Senin, 17 Juni 2019

[Cerbung] Bias Renjana #37









Sebelumnya



* * *



Delapan Belas


Langit di luar kedai sudah menggelap. James menguap dan meregangkan punggungnya sebelum mematikan laptop. Saatnya menutup hari kerjanya di kedai. Sekilas ia menatap jam dinding yang tergantung di atas pintu. Sudah hampir pukul enam sore. Sekali lagi ia menguap, lalu berdiri. Dengan cepat ia memasukkan laptop ke dalam tas, kemudian melangkah meninggalkan mejanya. Saat menuruni tangga, ia berpapasan dengan salah seorang pramusaji.

“Selamat sore, Pak James,” sapa pramusaji itu dengan sopan.

“Ya, Lumi, selamat sore.” James mengangguk.

“Bapak sudah mau pulang?”

“Iya,” James kembali mengangguk. “Tapi sepertinya aku mau makan dulu.”

“Oh... Ini, Pak, ada tamu di bawah, ingin bertemu Bapak.”

“Siapa, ya?” James mengerutkan kening.

“Pak Gandhi, Pak.”

“Pak Gandhi...,” James mengerutkan kening ketika pikirannya menyambung pada satu-satunya nama Gandhi yang dikenalnya. “Sendirian?”

“Berdua. Sama istrinya, sepertinya.”

“Lagi hamil?”

“Iya, Pak. Betul.” Lumi mengangguk.

“Oh, oke. Kamu suruh naik saja, Lum. Kasihan di bawah banyak yang merokok.”

“Sudah, Pak. Sekarang ada di lantai dua,”

“Oh, baguslah! Kamu nanti tunggu sebentar, ya. Biar aku tanya mau minum dan makan apa. Nanti kamu layani.”

“Siap, Pak!”

Benar, Navita dan Gandhi sudah menempati sofa di depan meja untuk berempat. Dengan langkah bergegas, James menghampiri keduanya. Disapanya putri dan menantu Minarti itu dengan hangat. Setelah berbasa-basi sejenak dan menyelesaikan urusan makanan dan minuman, James menatap keduanya dengan sorot mata bersahabat.

“Kalau boleh menebak, ini pasti tentang Ibu, kan?” tanyanya kemudian, dengan suara rendah.

Navita dan Gandhi bertatapan sejenak sebelum mengangguk berbarengan.

“Kami minta maaf sebelumnya, Pak,” ucap Navita dengan sangat sopan. “Soal Pak James dan Ibu, Ibu memang belum pernah bicara langsung dengan kami. Tapi tadi saya diajak bicara dari hati ke hati oleh Pak Prima. Rupanya, Ibu sudah lebih dulu minta pendapat Pak Prima dan Tante Lena. Menurut Pak Prima, Ibu menunggu saya lahiran dulu, baru akan bicara soal itu. Dan, Pak Prima berpikir bahwa makin cepat kami tahu, makin baik. Supaya kalau Ibu berterus terang, kami nggak kaget lagi. Kami sudah siap dengan jawabannya. Apalagi ini hari terakhir saya bekerja. Besok sudah mulai cuti. Dan..., kami putuskan untuk menemui Bapak lebih dulu. Mm... Kami ingin bertanya, Bapak serius dengan Ibu?”

“Saya nggak pernah main-main,” jawab James seketika, dengan suara tegas. “Bu Min memang belum memberi jawaban. Saya tahu beliau butuh ruang dan waktu. Beliau juga sudah mengatakan bahwa ada keluarga yang harus dipikirkan perasaannya. Saya paham betul itu. Sangat mengerti.” James mengagguk.

Sekilas, Navita dan Gandhi bertatapan. Navita mengembalikan lagi arah tatapannya kepada James. Matanya tampak mengaca.

“Saya....” Navita menghela napas panjang.

Gandhi mengulurkan tangan. Menggenggam tangan istri tercintanya yang bertaut di atas meja. Seolah ingin memberikan kekuatan lebih.

“Ibu sudah memberikan seluruh hidupnya untuk saya.” Navita meneruskan ucapannya dengan suara lirih. Mengerjapkan matanya yang basah. “Memberi apa yang saya perlukan. Menyayangi saya tanpa syarat. Berjuang agar saya mendapatkan yang terbaik. Saya....” Navita mengusap butiran air mata yang menggelinding di pipinya. “Saya hanya ingin Ibu berbahagia. Kalau Pak James bisa menjamin kebahagiaan Ibu, saya... tidak keberatan Ibu menikah dengan Pak James.”

James terdiam sejenak. Berpikir dan berusaha memilih kata-kata yang tepat untuk menanggapi seluruh ucapa Navita.

“Saya sudah katakan kepada Bu Min,” ucap James, akhirnya, “bahwa saya tidak bisa menjanjikan apa-apa. Saya hanya bisa memberikan seluruh hidup saya untuknya. Bu Min dan saya sama sekali belum pernah mencecap kehidupan dalam sebuah ikatan pernikahan. Kami masih harus belajar banyak.

“Yang jelas, makin dalam mengenal Bu Min, saya makin merasa bahwa beliaulah belahan jiwa saya. Yang bisa memberikan ketenangan hati, menghapus rasa khawatir, menularkan begitu banyak energi positif, dan juga memberi perasaan damai. Semua perasaan yang bahkan belum pernah saya temukan saat membangun relasi dengan perempuan yang pernah saya cintai.

“Saat makin lama mengenal Bu Min, saya pun mendapati bahwa cinta saya kepada perempuan lain sudah benar-benar padam. Dan, saya menemukan lagi cinta itu. Dalam diri Bu Min. Di mata saya, beliau benar-benar perempuan yang istimewa. Perempuan yang layak untuk dibahagiakan. Perempuan yang sangat layak untuk dicintai. Karenanya, saya memberanikan diri untuk melamar Bu Min, walaupun saya akui, suasana saat itu sangat jauh dari layak untuk perempuan sehebat Bu Min. Saya akan menebusnya nanti.”

Pembicaraan itu terhenti sejenak karena Lumi dan seorang pramusaji lain datang membawa pesanan makanan dan minuman untuk mereka bertiga.

“Ayo, kita nikmati dulu,” ujar James. “Supaya obrolan kita lebih hangat lagi.”

Navita dan Gandhi mengangguk sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Sejenak obrolan mereka beralih kepada kehidupan Navita dan Gandhi saat ini. Juga tentang si kecil yang akan segera hadir menyemarakkan kehidupan mereka. Pada satu detik, James mendadak tertawa.

“Seandainya benar Bu Min bersedia menerima lamaran saya,” celetuk James, alangkah lengkapnya paket yang saya akan saya dapat nanti. Istri, anak, menantu, cucu. Sebuah keluarga yang benar-benar komplet. Sesuatu yang harus saya syukuri dan jaga betul.”

Navita dan Gandhi bertatapan sejenak, sebelum sama-sama mengulas senyum di bibir.

“Saya belum mengucapkan terima kasih kepada Bapak,” ucap Navita. Menatap James dalam-dalam. “Kalau bukan karena Bapak, mungkin tirai masa lalu Ibu masih tertutup rapat.”

“Oh, bukan!” James buru-buru mengelak. “Itu sama sekali bukan karena saya. Itu karena Bu Min sendiri yang punya kemauan untuk mencoba kembali menguak tirai itu. Saya paksa Bu Min pun, kalau Bu Min tidak mau, ya, sudah.” James mengedikkan bahu. “Tetap tak akan terjadi apa pun.”

“Bapak terlalu merendah,” gumam Gandhi. Tersenyum lebar.

“Sama sekali tidak, Mas Gandhi.” James menggeleng. “Semua mengalir seperti yang sudah seharusnya. Saya cuma mengikuti saja aliran itu, sesuai dengan porsi saya, dan apa yang bisa saya lakukan di dalamnya.”

Pembicaraan mereka kemudian beralih ke berbagai hal lain. Sambil mengobrol dalam suasana sangat hangat, James mengamati ekspresi Navita dan Gandhi. Yang ia dapatkan adalah cahaya kebahagiaan dan juga sinar ketulusan. Sedikit pun tak ada penolakan terhadap dirinya.

Pada satu titik, tatapannya bersirobok dengan tatapan Navita. James mendapati ada harapan besar tergambar di dalamnya. Ia memutuskan untuk menggenggam harapan itu. Harapan untuk kebahagiaan seutuhnya yang seharusnya dinikmati oleh sosok seorang perempuan dan ibu yang sungguh istimewa bernama Minarti Karlina.

* * *

Hampir pukul setengah sembilan malam ketika James benar-benar meninggalkan kedai kopinya. Navita dan Gandhi sudah berpamitan beberapa menit sebelumnya. Ketika memasuki mobil, seluruh perasaannya terasa ringan.

Kalau anak dan menantunya sudah setuju, apa lagi yang memberati?

James tersenyum simpul.

Keluarga lain?

James mengedikkan bahu. Melihat bagaimana sosok keluarga Prima dan Daris, rasa-rasanya tak akan ada batu sandungan.

Hanya tinggal menunggu jawaban dari Min.

Sepanjang perjalanan dari kedai ke rumah, sesekali James bersenandung mengikuti alunan musik yang menggema lembut di seantero kabin mobil. Meskipun sesekali bayangan sosok Minarti muncul dalam benaknya, tapi konsentrasi mengemudinya tak lantas buyar.

Sayangnya...

Saat mobilnya sampai di belokan terakhir ke kanan sebelum memasuki jalan menuju ke rumah, sebuah truk besar menyelonong begitu saja dari arah kiri. Padahal lampu lalu lintas pada jalur James sedang menyala hijau. Tak tampak usaha mengerem dari truk itu, padahal lampu lalu lintas dari arahnya datang sedang menyala merah.

James terlambat mengantisipasinya. Mobilnya dan satu lagi mobil di depan tak ayal terhantam truk itu. James masih sempat merasakan dirinya seolah terlepas sejenak dari gravitasi bumi, sebelum disergap kegelapan dan keheningan.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.