Senin, 10 Juni 2019

[Cerbung] Bias Renjana #34










Sebelumnya



* * *

Tujuh Belas


James menatap layar laptopnya dengan sorot mata jemu. Kedai sudah beroperasi dengan sangat lancar. Dalam kurun waktu hampir satu tahun ini perkembangannya sungguh menggembirakan. Sudah tak ada lagi tantangan yang harus ditaklukannya. Perjuangannya di kedai ini sudah selesai. Hanya tinggal menjalani rutinitas saja,

Sebenarnya apa, sih, yang kucari?

Kepalanya menggeleng samar.

Apa lagi yang harus kubuktikan?

James mengerjapkan mata.

Sandra?

Ia kembali menggeleng samar.

Sesuai saran Minarti, ia beberapa kali mencoba untuk berkencan dengan Sandra. Mengajaknya makan siang. Mengajaknya sesekali menikmati makan malam sepulang kerja. Dua kali menemaninya berbelanja di sebuah pasar swalayan besar dekat tempat kerja mereka. Tapi....

Bahkan aku tak berhasil menemukan apa-apa.

James mendesah pelan.

Apanya yang salah?

Ia yakin rasa cintanya terhadap Sandra tak pernah berkurang. Setidaknya, ia tak pernah menghapus rasa itu barang secuil pun. Sikap Sandra pun makin hari makin terasa lepas di dekatnya, walaupun belum sepenuhnya. Masih ada sekat-sekat yang tergantung sedemikian tinggi di antara ia dan Sandra. Dan, Sandra-lah yang meletakkan sekat itu di tempat yang ia kira sudah seharusnya.

Sialnya, ia belum bisa mengadukan perasaannya kepada Minarti. Rekanan kerjanya itu beberapa waktu lalu minta izin untuk tidak masuk kerja. Harus menyelesaikan segala urusan perdata tentang semua peninggalan ayahnya. Bahkan, Daris sendirilah yang menyempatkan diri untuk menjemput sang kakak ke jauh-jauh dari Madiun ke Jakarta. Sudah hampir seminggu ini Minarti tak bisa muncul di kedai.

Kedai benar-benar terasa sepi tanpa Minarti...

Untuk kesekian kalinya James menggeleng samar.

Bunyi daun pintu yang terbuka dan tertutup membuat James menoleh sekilas.

“Selamat pagi, Om,” Angie menyapa dengan sopan, kemudian duduk di belakang mejanya sendiri.

“Pagi juga, Angie. Kamu sudah sarapan?” James mengulas senyum.

“Sudah, Om.” Gadis itu mengangguk. “Bu Min kapan pulang, ya, Om?”

“Wah, belum tahu.” James menggeleng. “Panjang urusan Bu Min.”

“Yang kapan hari jemput Bu Min itu pacarnya, ya, Om?”

“Hah?” James seketika melengak. “Yang tinggi besar itu?”

Angie mengangguk. Seketika James mengumandangkan tawanya.

“Bukan...,” jawabnya kemudian. “Itu adiknya.”

“Oh! Hehehe... Kok, penampilannya kayak bos-bos,” Angie nyengir.

“Memang bos.” James tersenyum lebar. “Kamu tahu Barto Utama?”

“Perusahaan bus besar itu?”

“Yup!” James mengangguk. “Nah, adik Bu Min itu bosnya.”

“Whoaaa....” Angie menatap James dengan takjub.

“Dan... pemilik tunggal Barto Utama adalah Bu Min,” lanjut James dengan suara mantap.

Seketika Angie terbengong. Tapi beberapa saat kemudian ia tersadar.

“Lho! Bukannya selama ini Bu Min nggak gitu-gitu amat hidupnya, Om?” ia mengerutkan kening.

“Panjang ceritanya, Angie,” jawab James dengan suara sabar. “Yang jelas, satu-satunya ahli waris Barto Utama adalah Bu Min. Dan, yang kemarin menjemput Bu Min itu adik tirinya. Selama keluarganya hilang kontak dengan Bu Min, dialah yang memimpin Barto Utama.”

“Whoaaa...,” sekali lagi Angie terlihat takjub, sebelum ekspresinya berubah dalam hitungan detik. “Eh, tapi, Om, apa nggak bahaya melepas Bu Min sendirian sama adik tirinya?”

“Maksudmu?” James menyipitkan mata.

“Ya... siapa tahu... dia mau bikin celaka Bu Min atau gimana, gitu. Urusan harta, lho, Om.”

Seketika James tergelak. Kepalanya menggeleng beberapa kali. Wajahnya terlihat geli ketika menatap Angie.

“Kamu ini...,” gumamnya. “Kebanyakan baca cerita detektif. Mas Daris itu baik banget orangnya. Nggak perlu khawatir begitu, ah!”

Angie meringis dengan wajah malu. James kembali tertawa melihatnya. Ia tertawa lagi ketika ponselnya berbunyi dan ia melihat siapa yang meneleponnya. Diatatapnya Angie.

“Panjang umur dia,” ujarnya sebelum menjawab panggilan itu. “Baru juga diomongin.”

“Bu Min?”

James mengangguk dengan masih mengulum senyum. Angie terkikik geli.

* * *

James tersenyum lebar ketika melihat lambaian tangan Minarti. Wajah perempuan itu tampak secerah matahari siang yang bersinar terik di angkasa.

“Apa kabar?” James menyongsongnya.

“Luar biasa!”

James lega sekali mendengar nada riang itu.

“Sudah selesai semuanya?” tanyanya lagi.

Minarti mengangguk. “Daris dan Erika titip salam untukmu.”

“Wah, terima kasih!” James menanggapinya dengan nada riang. “Ngomong-ngomong, kamu nggak bawa apa-apa?”

Minarti memang hanya menyandang tas dari bahan jins kesayangannya di bahu kiri. Terlihat cukup gembung tapi ringan.

“Oh, hehehe...,” Minarti terkekeh. “Koperku kutitipkan ke Barto Cargo. Plus semua kardus yang entah apa isinya. Erika yang punya menyediakan. Besok akan diantar ke indekosku. Gimana kedai? Aman?”

“Aman... Kita berdua tinggalkan tempo hari saja aman, kok.”

Minarti terkekeh ringan. James pun menggandeng tangan Minarti, melangkah menuju ke tempat mobilnya parkir.

Ketika beberapa jam lalu Minarti meneleponnya, entah kenapa hati James diliputi kegembiraan. Minarti yang saat itu masih di Juanda meneleponnya. Meminta tolong kepadanya untuk menjemput di Cengkareng. Secara jujur Minarti mengatakan bahwa ia belum pernah naik taksi dari bandara. Ada rasa khawatir di hatinya. Tentu saja James segera mengatakan ‘ya’ tanpa pikir panjang.

“Gimana kencanmu dengan Bu Sandra?” tanya Minarti tiba-tiba.

James terdiam sejenak. Berlagak serius dengan kemudinya. Tapi suasana hening di sekitarnya dan Minarti seolah beraroma minta jawaban. Samar, dihelanya napas panjang.

“Mm... Ya, aku keluar dengannya beberapa kali.”

“Terus?” nada suara Minarti terdengar menuntut.

“Ya...,” James kehilangan kata-kata. “Ya, gitu, deh!”

“Ish!” Minarti mengibaskan tangan kanannya. Tak puas.

“Semua sudah berubah, Min,” gumam James. “Kupikir aku masih mencintainya. Ternyata....” James menggeleng. Pasrah.

Minarti menghela napas panjang. Mencoba memahami apa yang dirasakan James.

“Ya, kalau memang seperti itu kejadiannya, nggak perlu memaksa diri lagi, deh.”

“Lho, yang selama ini memaksaku, kan, kamu.” James terkekeh.

“Iya juga, sih...,” Minarti mendesah. Serba salah.

“Namanya orang berusaha, Min,” nada suara James terdengar menghibur. “Bagaimanapun aku menghargai usahamu untuk mendekatkan aku dengan Sandra. Soal hasilnya, aku belum menilainya berhasil. Belum juga gagal. Tapi entahlah, akan kupikirkan lagi.”

“Baiklah...,” Minarti mengangguk.

“Ini kamu mau langsung pulang ke indekos?” James menoleh sekilas.

“Ke kedai dululah. Aku kangen sama anak-anak.”

James terkekeh. Masih mengulum senyum ketika memutuskan untuk menahan tanya yang sudah ada di ujung lidahnya.

Kangen juga padaku, enggak?’

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.