Jumat, 19 Desember 2014

[Cermis] Senyum Di Balkon Seberang





http://www.rumahku.com/berita/read/inspirasi-taman-di-balkon-408083


Akhirnya...

Lily menjatuhkan dirinya di atas sofa dan menghembuskan napas lega. Dilihatnya sisi-sisi dinding yang mengelilinginya. Semuanya pas. Sempurna. Sama persis seperti impiannya selama ini.

Tinggal di apartemen adalah impian Lily sejak masuk ke dunia kerja. Bukan apartemen mewah tentu saja. Dari jauh hari Lily sudah menyadari kemampuan kantongnya. Ketika tahu akan ada kompleks apartemen yang hendak dibangun hanya 500 meter dari gedung kantornya, Lily segera gerak cepat mencari informasi.

Dan... taraaa!


Semuanya pas sesuai dengan keinginannya. Apartemen itu adalah apartemen kelas menengah yang cicilannya benar-benar pas di kantong. Dan hanya setahun setelah tanda tangan akad kredit, blok-blok apartemen itu sudah siap untuk ditempati.

Ketika Tabitha, sahabatnya, menawarkan diri untuk ikut mendandani apartemen mungil itu, Lily pun menyambutnya dengan antusias. Dan sentuhan ajaib tangan Tabitha menjadikan apartemen Lily jadi terlihat mentereng dengan biaya minimal. Banyak permainan warna dan penyulapan materi sederhana menjadi lebih berkelas dilakukan Tabitha. Dan hasilnya?

Akhirnya...

Lily tersenyum puas.

* * *

Pagi yang murung setelah diguyur hujan semalaman. Lily membuka pintu balkonnya lebar-lebar. Segera saja hawa sejuk menyerbu masuk. Langit masih setengah gelap. Ada sedikit gradasi cerah di ufuk timur. Cuma seleret tipis karena di atasnya masih tersisa gumpalan-gumpalan awan gelap.

Dengan lampu balkon masih menyala, Lily menikmati sarapannya di balkon. Hanya sepiring nasi goreng pedas buatannya sendiri, dengan telur mata sapi dan beberapa irisan mentimun, ditemani secangkir teh hangat beraroma blackcurrant. Cuma menu sarapan yang sederhana. Tapi suasananya yang membuat semua itu terasa berbeda. Terasa lebih mewah bagi Lily. Apalagi...

Matanya menyapu sekilas ke arah balkon di seberang kiri balkonnya. Hah! Dia di sana lagi! Entah kenapa hati Lily bernyanyi karenanya.

Di balkon seberang ada seorang laki-laki muda sedang duduk santai dengan menyeruput secangkir kopi atau teh atau entah apa. Selalu hadir pada waktu yang sama setiap paginya. Membuat Lily pun jadi punya kebiasaan baru untuk menghabiskan menu sarapan sederhananya di balkon.

Dari pengamatan sekilas-sekilas, Lily bisa melihat kalau laki-laki itu adalah laki-laki yang cukup menarik hati perempuan normal seperti dirinya. Sosoknya tampak tegap dengan balutan kaos putih yang ngepas di badan dan celana pendek berwarna gelap.

Entah kenapa, jantung Lily berdebar lebih kencang setiap melihat laki-laki itu.

* * *

“Samperin aja..,” Tabitha tersenyum menggoda.

Lily mencibir. “Emangnya eike cewek apaan?”

“Cewek jomblo jaminan mutu,” Tabitha meleletkan lidahnya.

Lily tertawa cerah karenanya.

“Terus, Pak Aldrin mau kamu kemanain?”

“Dih!” Lily kembali mencibir. “Orang dia nggak pernah ngomong apa-apa!”

“Tapi sebenernya kamu suka kaaan?” Tabitha menaik-turunkan alisnya.

Lily mengibaskan tangannya. “Nggak usah dibahas. Tuh, orangnya lagi jalan ke sini.”

Tabitha kemudian kembali ke mejanya, bersekat cubicle  di sebelah meja Lily. Ketika sang boss lewat di depan meja mereka, keduanya serentak mengucapkan, “Selamat pagi, Pak...”.

Aldrin, sang boss muda itu, membalasnya dengan ramah, kemudian masuk ke ruang kerjanya. Siap memulai hari kerja itu tepat lima menit kemudian.

* * *
Laki-laki itu tak pernah muncul di balkon selain pagi hari. Sia-sia Lily berakting di balkon pada setiap kesempatan yang ia punya. Sering ia menghabiskan waktunya sepulang kerja dengan browsing melalui laptop di balkon, atau bermain ponsel, atau membaca melalui tabletnya, atau sekadar menikmati teh atau jahe hangat dari cangkir besarnya.

Sudah dua bulan lebih sedikit. Tak ada kemajuan dicapai seperti yang diharapkan Lily. Sesekali laki-laki itu melemparkan senyum dan lambaian tangan ringan. Tapi Lily tak berani membalasnya. Siapa tahu senyum dan lambaian tangan itu ditujukan pada orang lain di balkon-balkon sebelahnya? Kalau ia dengan PD-nya membalas senyum dan lambaian tangan itu tapi salah sasaran, mau ditaruh mana mukaku? Maka Lily harus cukup puas hanya menikmatinya saja dari kejauhan.

Tapi laki-laki itu tak muncul pagi ini. Sia-sia Lily bertahan berlama-lama menikmati sarapannya hingga matahari benar-benar sepenuhnya menampakkan diri. Ketika waktu terus merambat, Lily terpaksa mendesah kecewa karena mau tak mau ia harus meninggalkan balkon itu untuk bersiap diri berangkat kerja.

Dan sebelum meninggalkan apartemen, Lily menyempatkan diri untuk melemparkan tatapannya ke balkon seberang. Tapi balkon itu tetap sama. Sepi. Dengan pintu yang tertutup rapat.

* * *

Langit masih terang ketika Lily pulang kerja sore itu. Setelah berganti baju, ia pun membawa tabletnya ke balkon. Selama tiga hari kemarin ia terpaksa absen bersantai di balkon pada sore hari. Lembur membuatnya baru masuk ke dalam apartemennya hanya beberapa menit sebelum jam delapan malam.

Sudah empat pagi ini ia tak melihat laki-laki di balkon seberang itu. Entah kenapa ada yang sesak di dalam dadanya. Mungkin dia lagi dinas ke luar kota, dicobanya untuk menghibur diri.

Ketika ia mengangkat wajah, dilihatnya ada kesibukan di balkon itu. Seorang pekerja tengah mengecat dinding balkon dengan warna baru. Dua orang pekerja lain menggotong sebuah sofa yang kelihatannya juga baru.

Hm... Renovasi rupanya... Lily membuat kesimpulan sendiri. Mungkin renovasi itu sudah berjalan beberapa hari dan laki-laki itu mengungsi entah ke mana. Diam-diam Lily membulatkan harapan untuk bisa bertemu lagi dengan laki-laki itu.

* * *

Sekilas dari balik jendela pantry, Lily melihat ada sosok yang tengah duduk di balkon seberang. Hah! Dia muncul lagi! Buru-buru Lily menyelesaikan roti panggang dan secangkir coklat hangatnya, kemudian membawanya ke balkon.

Langit masih setengah gelap, tapi Lily mematikan lampu balkonnya. Harapannya, ia bisa lebih leluasa menuntaskan kerinduannya untuk menatap laki-laki itu sepuasnya. Dengan hati-hati ia meletakkan piring dan cangkirnya di atsa meja pendek, kemudian masuk lagi mengambil ponselnya, kemudian kembali lagi ke balkon.

Baru saja duduk, notifikasi Whatsapp di ponselnya berbunyi. Lily segera membuka aplikasi Whatsapp-nya dan seketika ia mengerutkan kening. Pak Aldrin? Dibacanya juga pesan yang masuk dari boss-nya itu.

Selamat pagi, Lily... Senang melihatmu sudah menikmati hari sepagi ini...

Lily ternganga. Pesan ini? Apa maksudnya nih? Lily meraih cangkir dan meneguk isinya sedikit. Setelahnya ia membalas pesan itu.

Selamat pagi juga, Pak... Apa kabar?

Beberapa saat kemudian ia mendapatkan balasannya.

Baik. Merindukanmu sepanjang weekend kemarin.

Lily terbatuk. Lama ia menatap layar ponselnya tanpa tahu harus membalas apa. Ketika ia hendak mengetikkan sesuatu, sebuah pesan masuk lagi. Masih dari orang yang sama.

Sampai ketemu di kantor...

Lily membalas sekadarnya, kemudian meletakkan ponselnya di atas meja. Ketika ia mengangkat piring berisi roti panggangnya, disempatkannya untuk melihat sekilas ke seberang. Tepat saat itu Lily hanya bisa melihat punggung laki-laki yang sekilas tadi dilihatnya duduk di balkon seberang berkelebat masuk ke dalam apartemen. Dan pintu itu kembali tertutup rapat.

* * *

Kalau biasanya Lily adalah pekerja paling pagi yang datang ke kantor itu, tidak demikian dengan pagi ini. Ketika Lily mermasuki ruangan, ia cukup kaget melihat kehadiran boss-nya di ruangan itu. Duduk manis di kursi Tabitha. Sibuk dengan sesuatu.

“Selamat pagi, Pak...,” Lily mengangguk sopan.

Aldrin mengangkat wajahnya. Seketika senyum cerah menghiasi wajah tampan dan simpatiknya.

“Pagi, Ly...,” balasnya.

“Tumben, Pak, pagi banget,” Lily membalas senyum itu.

“Iya. Ternyata enak juga bisa sampai di kantor pagi-pagi. Nggak kehabisan waktu di jalan kayak biasanya.”

Lily mengerutkan kening. “Memangnya berangkat dari rumah jam berapa, Pak?”

“Aku kan pindah ke apartemen mulai Sabtu kemarin. Kita tetanggaan sekarang.”

Lily melongo. Maksudnya? Sepertinya Aldrin paham apa yang dipikirkan Lily.

“Iya, Ly... aku pindah ke kompleks apartemenmu. Aku di Blok C. Kamu di Blok A kan? Dan kayaknya balkon kita hadap-hadapan, deh! Agak serong kiri.”

Lily makin tercengang. Hadap-hadapan agak serong kiri? Bukannya...

“Terus, pemilik lama pindah ke mana?” tanya itu lebih menyerupai gumaman.

“Pemilik lama?” Aldrin mengerutkan kening. “Itu apartemen baru kok, belum ada yang menempati.”

“Balkon Bapak yang sekarang warnanya hijau muda itu apa bukan?” Lily memberanikan diri memastikan.

“Iya, beberapa hari lalu aku suruh tukang ganti catnya. Tadi pagi kamu sarapan di balkon kan?” Aldrin tersenyum penuh kemenangan. “Aku kirim message tapi sayangnya kamu nggak angkat wajah sedikit pun.”

“Jadi yang tadi pagi di balkon itu Bapak?” Lily keceplosan juga. “Saya kira...”

Aldrin menatap Lily penuh tanya.

“Biasanya kalau pagi di balkon itu ada laki-laki duduk-duduk minum sesuatu, Pak...,” suara Lily terdengar ragu-ragu. “Tapi selama minggu lalu dia nggak pernah kelihatan lagi. Tadi pagi saya lihat ada yang duduk di balkon itu. Saya kira dia.”

“Jangan bercanda ah, Ly!” Aldrin menatap Lily tajam. “Apartemen itu kosong kok! Aku beli dari baru. Langsung dari pemasaran.”

Lily merinding seketika. Kalau benar Aldrin adalah orang pertama yang menempati apartemen di seberang itu, lantas siapa yang tiap pagi dilihatnya? Ditatapnya Aldrin penuh horor.

“Sudah ah!” Aldrin berdiri dari duduknya. “Daripada kamu mikirin yang enggak-enggak, mendingan kamu mikirin aku.”

Ya, benar! Daripada aku mikirin halusinasi, hantu, ilusi, atau apalah namanya itu, mendingan aku mikirin Pak Aldrin. Lily tertegun sejenak. Eh, apa?! Maksudnya???

Lily menatap Aldrin. Tapi yang ditatap terus melenggang masuk ke ruangan kantornya.

Maksudnya???


* * * * *

3 komentar: