Enam
Dengan lesu Ronan mengarahkan tatapannya ke jam digital di dashboard city car-nya. Dua menit sebelum pukul delapan. Ia baru saja selesai mengajar matrikulasi di kelas sore yang dimulai pukul enam. Ia ragu sejenak. Antara pulang ke apartemen atau pulang ke rumah seperti biasanya saat Jumat malam.
Sudah dua-tiga hari ini ia merasa tidak enak badan. Tubuhnya terasa panas-dingin, kepalanya berat, hidungnya tersumbat, mulai batuk-batuk, tenggorokannya pun mulai terasa nyeri untuk menelan. Tadi menjelang siang, sebelum kembali ke kantor, setelah mengajar salah satu kelas matrikulasi reguler, ia sempat ke klinik kampus. Dokter mendiagnosanya flu dan radang tenggorokan. Harus segera istirahat, tapi sayangnya ia masih ada jadwal mengajar sore harinya.
Beberapa kali ketukan di jendela kanan depan membuatnya sedikit tersentak. Ia menoleh dan menurunkan kaca jendelanya.
“Ya, In?”
Inna terlihat sedikit membungkuk.
“Ron, boleh nebeng sampai halte busway di depan situ?” tanyanya.
“Masuk aja, In,” Ronan membuka pintu depan kiri dari dalam.
Inna mengucapkan terima kasih dan cepat-cepat melangkah memutari mobil. Beberapa detik kemudian perempuan berusia menjelang 30-an itu sudah duduk manis di sebelah Ronan.
“Nggak dijemput Mas Leo?” tanya Ronan sambil menghidupkan mesin mobil.
“Lagi dinas ke Lombok. Sudah hampir seminggu. By the way, lu kenapa? Suara lu sengau gitu?”
“Kena flu gue,” Ronan menoleh sekilas sambil kakinya mulai menekan pedal gas. “Berat banget ini kepala.”
“Eh, stop! Stop!” Inna terlonjak. “Lu yakin bisa nyetir dalam kondisi kayak gini?”
Ronan melepaskan kakinya dari pedal gas. “Lu punya alternatif lain?”
“Ya,” tegas Inna. “Gue yang nyetir. Gue anter lu sampai ke apartemen, ‘tar gue pulang naik taksi. Daripada celaka di jalan.”
Ronan menyerah. Kepalanya sudah tidak lagi bisa diajak kompromi. Ia tidak berani minum obat karena belum makan. Keduanya kemudian berpindah posisi. Setelah memastikan Ronan sudah duduk nyaman, barulah Inna mulai meluncurkan mobil itu.
“Lu sejak kapan gak enak badan?” tanya Inna.
“Dari Rabu sore. Eh, In, gue pulang ke rumah bokap aja, deh. Lebih deket ke rumah lu.”
“Lha, bukannya malah tambah jauh?” Inna menoleh sekilas.
“Oh, iya, gue belum kasih tahu lu kalau bokap sudah pindah, ya? Sudah hampir satu setengah bulan ini, In. Ke Taman Citra.”
“Oh...,” Inna manggut-manggut. “Tapi apartemen lu tetep, kan?”
“Masihlah...”
Pelan-pelan Ronan menyandarkan kepalanya ke headrest. Memejamkan mata.
“Lu tidur aja, Ron. Tapi Taman Citra-nya sebelah mana?”
Tanpa membuka mata, sambil merebahkan sedikit sandaran jok, Ronan menyebutkan nama jalan, blok, dan nomor rumah orang tuanya. Inna menghafalkannya baik-baik sambil terus meluncurkan mobil Ronan.
Mereka sudah berteman sejak awal masuk kuliah S1 dulu, hingga kini saat sama-sama menjadi dosen di almamater mereka. Keduanya klop dalam banyak hal. Membuat pertemanan itu meningkat jadi persahabatan tak lama setelah dimulai. Jujur, Inna menyukai Ronan dalam kadar lebih daripada seorang sahabat. Sayangnya, Ronan lebih memilih Yuke, satu-satunya adik Inna, sebagai seorang kekasih. Sebuah pilihan yang membuatnya amat sangat terkejut. Tapi justru dari situ ia melihat bahwa Ronan menjaga Yuke dengan baik, bahkan jadi sosok yang membuat Yuke jadi lebih optimis dan bersemangat menapaki hidup yang terbentang begitu luasnya di depan.
Pada akhirnya Ronan dan Yuke memang harus berpisah karena Yuke memilih untuk mengakhiri baik-baik hubungan mereka dan mengejar beasiswa tingkat master setelah meraih gelar sarjananya. Ia terbang ke Amerika Serikat. Menjemput dan menatap kehidupan yang dirasanya jauh lebih baik di sana. Inna sendiri memilih untuk memindahkan hatinya pada Leo, salah seorang teman kuliah di jenjang master.
Inna tahu bahwa Ronan dan Yuke masih berteman. Ketika ia menikah dengan Leo setengah tahun yang lalu, Yuke yang sudah menamatkan pendidikan masternya dan sudah bekerja, menyisihkan waktu untuk pulang ke Indonesia. Pada kesempatan itu, Ronan dan Yuke sempat bertemu, tapi Inna tidak tahu apa yang mereka berdua bicarakan. Yang jelas, Yuke kembali lagi ke Amerika, dan Ronan kembali menjalani hidupnya seperti biasa. Masih tetap bersahabat dengan Inna.
Hampir sejam kemudian mobil itu sampai di depan kompleks perumahan Taman Citra. Setelah bertanya pada satpam yang bertugas di pos keamanan, Inna pun meluncurkan mobil Ronan sesuai dengan petunjuk satpam itu.
“Lurus saja, Bu, sampai ada pertigaan, belok kiri, mentok sampai pertigaan lagi, belok kanan, lurus saja, gerbang cluster Citra Ruby adalah gerbang ketiga di sebelah kiri jalan. Nanti ada satpam lagi di sana. Ibu tanya saja arah bloknya.”
Masalahnya... Inna sekilas menoleh ke arah Ronan yang masih tertidur di jok sebelahnya. Gimana aku bisa keluar dari kompleks elit ini? Hm... Oh, ya, taksi online!
Di depan cluster Citra Ruby, Inna harus berhenti lagi. Kali ini karena ada portal yang dijaga satpam. Ia menurunkan kembali kaca jendela.
“Selamat malam, Ibu,” seorang satpam memberinya hormat, kemudian membungkuk sedikit. “Mohon maaf, Ibu hendak ke mana?”
“Selamat malam, Pak,” sahut Inna ramah. “Saya mau ke rumah Pak Pradana Respati, Blok C-4 nomor 16. Sekalian mau tanya arahnya.”
“Oh, silakan Ibu lurus saja. Blok C ada di jalan masuk kedua dari sini sebelah kanan, C-4 itu jalan kedua dari ujung blok C, sebelah kanan juga.”
Inna kemudian meluncurkan kembali mobil Ronan setelah mengucapkan terima kasih. Bertepatan dengan itu, laki-laki yang duduk di sebelahnya itu pelan-pelan membuka mata.
“Sudah sampai mana, In?” gumamnya sambil menegakkan sandaran jok.
“Masuk cluster. Lu masih pusing?” Inna menoleh sekilas.
“Tambah parah,” keluh Ronan. “Eh, lu ‘tar nggak usah panggil taksi, In. Bawa aja mobil gue.”
“Lha, terus gue mulangin-nya kapan?”
“Senin aja. Ketemu di kampus.”
“Lu berangkatnya gimana?”
“Gampanglah...”
Inna membelokkan mobil Ronan masuk ke blok C-4. Beberapa saat kemudian ia menghentikan mobil itu di depan rumah bernomor 16. Ronan mengulurkan tangannya untuk memencet klakson dua kali dengan ringan. Segera saja terlihat ada seorang perempuan berlari kecil untuk membukakan pintu pagar lebar-lebar. Inna kembali meluncurkan mobil hingga ke carport di depan garasi.
* * *
Sasya
menggeliatkan tubuhnya sebelum ‘hinggap’ di atas jok motor pada pukul delapan
malam. Senang rasanya bisa pulang agak sore hari ini, karena siang tadi ia
mengawali jam kerja lebih awal. Besok ia benar-benar libur.
Tadi pagi di kampus, saat mengunjungi perpustakaan, ia bertemu dengan Olin. Gadis itu senang sekali ketika Sasya memberi tahunya soal hari libur ‘paksaan’ itu. Segera saja ditodongnya Sasya untuk mentraktirnya makan. Sasya menyanggupinya sambil tertawa. Olin memang belum sempat kecipratan gaji pertama Sasya.
Tadi pagi di kampus, saat mengunjungi perpustakaan, ia bertemu dengan Olin. Gadis itu senang sekali ketika Sasya memberi tahunya soal hari libur ‘paksaan’ itu. Segera saja ditodongnya Sasya untuk mentraktirnya makan. Sasya menyanggupinya sambil tertawa. Olin memang belum sempat kecipratan gaji pertama Sasya.
Sekitar pukul sembilan, Sasya sudah sampai di rumah. Sekilas sempat dilihatnya mobil Ronan meluncur masuk ke halaman rumah Pradana ketika ia sampai di ujung jalan blok.
Hm... Jadi beliaunya pulang jam segini kalau hari Jumat?
Selama beberapa Jumat ini ia memang selalu pulang menjelang pukul dua belas malam. Ketinggalan begitu banyak berita tentang tetangga.
“Sudah makan?” sambut Fritz begitu Sasya mematikan mesin motor dan melepas helmnya di dalam garasi.
Gadis itu menggeleng.
“Mandilah dulu, schat,” ujar Fritz. “Papa sudah siapkan sesuatu buat kamu. Mama belum pulang.”
Sasya mengangguk. Tiap hari Jumat sore Yuliani memang aktif berlatih paduan suara untuk tugas di gereja. Fritz terkadang ikut juga kalau sedang ingin. Tapi sore ini tidak. Laki-laki itu memilih untuk menunggu gadis bungsunya pulang, dan memasak sesuatu untuk gadis kecil kesayangannya itu. Apalagi sore tadi Sasya sudah memberitahunya kalau akan pulang cepat.
Lima belas menit kemudian gadis itu sudah muncul di dapur dengan wajah segar dan aroma harum. Terlihat sangat santai dengan tank top berwarna shocking pink dan celana gemes jeans yang sudah tidak jelas lagi warnanya. Rambutnya hanya digulung ke atas dan ditahan sebuah jepit besar. Ia duduk manis di depan island, menunggu menu yang disiapkan ayahnya benar-benar siap.
Kerlip di matanya muncul lagi begitu Fritz menyodorkan secangkir besar teh hijau hangat dan sebuah piring bundar lebar berisi chicken cordon bleu1) yang masih panas dan sudah diiris melintang jadi dua, disiram saus keju kesukaan Sasya, dilengkapi beberapa sendok setup sayur dan seonggok frites. Jelas terlihat bahwa lapisan-lapisan dalam chicken cordon bleu itu terbentuk dengan sangat sempurna.
“Wuuuh...,” Sasya menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. “Mantaaap, Papa!”
Fritz tertawa ringan melihat reaksi Sasya. Laki-laki itu kemudian duduk menemani sang putri menikmati makan malamnya. Di tangannya ada sebotol bir Früli dingin berukuran 330 ml. Matanya tampak bercahaya ketika melihat sedemikian lahapnya Sasya makan. Si anak bungsu pun tersenyum melihat betapa ayahnya tak pernah bisa lepas dari tradisi menikmati bir. Setidaknya sebotol kecil sehari. Walaupun hanya bir ringan, tetaplah itu adalah bir.
“Enak?” celetuk Fritz.
Sasya tak menjawabnya. Hanya mengacungkan jempol sambil terus makan. Yuliani yang muncul tak lama kemudian ikut bergabung. Ia membawa oleh-oleh berupa beberapa buah kue putu ayu. Fritz mencomotnya satu.
“Wah, enak!” ujarnya begitu sebuah kue amblas dalam dua gigitan, dan ia mencomot satu buah lagi.
“Buatan Bu Wanda,” timpal Yuliani. “Dia tadi yang bawa.”
“Oh, ikut kor juga?” Fritz mencomot kue ketiga.
“Sisain buat aku, Papa,” Sasya mengerucutkan bibir.
Fritz terkekeh.
“Iya, ini tadi dia dan Pak Dana pertama kali ikut latihan. Gaby ikut gabung juga, masuk kor remaja. Eh, Sas, kamu tadi ditanyain Bu Sam, lho.”
“Terus, Mama bilang apa?” Sasya mengamankan dua buah kue putu ayu sebelum disikat habis ayahnya.
“Ya, Mama bilang jadwalmu lagi ketat. Mbok ya hari Jumat kamu shift pagi saja. Biar sore bisa ikut latihan lagi. Sopran kurang personil, lho!”
“Nanti, deh, Ma, kalau jadwal kuliah reguler sudah keluar, aku atur ulang. Biar bisa ikut kor lagi. Oh, ya, besok boleh pinjam mobil Mama, nggak?”
“Mau ke mana?” Yuliani berdiri untuk mengambil segelas air dingin.
“Agak siang mau keluar sama Olin. Mau nongkrong di kafe.”
“Nah, gitu, dong!” senyum Yuliani. Duduk kembali di sebelah Sasya. “Kamu memang perlu waktu untuk dirimu sendiri.”
Sasya nyengir.
“Ya, pakai saja mobil Mama,” angguk Yuliani.
“Matur nuwun, Mama,” ucap Sasya manis.
Yuliani tersenyum sambil mengelus kepala putri bungsunya itu. Botol bir di tangan Fritz sudah kosong. Laki-laki kemudian menjangkau pintu kulkas. Mengeluarkan tiga piring kecil berisi flan2) yang dihiasi anggur hijau dan aneka buah beri. Kerlip di mata Sasya makin bertambah. Segera saja sepiring flan berpindah ke perutnya. Tanpa menyadari bahwa dengan jahil Fritz mencomot dua buah kue putu ayu yang sudah disisihkan Sasya dan menghabiskannya.
“Yah, Papa!” seru Sasya. “Kueku diembat! Yah! Yaaah!!!”
Fritz terbahak. Yuliani tertawa melihat keduanya.
“Besok-besok Mama buatkan, Sas,” celetuknya, membuat Sasya menghadiahinya sebuah ciuman hangat di pipi.
“Hm... Sudah Papa buatkan makan malam, ada bonus flan juga, tapi tidak dapat ciuman,” Fritz berlagak cemberut.
Sasya melompat berdiri, menghampiri ayahnya, kemudian menekankan ujung hidungnya ke pipi Fritz. Membuat laki-laki itu terkekeh senang.
* * *
Entah kenapa, Ronan terbangun tiba-tiba. Ia meraih ponsel yang tergeletak di dekat bantalnya. Dengan menyipitkan mata, dilihatnya jam ponselnya menunjukkan angka 01:37. Kepalanya masih terasa pusing dan badannya masih terasa tak keruan. Iseng dibukanya aplikasi Whatsapp. Ada beberapa pesan baru yang masuk. Satu yang menarik perhatiannya. Dari Yuke.
‘Mas, sakit? Semoga cepat pulih, ya? Jaga kesehatan baik-baik.’
Ronan menghela napas panjang. Pasti Inna yang kasih tahu dia.
Diletakkannya kembali ponsel di sebelah bantal, tanpa membalas pesan dari Yuke. Ia memejamkan mata. Berusaha tidur lagi. Tapi yang muncul adalah bayangan wajah Yuke. Ada sebersit kerinduan yang tiba-tiba saja muncul. Tanpa bisa dicegah. Bagaimanapun Yuke adalah secuil masa lalunya. Yang tak bisa dihapuskan begitu saja. Begitu juga Valina, yang pernah ada di dalam hatinya sebelum Yuke.
Tiba-tiba saja terngiang kembali kata-kata Inna yang diucapkan sebelum berpamitan tadi.
“Yang gue lihat dia gadis baik, Ron. Gue tahu hati lu. Ayolah! Gue gak mau lihat lu lepasin kesempatan untuk dapetin dia. Lu bisa, Ron.”
Ucapan yang timbul karena sekilas ia menyebutkan bahwa si fenomenal Sarasvati Voorhoof tinggal di rumah sebelah.
Nggak semudah itu, In..., erangnya dalam hati.
* * *
Catatan :
1) Chicken cordon bleu adalah hidangan yang terbuat dari dada ayam tanpa tulang yang diisi/digulung dengan lembaran daging asap dan keju lunak (misalnya : keju mozarella, keju Swiss, blue cheese, keju cheddar lembaran). Bagian luarnya dilapisi tepung roti kasar (bread crumbs) kemudian digoreng dengan banyak minyak (deep frying) atau dipanggang. Karena daging ayamnya cukup tebal, biasanya digoreng dulu, kemudian dipanggang dalam oven hingga bagian dalamnya matang sempurna tapi bagian luarnya tetap renyah dan tidak gosong.
Nama chicken cordon bleu sama sekali tidak berhubungan dengan nama sekolah masak terkenal Le Cordon Bleu.
Istilah cordon bleu sendiri artinya pita biru (blue ribbon), yang dalam salah satu sejarahnya (dari Perancis) merupakan penghargaan tinggi bagi dunia kuliner dan seni memasak.
2) Flan adalah hidangan penutup berasal dari Spanyol berupa sejenis puding dengan lapisan tipis karamel di bagian atasnya. Terbuat dari susu (dan krim), telur, dan gula. Dapat disajikan hangat maupun dingin. Terkadang dihidangkan dengan tambahan buah-buahan.
Catatan
tambahan : pemakaian istilah mijn meisje (atau mijn jongen
untuk anak laki-laki) sebagai panggilan sayang, ternyata tidak lazim / tidak tepat.
Istilah
yang benar adalah schat (artinya sayang / dear / my dear),
dapat digunakan kepada anak, cucu, atau pasangan (suami, istri, kekasih), dan sejenisnya.
Dengan
ini, kesalahan telah diperbaiki.
Dank u wel, Josephine
Kartika Sari...
Ilustrasi : pixabay.com (dengan modifikasi)
Pagi2 jd lapeerrr....
BalasHapus😊😊😊
Maem Mbaaak... 😆😆😆
HapusNgelus dodo moco postinganmu nyah. Garai luwe
BalasHapusWakakak... Kapoook... 😝😝😝
HapusBr hr ini sempat bc mulai dr prolog. Cerbung yg bnr2 menyiksa otak, mulut & perut 😦
BalasHapus😁😁😁 Speechless 😷😷😷
HapusTapikir chicken cordon bleu itu resepe tekok le cordon bleu lo mb Lis.
BalasHapusTibae bukan ya ?
Jadie dapet ilmu baru gek sini.
Ma kasi ilmue ya mb.......
Hihihi... Tak'pikir yo iyo kok 😁😁😁
HapusBaru ngeh setelah baca referensi. Nuwus mampire, Nit... 😘😘😘
Pak Dosen flu gara-gara kangen Sasya, ya?
BalasHapus😁😁😁
Hapus