Kamis, 20 Juni 2019

[Cerbung] Bias Renjana #38









Sebelumnya



* * *


Rasa-rasanya baru sekejap saja ia terlelap ketika telinganya menangkap alunan bunyi ponsel yang makin lama makin keras. Ia berusaha membuka mata. Terasa sangat berat. Ketika sepasang kelopak matanya sudah terangkat sempurna, bunyi ponselnya berhenti.

“Ah...,” Minarti mengerang.

Ia memang tidak pernah mematikan ponselnya walaupun sedang mengisi daya semalaman. Karenanya siapa pun masih bisa menghubunginya.

Dengan gerakan malas, Minarti mengulurkan tangan, meraih ponsel yang ada di atas nakas. Belum lagi tangannya menggenggam sempurna ponselnya, benda itu berbunyi lagi. Sekilas matanya menangkap waktu saat ini dan siapa peneleponnya.

Dik Lena? Hampir pukul setengah sebelas begini? Hah? Jangan-jangan...

Pikirannya langsung melayang pada sosok Prima. Ia segera mengangkat tubuhnya dari ranjang.

Jangan-jangan serangan jantung lagi!

“Ya, Dik? Selamat malam.”

“Mbak, sudah tidur, ya?”

“Iya, sih. Ada kabar apa?”

“Mbak, siap-siap, ya. Ke rumah sakit sekarang. Sudah kusuruh Maxi menjemput Mbak.”

“Ada apa, Dik? Dik Prima kenapa? Sakit lagi?” Seketika Minarti menegakkan punggungnya.

“Bukan papanya anak-anak, Mbak, ...”

Sebuah jawaban yang membuat Minarti segera menarik napas lega.

“... tapi Pak James.”

Seketika Minarti mematung. Hati dan napasnya seolah hilang.

James? James???

“James kenapa?!” ujarnya, panik.

“Pak James kecelakaan waktu pulang dari kedai tadi. Ketabrak truk. Beberapa waktu lalu Livi dikabari Mas Luken. Sekarang Livi sudah berangkat ke rumah sakit ditemani papanya. Maxi kusuruh jemput Mbak, sesuai pesan Mas Luken. Setelah ini akan kutelepon Yu Sri supaya bukain gerbang buat Maxi. Mbak tunggu di teras, ya.”

Segera setelah Minarti mengucapkan terima kasih, keduanya mengakhiri pembicaraan itu. Dengan gerakan sedikit gemetar, Minarti mengganti dasternya dengan blus dan celana panjang seadanya yang ia tarik begitu saja dari dalam lemari. Lalu diraihnya ponsel dan dimasukkannya ke dalam tas yang biasa dibawanya. Setelah itu, ia menyambar jaket dan keluar dari kamar. Tak lupa ia menutup dan mengunci pintu kamarnya.

Ketika melangkah tanpa suara di koridor, barulah ia menyadari bahwa ia masih mengenakan sandal jepit karet. Tapi ia menepis pikiran untuk mengganti sandal itu dengan benda serupa yang lebih pantas. Maka, ia pun meneruskan langkah dan tidak berbalik lagi ke kamar.

Sri muncul beberapa menit setelah Minarti duduk menunggu dengan gelisah di salah satu kursi teras. Perempuan itu meminta maaf karena agak lambat menanggapi telepon dari Arlena, sang pemilik rumah indekos itu.

Beberapa menit setelah Sri membuka lebar-lebar pintu gerbang, sebuah city car berwarna putih meluncur masuk dan langsung berputar ke arah luar. Pintu kiri depan terbuka, dan Minarti pun menyelinap masuk. Maxi menyapanya dengan sopan.

“Jadi merepotkan kamu, Max,” gumam Minarti sambil mengancingkan sabuk pengamannya.

“Enggaklah, Budhe,” Maxi menanggapi sambil tersenyum. “Daripada Budhe sendirian naik taksi, kan, lebih aman kalau aku yang antar.”

Pemuda itu segera meluncurkan kembali mobilnya. Jalanan menjelang pukul sebelas malam sudah mulai lengang. Membuat Maxi bisa memacu mobil ibunya dengan kecepatan di atas rata-rata. Dalam waktu belasan menit saja, keduanya sudah sampai di rumah sakit tempat James dirawat. Langsung ke area parkir di depan gedung IRD.

Maxi menggandeng erat tangan Minarti ketika melintasi area parkir itu. Terasa bergetar dan dingin. Maxi pun memindahkan lengannya. Merengkuh bahu Minarti sambil terus melangkah.

Di ruang tunggu IRD, keduanya menemukan Prima dan Livi tengah duduk termenung di sebuah bangku yang menempel pada dinding. Ayah dan anak itu sama-sama mengangkat wajah ketika mendengar pintu terbuka dan tertutup. Prima berdiri dan menyongsong kedatangan kakak iparnya itu.

“Ayo, Mbak, duduk dulu,” ujarnya.

“James gimana keadaannya?” suara Minarti terdengar tercekik di leher.

“Masih ditangani.”

“Mas Luken di mana?” Mata Minarti mencari-cari.

“Lagi dipanggil dokter,” jawab Prima.

Dengan lembut, Prima menarik tangan Minarti agar duduk di sebelahnya, diapit ia dan Livi. Livi segera meraih tangan Minarti dan menggenggamnya hangat.

“Bagaimana kejadiannya?” bisik Minarti.

Livi pun menjelaskan sepanjang yang ia tahu. Bahwa James pulang agak lebih lambat dari biasanya. Dan, pada satu perempatan di dekat kompleks rumahnya, mobilnya dihantam dari arah kiri oleh sebuah truk yang remnya blong.

Minarti terhenyak. Teringat percakapan terakhirnya dengan James sore tadi.



Ia membuka pintu kantor dan menemukan James tengah membicarakan sesuatu dengan Angie. Keduanya menghentikan obrolan itu dan menoleh ke arahnya.

“Sudah pukul empat, Pak James, saya pulang dulu,” pamitnya.

“Tunggu sebentar, Bu. Saya antar.”

Sambil mengucapkan itu, James meringkas laptop dan ponselnya yang tergeletak di atas meja. Minarti buru-buru menolaknya dengan disertai senyum.

“Nggak usah, Pak. Saya jalan kaki saja. Olah raga. Lagipula mau mampir belanja-belanja dulu di mini market pojokan situ.”

James menatapnya. Seperti hendak mengucapkan sesuatu. Tapi Minarti sudah lebih dulu mengunci pembicaraan singkat itu dengan satu kata ‘permisi’. Dan, Minarti pun berbalik. Menutup pintu pelan-pelan dari arah luar.



Minarti mendegut ludah. Tanpa bisa dicegah, tangannya gemetar lagi. Livi menggenggamnya lebih erat.

Seandainya aku mau diantarnya pulang, pasti dia tidak akan kenapa-kenapa! Salahku! Salahku!

Sejenak ia seolah dilanda deja vu.

Ia pernah mengalaminya. Hati dan jiwa yang seolah tersedot keluar dari dalam tubuh ketika mendengar kabar Drastya mengalami kecelakaan. Sudah terbentang jarak puluhan tahun, tapi rasanya masih segar dalam ingatan. Apalagi ia tahu, pada akhirnya Drastya meninggalkannya.

Jangan James, Tuhan... Jangan lagi!

Tanpa bisa dicegah, ia terisak. Prima segera memeluknya.

“Aku... ingat... masmu,” bisik Minarti, terbata-bata.

“Rasa-rasanya Pak James nggak terlalu parah, Mbak,” hibur Prima. “Tadi, sih, sudah sadar, tapi masih mau diobservasi lagi. Makanya, dokter lagi bicara sama Mas Luken.”

“Seandainya aku mau diantarnya pulang pukul empat tadi, pasti nggak akan ada kejadian kayak gini....” Minarti terisak lagi.

“Ya, kan, Budhe juga nggak tahu ataupun pernah berharap Pak James bakal mengalami kecelakaan,” hibur Livi. “Yang pasti juga bukan salah Budhe-lah....”

Minarti menggeleng resah.

* * *

“Om...”

James membuka mata ketika mendengar bisikan itu. Luken berdiri di dekatnya. Menatapnya.

“Gimana?” bisik Luken lagi.

“Hah... Sakit semua badanku,” gumam James.

Luken mengulas senyum. Wajahnya terlihat sedikit lebih lega. Kata dokter, James tidak apa-apa. Hanya ada beberapa memar dan lecet karena benturan dan gesekan. Diperkirakan ada sedikit retak di bagian tulang paha kiri. Tapi masih perlu diobservasi lebih lanjut sepanjang malam ini. Besok pagi baru akan dipindai kondisi dalamnya. Seandainya mobil James ditabrak dari arah kanan dan ia tak mengenakan sabuk pengaman, mungkin akan lain lagi ceritanya.

“Mobilku gimana?” tiba-tiba James teringat kendaraannya.

“Aku belum tahu.” Luken menggeleng.

“Nggak usah dibenerinlah kalau memang parah,” James meringis. “Nanti aku beli baru saja.”

“Sombong!” gumam Luken, tersenyum masam.

James terkekeh mendengarnya.

“Yang nabrak aku apa, sih?” tanyanya kemudian.

“Truk tanah. Nggak ada muatannya. Remnya blong. Makanya lampu sudah merah, dia nyelonong terus.”

“Mobil depanku kena juga kayaknya.”

“Iya.” Luken kembali mengangguk. “Malah nabrak pohon asem yang gede itu. Lebih parah dari Om. Pakai kejepit segala.”

James menghela napas panjang. Bulu kuduknya meremang tanpa bisa dicegah. Nasib apes, memang siapa yang bisa mengira? Sejak ia bisa mengendarai motor dan menyetir mobil, ia sudah bertekad untuk terus berhati-hati. Bukan hanya tentang keselamatan nyawanya sendiri, tapi juga nyawa orang lain. Tapi kalau sudah apes, apa mau dikata?

“Ada Livi di luar,” ucap Luken. Lirih. “Mau nitipin kedai ke dia? Biar aku panggil. Tapi jangan lama-lama ngobrolnya. Om masih harus istirahat.”

“Di IRD gini?” James mengerutkan kening.

“Iya, biar gampang observasinya,” jawab Luken, sabar. “Baru setelah urusan scan besok selesai, diputuskan Om harus ngamar atau sudah boleh pulang. Nggak usah kebanyakan protes, deh!”

James meringis. Ketika Luken berbalik, ia kembali mengatupkan mata. Sejujurnya, ia merasa sedikit pusing. Mungkin memang benar tadi kepalanya sempat terbentur sesuatu, atau bisa juga karena faktor terlalu kaget ditabrak sedemikian rupa oleh kendaraan sebesar itu, sehingga ia sempat hilang kesadaran.

Livi sudah cukup piawai mengelola kedai, pikirnya. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi bakal lumayan terhambat untuk bertemu Minarti.

“James...”

Seketika James membuka mata. Merasa seolah tersedot masuk ke Surga ketika mendengar bisikan lembut itu. Ia menoleh sedikit. Sempat tak percaya ketika matanya terperangkap dalam tatapan teduh perempuan yang tengah dipikirkannya. Tapi raut wajah khawatir itu menyadarkannya.

“Hei, Min...,” bisiknya, lemah.

Minarti bergegas mendekat. Tanpa basa-basi segera meraih tangan kanan James dan menggenggamnya.

“James, janji, jangan pernah ada kejadian seperti ini lagi,” ucap Minarti dengan bulir air mata hampir menggelinding di pipi.

James merasakan getar hebat di tangan Minarti. Ia pun balas menggenggamnya. Tangan Minarti terasa dingin.

“Aku nggak apa-apa,” jawabnya kemudian. Tersenyum samar.

“Kamu bikin jantungku copot dan hatiku hilang,” gerutu Minarti. Tapi ada senyum dalam bening matanya. “Tolong, jangan pernah lakukan ini lagi padaku.”

“Aduh, kamu ini...,” James balik menggerutu. “Aku belum segila itu menabrakkan mobilku ke truk hanya gara-gara kamu belum menjawab lamaranku. Lagi apes aku, Min.”

Tanpa bisa ditahan, Minarti menangis dan tertawa sekaligus. James mengeratkan genggaman tangannya.

“Min, kalau kamu benar meminta, aku nggak akan ke mana-mana,” bisiknya kemudian.

Minarti melepaskan telapak tangan kanannya dari genggaman James. Dihapusnya butiran air mata yang sudah pecah membasahi pipi.

“Jangan... tinggalkan aku..., James,” Minarti balas berbisik. Terbata-bata.

“Iya, Min, iya... Asal kamu mau menerima lamaranku.”

Seketika tawa Minarti pecah. Tertahan.

“Dasar pedagang!” sungut Minarti di tengah tawanya. “Benar-benar nggak mau rugi!”

James pun terkekeh karenanya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.