Rabu, 12 Juni 2019

[Cerbung] Bias Renjana #35









Sebelumnya



* * *


“Ya, kalau memang seperti itu kejadiannya, nggak perlu memaksa diri lagi, deh.”

James tercenung menatap layar laptop. Suara Minarti begitu jelas terngiang di telinga. Menggema lembut dalam kepala.

Sandra Amelia...

James menghela napas panjang.

Perempuan ayu bernama Sandra Amelia itu bukan perempuan pertama dalam kehidupan cintanya. Tapi cinta yang terbesar?

Mungkin.

James menggigit bibir bawahnya.

Mungkin memang dia orangnya.

Tapi bentangan waktu sudah terjeda sekian lama. Menatap Sandra, ia seolah sudah kehilangan getar yang pernah memenuhi seluruh aliran darahnya. Rasa sakit di mata Sandra ketika harus kehilangan belahan jiwa, ia bisa merasakannya. Mungkin seperti rasa kehilangan yang ia rasakan saat Sandra menikah dengan Riza Hakim.

Selebihnya?

James menggeleng samar. Semua rasa yang melanda Sandra setelah Riza Hakim cukup mendadak berpulang, semua orang yang memiliki empati pun bisa memahaminya. Banyak orang yang mengulurkan tangan pula. Bukan cuma ia, James Sudianto seorang.

Dimatikannya laptop, sekaligus dijauhkannya benda itu dari hadapannya. Ia kemudian menangkupkan tangan di atas meja, dan merebahkan kepala di atasnya. Mengatupkan mata. Kegelapan itu memberinya sedikit perasaan nyaman. Hingga...

“Pak James, saya pul....”

Seketika James mengangkat kepalanya. Mengerjapkan mata dan mendapati ada tatapan khawatir jatuh kepadanya.

“James? Kamu sakit? Angie mana?” Minarti mengerutkan kening. Bergegas menghampirinya.

“Enggak....” James tertawa ringan di ujung jawabannya. “Cuma ngantuk saja. Angie tadi kusuruh setor ke bank. Sekalian saja kusuruh pulang.”

Minarti menghela napas lega. Ia tersenyum.

“Aku mau pamitan. Sudah pukul empat.”

“Yuk, kuantar.” James berdiri dan meraih laptopnya.

“Lho, nggak usah.” Minarti menggeleng. “Beneran, nggak usah. Dekat ini.”

“Ayolah,” suara James terdengar sedikit memaksa. “Sekalian, aku ingin ajak kamu makan malam di luar.”

“Wah....” Minarti terlihat kehilangan kata. “Tapi baru jam segini.” Perempuan itu meringis lucu.

James berpikir sejenak sebelum berucap, “Mm... Begini saja, deh. Kamu tunggu sebentar, aku mandi dulu. Setelah itu kuantar kamu pulang.”

Kini ganti Minarti yang terlihat berpikir. Menimbang-nimbang jawaban.

“Yah, kalau begitu baiklah,” akhirnya Minarti menjawab sembari mengangguk. “Nanti ganti kamu yang tunggu aku mandi sebentar di indekos.”

Deal!” James tertawa lebar.

* * *

Hari masih terang ketika mobil James berbelok memasuki halaman luas rumah indekos Minarti. Langit di atas terlihat ceria, sama seperti suasana yang selalu ditularkan Minarti kepada orang-orang di sekitarnya. Diakui atau tidak, suasana pantry secara khusus dan kedai secara umum terkesan lebih semarak dengan kehadiran Minarti. Suasana kerja yang sungguh menyenangkan.

“Tunggu sebentar, ya.” Minarti membentangkan tangan kanannya ke arah satu set sofa rotan di teras. “Aku mandi dulu.”

James mengangguk sambil menempatkan diri dengan nyaman di sebuah sofa tunggal. Minarti menghilang ke dalam. Sekitar sepuluh menit kemudian, Minarti sudah muncul lagi. Terlihat sudah segar dan lebih wangi.

“Masih terang begini,” Minarti menunjuk ke atas. “Mau pergi sekarang?”

James menggeleng. “Nanti dululah.”

Minarti menghilang lagi ke dalam, dan muncul kembali dengan dua kotak kemasan jus buah dan satu stoples besar kripik singkong balado. Wajah James terlihat jauh lebih cerah ketika melihat isi stoples dalam pelukan Minarti.

“Wah... Masih sempat kamu bikin kripik singkong balado!” serunya. Bersemangat.

Minarti hanya menanggapinya dengan tawa. James langsung mengambil alih stoples itu dan menikmati isinya tanpa segan lagi.

“Enak?” Minarti kembali tertawa.

“Enaklah....” James terus mengunyah.

“Ada bedanya nggak, sama buatanku?”

Seketika James menghentikan gerakan tangan dan mulutnya. Ia mengerutkan kening. Berusaha menemukan beda rasa itu di dalam mulut. Tapi kemudian ia menggeleng.

“Itu bikinan Gandhi.” Minarti tergelak di ujung kalimat pendeknya. “Persis dia ikuti resep buatanku.”

“Enak,” James menegaskan. “Nggak ada bedanya.”

Dan, James pun melanjutkan kegiatannya. Membuat Minarti tergelak untuk kesekian kalinya.

* * *

“Rasa-rasanya... aku berhenti saja, Min.”

Gumaman James itu sontak membuat Minarti ternganga. Mereka sedang duduk berhadapan di sudut sebuah kafe. Membicarakan soal James dan Sandra sambil menunggu pesanan mereka dihidangkan.

“Kamu ini... Sudah setengah jalan, James,” gerutu Minarti.

“Kan, kamu sendiri yang siang tadi bilang, nggak perlu memaksa diri lagi.”

Minarti menghela napas panjang. Menatap James dengan sorot mata kesal.

“Terus, apa-apa omonganku, harus kamu dengarkan? Begitu? Harus kamu turuti? Harus kamu lakukan?”

James sedikit terbengong menatap Minarti.

“James,” Minarti tampak sangat serius, “yang bisa menakar perasaanmu sendiri, itu kamu, bukan aku. Pendapatku nggak semuanya sesuai dengan perasaanmu. Jadi, mungkin kamu perlu memikirkan pendapatku, tapi nggak bisa kalau kamu menelannya mentah-mentah seperti itu.”

“Iya, aku sudah memikirkannya baik-baik,” sergah James, halus. “Dan, itulah yang kudapati, Min. Bahwa antara Sandra dan aku sudah nggak ada lagi yang perlu diteruskan. Semua sudah berubah, Min. Bahkan perasaanku juga sudah berubah. Hanya satu hal yang belum juga berubah. Aku telat mikir. Jadi, kejadiannya, aku telat lagi menyatakan perasaanku.”

“Hah???” Minarti terbengong sejadi-jadinya. “Sudah ada yang melamar Bu Sandra?”

James seperti menyadari sesuatu. Ia balas menatap Minarti. Setengah jengkel, setengah geli.

“Bukaaan...,” jawabnya kemudian. Menggeleng. “Maksudku bukan itu. Aku hanya berpikir, seandainya sejak beberapa waktu lalu menyadari perasaanku, mungkin keadaanku sekarang sudah lain.”

“Tapi kupikir kalau terlalu cepat nembak Bu Sandra juga kurang bagus,” tukas Minarti. “Dia belum lama menjanda. Dia memang berhak memulai hidup baru, tapi rasanya agak terlalu cepat kalau belum apa-apa kamu sudah nembak dia.”

“Min...,” tatapan James terlihat sedikit putus asa. “Ini bukan tentang Sandra. Sama sekali bukan. Ini tentang... tentang... kamu. Tentang... kita...”

Minarti hampir saja lupa bernapas.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.