Jumat, 20 Maret 2015

[Novelet] Garis Hitam Darah Biru









Satu


Kata-kata Eyang Murti adalah titah. Titah ratu yang sama sekali tak boleh dibantah. Seolah jadi aib dan dosa besar bagi siapa pun yang mengingkarinya. Feodalisme yang sama sekali tak masuk akal, tapi masih juga terjadi. Sungguh menyedihkan…

Seruni pusing sekali memikirkannya. Hubungannya dengan Hazel sudah mencapai taraf sangat serius. Dalam setiap acara di keluarga besar Hazel, Seruni selalu diperkenalkan sebagai ‘calonnya Hazel’.

Tapi sekarang? Dibacanya sekali lagi SMS singkat dari ayahnya. Dia sudah hapal luar kepala.

‘Pulanglah, Ndhuk. Eyang sudah menentukan tanggal pertunanganmu.

Sesaat, Seruni kembali membeku.

Bila dia mengira Eyang akan berhenti setelah kasus Dahlia, maka dia salah. Sepenuhnya salah. Menjauh keluar dari Solo dan bertahan hidup di Jakarta tak membuatnya bisa lepas dari kungkungan aura dan karisma Eyang Murti.

Bahkan ayahnya pun tak mampu bersuara bila Eyang Murti sudah ‘bersabda’. Seperti kerbau dicocok hidungnya, pikir Seruni sebal. Tak ada sama sekali bau-bau kebijakan dan wibawa seorang ayah. Semua kehidupan seolah berpusat pada sosok mungil Eyang Murti. Makin memikirkan itu, makin gemas saja Seruni rasanya.

Tadi siang di telepon, Dahlia sudah melarangnya pulang. Kakak tengahnya itu sampai menangis mengiba.

“Kumohon Runi, jangan pulang…,” ucap Dahlia putus asa. “Kamu tidak lihat apa yang terjadi padaku? Apakah aku belum cukup Runi?”

Seruni hampir menangis.

Dahlia dulu dijodohkan oleh Eyang Murti dengan Pradipta, putra keluarga Notosatmoko dari trah Projolaksono. Dahlia yang penurut itu terpaksa harus meninggalkan Rengga demi menuruti titah Sang Nenek. Tapi pengorbanannya sia-sia.

Pradipta bukanlah lelaki baik-baik. Dia hanyalah lelaki ringan tangan yang hobi berselingkuh. Bahkan janin berusia 6 bulan dalam perut Dahlia tidak bisa diselamatkan setelah Dahlia dihajar hebat oleh Pradipta hanya gara-gara terlambat membukakan pintu. Janin beserta pembungkusnya, rahim Dahlia.

Dan Dahlia baru bisa lepas dari neraka bersama Pradipta hampir setahun yang lalu, setelah 5 tahun menikah. Itu pun karena laki-laki bajingan itu mati karena overdosis shabu. Pelan-pelan Dahlia kembali tegak. Meneruskan usaha salon yang dulu pernah dirintisnya.

Sebelumnya, Haryo juga menikah dengan Kusrini karena dijodohkan. Tapi Kusrini adalah perempuan yang baik. Tak heran cinta tumbuh cepat di hati Haryo. Apalagi dia memang belum punya kekasih ketika dijodohkan dengan Kusrini.

Dari Haryo, kakak sulungnya, Seruni tahu bahwa yang akan dijodohkan dengannya oleh Eyang Murti adalah Swandito. Laki-laki itu adalah anak bungsu keluarga Rumekso dari trah Pawokodirenggo.

Seruni bukannya tak kenal Swandito. Laki-laki tampan dan pendiam itu adalah kakak kelasnya saat SMA. Tapi di saat teman-teman perempuannya sibuk menggosipkan Swandito, Seruni hanya melihat dari jauh. Ada sesuatu di mata Swandito. Kabut yang tak pernah lekang. Kabut yang membuat Seruni tak pernah ingin terlibat di dalamnya.

Seruni menghela napas panjang. Berusaha melepaskan rasa sesak di dadanya. Dia membaca sekali lagi SMS dari ayahnya. Perjodohan? Ini menyangkut kehidupannya kelak. Terutama kehidupannya bersama Hazel.

Hazel….

Mata Seruni menyusuri tiap milimeter foto wajah Hazel di atas mejanya. Hazel yang tenang dan selalu memberi perasaan nyaman. Pemilik mata coklat yang selalu terlihat damai. Yang selalu mengirimkan getar-getar aneh dalam hati Seruni.

Seruni pun meraih ponselnya. Dan tak lama kemudian sebuah suara lembut menyapa telinga Seruni.

“Halo, selamat sore, Sayang. Ada apa?”

Suara Seruni bergetar ketika membalas sapaan itu. “Mas Heiz, kita harus bicara…”

* * *

Hazel menyeruput teh hangatnya dengan santai. Seruni belum bicara apa-apa, tapi ditunggunya dengan sabar. Seruni menatap Hazel dengan bimbang. Wajah laki-laki itu terlihat sedikit lelah, tapi cahaya tampak berkerlip di matanya. Seruni mendesah. Hazel balik menatapnya.

“Jadi?” Hazel menyungging senyum.

Seruni menghela napas panjang. Sejujurnya dia tak tahu harus mulai dari mana.

“Runi sayang, kamu bilang kita harus bicara. Jadi apa yang akan kita bicarakan?” Hazel meletakkan cangkirnya di atas meja.

Seruni menyodorkan ponselnya. SMS dari ayahnya. Hazel kembali menatap Seruni setelah membaca SMS itu.

“Hm… Jadi eyangmu sudah menentukan tanggal pertunangan kita ya? Aku nggak keberatan, tapi pernikahan kita tetap seperti rencana semula kan? Menunggu aku pulang dari Amerika?”

“Bukan denganmu, Mas, tapi laki-laki lain,” suara Seruni hampir tak terdengar.

Hazel hampir tersedak. “Maksudmu?”

“Aku dijodohkan, Mas. Aku ndak mau, tapi aku ndak tahu cara melawan Eyang.”

Hazel menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi.

“Mungkin kita memang harus menikah sebelum aku berangkat, Runi,” nada suara Hazel terdengar ragu.

“Aku belum siap, Mas. Kita belum siap. Aku ndak mau kita nikah karena dipaksa keadaan.”

Hazel menatap Seruni. Ada setumpuk beban menggunung di mata Seruni.

“Aku akan melamarmu pada keluargamu, Runi, sekalian dengan membawa keluargaku. Sekarang atau nanti, sama saja. Aku sudah mantap memilihmu untuk jadi pendamping hidupku.”

“Aku tahu, Mas. Tapi gimana kalau kita hadapi saja dulu? Maksudku, kita berdua menghadap Romo dan Ibu.”

Hazel menimbang sejenak keinginan Seruni. Ya, masuk akal. Setidaknya keluarga Seruni bisa mengerti keseriusan hubungan Seruni dengannya.

“Kapan?”

“Secepatnya,” tegas Seruni.

“Oke, kalau begitu besok kuurus cutiku dari kampus,” ucap Hazel mantap.

Dan betapa lelehnya hati Hazel melihat binar di mata Seruni.

* * *


Dua


Dari bandara, Seruni dan Hazel langsung menuju ke rumah Dahlia. Cuti Hazel cuma 3 hari kerja. Tidak banyak waktu yang mereka punya untuk mengurai keruwetan itu. Seruni sendiri tidak terikat waktu, karena butik batik yang dia kelola adalah miliknya sendiri.

Dahlia memeluk Seruni erat ketika mereka bertemu. Airmatanya tumpah. Menangisi sejarah kelam yang bisa jadi mungkin akan terulang.

“Eyang benar-benar terlalu,” geram Dahlia.

“Sudahlah, Mbak,” ucap Seruni. “Yang penting aku harus bisa bertemu Swandito sebelum aku pulang ke rumah Romo. Mbak tahu di mana harus kutemui Swandito?”

Dahlia mengangguk.

Seruni menatap Hazel. Laki-laki itu mengangguk samar. Memahami sinyal yang dikirimkan Seruni. Seruni sudah memutuskan untuk menyelesaikan keruwetan itu. Masalah ini harus tuntas. Jauh hari sebelum pertunangannya dengan Swandito dilaksanakan. Seruni sudah bertekad. Dia siap untuk bertempur, bersama Hazel.

‘Ya, Seruni, kita akan berjuang bersama demi memenangkan pertempuran ini,’ batin Hazel pasti.

* * *

Dahlia menuangkan teh ke cangkir. “Sudah lama kenal Seruni, Dik?” ditatapnya Hazel sekilas.

“Iya, Mbak, empat tahunan. Mama saya pelanggan butiknya,” Hazel menjawab sopan.

“Silakan, Dik,” Dahlia menyodorkan teh pada Hazel.

“Makasih, Mbak,” ucap Hazel spontan.

“Bukan bermaksud rasis, tapi Dik Hazel bukan asli Jawa ya?”

“Mm… Asli banget sih enggak. Mama saya dari Inggris. Papa yang asli Jawa.”

“Oh… Jadi kalian sudah tahu betapa sulitnya kondisi hubungan kalian sekarang kan? Mungkin bukan masalah besar buat Romo dan Ibu. Hanya saja Eyang... Ah, sudahlah! Jangan khawatir, Mas Haryo dan aku akan membantu, Dik. Biar kejadian buruk ndak terulang lagi.”

“Ya, Seruni sudah menceritakan apa yang Mbak Dahlia alami. Sedih banget mendengarnya, Mbak,” ucap Hazel tulus.

Dahlia tersenyum getir. “Ya beginilah nasib terlahir dari keluarga yang masih terlalu kental feodalismenya. Jaman sudah seperti ini masih juga etnis dipermasalahkan dan perjodohan dilakukan.”

Dalam hati Hazel merasa gamang. Dia mencintai Seruni, seutuhnya. Tapi kenapa waktu saat ini sepertinya sama sekali tidak tepat buat mereka? Hazel menghela napas panjang.

“Jangan pernah merasa kalah saat pertandingan baru dimulai, Dik,” ucap Dahlia lembut. “Jangan pernah.”

Hazel menatap Dahlia. Ada aura ketegaran memancar dari sosok perempuan yang pernah teraniaya itu. Diam-diam Hazel merasa malu karena gamangnya sempat timbul.

* * *

Sopir Dahlia meluncurkan mobil ke arah Jogja. Sebuah perjalanan yang dingin dan sunyi. Seruni mulai menyesali keputusannya untuk menemui Swandito sendirian. Hazel dipaksanya tinggal di rumah Dahlia, tak perlu ikut ke Jogja. Seruni mendesah. Betapa sebenarnya dia membutuhkan saluran kehangatan dari genggaman tangan Hazel yang selalu membuatnya nyaman

Di depan sebuah kantor yang megah mereka berhenti. Tak urung Seruni tertegun-tegun dalam langkahnya. Apa yang hendak dikatakan oleh Swandito nanti?

“Seruni, apa kabar?” Swandito menyapa ramah dan menjabat tangan Seruni erat.

“Aku mengganggu?” tanya Seruni lugas.

Swandito sejenak terkesima. Tapi dia segera menguasai dirinya. Dia tersenyum sambil menggeleng.

Tanpa menunggu lagi Seruni mulai ‘pertempuran’-nya.

Dengan kelugasan yang sama dia menembakkan pertanyaan itu. “Mas Swan menyetujui pertunangan ini?”

Swandito menatapnya lama. Seruni jadi jengah. Tapi ditentangnya juga tatapan itu.

“Kau sendiri?” Swandito balik bertanya, sabar.

“Tidak,” tegas Seruni. “Sama sekali tidak. Aku sudah punya kekasih dan aku akan memperkenalkannya pada Romo.”

Sebuah sensasi yang aneh perlahan merayapi Seruni. Mata itu. Mata Swandito. Tetap menyimpan kabut yang sama.

Tapi aku menyetujui pertunangan itu, Seruni,” jawab Swandito akhirnya.

“Kenapa?” sambar Seruni.

Wajah Swandito tampak bimbang. Ditatapnya Seruni dalam-dalam. Wajah polos Seruni mengusik nuraninya. Mengorbankan Seruni? Alangkah hinanya aku! Swandito menggeleng sedih. Dari mana dia harus menceritakannya?

“Jawab aku, Mas Swan!” suara Seruni menyentakkan kesadaran Swandito.

“Ibuku sakit, Seruni,” jawab Swandito lirih. “Keinginannya cuma satu. Melihatku secepatnya menikah. Harapan makin tipis. Aku harus berkejaran dengan waktu. Waktu Ibu tak banyak. Tidak akan sampai setahun, menurut dokter.”

Seruni terhenyak. Permintaan terakhir? Dia menggeleng. “Kenapa aku?” desisnya.

Swandito menghela napas panjang. “Kau gadis paling cantik yang pernah dikenal Ibu, Seruni. Eyangmu juga menyetujui keinginan Ibu.”

Seruni makin ternganga. Jaman apa ini? Sudah gilakah aku? Sudah gilakah Swandito?

“Hanya kurang dari setahun, Seruni. Setelah Ibu tiada kita bisa bercerai baik-baik. Kau bisa menikahi kekasihmu,” suara Swandito bergema lembut.

Seruni menatap Swandito dengan ngeri. Ditendang dalam kondisi ‘compang-camping’ sebagai bekas istri? Apakah segampang itu Hazel bisa menerimanya kembali?

“Eyangmu juga sudah mulai sakit-sakitan. Mungkin melihatmu menikah adalah keinginan terakhirnya juga. Kau cucu terakhirnya kan? Kejadian yang menimpa Mbak Dahlia cukup mengguncang Eyangmu. Tapi kau tidak akan bernasib sama, Seruni. Aku berjanji….”

Seruni menggelengkan kepalanya berkali-kali. Dia sadar tak punya cukup persiapan untuk menghadapi ‘pertempuran’ itu. Awalnya dia berharap akan mendapat tambahan amunisi dari Swandito. Awalnya dia berharap Swandito akan menolak pertunangan itu, sama seperti dirinya. Baru dia sadar. Kali ini dia sendirian. Benar-benar sendirian. Dia terdongak lemah ketika suara Swandito kembali bergema.

“Aku berjanji kau akan tetap perawan sampai pernikahan kita berakhir.”

Seruni melihat kabut menebal di mata Swandito.

“Karena aku gay, Seruni….”

Dan Seruni pun nyaris pingsan.

* * *


Tiga


Seruni menatap keluar jendela mobil dengan lelah. Bagaimana sebenarnya seorang Swandito harus ditutupnya rapat-rapat. Punah sudah harapannya agar Swandito juga menolak perjodohan itu.

Langit lembayung menaungi kepalanya ketika Seruni turun dari mobil. Dahlia menatapnya dengan kening berkerut. Hazel memilih untuk diam dulu.

“Run, gimana hasilnya?” tanya Dahlia tak sabar.

Seruni menggeleng lemah. “Dia setuju.”

“Swandito mencintaimu?” tanya Dahlia.

Seruni kembali menggeleng. “Dia hanya mau memenuhi permintaan ibunya. Katanya umur ibunya ndak lama lagi.”

“Ah, macam Tuhan saja!” tukas Dahlia. “Lalu setelah ibunya meninggal dia akan menceraikanmu?”

Seruni mengangguk.

“Lalu kalau ibunya masih bisa hidup sampai 10-20 tahun lagi, kamu bisa apa?” tegas Dahlia.

Seruni menggeleng lagi. Kemudian ditatapnya Hazel. “Kita sendirian. Besok kita menghadap ke Romo dan Ibu. Aku pesimis, Mas, tapi tetap harus kita coba. Masih ada waktu 3 minggu sebelum pertunangan sialan itu.”

* * *

Sebuah sambutan yang ramah tapi cenderung agak dingin. Hazel bisa merasakannya. Dia berusaha memakluminya. Bagi keluarga Seruni, dia tentunya tak lebih dari orang luar yang mencoba menyeruak masuk ketika segalanya telah ditetapkan.

Blank.

Tak ada yang tersisa di kepala Hazel. Pun ketika Seruni mengatakan dengan suara bergetar tentang penolakannya pada perjodohan itu.

“Saya mencintai Mas Hazel, Romo, Ibu. Kami memang tidak akan menikah dalam waktu dekat ini, tapi kami sudah merencanakannya hingga jauh ke depan.”

“Tapi semua sudah ditetapkan, Ndhuk. Kamu tahu sendiri sekeras apa eyangmu,” ucap Priyo lembut

“Tapi bagaimana dengan semua kehidupan saya? Mimpi saya? Harapan saya?”

Priyo menghela napas panjang. Dia menatap putri bungsunya itu dengan sedih. Sepenuhnya dia memahami perasaan Seruni. Tapi ibunya masih jadi sinar kehidupan dalam keluarga besarnya itu.

Takut kualat. Tak mau durhaka. Priyo terpojok pada dua pilihan yang sama-sama sulit. Ibunyakah yang sudah menyalurkan begitu banyak energi kehidupan? Atau putrinyakah yang membawa matahari dalam tiap napas hidupnya sebagai seorang ayah?

Bayangan wajah lebam dan tubuh nyaris hancur Dahlia membayang dalam benaknya. Priyo selalu ingin menangis ketika mengingat peristiwa itu. Hanya keajaiban Sang Pemberi Hiduplah yang menyelamatkan Dahlia.

Wajah Priyo mengeras. Tatapannya beralih pada laki-laki tampan di samping Seruni. Laki-laki itu tertunduk takzim. Wajahnya terlihat begitu tulus dan bersih. Perasaanya sebagai seorang ayah membisikkan bahwa laki-laki itulah yang lebih cocok untuk mendampingi Seruni.

“Nak, katakan pada Bapak, apa yang bisa kau lakukan pada Seruni?” ucapnya sabar.


Hazel mengangkat wajahnya. Dengan tenang ditatapnya ayah Seruni.

“Mohon maaf sebelumnya, Bapak, Ibu, saya benar-benar mencintai Seruni. Sesuai kesepakatan, kami memang merencanakan untuk menikah sekitar 3 tahun lagi. Saya mendapat tugas belajar dari kampus tempat saya mengajar. Kami bermaksud menikah setelah itu. Setelah segalanya tertata baik. Agar Seruni tetap bisa menjalankan usahanya dan usaha kami yang sudah kami rintis sejak 2 tahun yang lalu. Lagipula usia Seruni sekarang masih muda, baru 23 tahun. Kami harap dia bisa lebih matang nanti saat kami menikah.”

Priyo menatap istrinya. Srikandi balik menatapnya, dalam. Ada banyak letupan cahaya yang ingin diungkapkan Srikandi. Priyo memahaminya. Dia kembali menatap Hazel.

“Aku tidak bisa menjanjikan akan jadi apa hubungan kalian sekarang. Beri aku waktu berpikir. Aku tidak menolakmu, Nak Hazel. Aku tahu kau laki-laki yang baik untuk anakku. Hanya saja, beri aku waktu.”

Seruni menatap ayahnya tak percaya. Sungguh dia menyesal telah menuduh ayahnya tak bijak. Sekejap kemudian dia sudah memeluk ayahnya erat.

“Terima kasih, Romo,” bisiknya penuh haru. “Terima kasih…”          

* * *

Empat


Sunyi melingkupi rumah joglo itu. Malam merambat naik. Di dalam sebuah kamar besar ada sebuah pembicaraan serius. Tentang Seruni.

“Mas, aku tidak ingin ada perjodohan lagi,” ucap Srikandi lirih.

“Aku paham, Jeng,” Priyo menepuk lembut punggung tangan Srikandi. “Apalagi Seruni sudah punya pilihan sendiri.”

“Aku masih trauma dengan pengalaman Dahlia,” desah Srikandi. “Aku yakin Swandito tidak seperti Pradipta. Swandito dididik dengan baik. Tapi entah mengapa aku merasa ada yang salah dengan Swandito.”

Priyo menghela napas panjang. Sesungguhnya dia merasakan hal yang sama dengan Srikandi. Sementara ketika dia melihat Hazel, hatinya merasa tenang.

“Menurutmu bagaimana dengan laki-laki yang dibawa Seruni itu, Jeng?”

“Aku jadi ingat kita dulu, Mas,” Srikandi agak tersipu. “Hanya saja kita sudah saling mencintai sebelum kita dijodohkan.”

“Kita beruntung, Jeng,” gumam Priyo. “Sangat beruntung…”

“Kita harus menghadap Ibu, Mas. Dan aku ingin mengajak Dahlia,” tegas Srikandi.

“Apa tidak akan memperuncing masalah?” Priyo menatap Srikandi, ragu-ragu.

“Setidaknya dia bisa jadi pengingat bagi Ibu atas kesalahan itu, Mas.”

Priyo pun akhirnya mengangguk. “Hubungi Dahlia, Jeng.”

Srikandi meraih ponselnya.

* * *

Alam seakan mengerti kegelisahan Seruni. Mendung yang menggantung begitu tebal akhirnya menumpahkan hujan yang merinai.

“Semuanya akan baik-baik saja, Run,” janji Dahlia tadi.

Seruni menatap kakaknya dari belakang. Susah untuk menahan kepedihan yang selalu muncul tiap kali dia menatap sosok Dahlia. Betapa tragedi dan waktu sudah mengubah Dahlia yang dulu lemah dan penurut menjadi Dahlia yang setegar dan sekeras batu.

Seruni tersentak dari buaian alam pikirnya ketika ibunya menoleh dan mengatakan sesuatu.

“Apa, Bu?” ucapnya agak tergagap.

“Sudah kamu hubungi Hazel?” ulang Srikandi sabar.

“Sudah,” Seruni mengangguk. “Dia sudah menunggu di lobby hotel.”

Tak lama kemudian Hazel sudah bergabung dengan mereka. Duduk diam di jok paling belakang MPV Dahlia, di samping Seruni. Pelan-pelan Hazel meraih tangan Seruni. Begitu dingin dan lembab.

“Dik Heiz,” suara Dahlia memecah keheningan.

“Ya, Mbak?”

“Kalau ditanya Eyang katakan saja apa adanya. Jangan sembunyikan apa pun.”

“Baik, Mbak,” ucap Hazel takzim.

Sopir Dahlia membelokkan mobil masuk ke jalan nDalem Cokrogiren. Sebuah rumah joglo yang jauh lebih megah daripada rumah joglo Priyo Harjono. Hazel seakan terlempar ke masa sekian abad lampau.

Pun ketika mereka sudah duduk di dalam ruang tamu. Hazel menatap Seruni. Betapa ada darah kemegahan mengalir dalam sosok sederhana Seruni. Sosok pekerja keras yang santun dan lembut hati. Yang sudah menyentuh relung hatinya yang terdalam dengan cintanya yang hangat.

Seruni mengangkat wajahnya. Mereka bertatapan. Samar Seruni menangkap senyum lembut dalam mata Hazel. Sesuatu yang selalu menguatkannya. Seruni pun mengerjapkan mata. Membagikan kekuatan yang sama untuk Hazel.

Dan sosok itu pun muncul. Mungil, berwajah sepuh dengan garis aristrokat yang begitu kuat. Masih sangat cantik dengan aura karisma yang sangat kental.

Priyo mencium tangan ibunya, diikuti Srikandi, Dahlia, Seruni, dan terakhir Hazel. Laki-laki itu hanya menjabat hangat.

“Ini siapa?” Eyang Murti menatap Priyo. “Calonnya Dahlia?”

“Bukan, Eyang,” jawab Dahlia tegas. “Hazel kekasih Seruni.”

Eyang Murti menatap Hazel. Entah kenapa Hazel merasa terintimidasi dengan tatapan menilai itu.

“Kau tahu Seruni sudah kujodohkan dengan laki-laki lain?”

“Justru itu yang ingin kami bicarakan, Ibu,” sela Priyo halus.

“Apa lagi yang mau kau bicarakan? Pertunangannya tiga minggu lagi,” tegas Eyang Murti.

“Dan saya menolak pertunangan itu, Eyang,” ucap Seruni tak kalah tegas.

Eyang Murti menatapnya tajam. Seruni balik menatap dengan berani.

“Mas Hazel sudah tiga tahun menjadi kekasih saya. Dan kami merencanakan untuk menikah walaupun masih beberapa tahun lagi.”

“Ooo… Hmm… Priyo, ini salahmu! Kenapa kau biarkan Seruni meliar di Jakarta? Hilang sudah sopan santunnya. Seorang gadis…”

“Seruni tidak pernah liar di Jakarta, Eyang,” Dahlia dengan tegas memotong ucapan Eyang Murti. “Dia kuliah dan membangun sendiri usahanya. Haknya untuk menolak perjodohan itu.”

Tatapan Eyang Murti tajam menyapu wajah Dahlia. Yang ditatap balik menatap dengan tegar.

“Saya harap Eyang tidak pernah lupa dengan apa yang terjadi pada saya,” ucap Dahlia dingin. “Cukup saya, jangan Seruni.”

Tak urung sedikit kekuatan Eyang Murti runtuh ketika mengingat hal itu. Kesalahan terbesar dalam hidupnya. Tatapannya meluruh.

“Aku sudah menerima lamaran keluarga Rumekso. Jadi aib bila aku menarik kembali persetujuanku,” Eyang Murti terduduk kaku.

“Tak akan jadi aib kalau mereka mau menerima saya sebagai menantu. Jangan Seruni.”

Seruni seketika limbung mendengar ucapan Dahlia.

* * *

Lima


Seruni melemparkan tatapannya keluar jendela pesawat. Hazel duduk diam di sebelah Seruni. Dia tak hendak menarik Seruni keluar dari alam lamunannya. Seutuhnya dia tahu seberat apa beban yang ditanggung Seruni. Yang dia tidak tahu, apa yang sesungguhnya dipikirkan Seruni jauh lebih dalam daripada yang bisa dimengertinya.

Helaan napas panjang terdengar tanpa Seruni mengalihkan tatapannya. Di tengah putihnya kumpulan mega di luar, Seruni seakan melihat bayangan wajah Dahlia. Tegar. Sekaligus dingin. Memberitahu Dahlia bahwa Swandito gay? Itu sama saja dengan menghancurkan Swandito. Tutup mulut terhadap Dahlia tentang Swandito? Sama saja dengan mendorong Dahlia melakoni pernikahan kedua yang sama buruknya dengan pernikahan pertamanya dulu.

Goncangan ringan tubuh pesawat menyentakkan lamunan Seruni. Membawanya kembali ke alam nyata. Entah sudah berapa lama Hazel menggenggam tangan kanannya. Seruni merasakan aliran ketenangan perlahan merasuki relung-relung hatinya.

“Kembalilah ke Jakarta dulu, Seruni,” ucap Dahlia halus tapi tegas. Kemarin, dalam perjalanan pulang dari rumah Eyang Murti.

Seruni hendak mengatakan sesuatu. Tapi tatapan Dahlia berhasil membungkam mulutnya.

“Semuanya akan beres, aku janji.”

Dan Seruni berusaha mempercayai itu.

* * *

Dahlia memantapkan langkahnya menuju ke ruang kantor Swandito. Eyang Murti sudah angkat tangan. Berani menerima tapi menghindar ketika tahu keputusannya salah, geram Dahlia dalam hati.

“Mari, Bu, Bapak sudah menunggu,” Mayang, sekretaris Swandito, menerima Dahlia dengan ramah.

“Mbak Lia,” Swandito menjabat tangan Dahlia dengan hangat.

“Selamat siang, Dik Swan,” Dahlia mengangguk singkat.

“Mari, Mbak,” Swandito menggiring Dahlia ke arah sofa coklat di sudut.

“Terima kasih.”

Mereka duduk berhadapan. Dahlia menegakkan punggungnya. Swandito menatap perempuan mungil itu dengan penuh rasa hormat. Perempuan berparas cantik itu jadi legenda tersendiri di kalangan darah biru Surakarta. Kemampuannya berdiri tegak seusai tragedi yang bertubi-tubi menimpanya membuat semua orang salut dan menaruh respek yang lebih padanya.

“Dik Swan, seperti yang sudah saya katakan kemarin di telepon, saya datang untuk Runi.”

“Saya mengerti, Mbak,” Swandito mengangguk takzim pada perempuan yang 3 tahun lebih tua daripadanya itu.

“Jadi, bisakah lamaran itu diubah untuk saya?”

Swandito tertegun. “Maksud Mbak Lia?”

“Seruni sudah punya kekasih, Dik. Mereka sudah jauh merancang masa depan. Seruni yang paling terpukul ketika saya dianiaya Pradipta. Dan saya tidak mau Seruni hancur untuk kedua kalinya karena perjodohan gila ini.”

Swandito menatap Dahlia. Ada kilatan api dalam mata Dahlia.

“Saya tidak akan menyakiti Seruni, Mbak,” ucap Swandito halus.

“Pikirmu dia tidak akan menderita menikah paksa dengan seorang gay?”

Swandito hampir tersedak mendengar kalimat Dahlia yang diucapkan perempuan itu nyaris tanpa suara.

“Seruni menceritakannya pada Mbak?” desis Swandito dengan suara bergetar.

Ganti Dahlia yang tersentak kaget. “Jadi Seruni tahu?”

Mereka bertatapan. Seruni tahu, tapi tidak mengatakan apa-apa.

“Seruni tahu?” ulang Dahlia.

Swandito mengangguk lemah. “Saya hanya ingin jujur pada Runi,” gumamnya.

Dahlia menghela napas panjang sambil memejamkan mata.

“Lalu dari mana Mbak tahu saya gay?”

Dahlia membuka matanya. “Kau dulu pernah berhubungan dengan Sakti kan?”

“Mbak Lia kenal Sakti?”

Dahlia mengangguk pelan. “Sakti yang membawa Pradipta ke dalam lembah narkoba itu. Dan dia pernah menceritakan sedikit tentangmu. Sudah sejauh mana hubunganmu dengan Sakti?”

“Saya sudah lama berhenti, Mbak,” ucap Swandito setengah menerawang. “Saya tak pernah kena narkoba, tapi saya berhenti dari hubungan-hubungan tak jelas itu. Saya tak mau tambah dosa, Mbak. Saya tahu Mbak jijik melihat saya.”

Dahlia menggeleng. “Saya tak akan pernah dan mau menghakimi itu, Dik. Yang saya mau cuma Seruni lepas dari perjodohan ini. Saya bersedia menggantikan posisinya. Kalau yang ibumu inginkan adalah pernikahannu, berikan padanya. Kalau yang kau inginkan marital status, kuberikan padamu. Asal jangan Seruni.”

“Tapi kenapa, Mbak?”

“Aku manusia gagal, Dik. Gagal untuk membangun kebahagiaanku sendiri, karena aku terlalu takut untuk berontak. Yang juga menyisakan trauma tersendiri pada Seruni. Aku hanya ingin Seruni bahagia. Itu saja.”

Swandito tak mampu berkata apa-apa. Pun ketika Dahlia melangkah pergi meninggalkan kantornya. Lama dia merenung, sampai kemudian dia meraih ponselnya.

Ketika ada jawaban dari seberang sana, Swandito berucap halus, “Ibu, kita harus bicara…”

* * *

Enam


Swandito menatap ibunya dengan sejuta rasa bersalah. Ibunya yang begitu ringkih, tapi kini menatapnya dengan mata menyala.

“Dahlia?!” suara Wulansari melengking tinggi.

Swandito tertunduk. Agak menyesali keputusannya. Walaupun baginya Seruni ataupun Dahlia sama saja baginya, tapi tetap saja Serunilah yang diinginkan ibunya.

“Dulu kau bilang setuju ketika Ibu melamar Seruni pada Kanjeng Eyang Murti. Kanjeng Eyang juga sudah setuju. Kenapa sekarang Dahlia?!”

“Saya mencintai Mbak Lia, Bu,” Swandito tetap tertunduk, tak ingin ibunya melihat kebohongan di matanya. “Saya ingin bilang sama Ibu, tapi Ibu kelihatannya sangat menginginkan Seruni. Saya takut mengecewakan Ibu.”

“Ya! Kau mengecewakan Ibu, Swan!” ucap Wulansari getas. “Ada gadis yang sebaik dan secantik Seruni, kenapa harus memilih yang lebih tua darimu? Janda lagi!”

“Bu,” sergah Swandito halus. “Mbak Dahlia bukan orang tidak terhormat. Dia jadi janda bukan karena pilihannya sendiri. Saya kagum padanya, Bu. Perempuan lain mungkin tidak akan bertahan hidup bila mengalami hal yang sama. Tapi Ibu bisa melihat sendiri Mbak Lia.”

Wulansari melemparkan tatapannya keluar jendela. Seruni dan Dahlia. Berasal dari darah yang sama. Dengan kecantikan khas yang sama. Dengan kesantunan dan kehalusan perilaku yang sama. Tapi Dahlia lebih tua daripada Swandito. Dan dia tidak akan bisa memberikan keturunan bagi Swandito.

“Tidak, Swan” geleng Wulansari tegas. “Nikahi Seruni.”

“Tapi saya tidak mencintai Seruni, Bu,” ucap Swandito lirih. “Lagipula Seruni sudah punya kekasih. Kasihan Seruni, Bu...”

Wulansari menegakkan punggungnya. Ditatapnya Swandito baik-baik. “Dengar, Swan, cuma ini permintaan terakhir Ibu. Nikahi Seruni. Ibu tak mau berdebat lagi.”

Swandito memejamkan mata. Kadang-kadang sulit mempercayai ibunya dalam kondisi sakit berat bila melihatnya seperti ini. Kata-kata dan keinginannya sulit untuk dibantah.

“Satu lagi, Swan, jangan bantah Ibu kalau kau tak mau melihat Ibu cepat mati.”

Bulu kuduk Swandito seketika meremang. Entah kenapa, dia merasa ada nada ancaman dalam suara ibunya.

* * *

Hazel meletakkan ponselnya. Pesan keempat belas dalam tiga hari ini. Dari nomor yang berbeda-beda, tapi dengan isi yang sama. ‘Jauhi Seruni, atau kau mati!!’ Mau tak mau Hazel merinding. Apalagi ketika mengingat kejadian yang baru saja dialaminya.

Hujan turun rintik ketika Hazel keluar dari depot langganan tempat dia membeli makan malam. Mobilnya diparkir di seberang kompleks ruko tempat depot itu berada. Ketika dia hendak menyeberang, tanpa disadarinya sebuah mobil ngebut ke arahnya, tanpa lampu. Beruntung seorang tukang parkir cepat menarik tangannya. Dia pun terhindar dari kecelakaan itu.

Hazel mengusap wajahnya. Kebetulankah? Ataukah itu tadi bagian dari ancaman? Dia tidak bisa memberitahu Seruni. SMS-SMS ancaman itu hanya akan membuat Seruni kesayangannya panik. Satu-satunya yang bisa dia hubungi cuma Dahlia. Dan ke sanalah dia menuju. Nomor ponsel Dahlia.

Dia kemudian secara ringkas menceritakan semua ancaman itu pada Dahlia. Sesuatu yang membuat perempuan itu sangat kaget.

“Aku sama sekali ndak menyangka imbasnya akan seperti ini, Dik. Maafkan aku,” ucap Dahlia penuh nada penyesalan.

“Saya mengerti, Mbak. Saya juga mengkhawatirkan keselamatan Mbak dan Seruni. Bukan tidak mungkin kita semua akan mengalami ancaman yang sama.”

“Sepertinya bukan Swandito pelakunya,” ucap Dahlia setengah bergumam. “Tapi siapa? Eyang? Rasanya ndak mungkin. Semuanya sudah dia serahkan padaku. Atau ibu Swandito?”

“Mbak, nggak baik menduga-duga. Siapa pun pelakunya, tampaknya cuma menghendaki saya mundur dari sisi Seruni.”

Terdengar helaan napas panjang Dahlia dari seberang sana. “Aku akan cari tahu siapa yang melakukan ini, Dik. Aku janji tidak akan terjadi apa-apa pada dirimu dan Seruni.”

“Terima kasih, Mbak.”

“Oh ya, Eyang membatalkan pertunanganku dengan Swandito, Dik. Beliau menghendaki kami langsung menikah saja. Mungkin baru akhir bulan depan. Sedang dicari hari baiknya.”

“Oh ya? Kok Seruni nggak bilang ya, Mbak?”

“Seruni malah belum tahu, Dik.”

“Oh... Hm.. Ya sudah, Mbak. Terima kasih atas dukungan Mbak pada Seruni dan saya. Maaf sudah mengganggu malam-malam begini.”

“Nggak apa-apa, Dik. ndak usah dipikirkan. Yang penting hati-hati saja ya? Jangan sampai ancaman itu jadi kenyataan.”

“Ya mungkin semingguan ini saya aman, Mbak, saya jauh dari Seruni. Besok siang saya berangkat ke Makassar, ada tugas dari kampus.”

“Tetaplah hati-hati, Dik.”

Hazel menghela napas panjang. Dia membaringkan tubuhnya di sofa. Benarkah perjodohan Seruni sebanding dengan nyawanya? Seketika rasa pening menyerang kepalanya. Hazel memejamkan mata. Berusaha menghilangkan rasa pening itu

* * *

Tujuh


Seruni terjaga dari tidurnya dengan keringat dingin bercucuran. Sesuatu akan terjadi pada Hazel. Entah apa. Perasaan gelap seperti itu sering menyelip begitu saja. Dengan gemetar Seruni meraih ponselnya. Tak ada jawaban dari seberang sana. Ponsel Hazel mati. Agak terhuyung Seruni mengambil segelas air minum di dapur. Pukul tiga pagi. Seruni duduk  termenung di depan meja makan kecil di dapur mungilnya.

Entah kenapa dia merasa ada yang tidak beres dengan Hazel sejak Hazel pulang dari Makassar tiga hari yang lalu. Bahkan sejak Hazel berangkat seminggu sebelumnya. Hazel kelihatan lebih pendiam dan seperti menyimpan beban. Tapi Hazel menggeleng sambil berusaha tersenyum ketika dia bertanya.

Seruni menguap sambil kembali ke kamar tidurnya. Jam 9 nanti dia harus terbang ke Solo untuk mengontrol produksi batik sutra eksklusifnya. Hazel akan mengantarnya ke bandara. Membayangkan akan bertemu Hazel lagi mebuat pipi Seruni bersemu merah. Ah, macam ABG saja, gerutu Seruni dalam hati.

Hazel membuka pintu rumah Seruni tepat jam 5.15. Seruni sedang menggoreng nasi untuk sarapan mereka.

“Halo!” sapa Hazel ringan. “Baunya bikin lapar.”

Seruni tersenyum lebar. Hazel meraih dua mug dan mulai menyiapkan teh hangat. Seruni selalu menyukai sikap Hazel. Tak pernah canggung di dapur.

“Tidur nyenyak semalam?” tanya Hazel.

Seruni terdiam sejenak. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk menjawab, “Ya.”

Great!

Dan Hazel meluncurkan mobilnya keluar dari halaman rumah Seruni menjelang jam 6. Seruni sekilas menatap Hazel. Masih terlihat beban yang sama. Dan dia memutuskan untuk membicarakan itu lagi.

“Mas, sebenarnya ada apa sih? Mas Heiz belakangan ini memikirkan apa? Jangan bilang ndak ada apa-apa. Aku tahu ada apa-apa. Bicara dong, Mas...”

“Lho... Memang nggak ada apa-apa kok,” jawab Hazel, berusaha santai. “Cuma capek saja. Lagipula sudah dekat-dekat waktu ujian ini. Banyak yang harus kuselesaikan.”

Seruni terdiam. Ingat perasaan gelapnya semalam. Sulit untuk mengenyahkan perasaan itu. Tapi kelihatannya Hazel kukuh untuk tidak mau mengatakan apa-apa.

“Mas, baik-baik selama aku di Solo ya?”

Hazel menggenggam tangan Seruni. Genggaman Hazel terasa dingin merambati kulitnya. Tanpa sadar Seruni menggigil.

* * *

Sebuah ruangan yang besar dan terasa hangat. Seruni selalu menyukai tempat itu. Ruang kerja ayahnya. Ruang kerja penuh dengan buku dan catatan tentang batik yang membuatnya betah berlama-lama di situ. Seruni mengambil napas panjang. Membaui wangi potpourri beraroma rempah-rempah manis racikan ibunya.

“Runi, sudah lama datangmu, Ndhuk?”

Seruni menoleh. Priyo menatap putri bungsunya dengan senyum di wajahnya. Seruni segera mengambil tangan ayahnya dan menciumnya sepenuh hati.

“Ada titipan salam dari Mas Hazel, Romo,” ucap Seruni takzim.

“Tak ikut ke sini?”

“Sibuk di kampus, Romo, persiapan ujian mahasiswa.”

“Kau jadi ke tempat Mbokdhe Kus? Pakai saja mobil Romo.”

“Nanti sore saja, Romo, sama Mbak Lia. Mas Haryo bilang mau ke sini sama Mbak Rini, antar Candra dan Bintang. Saya kangen. Pas pulang terakhir itu kan ndak sempat ketemu mereka.”

“Sebentar lagi datang,” Priyo melihat arlojinya. “Tunggu di ruang makan saja. Ayo!”

Sejam kemudian ruang makan besar itu sudah penuh dengan canda dan tawa keluarga besar Priyo Harjono. Sebuah perpaduan yang sungguh aneh. Sebuah keluarga ‘biasa’ yang penuh keakraban, tapi sekaligus diliputi sopan santun yang ‘tidak biasa’. Kelihatannya semua menikmati itu.

Tapi tak urung Seruni melihat ada semburat kelam di wajah Dahlia. Dengan  sabar  ditunggunya hingga ada waktu berdua dengan Dahlia. Dan waktu itu datang juga, ketika mereka berdua pergi bersama sore harinya.

Dari tempat Mbokdhe Kus, juragan batik sutra yang menggarap pesanan Seruni, sopir Dahlia dengan patuh mengarahkan mobilnya ke sebuah kafe yang ditunjuk Seruni. Dan di sebuah sudut, Seruni menginterogasi Dahlia.

Dahlia tampak bingung dan tertekan. Ditatapnya Seruni tanpa daya.

“Jadi Hazel ndak mengatakan apa-apa padamu?” tanya Dahlia hampir tanpa suara.

“Tentang apa, Mbak?”

“Dia diancam untuk menjauhimu.”

 Seruni terhenyak. Jadi ini arti ekspresi wajah Hazel?

“Kok Mbak bisa tahu?” tuntut Seruni.

“Ya dia hubungi aku, Run. Cuma aku yang bisa dia ajak bicara. Dia ndak mau kamu khawatir.”

“Kapan itu?”

“Sebelum dia ke Makassar.”

Seruni kembali terhenyak.

“Run, maafkan aku,” ucap Dahlia penuh penyesalan. “Aku ndak pernah mikir imbasnya akan seperti ini. Yang jelas bukan Swandito pelakunya.”

“Kenapa Mbak bisa seyakin itu?”

“Karena kamu atau aku, sama saja buat Swandito.”

Seruni menatap Dahlia. Ada ironi di balik ucapan halus Dahlia.

“Aku sudah tahu siapa Swandito,” gumam Dahlia. “Aku salut dia mau jujur padamu. Aku juga salut padamu karena tidak membeberkan kondisi Swan, bahkan padaku. Kamu memang patut dapat yang terbaik, Run.”

“Tapi ndak mesti harus mengorbankan dirimu sendiri seperti itu kan, Mbak?”

Dahlia menggeleng. “Aku ndak berkorban apa pun, Run. Aku cuma melakukan apa yang harus kulakukan. Dan aku ndak kehilangan apa pun.”

“Tapi Mbak juga berhak untuk meraih kebahagiaan Mbak sendiri.”

“Aku bahagia, Run,” tukas Dahlia. “Aku bahagia melihatmu bahagia. Seperti juga kamu menangis ketika melihatku terpuruk. Berjanjilah untuk bahagia demi dirimu sendiri, Run.”

Seruni tak mampu mengatakan apa-apa. Ditatapnya senyum Dahlia. Lama. Dia tersentak ketika ponselnya berbunyi. Ketika melihat nama peneleponnya, dahi Seruni berkerut sedikit.

“Ma? Selamat malam,” ucapnya halus.

“Runi, kamu di mana, Nak?” terdengar suara bergetar dari ujung sana.

“Saya masih di Solo, Ma. Mama kenapa? Mama sakit?”

“Run, bisa kembali ke sini secepatnya?”

“Iya, Mama, ada apa?”

“Heiz di rumah sakit sekarang.”

“Lho! Waktu antar saya ke Cengkareng tadi pagi Mas Heiz ndak kenapa-napa, Ma,” wajah Seruni seketika memucat.

“Heiz ditusuk orang, Run,” pecah tangis di seberang sana. “Masih di ruang operasi. Kritis.”

Seruni pingsan seketika.

* * *


Delapan


Tepat pukul 06.10 pesawat yang ditumpangi Seruni lepas landas dari bandara Adisoemarmo. Seruni terduduk diam di kursinya dengan wajah pucat dan mata sembab. Priyo menggenggam erat tangan putrinya, seolah ingin menyalurkan kekuatan.

Semalam, Seruni tersadar dari pingsannya setelah tiba di rumah. Kejadian yang cukup menggemparkan. Seruni menangis sesenggukan dalam pelukan ibunya begitu dia tersadar. Seandainya bisa, dia ingin terbang saat itu juga ke Jakarta.

Segera setelah Seruni diurus Srikandi, Dahlia bergerak untuk mencari tiket pesawat paling cepat untuk berangkat ke Jakarta. Tidak bisa malam itu. Baru bisa besok paginya, dengan pesawat paling pagi. Itu juga cuma tersisa 2 seat. Setelah rundingan, akhirnya diputuskan bahwa Priyolah yang akan menemani Seruni. Srikandi, Haryo, dan Dahlia akan menyusul menggunakan pesawat berikutnya.

Seruni mengerjapkan matanya. Priyo merasakan tangan Seruni bergetar dalam genggamannya. Dieratkannya genggaman itu.

Ndhuk, serahkan semua pada Tuhan,” bisik Priyo lembut. “Romo yakin Hazel tidak akan apa-apa. Perasaan Romo mengatakan begitu.”

Ingin sekali Seruni mempercayai kata-kata sang ayah. Tapi ketakutan itu lebih erat mencengkeram hatinya. Dia teringat akan perasaan gelapnya. Tanpa bisa dicegah, airmata Seruni kembali menetes.

Seruni menatap keluar jendela pesawat yang terlihat memburam. Menyalahkan Dahlia? Seruni menggeleng pelan. Tak pernah sebersit pun ada rasa ingin menyalahkan Dahlia di hatinya. Dahlia hanya berusaha menyelamatkan hubungannya dengan Hazel, itu yang sepenuhnya dia pahami.

Hingga pesawat mendarat di Cengkareng, Seruni tetap tak bersuara. Juga ketika taksi membawa mereka ke rumah sakit tempat Hazel dirawat. Pun ketika mereka melangkah ke arah ruang ICU. Semalam Dahlia telah melakukan apa yang dia bisa lakukan, termasuk menghubungi nomor telepon yang terakhir masuk ke ponsel Seruni sebelum adiknya itu  pingsan di kafe, meminta penjelasan detil tentang apa yang terjadi. Dan di depan ICU tangis Seruni kembali pecah, dalam pelukan Megan, mama Hazel.

“Bagaimana kejadiannya, Ma?” tanya Seruni penuh kesedihan.

“Mungkin ada yang mau merampoknya, Runi,” ucap Megan. “Kejadiannya di tempat parkir dekat kafe kalian.”

“Ma, maafkan saya,” Seruni kembali tersedu. “Semua ini terjadi karena saya. Seandainya saya tahu lebih awal... Seandainya saya tahu...”

“Sebenarnya ada apa, Seruni?” Megan menarik Seruni duduk di sofa depan ICU.

Dan Seruni pun menceritakan semuanya. Tentang Eyang Murti. Tentang perjodohan gila itu. Tentang Dahlia. Tentang ancaman terhadap Hazel. Membuat Megan terhenyak. Tapi melihat wajah putus asa Seruni, wanita itu secepatnya kembali dapat menguasai dirinya. Dipeluknya Seruni.

“Hazel kuat, Nak,” bisik Megan. “Dia selalu kuat. Ya, lukanya parah. Tapi dia akan kuat. Untukmu, untuk kita.”

Seruni kembali menangis. Megan memeluknya erat.

“Bukan salahmu, Runi,” bisik Megan menenangkan. “Bukan salahmu...”

“Ma, saya boleh melihatnya?”

Megan bangkit dari duduknya. Dia menghampiri ruangan dokter jaga ICU. Sejenak dia berbicara, dan dokter itu mengangguk. Megan kembali pada Seruni.

“Ya, kau boleh masuk. Tapi hati-hati ya?”

* * *

Hingga hari keempat Hazel masih terbaring di ICU. Kondisinya sudah stabil, tapi dia belum sadar juga. Sesekali Seruni bisa masuk ke ruang ICU, membisikkan kata-kata semangat mengucapkan kata-kata penuh cinta,  sekedar menggenggam lembut tangan Hazel, atau hanya membelai wajah Hazel yang pucat pasi dengan masker oksigen masih menempel erat.

Dan kerjap lemah mata Hazel seolah menjadi titik kembalinya seluruh sinar kehidupan Seruni. Seruni menangis dan tertawa sekaligus ketika melihatnya, sebelum perawat menyingkirkannya dengan halus dan dokter mengambil alih keadaan. Sempat dilihatnya ada buliran bening menggelinding dari sudut mata Hazel sebelum Seruni keluar dari ruangan ICU. Seruni tergugu.

* * *

Dahlia melangkah ringan menuju ke luar gerbang kedatangan Bandara Adisoemarmo. Baru saja dia menghidupkan ponselnya, ada pesan masuk dari Seruni. Hazel sudah sadar. Seakan beban di hati Dahlia terangkat separuh. Dia memang harus pulang duluan, meninggalkan ayah-ibunya dan Haryo yang masih menemani Seruni.

Sesungguhnya Dahlia lelah dengan irama hidupnya belakangan ini. Tak pernah dibayangkannya suatu saat kelak dia akan menjadi istri seorang Swandito. Tapi dia tak bisa melakukan hal lain. Rasa dalam hatinya sudah hambar. Memberdayakan orang lain, cuma itu tujuan hidupnya sekarang. Dahlia menghela napas panjang. Berusaha mengurangi rasa sesak di dadanya.

Langit Solo mulai gelap. Sopir Dahlia membelokkan mobil dengan mulus masuk ke dalam pekarangan luas rumah mungil Dahlia. Sekilas Dahlia melihat di salon sebelah rumahnya masih penuh kesibukan. Ditandai dengan dua mobil dan enam motor yang masih bertengger di tempat parkir.

“Salonnya beres kok, Bu,” senyum Karsiman, sopir Dahlia.

Dahlia juga tersenyum. “Pak Siman ikut mengintip ya?” goda Dahlia.

Laki-laki setengah baya itu tertawa. “Lha, saya ndak ada kerjaan selama Ibu di Jakarta. Jadi saya bantu bersih-bersih di salon.”

Dahlia ikut tertawa sambil melangkah masuk ke dalam rumah.

“Bu....”

Dahlia menghentikan langkahnya. “Ya, Pak Siman?”

Karsiman tampak gelisah menatap majikannya. Ada keragu-raguan, tapi dorongan untuk berbicara akhirnya lebih kuat.

“Bu, saya mau bicara...”

“Ada apa, Pak? Pak Siman lagi butuh uang?”

Karsiman menggeleng. “Bukan, Bu...”

“Terus?”

“Bu, saya mau bicara soal pacar Mbak Seruni,” ucap Karsiman nyaris tanpa suara.

“Ya? Kenapa?”

“Saya... Saya tahu... siapa... yang menganiaya pacar Mbak Seruni,” Karsiman tertunduk.

Dahlia terbelalak. Sedetik kemudian dia segera menyeret Kardiman masuk ke dalam rumah.

* * *


Sembilan


Pelan Seruni mendekati bed Hazel. Laki-laki itu melihatnya, mengirimkan seulas senyum.

“Hai,” bisik Seruni.

Hazel membalas genggaman tangan Seruni.

“Masih sakit?” tanya Seruni.

Mata Hazel mengerjap.

“Terima kasih, Run,” ucap Hazel kemudian, lemah.

“Untuk apa?”

“Kata-kata cintamu.”

Wajah Seruni memerah. “Mas Heiz dengar?”

“Semuanya,” senyum Hazel.

“Kenapa bisa terjadi?” Seruni mengalihkan pembicaraan. “Kenapa Mas Heiz ndak bilang tentang SMS ancaman itu?”

“Aku nggak mau kamu khawatir, Run.”

“Aku takut sekali, Mas. Takut sekali kehilanganmu,” mata Seruni merebak merah.

“Tapi nyatanya tidak kan?” bisik Hazel dengan nada menggoda.

Mau tak mau Seruni tertawa.

“Lantas bagaimana kejadiannya?”

“Malam itu aku ke kafe kita,” cerita Hazel pelan-pelan. “Nggak lama, cuma ketemu sebentar sama Derry. Entah gimana tahu-tahu ada yang menghadangku di ujung parkiran. Sebelum aku sadar aku sudah ditusuknya. Setelah itu blank, gelap.”

“Tusukannya kena levermu, Mas.”

“Ya, makanya sakit banget, Run.”

“Ya sudah sekarang yang penting Mas Heiz istirahat dulu. Mungkin dua atau tiga hari ke depan sudah boleh pindah ke ruang perawatan biasa. Mas Heiz mau minum?”

Hazel mengangguk.

“Papa sudah lapor ke polisi,” ucap Seruni. “Ditemani Romo dua hari yang lalu.”

Romo di sini?”

“Iya, sama Ibu. Sama Mas Haryo juga. Aku terbang dari Solo ke sini sama Romo. Ibu, Mas Haryo, Mbak Dahlia menyusul dengan penerbangan berikutnya. Tapi Mbak Dahlia duluan pulang. Mas Haryo baru pulang kemarin. Romo sama Ibu masih di sini. Mungkin nanti sore baru ke sini lagi.”

“Jadi orang tua kita sudah ketemu?”

“Ya, dalam kondisi darurat,” senyum Seruni. “Sudah, Mas, istirahat dulu. Tidurlah, aku temani sebentar.”

Hazel memejamkan matanya.

* * *

Pagi hari ini terasa jauh lebih cerah di mata Seruni. Semalam Hazel sudah dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Seruni melangkah dengan ringan menyusuri lorong rumah sakit menuju ke kamar perawatan Hazel. Ketika dia sampai di ujung lorong, dilihatnya Megan melambaikan tangan ke arahnya.

“Masih ada polisi di dalam,” ucap Megan pelan.

Seruni mengangguk. “Pak Jonggi jadi datang, Ma?”

“Ya, di dalam bersama Hazel dan Papa.”

Seruni duduk di sebelah Megan. Megan menggenggam tangan Seruni.

“Ada indikasi pelaku sudah diketahui, Runi,” kata Megan.

“Oh ya?” Seruni terlihat sangat antusias. “Preman?”

Megan menggeleng. “Orang suruhan. Benar ini berhubungan dengan ancaman yang diterima Hazel.”

Seruni ternganga. Belum sempat dia berpikir, pintu kamar Hazel sudah terbuka. Dua orang polisi keluar diiringi papa Hazel dan Jonggi, pengacara keluarga Hazel.

“Mbak Seruni,” kata Jonggi. “Bapak-bapak dari kepolisian ini ingin bicara dengan Mbak Seruni. Bisakah?”

Seruni mengangguk tanpa sadar. Mereka kemudian duduk di sofa depan kamar Hazel. Megan dan Jonggi  menemani Seruni.

“Selamat pagi, Mbak Seruni. Maaf, kami harus mengganggu Mbak pagi ini.”

“Tidak apa-apa,” Seruni tegang, tapi dia berusaha untuk tetap tenang.

“Kami sudah berhasil menangkap pelaku penusukan terhadap Saudara Hazel. Ada informasi masuk dari Solo, dan kami berkoordinasi dengan rekan kami di sana. Semalam pelaku berhasil kami tangkap.”

“Solo?” Seruni membelalakkan matanya.

Kedua polisi itu mengangguk. “Benar, Mbak Seruni. Dan kami ingin mengkonfirmasi apakah Mbak Seruni mengenal orang ini,” sebuah foto disodorkan pada Seruni.

Dan Seruni hampir kehilangan napas ketika melihat siapa yang ada di dalam foto itu. Ditatapnya kedua polisi di depannya.

“Dia pelakunya?” tanya Seruni dengan suara bergetar.

“Ya,” kedua polisi itu mengangguk tegas.

“Mbak mengenalnya?”

Seruni terpaksa mengangguk.

“Jadi bisa Mbak katakan siapa dia?”

Seruni kembali mengangguk. “Darno, sopir nenek saya,” ucap Seruni nyaris tanpa suara.

“Cocok,” gumam salah seorang polisi.

* * *

Seruni tersedu di tepi bed Hazel. Hazel hanya diam sambil membelai rambut Seruni. Dibiarkannya Seruni menuntaskan tangis. Pada akhirnya tangis Seruni mereda, hanya tersisa isakan-isakan kecil.

Sebetulnya Hazel juga tak kalah kaget ketika tahu penusuknya adalah Darno, sopir Eyang Murti. Tapi dia selamat dan Darno sudah tertangkap. Baginya masalah sudah selesai. Hanya saja siapa Darno betul-betul membuat Seruni shock.

“Aku terima kalau Eyang tidak menyetujui hubungan kita,” isak Seruni. “Tapi kan tidak perlu sampai menyuruh Darno melukaimu, Mas, bahkan hampir membunuhmu...”

“Memang sudah pasti yang menyuruh Darno itu Eyang?” ucap Hazel sabar.

“Lantas siapa lagi?” balas Seruni sengit. “Darno itu sopir Eyang. Orangnya Eyang yang paling setia. Bahkan kalau disuruh Eyang menceburkan diri ke sumur pun pasti dia mau, Mas.”

Hazel terdiam. Pertanyaan yang sama pun sebetulnya muncul dalam pikirannya. Tapi dia mencoba untuk ingkar. Terbayang di matanya sosok mungil Eyang Murti. Tatapan perempuan sepuh itu tajam dan bersinar penuh semangat. Tapi tetap saja sama sekali bukan mata seorang pembunuh.

Hazel mendesah. Rasa nyeri tak diundang itu datang lagi.

“Berasa sakit lagi, Mas?” Seruni bangkit dari duduknya.

Hazel mengangguk sedikit. Seruni menyusut sisa airmatanya. Dibenahinya selimut Hazel.

“Sudah tidur saja, Mas. Aku ndak apa-apa kok.”

“Jangan pikirkan lagi ya, Run...” Hazel menepuk lembut punggung tangan Seruni.

Seruni mengangguk. Mencoba untuk tersenyum.

* * *


Sepuluh


Eyang Murti hanya bisa menunduk sambil menatap Darno dengan letih. Laki-laki setengah baya itu bersimpuh di kaki Eyang Murti sambil menangis tersedu-sedu.“Kenapa, No?” hanya itu yang mampu diucapkan Eyang Murti.

“Saya khilaf, Ndoro Sepuh.... Saya khilaf....”

“Bisa-bisanya kamu hampir membunuh cucu mantuku,” gumam Eyang Murti. “Lalu siapa yang menyuruhmu? Kenapa, No?”

Dahlia tertunduk ketika mata Eyang Murti menyapu wajahnya. Mendung tebal menggayuti wajah sepuh itu.

Ada rasa bersalah yang menumpuk di sudut hati Dahlia. Ingatannya melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu...

* * *

Diseretnya Karsiman masuk ke dalam rumah.

“Siapa orangnya, Pak Siman?”

Karsiman menatapnya takut-takut.  Dengan gemetar disebutnya sebuah nama, “Darno, Bu.”

Dahlia terhenyak. Darno, sopir eyangnya. “Kok Pak Siman tahu?”

“Darno keceplosan omong, Bu, waktu cangkruk di warung nasi kucing sama saya. Yang dia katanya habis cuti itu, Bu.”

Kepala Dahlia langsung pening.

“Antar aku ke rumah Eyang, Pak. Sekarang,” ucapnya tegas.

Dan di rumah Eyang Murti kemarahannya meledak. Entah lenyap ke mana seluruh sopan-santun yang harus dia lakukan di hadapan orang tua. Segala kekecewaan dan sakit hatinya selama bertahun-tahun tumpah ruah begitu saja. Tak bersisa.

Ada rona kekagetan yang sangat pada raut wajah Eyang Murti. Tapi dia hanya diam. Mendengarkan. Hanya saja wajah sepuhnya memucat begitu Dahlia mengucapkan kalimat-kalimat terakhirnya dengan lirih, tanpa tenaga, dengan gema pahit yang begitu dalam.

“Sebesar apapun penolakan Eyang pada Hazel, tidak seharusnya Eyang menyuruh Darno untuk membunuh Hazel. Saya sudah lakukan apa yang bisa saya lakukan. Saya penuhi semua permintaan Eyang. Saya tutup rasa malu Eyang akibat perjodohan yang terancam gagal itu. Saya sudah tidak bisa lagi merasakan sakit apa-apa. Tapi kenapa Eyang melakukan itu? Kenapa?”

Dahlia terduduk dilingkupi tangis. Perlahan Eyang Murti mendekati cucunya itu. Dia mengulurkan tangan, menyentuh lembut rambut Dahlia.

“Sedemikian hitamkah aku di matamu, Ndhuk?” ucapnya lirih, penuh kesedihan. “Aku tahu aku salah selama ini. Maafkan aku, Ndhuk, sudah membuat hidupmu hancur. Aku hanya ingin memperbaikinya dengan memberi Seruni jodoh yang baik. Dan pada akhirnya aku tahu Seruni sudah menemukannya. Aku tak pernah menyuruh Darno melukai kekasih Seruni. Tak pernah....”

Seketika Dahlia mengangkat wajahnya. Dilihatnya linangan airmata penuh di pipi keriput sang nenek. Seketika dipeluknya tubuh Eyang Murti. Dan tangisnya tumpah lagi dalam dekapan hangat perempuan sepuh itu.

“Maafkan saya, Eyang.... Maafkan saya....”

Eyang Murti makin erat memeluk Dahlia.

* * *


Sebelas


Berita penangkapan Raden Nganten Wulansari Rumekso sungguh menggegerkan para keluarga darah biru. Ada yang mencibir, ada yang menyalahkan, ada pula yang sekedar menaruh rasa kasihan. Sungguh kejadian itu menggoreskan garis hitam tersendiri yang sangat sulit untuk dihapus begitu saja.

Swandito hanya bisa terdiam tanpa sanggup mengatakan apa-apa. Menyalahkan Dahlia? Tidak bisa. Tidak boleh. Karena dia sendiri juga punya andil dalam menciptakan keruwetan itu.

“Maafkan aku, Dik,” ucap Dahlia penuh penyesalan.

Ditatapnya perempuan itu. Matanya tampak kelam. Penuh beban penyesalan. Swandito mengangguk pelan.

“Bukan salah Mbak Lia,” jawab Swandito lirih. “Kami yang seharusnya minta maaf pada keluarga Mbak. Apalagi Ibu sama sekali tidak menyesal. Dia bilang mati di penjara sama saja. Toh umurnya tak lama lagi.”

Dahlia tergugu. Ketika teringat penuturan Darno, batinnya jadi miris.

Ketika tahu Swandito kukuh ingin menikah dengan Dahlia, ada yang berontak dari dalam diri Wulansari. Banyak yang dipertaruhkan dalam rencana pernikahan itu. Harga dirinya sebagai seorang ibu. Harga diri keluarganya sebagai trah Pawokodirenggo. Dan harga diri sebagai pemangku luhurnya darah biru. Dahlia bukan pilihan yang buruk. Tapi rasa malu karena tak berhasil mendapatkan gadis terbaik seperti Seruni telah membuatnya gelap mata.

Darno adalah satu-satunya rantai untuk menyingkirkan Hazel, dengan harapan bila Hazel tak ada, maka dia akan tetap mendapatkan Seruni sebagai menantu. Darno adalah bekas preman yang insyaf, yang belasan tahun lalu dipungutnya dari jalanan, dan disalurkannya bekerja di rumah Eyang Murti. Darno tak pernah melupakan budi yang diulurkan oleh Wulansari. Dan begitu mudahnya dia menyetujui permintaan Wulansari untuk menyingkirkan kekasih Seruni. Sebuah kecerobohan  yang dibayarnya dengan sangat mahal.

“Mbak....”

Lirih suara Swandito menyentakkan Dahlia dari lamunan yang membungkusnya.

“Saya masih boleh menemui Mbak Lia kan?”

Dahlia tercekat menatap Swandito. Ada telaga harap yang begitu besar dalam mata Swandito yang berkabut. Ada permohonan yang begitu naif dan sulit untuk ditolak. Dahlia pun mengangguk.

“Saya merasa nyaman bicara dengan Mbak,” ucap Swandito. “Lagipula saya tak punya sesuatu yang harus saya sembunyikan di depan Mbak. Entahlah, Mbak. Saya merasa damai ada di dekat Mbak Lia.”

Ada yang bertalu-talu dalam dada Dahlia. Sesungguhnya dia merasakan hal yang sama. Beberapa kali pertemuannya dengan Swandito pun memberikan efek nyaman dan damai yang sama.

“Panggil aku Lia, Swan, Dahlia. Tak perlu sebutan Mbak lagi.”

* * *

Dengan telaten Seruni menyuapi Hazel. Hanya ada keheningan yang menenangkan di sekitar mereka. Tak lama. Suara pintu kamar yang terbuka membuat mereka menoleh. Seruni terpana. Begitu juga Hazel.

“Eyang?” bisik Seruni.

Perempuan sepuh itu tersenyum hangat. Seruni buru-buru menghampiri dan mencium tangan eyangnya. Kemudian digandengnya tangan Eyang Murti.

“Eyang kapan datang?” mata Seruni tampak berbinar mendapat senyum hangat dari sang nenek.

“Ya baru saja, sama Romomu langsung dibawa ke sini. Le, piye kabarmu?” Eyang Murti menoleh ke arah Hazel.

“Makin baik, Eyang, terima kasih,” jawab Hazel takzim. Disambutnya uluran tangan Eyang Murti dan dijabatnya penuh hormat.

“Maafkan semua yang sudah terjadi ya, Le. Maafkan aku,” ucap Eyang Murti dengan seluruh ketulusannya yang agung.

“Eyang tak perlu meminta maaf seperti ini,” senyum Hazel. “Semua sudah ada jalannya. Saya tidak apa-apa, itu yang terpenting. Terima kasih karena Eyang mau datang ke sini.”

Eyang Murti duduk  kursi yang disodorkan Seruni. Ditatapnya Hazel, dalam.

“Kau harus sembuh secepatnya, Le,” ucap Eyang Murti lembut. “Aku percaya kau bisa melakukannya. Aku pernah salah menentukan pilihan untuk cucuku Dahlia, tapi kali ini aku tidak akan salah. Kau yang terbaik untuk Seruni.”

Hazel hanya terdiam. Tak mampu merngatakan apa-apa. Sekilas dilihatnya Seruni tersenyum lebar di ujung bed.

“Kira-kira kapan kau sembuh, Le?”

“Dalam minggu ini sepertinya saya sudah boleh pulang, Eyang,” jawab Hazel. “Tapi perlu waktu sekitar tiga bulan lagi agar saya benar-benar pulih.”

“Keberangkatanmu ke luar negeri?”

“Masih beberapa bulan lagi, masuk ke tahun depan.”

Eyang Murti manggut-manggut. “Berarti pernikahannya bisa dilakukan di antara itu...,” gumamnya.

Seruni hampir tersedak. Hazel pun tak kalah kagetnya.

“Eyang, kami belum siap,” ucap Seruni, pelan tapi tegas.

Eyang Murti menatap Seruni dengan kening berkerut. “Maksudmu?”

“Eyang, kami baru siap menikah setelah Mas Heiz selesai studi, bukan secepat ini.”

Eyang Murti tertawa lebar. “Siapa yang membicarakan pernikahanmu? Aku sedang membicarakan Dahlia dan Swandito.”

“Maksud Eyang?!” Seruni ternganga.

“Mereka saling membutuhkan teman, Ndhuk,” ucap Eyang Murti bijak. “Kalau itu bisa membuat Dahlia bahagia, kenapa tidak?”

Seruni menatap Eyang Murti setengah tak percaya. Juga diliputi kekagetan yang sangat. Perempuan sepuh itu mengerti arti tatapan cucunya. Dia mengangguk.

“Ya, Swandito sudah cerita semuanya padaku,” ucapnya tegas. “Perlu keberanian besar untuk menceritakan itu, Ndhuk. Tapi mereka mau melangkah maju. Apakah aku harus menghalangi kebahagiaan Dahlia? Ibunya dan Swandito sendiri sudah menorehkan garis hitam dalam kehidupan mereka. Sulit untuk dihapus. Tapi apa gunanya menoleh terus ke belakang?”

Seruni tertegun. Rasanya begitu sulit memahami jalan pikiran neneknya. Luar biasa feodal, sekaligus luar biasa bijak untuk masalah-masalah tertentu. Eyang Murti bangkit dari duduknya.

“Sudah, aku tak mau mengganggu kalian lagi. Aku mau pulang ke rumahmu, Ndhuk. Kamarmu kupakai ya?”

Seruni hanya bisa mengangguk bodoh dengan pikiran kosong. Dahlia dan Swandito? Rasanya dia ingin segera mencecar kakaknya itu dengan berbagai pertanyaan. Hingga neneknya pergi Seruni masih juga termenung-menung. Hazel menatapnya heran.

“Ada apa sih, Run? Kelihatannya kok shock banget?”

Seruni tersentak. Ditatapnya Hazel setengah linglung.

“Swandito....gay.... Tapi Mbak Lia tahu soal itu. Juga Eyang. Dan mereka akan menikah...”

Ganti Hazel yang ternganga.

* * * * *


S E L E S A I

20 komentar:

  1. Pernah baca ini. Tetapi, selalu terasa baru... manis. --- Tapi apa gunanya menoleh terus ke belakang?”--- tanya semacam ini membuat berefleksi diri. Selamat pagi mbakyu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih pertamax-nya, Mbak MM... *suguhin teh manis sama bakwan*

      Hapus
    2. Nyam... nyam... slurp.... bobo lagi.... wkwkwkwk.

      Hapus
  2. Balasan
    1. Nggak pernah tidur malem dia, Pak. Hihihi...
      Makasih mampirnya, Pak Subur...

      Hapus
  3. Asiik, ada bacaan menarik untuk malming, alamat novel yang baru saya beli dianggurin lagi nih he he he

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... sekarang udah Senin, Bu... (bales komennya lelet)
      Makasih singgahnya ya...

      Hapus
  4. Mbaaaaaa aq nagih royaltiiiiii
    Baso tahuuuuuuu ta enteni! Wawakwakwak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau diganti bakso mercon atau bakso keju mau ndak Mbak?
      Salam kenal Mbak...

      Hapus
    2. @Nita : utang lunas yo... Wuakakak...

      @Mbak Boss : nggak usah baksone, mercone ae... hihihi...

      Suwun mampire, Mbak-Mbak cantik...

      Hapus
  5. Balasan
    1. Makasih banyak, Mbak Tri... Salam kenal ya...

      Hapus
  6. Balasan
    1. Salam paten dari Pak Edy... Makasih kunjungannya, Pak...

      Hapus
  7. Keren bu Lis. Sejak awal pembaca sudah disuguhkan konflik demi konflik yang berujung manis. Ikut bahagia untuk Hazel dan Seruni

    BalasHapus
  8. waah.....penulisnya keren banget...memainkan karakter dan penjiwaan setiap pemainnya....hingga pembaca larut di dalamnya.....maaf telat baca mbak Lis...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gpp, Mbak, nyante aja... Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  9. seru ceritanya. Untung link-nya ditautkan ke cerita yang sedang tayang....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo nggak di-link nanti bingung pas baca Ruang Ketiga, Fris. Makasih mampirnya ya...

      Hapus