Minggu, 08 Maret 2015

[Cerpen] Second Puberty





www.oriflame.co.id


Prolog


Cissy (nyengir) : “Hm... Laki-laki itu pelanggan depotku. Nggak seganteng Eric, tapi entahlah! Dia... berkharisma. Sukaaa banget lihatnya! Aku rasa aku lagi puber kedua.”

Alexia (muram) : “Akhir-akhir ini Sammy lebih sibuk dengan gadgetnya. Ada kalanya dia mojok di teras sambil asyik chatting. Entah dengan siapa. Kayaknya dia mulai puber kedua.”

Hesti (malu-malu) : “Aku tertarik aja sama dia. Penampilannya miriiip banget sama Bimo, termasuk perut gendutnya itu. Wajahnya... gantengan dia dikit sih, daripada Bimo. Nggak tahulah.”

Lira (menatap ngeri) : “Amit-amit itu terjadi padaku dan Hans. Tapi soal sering lirik-lirik perempuan lain sih, Hans kayaknya mulai giat. Hm... Nggak cuma dia aja sih... Aku juga kadang-kadang gitu. Suka mata ijo kalau lihat laki-laki lain yang mature banget.”

Calista menatap keempat sahabatnya itu. Hanya bisa menelan ludah.

* * *

Ketika satu-satu teman-temannya bercerita tentang puber kedua, Calista hanya mendengarkan saja. Rasa-rasanya ia dan Danny jauh dari ‘gangguan hormonal’ seperti itu. Danny memang ganteng dan tambah matang di usianya yang masuk ke 43 bulan lalu. Ia sendiri merasa bahwa sekaranglah puncak hidupnya. Apalagi yang kurang dari hidupnya di usia ke-39? Kehidupan bahagia dan berkecukupan. Sepasang anak manis yang beranjak remaja. Seorang suami yang walaupun tak romantis tapi tetap penuh perhatian.

Hm... Calista menatap bayangan wajahnya di cermin. Rasa-rasanya akhir-akhir ini ia tak bisa lagi mengimbangi Danny. Bertahun-tahun mencoba mendandani Danny, yang didapatnya adalah kesuksesan besar. Penampilan Danny terlihat sangat padu dan sempurna. Makin menambah plus diri Danny yang memang sudah simpatik dari sononya. Danny pun memujanya sebagai perempuan yang tahu selera suami. Luar dalam. Membuatnya membumbung tinggi dan mulai berpendapat : “Ah! Sudah laku ini!” Dan ia baru tersadar ketika menemukan tiga helai uban di sela-sela rambut hitamnya.

Calista terhenyak seketika. Uban? Di usia 39? Jawaban teman-temannya beragam. Alih-alih memberinya pencerahan. Semuanya malah membuatnya makin bingung.

“Aku sudah beruban sejak umur 28. Ha! Kamu nggak tahu kan? Itu sebabnya aku rajin mencat rambutku,” Hesti tertawa renyah.

“Hati-hati, Danny bisa menoleh ke arah lain lho...,” Lira mengedipkan sebelah mata.

“Kalau Danny menoleh ke arah lain, kenapa kamu enggak?” timpal Alexia, menambah keruwetan.

“Saatnya memperbaiki penampilan...,” celetuk Cissy, kalem. “Cat saja rambutmu. Habis perkara.”

Calista pusing seketika.

Dan akhir-akhir ini ia bukannya tak memperhatikan perubahan Danny. Sedikiiit perubahan. Hanya sedikit. Tapi cukup membuatnya mulai memikirkan ucapan teman-temannya tentang puber kedua. “Wajar...”

Wajar? Calista menelan ludah. Pada Danny-ku? Calista hampir menangis.

* * *

“Kayaknya aku mulai bosan sama bau ini,” Danny menatap sebotol parfum di tangannya.

Calista melirik.

Parfum beraroma dasar musk itu sudah bertahun-tahun dipakai Danny. Cocok sekali untuknya. Pernah sekali waktu Danny berganti parfum dengan aroma dasar citrus. Hasilnya, mereka berdua sama-sama pening ketika membaui aroma itu.

“Mama nggak bosan?” Danny menatap Calista dari cermin.

Calista menggeleng. Baginya, Danny dan aroma musk adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Satu kesatuan yang bisa menggetarkan seluruh ujung syaraf aktif yang dimilikinya.

“Papa cocok banget pakai parfum itu,” gumam Calista.

“Iya sih...,” Danny balas bergumam. “Tapi apa salahnya coba aroma yang lain?”

“Ya terserah Papalah...,” Calista mengangkat bahu.

“Besok kita keluar cari parfum yuk!”

Kalau biasanya Calista terhanyut dalam binar mata Danny, maka kali ini tidak. Ditatapnya Danny sedemikian rupa. Danny bukannya tidak bisa menangkap arti tatapan Calista. Ia mengerutkan kening.

“Kenapa?”

“Nggak kenapa-kenapa,” Calista menggeleng. “Cuma aneh saja lihat Papa jadi centil begini.”

Seketika Danny mengumandangkan tawanya.

“Memangnya cuma Mama yang boleh centil? Potong rambut gaya bob, diwarnai jadi agak coklat...”

“Jelek ya?” Calista terjingkat.

“Enggaaak...,” Danny meraih bahu Calista. “Justru tambah cantik. Cantiiik banget!”

Dan Calista hampir lupa bernapas ketika bibir Danny mampir hampir dua menit lamanya di bibirnya.

* * *

Mobil Danny sudah menghilang di belokan ujung jalan. Calista menutup pintu pagar. Sejenak kemudian ia duduk di teras. Menatap koleksi suplirnya.

Pagi ini ia seperti kehilangan Danny. Danny yang dilepasnya pergi bekerja adalah Danny beraroma woody dengan dasar cinnamon yang agak pekat. Bukan lagi musky Danny yang sanggup membuat dadanya seolah dihuni petasan yang berebutan meledak-ledak.

Calista menghela napas panjang. Ia hanya ingin Danny kembali. Dan satu-satunya tempatnya mengadu adalah cermin besar di dalam kamarnya. Lalu bayangan di seberang sana seolah menyentakkan kesadarannya.

Calista yang polos tanpa polesan bedak. Dengan rambut bob berwarna kecoklatan yang disisir seadanya. Baju yang melekat di badannya cuma daster berbahan kaos bergambar kucing ceria berwarna oranye cerah.

Pagi yang harus dilalui Danny dengan menatap istri yang cuma tampil seadanya. Setiap pagi. Selama hampir lima belas tahun. Calista terduduk di depan cermin.

Aku harus melakukan sesuatu!

* * *

“Wow!”

Meta menatap Calista hampir tak berkedip. Calista tersenyum manis di belakang kemudi city car-nya.

“Ayo, Nona! Nanti abangmu mengomel menunggu jemputan kita.”

Meta kemudian duduk dengan manis di sebelah Calista. Ketika Calista mulai menekan pedal gas, Meta menoleh dengan wajah penasaran.

Are you really my mom?

Calista terbahak mendengarnya.

“Aku jadi minder...”

Calista terbahak lagi ketika mendengar nada sedih ala drama queen keluar dari bibir Meta.

“Sudah deh, nggak usah lebay.”

Look at yourself, Ma!” Meta melebarkan kedua telapak tangannya. “Mama tuh cantik banget, tahu nggak? Apalagi kalau mau dandan begini. Jadi kayak gadis lagi!”

“Berlebihan ya?” Calista merasa hatinya menciut sedikit.

“Enggaklah. Semuanya pas. Pantes banget kalau Papa dulu jatuh cinta sama Mama.”

Calista hampir tersedak. Gadis kecil berumur dua belas tahun? Tahu apa tentang jatuh cinta?

Calista membelokkan city car-nya ke area parkir sebuah lapangan futsal. Setiap hari Jumat sepulang sekolah, Abe selalu bermain futsal dengan teman-temannya. Waktu bubarnya selisih setengah jam dari waktu Meta selesai ekskul.

Ketika Calista dan Meta keluar dari mobil, sebuah suara menyapa Meta. Keduanya menoleh.

“Kamu nunggu abangmu ya?” Cilla berjalan mendekat.

“Iya nih!” jawab Meta.

“Masih lama. Mereka baru aja dapat lapangannya,” tatapan Cilla beralih pada Calista. “Lho! Tante?”

Calista tersenyum lebar menatap mata bulat Cilla. Dibalasnya jabatan tangan Cilla.

“Kenapa, La?”

“Aaah! Tante cantik banget! Nggak kayak biasanya! Ups!”

Calista tergelak. Ia masih juga tersenyum-senyum setelah Meta dan Cilla menghilang. Berpamitan untuk cari es campur di depot di sudut kompleks lapangan futsal.

Sambil menunggu selesainya Abe, Calista kemudian duduk di sebuah bangku di bawah pepohonan. Tepat menghadap ke arah jajaran lapangan futsal yang dibatasi oleh pagar kawat hingga ke atap.

Iseng, ditatapnya satu per satu para pemain futsal di lapangan pertama. Lalu dunianya seolah berhenti. Ia terpaku pada satu sosok.

Laki-laki itu mengenakan seragam futsal berwarna putih biru. Sosoknya yang cukup tinggi tak terlalu menonjol, sebetulnya. Wajahnya juga biasa-biasa saja. Bahkan bentuk badannya pun masih jauh lebih maksimal Danny. Tapi entah kenapa tatapan Calista justru berlabuh padanya.

Duh! Aku ini kenapa?

Diputuskannya untuk mengalihkan saja perhatiannya dari sosok yang mengganggu pandangannya itu. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans-nya.

Cis, sekarang aku tahu apa yang kamu rasakan. Aku lihat seorang laki-laki dan entah kenapa aku sukaaa banget lihatnya. Aku belum pernah ketemu dia sebelum ini.

Dan balasan BBM dari Cissy sungguh membuat Calista terhenyak : Hip hip huraaa! Selamat datang di masa puber kedua!

* * *

Ini adalah hari Jumat ketiga Calista bertemu laki-laki itu. Sebetulnya bertemu bukanlah kata yang pas. Ia cuma melihat laki-laki itu. Tidak pernah lebih. Tapi kejadian baru saja membuatnya tersentak.

Ia menunduk menatap ponselnya ketika sekilas dilihatnya laki-laki itu berjalan mendekat. Dadanya dipenuhi dentaman liar yang entah datang dari mana. Dan laki-laki itu hanya lewat di dekatnya. Sekadar lewat untuk menuju ke arah mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat Calista duduk. Tapi hal yang sekilas itu mampu membuat jantung Calista nyaris berhenti berdetak.

Aroma itu... Aroma dasar musk yang sangat dikenalnya. Yang selama ini sudah membuat hidupnya dipenuhi warna indah.

Calista memejamkan mata. Ini tidak boleh terjadi!

* * *

Malam yang menghening membuat Calista menutup sebuah novel yang dibacanya. Ia kemudian bangkit dan membuka pelan-pelan pintu ruang kerja Danny. Di situ ia melihat Danny tengah tercenung di depan laptopnya. Seketika ia tercekat setelah melihat apa yang tengah ditatap Danny di layar laptopnya. Foto dirinya. Yang rupanya diambil Danny secara candid.

Ia sedang berdiri di dapur. Menghadap ke arah jendela. Menunduk menekuni sesuatu. Sinar matahari senja tampak menyinari wajahnya dengan sebelah sisi rambut terselip di belakang telinga, dan sisi lainnya terurai menjadi latar belakang profil samping wajahnya. Bibirnya tampak berwarna merah muda. Senada dengan kaos berwarna shocking pink yang tampak pas melekat di tubuhnya yang tidak lagi terlalu langsing.

Rupanya kehadiran Calista dalam diamnya berhasil mengusik Danny. Ia mengalihkan tatapannya dari layar laptop dan mendapati Calista tengah tertegun melihat gambaran wajahnya sendiri di layar laptop.

“Hai!” bisik Danny.

Calista tersentak. Ditatapnya Danny sambil berjalan mendekat.

“Kenapa, Pa?”

Danny mengangkat bahu sambil menghela napas panjang.

“Aku baru sadar punya istri secantik ini. Dan aku mulai takut kehilangan dia.”

Calista terbatuk. Danny menatapnya, lekat.

“Kenapa Mama mengubah warna rambut Mama?”

Calista duduk di sofa. Ia balik menatap Danny.

“Aku menemukan uban di rambutku,” Calista tertunduk. “Cuma sedikit, tapi... Ehem! Lalu aku memutuskan untuk mencat saja sekalian memotongnya karena rambutku mulai rontok. Kata kapster salon, itu karena rambutku terlalu tebal dan berat.”

“Oh...”

“Kenapa baru Papa tanyakan sekarang? Sudah sekitar sebulan yang lalu aku mencat dan memotong rambut.”

“Hm...,” Danny seolah kehilangan kata. “Dan akhir-akhir ini Mama juga mengubah penampilan. Kenapa?”

“Karena aku takut kehilangan Papa,” bisik Calista, akhirnya. “Papa ganti parfum. Papa kelihatan lebih sibuk dengan gadget Papa. Papa juga lebih memperhatikan penampilan. Aku...”

Danny berdiri dan pindah duduk ke sofa. Di sebelah Calista. Direngkuhnya bahu Calista.

“Kalau aku katakan ini, Mama pasti akan marah,” Danny mempererat rengkuhannya. “Aku akui, aku hampir terpeleset, Ma.”

Tak urung Calista kaget walaupun kemungkinan itu sudah pernah mampir sejenak ke dalam benaknya.

“Ma, aku minta maaf. Aku salah, Ma. Salah besar! Tapi kemudian aku sadar ketika Mama mulai mengubah penampilan. Sedikit berdandan. Dan tiba-tiba saja Mama menjelma lagi jadi perempuan yang pernah kujatuhi cinta sepenuh hati. Lalu aku mulai takut kehilangan Mama. Dan aku mengakhiri semuanya.”

Calista terdiam. Tak tahu harus menanggapi bagaimana.

“Ma,” tiba-tiba saja Danny sudah berlutut di depan Calista. “Ampuni aku ya, Ma? Nggak akan terulang lagi. Aku janji...”

Calista tercenung sejenak. Ingatannya melayang pada laki-laki di lapangan futsal. Dibandingkan dengan Danny, tentu saja Danny menang segalanya. Mungkinkah ia goyah karena Danny juga goyah? Calista memejamkan matanya.

“Ma, marahlah. Katakan apa saja, asal jangan diam begini...”

Calista menghela napas panjang sebelum berbisik, “Aku paham mungkin memang kita harus melewati fase ini, Pa. Puber kedua. Kupikir Papa sedang mengalami itu. It’s OK kalau pada akhirnya Papa sadar. Asal jangan pernah diulangi lagi.”

“Aku janji, Ma,” Danny menggenggam kedua tangan Calista. “Aku janji. Cukup sekali saja dan aku sudah kapok. Aku suka penampilan Mama yang baru. Suka sekali! Tapi aku juga takut kalau ada laki-laki lain melirik Mama.”

“Aku dandan begini bukan buat siapa-siapa,” Calista memencet hidung mancung Danny. “Aku dandan buat Papa. Supaya Papa jatuh cinta lagi padaku. Supaya Papa nggak menoleh ke arah lain.”

“Hm...,” Danny menatap Calista dengan mata berbinar. “Aku akan bikin semua laki-laki yang melirik Mama pasang muka jealous.”

Calista tergelak seketika. Dirangkumnya kedua pipi Danny yang mulai lebih chubby dengan kedua telapak tangannya yang hangat.

“Buang parfum cinnamon itu. Aku nggak suka,” bisik Calista.

“Lho, Mama nggak bosan dengan aroma musk?” Danny menatap Calista dengan wajah polosnya.

Calista menggeleng. “Papa dan musk itu sudah satu kesatuan. Aku jatuh cinta karenanya. Paham?”

Danny tak menjawab. Hanya menghujani bibir Calista dengan ciumannya yang beraroma mint.

* * *


Epilog


“Jadi hari ini Papa cuti, sore ini sama Mama menjemputku dari ekskul, terus menjemput Mas Abe, terus mau menitipkan kami berdua ke Eyang, lalu mau nge-date berdua?” Meta cemberut berat.

Danny tersenyum lebar menanggapi gerutuan Meta. “Sekali-sekali kenapa sih, Ta?”

“Ya... nggak apa-apa sih,” Meta mengangkat bahu. “Tapi harus ada kompensasinya.”

“Kalau enggak?” goda Calista.

“Kalau enggak, aku mau ajak Mas Abe mogok makan sama mogok ngomong.”

“Coba aja kalau betah,” Danny terbahak.

“Dih! Nyebelin!” seru Meta.

“Terus, kompensasinya apa dong?” Calista menoleh sekilas pada Meta yang duduk di jok belakang.

“Minggu besok berenang sepuasnya.”

“Eits!” seru Danny. “Senin besok mid semester. Kamu sama Abe kalau berenang sampai lupa diri pasti buntutnya masuk angin. Minggu depan saja berenangnya, setelah mid.”

“Deal!”

Danny membelokkan mobilnya ke area parkir, kemudian menghentikannya di sebelah sebuah mini MPV berwarna silver. Sosok yang sangat dikenal Calista tampak sedang berjalan mendekati mini MPV itu. Danny membuka kaca jendelanya.

“Hen!”

Laki-laki yang dipanggil ‘Hen’ itu menoleh, kemudian mengembangkan senyumnya.

“Oi! Dan! Lu ngapain di sini? Mau futsal juga?”

Danny keluar dari mobil, diikuti Calista dan Meta.

“Enggaaak... Gue mau jemput sulung gue. Eh, kenalin ini bini sama bungsu gue.” Danny kemudian menoleh ke arah Calista, “Ini Hendry, Ma, dulu temen sekantorku.”

Mereka kemudian saling berjabat tangan.

“Kayaknya tiap Jumat selalu ke sini ya?” Hendry menatap Calista.

Yang ditatap hanya mengangguk sambil mengulum senyum. Berusaha abai terhadap samar-samar wangi musk yang sempat mengelus hidungnya. Tapi entah kenapa, tiba-tiba Calista seolah menyadari sesuatu.  Sekarang wangi musk itu terasa lain dengan wangi musk Danny. Nyaris tak lagi berefek apa-apa.

“Untung nggak saya godain,” Hendry terbahak. “Bisa memar dibanting Danny.”

Danny terbahak bersamanya. Ada nada bangga dalam tawanya. Tanpa tahu apa yang pernah terjadi di hati Calista.

Calista melambaikan tangan ketika melihat Abe sudah usai bermain futsal. Remaja tampan itu bergegas berlari mendekat.

Seiring senja berlalu, Calista memutuskan untuk menutup saja lembar yang kemarin sempat tergambar. Toh tidak terjadi apa-apa.

‘Dan tak akan terjadi apa-apa yang lain lagi,’  janji Calista dalam hati. Toh musky Danny-nya  juga sudah kembali seutuhnya. Tak akan bisa dibandingkan dengan ‘another musky man’.

* * * * *

20 komentar:

  1. oh...gitu ya.mbak Liss.....kok aku gak ngalami yaa.....(.eh entah ding..)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... kurang tahu juga sih, Mbak... Katanya sih gitu tapi juga nggak semua orang ngalamin.
      Makasih mampirnya ya, Mbak Bekti...

      Hapus
  2. Nice post, saya sudah lewat dan syukur nggak ngalami yang aneh2 he he

    BalasHapus
  3. wah,.... susah mebayangkannya.... Tetapi tetap menikmatinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini juga ngawur aja kok, Mbak MM, hehehe...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  4. Wouw ... Cerpen yg kereeennn, Dik Liss ... :)
    Seperti pengalaman pribadi. hihihiiii..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... hasil ngerumpi sama temen kemarin nih, Bu Nur...
      Makasih singgahnya ya...

      Hapus
  5. Uhuk! Uhuk! Curang nih, aku udah kepikiran pengen nulis soal puber kedua, eh keduluan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Jadi skor kita soal dulu-mendului udah berapa nih, Mas Ryan?
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  6. aku puber kedua kok dirimu anteng aja seh, jeng... ??? #sebel

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wuakakak... Bingung arepe komen opo...
      Nuwus mampire, Jeng...

      Hapus
  7. Siapa yaa yang jadi sumber inspirasi kisahnya??
    #kedip2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siapa yaaa? *noleh kanan-kiri-atas-bawah-depan-belakang*
      Hehehe... Makasih mampirnya, Mas Pical...

      Hapus
  8. Balasan
    1. Plus yang pakai musk, hihihi... Makasih dah mampir, Mbak Fie...

      Hapus
  9. Wkwkwk... sebenarnya yg disukai laki-laki yg lagi puber kedua dari cewek itu apa seh, Tante? ;) ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lha ya aku nggak tau, Mbak. Aku kan emak-emak, bukan bapak-bapak 😁😁😁
      Tanya para bapak-bapak noh...

      Hapus
  10. Asik banget baca sampai abis, bahkan bisa membayangkan kalau jd filmnya haha... Good one mbak Liz!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Makasih singgahnya, Mbak Ge... 😊😊😊

      Hapus