Senin, 11 Januari 2016

[Cerbung] Vendetta #3








Episode sebelumnya : Vendetta #2 : Little Lantern


* * *

Gold Medallions



Angel meniup medali emas yang tergantung pada seuntai kalung emas itu pelan-pelan. Dan medali itu mulai berputar, berputar, berputar... Sesekali berlian yang terikat di dalamnya memantulkan kilasan warna-warni serupa biasan prisma kaca.

Hanya itu yang tertinggal. Tak ada yang lain. Ketika ia mengambil medali itu, seketika itu juga kotak berlapis beledu merah itu kosong.

“Angel...,” seorang perempuan setengah baya muncul dari balik pintu. “Makanlah dulu.”

Angel menyimpan medali itu ke dalam kotaknya, kemudian beranjak pergi. Diikutinya langkah perempuan setengah baya itu.

“Mami, seandainya ada yang menangkapku, Mami tak apa-apa sendirian?” celetuk Angel tiba-tiba.

Perempuan setengah baya yang dipanggil Mami itu menatap Angel dengan sedih. Hanya tiga detik. Kemudian tatapannya berubah jadi setegar batu karang.

“Kamu tak akan tertangkap,” ucapnya lirih, penuh keyakinan. “Setidaknya Mami tak akan membiarkan seorang pun menangkapmu.”

Angel mengulum senyum. Gelap.

Namanya Luita. Sesungguhnya perempuan setengah baya itulah malaikatnya. Yang sudah mengangkatnya dari lorong hitam panti asuhan yang seakan tak berujung. Memberinya kehidupan baru. Yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Terkadang luka itu masih terasa nyeri walaupun bertahun telah berlalu. Walaupun bekasnya pun sudah terhapus sempurna. Tapi bukan di sana tepatnya rasa nyeri itu menyayatnya. Bukan di wajahnya. Tapi hatinya. Parah.

“Angel, seandainya Mami yang harus pergi duluan, kamu tak apa-apa sendirian?”

Pertanyaan itu membuat Angel seketika menghentikan suapan terakhir yang sudah sampai ke depan mulutnya. Ditatapnya Luita dengan mata berkabut. Kemudian ia menggeleng.

“Mami tidak akan pergi duluan,” dengan sempurna ditirunya nada suara itu. “Setidaknya aku tak akan membiarkan Mami pergi duluan.”

Luita tersenyum. Hangat. Sehangat mentari pagi yang bersinar di luar sana.

“Mami,” celetuk Angel tiba-tiba. “Laki-laki itu sudah mati. Kapan Mami akan menemui mereka?”

Luita tercenung.

Menemui mereka? Untuk apa? Mengorek lagi luka di hatinya yang pernah terbentuk karena cambuk-cambuk kehidupan itu?

Luita menggeleng pelan. Seharusnya dendamnya sudah terbayar lunas. Dengan perginya Ferry ke neraka. Maka kesempatan sudah terbuka lebar baginya. Tapi...

“Nanti, Angel,” tegas Luita. “Aku belum memikirkannya.”

Angel sedetik menatap Luita. Dan ia mengangguk. Sepenuhnya mengerti.


* * *


Karunia menatap kotak kecil berlapis beledu biru itu dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di hatinya. Ingatannya kembali pada seseorang yang menatapnya dengan mata berbinar malam itu.

“Karunia,” bisik perempuan cantik pemilik mata berbinar itu. “Mungkin aku harus pergi pagi-pagi besok. Berikan ini pada Felitsa. Katakan aku mencintainya, dan katakan juga padanya agar berlaku manis sepanjang hari, dan berdandan rapi di sore hari, karena kami akan merayakan ulang tahunnya.”

“Baik, Nyonya,” ucapnya dengan senyum mengembang.

Membayangkan wajah cerah Felitsa selalu membuatnya seolah dipenuhi cahaya dan kegembiraan.

Airmata Karunia menitik ketika mengingat binar mata Nyonya Sofia. Dan itu sudah berlalu dua puluh tahun lamanya. Dengan tangan gemetar dibukanya kotak kecil itu. Sebuah medali emas dengan beberapa butir berlian yang menghiasinya. Tetap berkilau tanpa pudar.

Dan ia buru-buru menghapus airmata itu ketika mendengar pintu depan dibuka dan ditutup. Digenggamnya kotak kecil itu.

Nanny, di mana kau?”

Sebelum Karunia beranjak, Felitsa sudah menemukannya. Wajah cantik yang diliputi binar itu seketika berubah ketika melihat wajah sendu Karunia.

Nanny, ada apa?” tanya Felitsa.

Karunia menggeleng. Diulurkannya kotak kecil itu pada Felitsa. “Seharusnya aku memberikan ini padamu dua puluh tahun yang lalu,” bisik Karunia.

Felitsa menerima kotak itu tanpa suara, kemudian membukanya. Ada pantulan warna-warni yang indah. Berasal dari butiran berlian yang terikat di sana. Felitsa terpukau. Medali keemasan itu adalah benda yang terindah yang pernah dilihatnya.

Nanny...,” gumam Felitsa tanpa mengalihkan tatapannya

“Aku sengaja menyimpan itu,” Karunia mengelus bahu Felitsa. “Karena itu adalah milikmu.”

Ada yang terasa getir di hati Karunia. Sebenarnya semua ini milik Felitsa. Dan pengorbannya seumur hidup ia sandarkan pada hidup Felitsa. Pelan dipeluknya gadis itu dengan seluruh rasa sayang yang dimilikinya. Felitsa balas memeluknya.

Nanny,” ucap Felitsa halus. “Terima kasih atas semuanya. Kau tahu, hari ini surat pengangkatanku sebagai dosen sudah turun. Aku bahagia, Nanny...”

Mendengar itu, Karunia menangis dan tertawa sekaligus. Semuanya sudah terbayar lunas. Segala pengorbanannya. Kehidupannya. Perasaan khawatirnya. Mendengar nada bahagia dalam suara Felitsa, tak ada lagi hal lain yang diinginkannya.


* * *


Hujan di luar kafe sudah berhenti lama. Menyisakan hawa dingin yang menyusup melalui jendela-jendela yang terbuka. Membawa sekilas bau segar tanah basah.

“Penahkah dia menceritakan tentang aku, Tam?” suara itu sarat kesedihan dan kerinduan.

Tama mengangguk. “Dia merindukanmu, Lui...”

“Aku belum bisa,” perempuan itu tertunduk.

“Ferry sudah tak ada, Lui,” ucap Tama halus. “Dan Sabrina akan melahirkan sebentar lagi. Dia membutuhkanmu.”

Luita menggeleng. “Dia kuat. Dia akan bisa melaluinya dengan baik,” gumam Luita. “Dia anakku yang paling kuat.”

“Lalu kapan kamu akan menemui anak-anakmu?”

Luita kembali menggeleng. Seutuhnya hatinya diliputi kebimbangan. Ingin ia melihat sejumput rindu di mata anak-anaknya, tapi ia juga mencemaskan keselamatan Angel. Mungkin tidak sekarang.

Luita merogoh tasnya. Dikeluarkannya sebuah kotak kecil. Disodorkannya kotak itu pada Tama.

“Berikan ini pada Sabrina. Jangan katakan dari aku. Katakan saja kau membelinya di sebuah lelang.”

Tama menghela napasnya. Dibukanya sedikit kotak itu. Sebuah medali kecil dengan kalungnya.

“Dulu Ferry memberikannya padaku,” ucap Luita setengah menerawang. “Dan aku menginginkan medali itu jadi milik Sabrina. Jadi berikan padanya ya, Tam?”

Sebelum Tama menanggapinya, Luita telah melangkah pergi. Tama menatap perempuan itu. Bagaimana pun mereka pernah begitu dekat. Walau kemudian harus berpisah. Ketika orang tua mereka bercerai. Dan ibu tiri Tama membawa pergi anak kandungnya, Luita.

Sekali lagi Tama menatap kotak kecil itu, kemudian memasukkannya ke dalam saku pantalonnya. Tak lama kemudian ia beranjak dan berlalu.


* * *


Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta #4 : Burning Life


14 komentar:

  1. Seruuu, nggak sabar nunggu lanjutannya.

    BalasHapus
  2. Uwaaaaaa Mami ini tibae mamae Sabrina tah mba ????
    Jadine aq ndoprok kambek mikir, isok ae yo mba Lis nulis crito tegang" kayak gini ?
    Otakku wis ga nyucuk mba ......
    Mau bengi aq rasan" kambek papae arek". Ejosssss cene sampean iki !
    Opo meneh lek jadi mbalangno getuk qiqiqiqiqiqi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lek dibalang gethuk uncali Siji yo Mbak...

      Hapus
    2. Halaaah... Gethuk diurusiii...
      Suwun mampire, Mbak-Mbak ayu...

      Hapus
  3. gini deh...
    kalo gak ada yang mau medali itu, buat aku ajah.

    gimana ???
    #maruk

    BalasHapus
  4. Eeeeeeaaaaaaa lm gak buka2 blog Tante. Rolling ke part 1 dl ah!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Lagi sibuk banget yak?
      Makasih mampirnya, Put...

      Hapus
  5. Wis kah aku ga tlaten lek moco cerbung ngene. Ngenteni matengan sa'tamate ae jarno rapelane garai sugeh yoh. Gapopo masiyo ko'balang getuk neh wkkkkkkkkk

    BalasHapus
  6. Masa lalunyaa...bikin..hukksss..hukksss.. :(

    BalasHapus