Rabu, 26 Juni 2019

[Cerbung] Bias Renjana #39









Sebelumnya



* * *

Bias Rasa


James menghela napas lega ketika hasil pemeriksaan menyeluruh didapatnya. Kepalanya tidak apa-apa. Semua organ dalamnya juga dalam kondisi normal. Juga tulang paha kiri yang diduga retak. Ternyata hanya memar di bagian luar. Walaupun memar itu cukup parah bila dibandingkan dengan beberapa memar lain di sekujur tubuhnya, tapi bisa dikatakan tidak apa-apa. Hanya saja, dokter menganjurkannya untuk dirawat selama tiga hari sambil terus diobservasi, mengingat usianya sudah tak muda lagi.

Pada siang keempat setelah ia mengalami kecelakaan, dokter mengizinkannya pulang. Luken yang mengurus kepulangan pamannya itu. Sendirian. Karena Minarti harus ‘mengamankan’ kedai, dan Livi harus tetap berada di kantor.

“Kamu mau balik lagi ke kantor?” tanya James ketika Luken sudah meluncurkan mobilnya meninggalkan area parkir rumah sakit.

“Iya, tapi aku antar Om pulang dulu.” Luken mengangguk.

Sekilas James melirik jam digital pada dasbor. Menjelang jam makan siang. Dengan cepat, diputuskannya sesuatu.

“Aku nggak usah diantar pulang,” ujar James. “Aku nebeng kamu ke kedai saja. Sekalian aku mau makan siang di sana. Pulangnya nebeng lagi.”

“Serius?” Luken menoleh sekilas.

“Seriuslah....”

“Lapar atau kangen sama Bu Min?”

Seketika tawa James pecah. Walaupun ia tak menjawab dengan jelas pertanyaan itu, tapi ia tahu bahwa Luken pun sesungguhnya sudah tahu isi hatinya.

* * *

Mereka berempat sedang asyik menikmati makan siang sambil mengobrol ketika James dan Luken muncul di kedai. Minarti, Sandra, Livi, dan Angie. Angie-lah yang pertama kali melihat sosok James diikuti Luken muncul dari arah tangga.

“Om James!” serunya. Membuat ketiga kawan satu mejanya menoleh ke arah yang sama.

James mendekat dengan senyum lebarnya. Luken segera berinisiatif menyambungkan sebuah meja untuk berdua dengan meja yang ditempati keempat perempuan itu. Angie membantu dengan memindahkan dua buah kursi pasangan meja kecil itu.

Sambil mengucapkan terima kasih, James pun duduk. Tepat di sebelah kanan Minarti. Luken duduk di seberangnya, di sebelah kiri Sandra.

“Harusnya Pak James diantar pulang dulu, Mas,” tegur Livi, halus.

Luken menatap calon istrinya yang duduk di sebelah kiri Minarti.

“Harusnya kamu sudah paham gimana ngeyel-nya si Om ini,” gerutu Luken, disambut tawa dari sekeliling meja.

Keenam orang itu kemudian menyambung obrolan, dengan fokus utama kondisi terkini James. Sandra pun meleburkan diri dalam obrolan itu. Tapi diingatnya obrolan dengan Angie semalam.



“Aku tadi siang nggak sengaja nguping obrolan Mbak Livi dengan Bu Min, Ma,” ujar Angie, lirih.

Sandra mengangkat alis. Menatap Angie dengan sorot mata bertanya. Angie balas menatapnya. Menelan ludah, sebelum melanjutkan ucapannya.

“Kelihatannya... Bu Min sama Om James... mau menikah.”

Seketika, seperti ada bola besar menyumbat leher Sandra. Tapi secepatnya ia menguasai diri. Diulasnya senyum tipis.

“Memangnya kenapa kalau benar Bu Min sama Pak James mau menikah?”

Angie mengerjapkan mata. Terlihat ragu-ragu.

“Mama... nggak apa-apa?” Angie menyipitkan mata.

Sandra mencoba melepaskan tawanya sembari menggeleng. Mencoba menepis juga perasaan seolah tercubit di hati.

“Hak Pak James, dong, mau menikah dengan Bu Min atau siapa pun,” Sandra berusaha membuat suaranya terdengar seceria mungkin. “Lagipula Mama... Papa belum lama berpulang, Angie. Mama sama sekali belum siap untuk membina hubungan baru dengan siapa pun.”

Dan, ia meneteskan air mata malam harinya. Saat berada dalam hening sendirian di dalam kamar..

Ia sempat menggantungkan harapan. Tidak terlalu tinggi karena ia menyadari betul posisi dan keadaannya. Ia pun tidak buta. Ia tahu usaha Minarti mendekatkan James kembali padanya.

Saat beberapa kali ia berada begitu dekat dengan James, segala jenis aroma manis dan nuansa merah muda di sekitar mereka bisa dikatakan tak pernah ada. James dan ia sudah menjelma jadi dua orang asing. Seolah ada sekat begitu tinggi dan tebal di antara mereka. Ia sungguh menyadari, bahwa sekat itu ialah yang menggantungnya. Karena Riza. Walaupun saat ini Riza sudah tiada.

Sudahlah, memang tidak jodoh....

Begitu ia berusaha untuk menghibur diri. Lagipula hingga detik ini James tak juga menyatakan rasa apa pun terhadapnya.

Ditariknya napas panjang, dan disekanya air mata. Ditatapnya pantulan dirinya pada cermin di seberang ranjangnya.

Aku sudah cukup bersenang-senang dengan hidupku. Sekarang waktunya Bu Min dan... Pak James.

Ia menggeleng samar. Berusaha mengumpulkan segala rasa syukur karena pernah mengecap jutaan keriangan bersama Riza. Pada rasa itulah ia menemukan ketegarannya, untuk menatap hari esok dengan segala senyum yang ia miliki.



Dan, ia memutuskan untuk tetap larut dalam keriangan yang ada di sekeliling meja itu. Pada satu detik, tatapannya bersirobok dengan tatapan Minarti. Ada sesal dan permintaan maaf yang tergambar dengan jelas di sana. Ia menggeleng samar. Berusaha mengirimkan sinyal ‘tidak apa-apa’ melalui tatapan matanya.

Ketika acara makan siang itu usai dan mereka hendak bubar untuk kembali pada kesibukan masing-masing, Minarti mendekati dan menggamit lengannya dengan halus.

“Bu Sandra, saya minta maaf,” ucap Minarti, dalam bisikan lembutnya.

Sandra menatapnya. Tersenyum dan mengangguk.

“Soal Pak James?” ia balas berbisik.

Minarti menghela napas panjang. Masih terlihat sesal dalam matanya.

“Bu,” Sandra menggenggam kedua telapak tangan Minarti, “saya juga tak bisa membiarkan Pak James terlalu lama terpaksa menunggu saya melewati masa duka karena kehilangan papa Angie. Ayolah, nikmati apa yang sudah seharusnya Ibu nikmati.”

Minarti kembali menatap Sandra. Dalam.

“Saya ingin ngobrol banyak dengan Ibu,” ucap Minarti. “Kapan ada waktu?”

“Nanti sore?” Sandra menawarkan dengan nada ringan. “Nanti Ibu nyebrang saja, kita pulang bareng. Angie kebetulan mau keluar sama Tony.”

Minarti buru-buru mengangguk.

* * *

James menunggu dengan sabar hingga Minarti muncul di pantry. Ditatapnya Minarti ketika perempuan itu duduk di seberangnya, di depan meja di sudut.

“Kamu mau ngomong sama Sandra?” tanya James dengan suara rendah.

Minarti mengangguk. “Nanti sore.”

James manggut-manggut. Minarti menatapnya. Dalam.

“James,” ujarnya kemudian, lirih, “apakah kamu benar-benar...”

“Ya,” potong James, mantap, walaupun tetap dengan suara lirih. “Kita akan segera menikah begitu urusan pernikahan Luken dan Livi beres. Kita bisa atur waktu agar aku bisa melamarmu secara resmi pada Vita dan Daris. Mm... Kamu mau tetap tinggal di sini atau di mana?”

“Di Tebet? Di indekos?” Minarti menyipitkan mata.

“Bukaaan...,” James menyambung jawabannya dengan tawa. “Maksudku, tetap di Jakarta, pindah ke Madiun, atau di mana?”

“Kamu sendiri?” Minarti mengangkat alis.

“Kalau aku... ingin dekat dengan anak, menantu, dan cucu.”

Minarti tersenyum lebar.

“Terserah nanti kamu mau tinggal di rumah lamaku, atau kita beli rumah baru di dekat rumah Vita dan Gandhi,” lanjut James.

“Sebetulnya... beberapa waktu lalu, setelah aku dapat duit lebih banyak lagi dari Daris, aku sudah beli rumah di belakang rumah Vita dan Gandhi.” Minarti meringis. “Sekarang lagi direnovasi. Tembok belakang lagi dibuatin pintu tembusan. Nanti kalau cuti Vita habis, dia maunya pakai jasa baby sitter, tapi sehari-harinya tetap di rumahku. Aku tetap bisa ikut mengasuh cucu, tanpa repot urusan ini-itu.”

“Dan... aku boleh numpang tinggal di situ?” James nyengir.

Seketika Minarti tergelak.

“Sudah diisi?” lanjut James.

“Maksudmu?” Minarti mengerutkan kening.

“Perabot dan sebagainya.”

“Oh..., belum,” Minarti menggeleng. “Renovasinya saja belum selesai.”

“Nanti bagianku mengisi rumah, Min.”

Minarti sempat ternganga sebelum tersenyum lebar. Dilihatnya kesungguhan dalam wajah James. Dan, ia tak menemukan alasan untuk menolak keinginan itu.

“Hmm... Baiklah....” Ia pun mengangguk.

* * *

Masih ada sedikit sisa rasa tercubit-cubit dalam hati Sandra ketika ia meninggalkan kamar indekos Minarti menjelang malamnya. Semua sudah makin jelas baginya. James memilih Minarti. James menemukan belahan jiwanya dalam diri Minarti.

Di matanya sendiri, secara objektif, Minarti memang seorang perempuan yang sungguh istimewa. Tegar, penuh perjuangan, ulet, dan sangat menghargai kehidupan. Cocok dengan James yang memang tak bisa diam.

Maka, ia memutuskan untuk merajut kembali senyumnya. Mungkin hatinya tak akan pernah merasa serela ini bila perempuan yang dipilih James bukanlah Minarti.

Bu Min memang yang terbaik untuk Pak James...

Diulang-ulangnya kalimat itu dalam hati.

Ia menghela napas panjang sebelum melajukan mobilnya keluar dari halaman rumah indekos Minarti. Perempuan itu melambaikan tangan padanya. Dibalasnya dengan menyertakan senyum, sebelum ia menutup kaca jendela mobil.

Semua orang berhak untuk merasa bahagia. Dan, kebahagiaan itu tak jauh. Hanya berada dalam hati.

Kini, ia pun berusaha menemukan kebahagiaan itu dalam hatinya untuk James, laki-laki yang pernah ia cintai secara diam-diam, dan Minarti, perempuan yang selama ini dikaguminya. Berusaha untuk merelakan. Memikirkan hal itu, pelan-pelan suatu perasaan hangat menyelimuti hatinya. Seperti setiap saat ketika Riza memeluknya.

Ia kembali tersenyum. Siap untuk kembali lagi pada kehidupannya semula, dan menemukan setiap bahagia dan rasa syukur dalam setiap detik yang ia lalui bersama orang-orang disekelilingnya.


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.