe, meminta penjelasan
detil tentang apa yang terjadi. Dan di depan ICU tangis Seruni kembali pecah,
dalam pelukan Megan, mama Hazel.
“Bagaimana
kejadiannya, Ma?” tanya Seruni penuh kesedihan.
“Mungkin ada
yang mau merampoknya, Runi,” ucap Megan. “Kejadiannya di tempat parkir dekat
kafe kalian.”
“Ma, maafkan
saya,” Seruni kembali tersedu. “Semua ini terjadi karena saya. Seandainya saya
tahu lebih awal... Seandainya saya tahu...”
“Sebenarnya
ada apa, Seruni?” Megan menarik Seruni duduk di sofa depan ICU.
Dan Seruni pun
menceritakan semuanya. Tentang Eyang Murti. Tentang perjodohan gila itu.
Tentang Dahlia. Tentang ancaman terhadap Hazel. Membuat Megan terhenyak. Tapi
melihat wajah putus asa Seruni, wanita itu secepatnya kembali dapat menguasai
dirinya. Dipeluknya Seruni.
“Hazel kuat,
Nak,” bisik Megan. “Dia selalu kuat. Ya, lukanya parah. Tapi dia akan kuat.
Untukmu, untuk kita.”
Seruni kembali
menangis. Megan memeluknya erat.
“Bukan
salahmu, Runi,” bisik Megan menenangkan. “Bukan salahmu...”
“Ma, saya
boleh melihatnya?”
Megan bangkit
dari duduknya. Dia menghampiri ruangan dokter jaga ICU. Sejenak dia berbicara,
dan dokter itu mengangguk. Megan kembali pada Seruni.
“Ya, kau boleh
masuk. Tapi hati-hati ya?”
*
* *
Hingga hari
keempat Hazel masih terbaring di ICU. Kondisinya sudah stabil, tapi dia belum
sadar juga. Sesekali Seruni bisa masuk ke ruang ICU, membisikkan kata-kata
semangat mengucapkan kata-kata penuh cinta,
sekedar menggenggam lembut tangan Hazel, atau hanya membelai wajah Hazel
yang pucat pasi dengan masker oksigen masih menempel erat.
Dan kerjap lemah
mata Hazel seolah menjadi titik kembalinya seluruh sinar kehidupan Seruni.
Seruni menangis dan tertawa sekaligus ketika melihatnya, sebelum perawat menyingkirkannya
dengan halus dan dokter mengambil alih keadaan. Sempat dilihatnya ada buliran bening menggelinding dari sudut mata
Hazel sebelum Seruni keluar dari ruangan ICU. Seruni tergugu.
*
* *
Dahlia
melangkah ringan menuju ke luar gerbang kedatangan Bandara Adisoemarmo. Baru
saja dia menghidupkan ponselnya, ada pesan masuk dari Seruni. Hazel sudah
sadar. Seakan beban di hati Dahlia terangkat separuh. Dia memang harus pulang
duluan, meninggalkan ayah-ibunya dan Haryo yang masih menemani Seruni.
Sesungguhnya
Dahlia lelah dengan irama hidupnya belakangan ini. Tak pernah dibayangkannya
suatu saat kelak dia akan menjadi istri seorang Swandito. Tapi dia tak bisa
melakukan hal lain. Rasa dalam hatinya sudah hambar. Memberdayakan orang lain,
cuma itu tujuan hidupnya sekarang. Dahlia menghela napas panjang. Berusaha
mengurangi rasa sesak di dadanya.
Langit Solo
mulai gelap. Sopir Dahlia membelokkan mobil dengan mulus masuk ke dalam
pekarangan luas rumah mungil Dahlia. Sekilas Dahlia melihat di salon sebelah
rumahnya masih penuh kesibukan. Ditandai dengan dua mobil dan enam motor yang
masih bertengger di tempat parkir.
“Salonnya
beres kok, Bu,” senyum Karsiman, sopir Dahlia.
Dahlia juga
tersenyum. “Pak Siman ikut mengintip ya?” goda Dahlia.
Laki-laki
setengah baya itu tertawa. “Lha, saya
ndak ada kerjaan selama Ibu di Jakarta. Jadi saya bantu bersih-bersih di
salon.”
Dahlia ikut
tertawa sambil melangkah masuk ke dalam rumah.
“Bu....”
Dahlia menghentikan
langkahnya. “Ya, Pak Siman?”
Karsiman
tampak gelisah menatap majikannya. Ada keragu-raguan, tapi dorongan untuk
berbicara akhirnya lebih kuat.
“Bu, saya mau
bicara...”
“Ada apa, Pak?
Pak Siman lagi butuh uang?”
Karsiman
menggeleng. “Bukan, Bu...”
“Terus?”
“Bu, saya mau
bicara soal pacar Mbak Seruni,” ucap Karsiman nyaris tanpa suara.
“Ya? Kenapa?”
“Saya... Saya
tahu... siapa... yang menganiaya pacar Mbak Seruni,” Karsiman tertunduk.
Dahlia
terbelalak. Sedetik kemudian dia segera menyeret Kardiman masuk ke dalam rumah.
*
* *
Sembilan
Pelan
Seruni mendekati bed Hazel. Laki-laki itu melihatnya, mengirimkan seulas
senyum.
“Hai,”
bisik Seruni.
Hazel
membalas genggaman tangan Seruni.
“Masih
sakit?” tanya Seruni.
Mata
Hazel mengerjap.
“Terima
kasih, Run,” ucap Hazel kemudian, lemah.
“Untuk
apa?”
“Kata-kata
cintamu.”
Wajah
Seruni memerah. “Mas Heiz dengar?”
“Semuanya,”
senyum Hazel.
“Kenapa
bisa terjadi?” Seruni mengalihkan pembicaraan. “Kenapa Mas Heiz ndak bilang tentang SMS ancaman itu?”
“Aku
nggak mau kamu khawatir, Run.”
“Aku
takut sekali, Mas. Takut sekali kehilanganmu,” mata Seruni merebak merah.
“Tapi
nyatanya tidak kan?” bisik Hazel dengan nada menggoda.
Mau tak mau Seruni
tertawa.
“Lantas
bagaimana kejadiannya?”
“Malam
itu aku ke kafe kita,” cerita Hazel pelan-pelan. “Nggak lama, cuma ketemu
sebentar sama Derry. Entah gimana tahu-tahu ada yang menghadangku di ujung
parkiran. Sebelum aku sadar aku sudah ditusuknya. Setelah itu blank, gelap.”
“Tusukannya
kena levermu, Mas.”
“Ya,
makanya sakit banget, Run.”
“Ya
sudah sekarang yang penting Mas Heiz istirahat dulu. Mungkin dua atau tiga hari
ke depan sudah boleh pindah ke ruang perawatan biasa. Mas Heiz mau minum?”
Hazel
mengangguk.
“Papa
sudah lapor ke polisi,” ucap Seruni. “Ditemani Romo dua hari yang lalu.”
“Romo di sini?”
“Iya,
sama Ibu. Sama Mas Haryo juga. Aku terbang dari Solo ke sini sama Romo. Ibu, Mas Haryo, Mbak Dahlia
menyusul dengan penerbangan berikutnya. Tapi Mbak Dahlia duluan pulang. Mas
Haryo baru pulang kemarin. Romo sama
Ibu masih di sini. Mungkin nanti sore baru ke sini lagi.”
“Jadi
orang tua kita sudah ketemu?”
“Ya,
dalam kondisi darurat,” senyum Seruni. “Sudah, Mas, istirahat dulu. Tidurlah,
aku temani sebentar.”
Hazel
memejamkan matanya.
*
* *
Pagi hari ini
terasa jauh lebih cerah di mata Seruni. Semalam Hazel sudah dipindahkan ke
ruang perawatan biasa. Seruni melangkah dengan ringan menyusuri lorong rumah
sakit menuju ke kamar perawatan Hazel. Ketika dia sampai di ujung lorong,
dilihatnya Megan melambaikan tangan ke arahnya.
“Masih ada
polisi di dalam,” ucap Megan pelan.
Seruni
mengangguk. “Pak Jonggi jadi datang, Ma?”
“Ya, di dalam
bersama Hazel dan Papa.”
Seruni duduk
di sebelah Megan. Megan menggenggam tangan Seruni.
“Ada indikasi
pelaku sudah diketahui, Runi,” kata Megan.
“Oh ya?”
Seruni terlihat sangat antusias. “Preman?”
Megan
menggeleng. “Orang suruhan. Benar ini berhubungan dengan ancaman yang diterima
Hazel.”
Seruni
ternganga. Belum sempat dia berpikir, pintu kamar Hazel sudah terbuka. Dua
orang polisi keluar diiringi papa Hazel dan Jonggi, pengacara keluarga Hazel.
“Mbak Seruni,”
kata Jonggi. “Bapak-bapak dari kepolisian ini ingin bicara dengan Mbak Seruni.
Bisakah?”
Seruni
mengangguk tanpa sadar. Mereka kemudian duduk di sofa depan kamar Hazel. Megan
dan Jonggi menemani Seruni.
“Selamat pagi,
Mbak Seruni. Maaf, kami harus mengganggu Mbak pagi ini.”
“Tidak
apa-apa,” Seruni tegang, tapi dia berusaha untuk tetap tenang.
“Kami sudah
berhasil menangkap pelaku penusukan terhadap Saudara Hazel. Ada informasi masuk
dari Solo, dan kami berkoordinasi dengan rekan kami di sana. Semalam pelaku
berhasil kami tangkap.”
“Solo?” Seruni
membelalakkan matanya.
Kedua polisi
itu mengangguk. “Benar, Mbak Seruni. Dan kami ingin mengkonfirmasi apakah Mbak
Seruni mengenal orang ini,” sebuah foto disodorkan pada Seruni.
Dan Seruni
hampir kehilangan napas ketika melihat siapa yang ada di dalam foto itu.
Ditatapnya kedua polisi di depannya.
“Dia
pelakunya?” tanya Seruni dengan suara bergetar.
“Ya,” kedua
polisi itu mengangguk tegas.
“Mbak
mengenalnya?”
Seruni
terpaksa mengangguk.
“Jadi bisa
Mbak katakan siapa dia?”
Seruni kembali
mengangguk. “Darno, sopir nenek saya,” ucap Seruni nyaris tanpa suara.
“Cocok,” gumam
salah seorang polisi.
*
* *
Seruni
tersedu di tepi bed Hazel. Hazel hanya diam sambil membelai rambut Seruni.
Dibiarkannya Seruni menuntaskan tangis. Pada akhirnya tangis Seruni mereda,
hanya tersisa isakan-isakan kecil.
Sebetulnya
Hazel juga tak kalah kaget ketika tahu penusuknya adalah Darno, sopir Eyang
Murti. Tapi dia selamat dan Darno sudah tertangkap. Baginya masalah sudah
selesai. Hanya saja siapa Darno betul-betul membuat Seruni shock.
“Aku
terima kalau Eyang tidak menyetujui hubungan kita,” isak Seruni. “Tapi kan
tidak perlu sampai menyuruh Darno melukaimu, Mas, bahkan hampir membunuhmu...”
“Memang
sudah pasti yang menyuruh Darno itu Eyang?” ucap Hazel sabar.
“Lantas
siapa lagi?” balas Seruni sengit. “Darno itu sopir Eyang. Orangnya Eyang yang
paling setia. Bahkan kalau disuruh Eyang menceburkan diri ke sumur pun pasti
dia mau, Mas.”
Hazel
terdiam. Pertanyaan yang sama pun sebetulnya muncul dalam pikirannya. Tapi dia
mencoba untuk ingkar. Terbayang di matanya sosok mungil Eyang Murti. Tatapan
perempuan sepuh itu tajam dan bersinar penuh semangat. Tapi tetap saja sama
sekali bukan mata seorang pembunuh.
Hazel
mendesah. Rasa nyeri tak diundang itu datang lagi.
“Berasa
sakit lagi, Mas?” Seruni bangkit dari duduknya.
Hazel
mengangguk sedikit. Seruni menyusut sisa airmatanya. Dibenahinya selimut Hazel.
“Sudah
tidur saja, Mas. Aku ndak apa-apa
kok.”
“Jangan
pikirkan lagi ya, Run...” Hazel menepuk lembut punggung tangan Seruni.
Seruni
mengangguk. Mencoba untuk tersenyum.
*
* *
Sepuluh
Eyang
Murti hanya bisa menunduk sambil menatap Darno dengan letih. Laki-laki setengah
baya itu bersimpuh di kaki Eyang Murti sambil menangis tersedu-sedu.“Kenapa, No?”
hanya itu yang mampu diucapkan Eyang Murti.
“Saya
khilaf, Ndoro Sepuh.... Saya
khilaf....”
“Bisa-bisanya
kamu hampir membunuh cucu mantuku,” gumam Eyang Murti. “Lalu siapa yang
menyuruhmu? Kenapa, No?”
Dahlia
tertunduk ketika mata Eyang Murti menyapu wajahnya. Mendung tebal menggayuti
wajah sepuh itu.
Ada
rasa bersalah yang menumpuk di sudut hati Dahlia. Ingatannya melayang pada
kejadian beberapa hari yang lalu...
* * *
Diseretnya Karsiman masuk ke
dalam rumah.
“Siapa orangnya, Pak Siman?”
Karsiman menatapnya
takut-takut. Dengan gemetar disebutnya
sebuah nama, “Darno, Bu.”
Dahlia terhenyak. Darno,
sopir eyangnya. “Kok Pak Siman tahu?”
“Darno keceplosan omong, Bu,
waktu cangkruk di warung nasi kucing sama saya. Yang dia katanya habis cuti itu,
Bu.”
Kepala Dahlia langsung
pening.
“Antar aku ke rumah Eyang,
Pak. Sekarang,” ucapnya tegas.
Dan di rumah Eyang Murti
kemarahannya meledak. Entah lenyap ke mana seluruh sopan-santun yang harus dia
lakukan di hadapan orang tua. Segala kekecewaan dan sakit hatinya selama
bertahun-tahun tumpah ruah begitu saja. Tak bersisa.
Ada rona kekagetan yang
sangat pada raut wajah Eyang Murti. Tapi dia hanya diam. Mendengarkan. Hanya
saja wajah sepuhnya memucat begitu Dahlia mengucapkan kalimat-kalimat
terakhirnya dengan lirih, tanpa tenaga, dengan gema pahit yang begitu dalam.
“Sebesar apapun penolakan
Eyang pada Hazel, tidak seharusnya Eyang menyuruh Darno untuk membunuh Hazel.
Saya sudah lakukan apa yang bisa saya lakukan. Saya penuhi semua permintaan
Eyang. Saya tutup rasa malu Eyang akibat perjodohan yang terancam gagal itu.
Saya sudah tidak bisa lagi merasakan sakit apa-apa. Tapi kenapa Eyang melakukan
itu? Kenapa?”
Dahlia terduduk dilingkupi
tangis. Perlahan Eyang Murti mendekati cucunya itu. Dia mengulurkan tangan,
menyentuh lembut rambut Dahlia.
“Sedemikian hitamkah aku di
matamu, Ndhuk?” ucapnya lirih, penuh kesedihan. “Aku tahu aku salah selama ini.
Maafkan aku, Ndhuk, sudah membuat hidupmu hancur. Aku hanya ingin
memperbaikinya dengan memberi Seruni jodoh yang baik. Dan pada akhirnya aku
tahu Seruni sudah menemukannya. Aku tak pernah menyuruh Darno melukai kekasih
Seruni. Tak pernah....”
Seketika Dahlia mengangkat
wajahnya. Dilihatnya linangan airmata penuh di pipi keriput sang nenek.
Seketika dipeluknya tubuh Eyang Murti. Dan tangisnya tumpah lagi dalam dekapan
hangat perempuan sepuh itu.
“Maafkan saya, Eyang....
Maafkan saya....”
Eyang Murti makin erat
memeluk Dahlia.
*
* *
Sebelas
Berita
penangkapan Raden Nganten Wulansari
Rumekso sungguh menggegerkan para keluarga darah biru. Ada yang mencibir, ada
yang menyalahkan, ada pula yang sekedar menaruh rasa kasihan. Sungguh kejadian
itu menggoreskan garis hitam tersendiri yang sangat sulit untuk dihapus begitu
saja.
Swandito
hanya bisa terdiam tanpa sanggup mengatakan apa-apa. Menyalahkan Dahlia? Tidak
bisa. Tidak boleh. Karena dia sendiri juga punya andil dalam menciptakan
keruwetan itu.
“Maafkan
aku, Dik,” ucap Dahlia penuh penyesalan.
Ditatapnya
perempuan itu. Matanya tampak kelam. Penuh beban penyesalan. Swandito
mengangguk pelan.
“Bukan
salah Mbak Lia,” jawab Swandito lirih. “Kami yang seharusnya minta maaf pada
keluarga Mbak. Apalagi Ibu sama sekali tidak menyesal. Dia bilang mati di
penjara sama saja. Toh umurnya tak lama lagi.”
Dahlia
tergugu. Ketika teringat penuturan Darno, batinnya jadi miris.
Ketika
tahu Swandito kukuh ingin menikah dengan Dahlia, ada yang berontak dari dalam
diri Wulansari. Banyak yang dipertaruhkan dalam rencana pernikahan itu. Harga
dirinya sebagai seorang ibu. Harga diri keluarganya sebagai trah
Pawokodirenggo. Dan harga diri sebagai pemangku luhurnya darah biru. Dahlia
bukan pilihan yang buruk. Tapi rasa malu karena tak berhasil mendapatkan gadis
terbaik seperti Seruni telah membuatnya gelap mata.
Darno
adalah satu-satunya rantai untuk menyingkirkan Hazel, dengan harapan bila Hazel
tak ada, maka dia akan tetap mendapatkan Seruni sebagai menantu. Darno adalah
bekas preman yang insyaf, yang belasan tahun lalu dipungutnya dari jalanan, dan
disalurkannya bekerja di rumah Eyang Murti. Darno tak pernah melupakan budi
yang diulurkan oleh Wulansari. Dan begitu mudahnya dia menyetujui permintaan
Wulansari untuk menyingkirkan kekasih Seruni. Sebuah kecerobohan yang dibayarnya dengan sangat mahal.
“Mbak....”
Lirih
suara Swandito menyentakkan Dahlia dari lamunan yang membungkusnya.
“Saya
masih boleh menemui Mbak Lia kan?”
Dahlia
tercekat menatap Swandito. Ada telaga harap yang begitu besar dalam mata
Swandito yang berkabut. Ada permohonan yang begitu naif dan sulit untuk
ditolak. Dahlia pun mengangguk.
“Saya
merasa nyaman bicara dengan Mbak,” ucap Swandito. “Lagipula saya tak punya
sesuatu yang harus saya sembunyikan di depan Mbak. Entahlah, Mbak. Saya merasa
damai ada di dekat Mbak Lia.”
Ada
yang bertalu-talu dalam dada Dahlia. Sesungguhnya dia merasakan hal yang sama.
Beberapa kali pertemuannya dengan Swandito pun memberikan efek nyaman dan damai
yang sama.
“Panggil
aku Lia, Swan, Dahlia. Tak perlu sebutan Mbak lagi.”
* * *
Dengan
telaten Seruni menyuapi Hazel. Hanya ada keheningan yang menenangkan di sekitar
mereka. Tak lama. Suara pintu kamar yang terbuka membuat mereka menoleh. Seruni
terpana. Begitu juga Hazel.
“Eyang?”
bisik Seruni.
Perempuan
sepuh itu tersenyum hangat. Seruni buru-buru menghampiri dan mencium tangan
eyangnya. Kemudian digandengnya tangan Eyang Murti.
“Eyang
kapan datang?” mata Seruni tampak berbinar mendapat senyum hangat dari sang
nenek.
“Ya
baru saja, sama Romomu langsung
dibawa ke sini. Le, piye kabarmu?” Eyang Murti menoleh ke
arah Hazel.
“Makin
baik, Eyang, terima kasih,” jawab Hazel takzim. Disambutnya uluran tangan Eyang
Murti dan dijabatnya penuh hormat.
“Maafkan
semua yang sudah terjadi ya, Le.
Maafkan aku,” ucap Eyang Murti dengan seluruh ketulusannya yang agung.
“Eyang
tak perlu meminta maaf seperti ini,” senyum Hazel. “Semua sudah ada jalannya.
Saya tidak apa-apa, itu yang terpenting. Terima kasih karena Eyang mau datang
ke sini.”
Eyang
Murti duduk kursi yang disodorkan
Seruni. Ditatapnya Hazel, dalam.
“Kau
harus sembuh secepatnya, Le,” ucap
Eyang Murti lembut. “Aku percaya kau bisa melakukannya. Aku pernah salah
menentukan pilihan untuk cucuku Dahlia, tapi kali ini aku tidak akan salah. Kau
yang terbaik untuk Seruni.”
Hazel
hanya terdiam. Tak mampu merngatakan apa-apa. Sekilas dilihatnya Seruni
tersenyum lebar di ujung bed.
“Kira-kira
kapan kau sembuh, Le?”
“Dalam
minggu ini sepertinya saya sudah boleh pulang, Eyang,” jawab Hazel. “Tapi perlu
waktu sekitar tiga bulan lagi agar saya benar-benar pulih.”
“Keberangkatanmu
ke luar negeri?”
“Masih
beberapa bulan lagi, masuk ke tahun depan.”
Eyang
Murti manggut-manggut. “Berarti pernikahannya bisa dilakukan di antara itu...,”
gumamnya.
Seruni
hampir tersedak. Hazel pun tak kalah kagetnya.
“Eyang,
kami belum siap,” ucap Seruni, pelan tapi tegas.
Eyang
Murti menatap Seruni dengan kening berkerut. “Maksudmu?”
“Eyang,
kami baru siap menikah setelah Mas Heiz selesai studi, bukan secepat ini.”
Eyang
Murti tertawa lebar. “Siapa yang membicarakan pernikahanmu? Aku sedang
membicarakan Dahlia dan Swandito.”
“Maksud
Eyang?!” Seruni ternganga.
“Mereka
saling membutuhkan teman, Ndhuk,”
ucap Eyang Murti bijak. “Kalau itu bisa membuat Dahlia bahagia, kenapa tidak?”
Seruni
menatap Eyang Murti setengah tak percaya. Juga diliputi kekagetan yang sangat.
Perempuan sepuh itu mengerti arti tatapan cucunya. Dia mengangguk.
“Ya,
Swandito sudah cerita semuanya padaku,” ucapnya tegas. “Perlu keberanian besar
untuk menceritakan itu, Ndhuk. Tapi
mereka mau melangkah maju. Apakah aku harus menghalangi kebahagiaan Dahlia?
Ibunya dan Swandito sendiri sudah menorehkan garis hitam dalam kehidupan
mereka. Sulit untuk dihapus. Tapi apa gunanya menoleh terus ke belakang?”
Seruni
tertegun. Rasanya begitu sulit memahami jalan pikiran neneknya. Luar biasa
feodal, sekaligus luar biasa bijak untuk masalah-masalah tertentu. Eyang Murti
bangkit dari duduknya.
“Sudah,
aku tak mau mengganggu kalian lagi. Aku mau pulang ke rumahmu, Ndhuk. Kamarmu kupakai ya?”
Seruni
hanya bisa mengangguk bodoh dengan pikiran kosong. Dahlia dan Swandito? Rasanya
dia ingin segera mencecar kakaknya itu dengan berbagai pertanyaan. Hingga
neneknya pergi Seruni masih juga termenung-menung. Hazel menatapnya heran.
“Ada
apa sih, Run? Kelihatannya kok shock
banget?”
Seruni
tersentak. Ditatapnya Hazel setengah linglung.
“Swandito....gay....
Tapi Mbak Lia tahu soal itu. Juga Eyang. Dan mereka akan menikah...”
Ganti
Hazel yang ternganga.
*
* * * *
S
E L E S A I
Pernah baca ini. Tetapi, selalu terasa baru... manis. --- Tapi apa gunanya menoleh terus ke belakang?”--- tanya semacam ini membuat berefleksi diri. Selamat pagi mbakyu.
BalasHapusMakasih pertamax-nya, Mbak MM... *suguhin teh manis sama bakwan*
HapusNyam... nyam... slurp.... bobo lagi.... wkwkwkwk.
HapusMbak Maria pasti yang pertama <
BalasHapusNggak pernah tidur malem dia, Pak. Hihihi...
HapusMakasih mampirnya, Pak Subur...
Asiik, ada bacaan menarik untuk malming, alamat novel yang baru saya beli dianggurin lagi nih he he he
BalasHapusHehehe... sekarang udah Senin, Bu... (bales komennya lelet)
HapusMakasih singgahnya ya...
Mbaaaaaa aq nagih royaltiiiiii
BalasHapusBaso tahuuuuuuu ta enteni! Wawakwakwak
Kalau diganti bakso mercon atau bakso keju mau ndak Mbak?
HapusSalam kenal Mbak...
@Nita : utang lunas yo... Wuakakak...
Hapus@Mbak Boss : nggak usah baksone, mercone ae... hihihi...
Suwun mampire, Mbak-Mbak cantik...
Dua jempol Mbak......
BalasHapusMakasih banyak, Mbak Tri... Salam kenal ya...
HapusManstaf :)
BalasHapusSalam paten dari Pak Edy... Makasih kunjungannya, Pak...
HapusKeren bu Lis. Sejak awal pembaca sudah disuguhkan konflik demi konflik yang berujung manis. Ikut bahagia untuk Hazel dan Seruni
BalasHapusMakasih banyak, Mas Pical... :)
Hapuswaah.....penulisnya keren banget...memainkan karakter dan penjiwaan setiap pemainnya....hingga pembaca larut di dalamnya.....maaf telat baca mbak Lis...
BalasHapusGpp, Mbak, nyante aja... Makasih mampirnya ya...
Hapusseru ceritanya. Untung link-nya ditautkan ke cerita yang sedang tayang....
BalasHapusKalo nggak di-link nanti bingung pas baca Ruang Ketiga, Fris. Makasih mampirnya ya...
Hapus