Minggu, 16 Juni 2019

[Cerbung] Bias Renjana #36









Sebelumnya



* * *


Pelan-pelan James menutup pintu kamar di belakang punggungnya. Reaksi Minarti, ia sudah bisa menduganya. Ketika ia mulai bicara tentang ‘kita’, perempuan itu hanya mampu menatapnya dengan mata bulat besar indah yang begitu mirip dengan mata kanak-kanak. Membuatnya merasa gemas.

Dan, mata itu juga yang membuatku jatuh cinta...

James menjatuhkan dirinya ke sofa panjang di kaki ranjangnya. Tangannya menjangkau remote televisi. Segera saja aneka gambar bergerak dan bersuara bergantian memenuhi bentang layar 32 inci itu. Hingga akhirnya berhenti pada tayangan berita senja. Tapi James sama sekali tidak memerhatikannya. Tatapannya kosong terarah pada layar televisi. Pikirannya penuh terisi sosok Minarti.

Barangkali benar bila ada yang mengatakan ‘cinta ada karena terbiasa’. Selama beberapa belas bulan belakangan ini, hidupnya seolah tak lepas dari sentuhan tangan Minarti. Setelah puluhan tahun hidup sendiri, baru belakangan ini ia benar-benar merasa bahwa hidupnya jauh lebih berwarna. Ia tahu, cinta itu tidak datang seketika. Ia baru mendapatinya ada ketika sudah selesai berlibur bersama Minarti.

Ia merasa nyaman berada di samping Minarti. Bisa menjadi dirinya sendiri. Tak ada sekat tebal seperti yang terbentang saat ia ada bersama Sandra. Ya, ia pernah mencintai Sandra. Tapi ‘hanya pernah’. Setelah berjarak waktu sekian puluh tahun lamanya, bara cinta itu akhirnya padam juga, tanpa ia sadari. Digerus oleh logika dan realita bahwa Sandra sudah memilih dan jadi milik laki-laki lain.

Padamnya bara itu baru ia sadari setelah sekian lama bergaul dengan Minarti. Sosok pekerja keras yang tak pernah terlihat lelah bergerak. Selalu terlihat ceria dan berenergi. Aura cerah yang menular ke suasana dan orang-orang di sekitar perempuan itu di mana saja berada, termasuk kepadanya. Bahkan hanya dengan melihat sosok Minarti dari kejauhan, ia merasa hidupnya jadi lebih hidup.

Bersama Sandra?

Mau tak mau James harus membandingkan. Perasaannya tak bisa bohong. Ia merasa jauh lebih nyaman berada di samping Minarti. Mungkin, saat bersama Sandra, ia masih terbawa perasaan bahwa Sandra bukanlah ‘perempuan bebas’. Batas itu tetap ada. Sejak awal ia mengenal Sandra puluhan tahun lalu, ia tahu bahwa batas itu sudah ada. Dan, sepertinya batas itu terbawa hingga detik ini.

Beberapa kali mencoba berkencan dengan Sandra, ia merasa tak mendapat apa-apa. Perasaannya sudah berubah. Empati itu tetap ada, tapi sentuhan cinta di dalamnya sudah menguap. Bahkan mungkin sudah lama, hanya saja ia baru saja menyadarinya. Sekaligus menyadari bahwa cinta itu sudah berlabuh pada sosok lain. Sosok seorang Minarti.

Dihelanya napas panjang.

Ada perasaan lega yang luar biasa ketika ia sudah ‘berhasil’ mengutarakan perasaannya itu kepada Minarti. Walaupun sama sekali belum ada jawaban, tapi tetap saja ia merasa bahwa bisul besar dalam hatinya sudah pecah. Hanya tinggal menyembuhkan bekasnya. Entah prosesnya akan menyakitkan ataukah memberi efek menyenangkan nantinya.

Tak ada lagi rasa sesak dalam dada. Ia bisa bernapas dengan jauh lebih ringan sekarang. Hanya tinggal menunggu jawabannya. Ia tahu bahwa apa pun jawaban Minarti kelak akan membuat hidupnya berubah. Seandainya pun jawaban itu membuatnya bersedih, ia yakin masih bisa berdiri dengan kepala tegak. Ia sudah pernah mengalaminya bertahun-tahun yang lalu. Terbukti bahwa ia masih bisa hidup hingga detik ini.

Hanya saja...

Sekali lagi dihelanya napas panjang.

... mungkin aku akan lebih cepat meninggalkan kedai dan menyerahkannya kepada Luken dan Livi.

Ia menggeleng samar.

Lalu... apakah aku harus menyingkir lagi?

Ia tertegun ketika mendapati sesuatu.

Sejujurnya, aku sudah lelah berlari.

* * *

Minarti menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Dipejamkannya mata.

Oh, astaga...

Hanya itu kata yang berkali-kali ia ucapkan dalam hati. Sejak James mengungkapkan rasa hatinya, hingga detik ini ia sudah berada di dalam kamar indekosnya yang nyaman.

James bukanlah orang pertama setelah Drastya yang mengucapkan kata sakti itu untuknya. Ada beberapa laki-laki lain, pada berbagai tingkatan usia Navita. Tapi ia tak pernah goyah.

Hingga beberapa saat lalu...

Minarti menggeleng samar.

Ia goyah, sejadi-jadinya. Padahal ia sudah yakin sekali bahwa ia sudah selesai dengan hidupnya. Mimpi terbesarnya sudah tercapai. Mengantarkan Navita kepada kehidupan yang lebih baik. Dengan bonus ia pun kini sudah meraih hampir semua hal yang pernah hilang dari hidupnya.

Lantas apa lagi?

Dan, James tiba-tiba saja menyeruak hadir dan mengobrak-abrik hatinya.

James...

Minarti mengerjapkan mata.

Ia sadar betul bahwa laki-laki itu sudah begitu berjasa dalam hidupnya belakangan ini. Kalau bukan karena James, sepertinya hingga detik ini ia masih akan terjepit di tengah pemukiman padat penduduk dan tetap berprofesi sebagi penjual nasi uduk. Kalau bukan karena James, sepertinya beberapa hal yang pernah hilang dari hidupnya tak akan bisa kembali.

Oh, astaga...

Tangannya menutupi mulut.

Apakah aku harus mengecewakan orang sebaik James? Menyambut cintanya begitu saja tanpa membalas rasa itu?

Ia buru-buru menggeleng.

Kalau memang tidak ada apa-apa dengan hatiku, kenapa mendadak saja aku merasa hidupku goyah? Oh, astaga... Jadi, apakah aku juga...

Minarti mendegut ludah.

... mencintai James?

Minarti berguling. Berbaring telungkup. Membenamkan wajah yang tiba-tiba terasa menghangat ke bantal empuknya.

Sejujurnya...

Ia selalu merasa nyaman berada dekat dengan James. Laki-laki itu sangat sopan. Menghargai pendapat dan keberadaannya. Selalu memperlakukannya dengan baik. Tidak pernah berlebihan manisnya. Nyaris sama persis dengan sikap Drastya terhadapnya. Sehingga ia bisa bebas jadi dirinya sendiri tanpa perlu merasa rikuh.

Aaah...

Minarti menarik napas panjang. Berguling lagi. Kembali telentang. Membuka mata. Menatap langit-langit kamar. Berusaha memutar balik peristiwa yang dilaluinya bersama James beberapa puluh menit lalu.



“Min..., ini bukan tentang Sandra.”

Seutuhnya Minarti menangkap berkas-berkas cahaya putus asa melompat keluar dari mata James.

“Sama sekali bukan,” lanjut James. “Ini tentang... tentang... kamu. Tentang... kita....”

Minarti hampir lupa bernapas dan mengerjap. Matanya bulat menatap James. Laki-laki itu sejenak mengalihkan tatapan sebelum mengembalikannya ke arah Minarti.

“Maaf,” suara James terdengar tulus, namun bernada patah. “Tak seharusnya aku bicara soal ini. Tapi... beginilah yang kurasakan, Min. Aku nyaman sekali berada di dekatmu. Aku merasa... lengkap. Utuh. Tak mengkhawatirkan apa pun. Belakangan ini, setelah mengenalmu, aku merasa ada energi lebih yang kuperoleh setiap harinya, sehingga aku bisa memandang hidup dengan lebih indah. Aku... Min, maukah kamu menikah denganku?”

Minarti terhenyak. Tertunduk.

James... melamarku?

Didegutnya ludah.

Begitu saja?

Ia menggeleng samar.

Lalu bagaimana Bu Sandra?

Ia tidak buta. Perasaannya belum mati. Empatinya belum menguap. Seutuhnya ia menemukan harapan dalam mata Sandra. Setelah kehilangan belahan jiwa, tentunya Sandra membutuhkan tempat lain untuk bersandar. Ia tahu betul, James-lah orangnya. Tapi...

Oh, astaga... Kenapa bisa jadi begini, sih?

Ketika ia mengangkat wajah, ditemukannya James masih menatapnya dengan mata gemerlap. Mata yang terlihat sedikit redup, tapi masih memancarkan harapan. Bukan mata genit dan kurang ajar yang bisa membuat ia gemas ingin mencoloknya. Dihelanya napas panjang. Dan, mendadak saja ia menemukan celah.

“James, kuharap kamu ingat sudah setua apa kita,” ucapnya kemudian, susah payah.

James menggeleng. Terlihat sedikit gusar, tapi tetap tak kehilangan ketenangannya.

”Lalu apa bedanya dengan kamu mendorongku untuk merajut kembali hubunganku dengan Sandra?” James menanggapi dengan nada rendah. “Detik ini, umurku tetap berjalan pada alur waktu yang sama.”

Minarti pun kehilangan kata.

“Min, tak perlu saat ini juga menjawab lamaranku. Tapi, apa pun jawabanmu nanti, aku sungguh-sungguh berharap persahabatan kita tidak berubah,” ucap James lagi. “Dan, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya. Seharusnya tidak seperti ini lamaran yang layak buatmu.”

Minarti kembali tertunduk. Dadanya sesak oleh berbagai perasaan yang bergumul jadi satu. Saling memberontak. Saling bertolak belakang. Tapi pada akhirnya ia pun mengangguk.

“Ya, James. Akan kupikirkan lagi.”

“Ya,” senyum James. Setulus-tulusnya.

“Aku berharap kamu paham posisiku. Aku sudah punya anak, menantu, dan sebentar lagi cucuku lahir. Aku juga punya orang-orang lain yang harus kupikirkan perasaannya. Lagipula..., kamu sendiri tahu berapa usiaku.”

“Masih muda, Min,” senyum James melebar. Terlihat sangat menghibur. Membuat Minarti menarik sudut-sudut bibirnya ke atas. Sedikit. “Masih sangat layak untuk meraih banyak kebahagiaan di masa yang akan datang.”

Minarti mengangguk samar.

“Aku sendiri tidak bisa menjanjikan apa-apa,” lanjut James. “Hanya bisa memberikan seluruh kehidupanku kepadamu.”

Minarti makin kehilangan kata.



Untuk kesekian kalinya, dikerjapkannya mata.

Sesederhana itu...

Tapi sepotong kata ‘sederhana’ itu buyar ketika wajah Sandra terbayang di matanya.

Mengkhianati harapan Bu Sandra?

Minarti mendegut ludah.

Rasa-rasanya, pilihan hidup yang pernah ada di hadapannya dulu dan sudah ditempuhnya belum pernah sepelik ini. Saat itu fokusnya hanya dua. Bertahan hidup, dan Navita.

Sekarang? Oh, astaga...

Minarti menggeleng gusar.

Aku tak bisa memutuskan ini sendiri!

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.

Catatan :
Mohon maaf, lanjutan cerbung ini baru bisa mengudara sekarang. Saya betul-betul lupa kalau harus menerbitkan episode ini hari Jumat. Ingat-ingat sudah malam, dan naskah belum diedit. Kemarin (hari Sabtu) sore, sinyal internet lemot boi. Nggak bisa login blog. Jadinya episode ini baru bisa nongol sekarang. Kenapa nggak dari tadi pagi atau siang? Karena saya ada acara lain.
Terima kasih...