Rabu, 24 April 2019

[Cerpen] Jendela








Sore ini, sudah kali keempat aku melihatnya. Selalu pada hari Selasa setelah pukul lima. Di seberang jalan raya. Duduk bersama teman-temannya di bawah tenda. Menikmati semangkuk bakso sembari saling bertukar tawa dan cerita. Posisinya pun selalu sama. Menghadap ke arah jendela lantai dua. Tempat aku mengintipnya.

Gadis itu sungguh manis. Mungil. Tubuhnya dibalut seragam kerja berwarna biru langit. Cocok sekali mewarnai kulitnya yang kuning langsat bersih. Ketika dia tertawa, ada dekik menghiasi kedua belah pipinya yang penuh dan kemerahan alami. Menggemaskan. Membuatku ingin meraih dan segera menenggelamkannya ke dalam pelukanku. Sesekali, rambut ekor kudanya bergoyang-goyang. Seiring dengan gerakan kepalanya menengok ke kiri dan kanan. Menanggapi celoteh teman-temannya. Bahkan, gerakannya membetulkan letak kacamata yang sedikit melorot pun terlihat indah di mataku.

Lalu, tiba-tiba saja, ia mendongakkan sedikit kepalanya. Terlambat bagiku untuk menarik diri dari depan jendela. Tatapan kami pun bertemu. Sedetik. Sebelum ia mengalihkan tatapan dan kembali larut dalam obrolan di sekitar meja.

Tapi sedetik itu segera membuatku tersadar. Aku sudah jatuh cinta kepadanya!

* * *

Lalu, hari Selasa datang lagi dan datang lagi. Sebelum pukul lima sore aku selalu sudah bersiap di depan jendela. Ingin mengintipnya. Ingin menikmati senyum dan wajah riangnya.

Beberapa kali, sekilas-sekilas, ia pun mencuri pandang ke arahku. Beberapa kali pula ia menyunggingkan senyum tipis yang nyaris tak kentara, tapi terlihat jelas olehku. Aku terlalu kaget mendapat kiriman senyum itu. Sehingga aku hanya bisa terpaku. Menatapnya lekat dan lupa membalas senyumnya.

Ingin aku keluar dan menyapanya. Menanyakan siapa namanya. Menyatakan perasaaanku kepadanya. Sayang, semuanya kini serba terbatas untukku.

Setelah aku mengalami kecelakaan nyaris dua tahun yang lalu, hilang sudah kebebasanku untuk bergerak. Sehari-hari aku hanya bisa melihat dunia berputar di luar sana, dari balik jendela kamarku di lantai dua. Pun wajah manis gadis berpipi dekik pecinta bakso di warung tenda di seberang rumah.

Dulu, aku pun sering nongkrong di warung bakso itu. Lalu, kenapa aku sekarang tidak keluar saja dan menyeberang untuk menemui gadis itu? Ah, sudah kukatakan, bukan? Aku sudah kehilangan kebebasan untuk bergerak, apalagi keluar dari rumah.

Dan, perlahan tirai senja turun. Gadis itu akan segera mengakhiri acara rutinnya bersama teman-temannya. Kali ini, sambil mengenakan helm, dia mendongak agak lama. Untuk kesekian kalinya, ia mengirimkan senyumnya kepadaku. Untungnya aku cepat tersadar dan membalas senyum itu. Lalu, secara tersamar, dia melambaikan tangan padaku. Kali ini, aku kembali terlalu kaget melihat aksinya. Sehingga tak bisa bereaksi. Hanya bergeming dalam sunyi.

* * *

Selasa sore ini, untuk keenam kalinya gadis mungil berpipi dekik menggemaskan itu tak ada di sana. Di warung bakso seberang jalan. Sekali lagi kuteliti. Ia tetap tak kutemukan di antara teman-temannya.

Rombongan berseragam biru langit itu sempat absen beberapa minggu lalu. Dua kali hari Selasa. Lalu, datang lagi pada Selasa sore selanjutnya. Tetap pada jam yang nyaris sama seperti biasanya. Bedanya, gadis mungil berpipi menggemaskan itu tak lagi ada di antara mereka.

Aku hanya bisa terdiam di depan jendela. Memandang ke seberang. Ke warung bakso yang selalu saja ramai pembeli. Membeku hingga langit gelap menyempurnakan perjalanan hari ini. Hingga seluruh dunia di luar jendela pun pelan-pelan menghening saat malam melarut. Tanpa aku bisa melihat sosok yang sudah seutuhnya memenjarakan hatiku.

Harapanku kian luruh. Pelan-pelan kuundurkan diri dari depan jendela. Aku pun duduk terdiam di pojok kamar. Menyesali pertemuan terakhirku dengannya. Ketika dia secara samar melambaikan tangan padaku, dan aku hanya bergeming.

Satu hal aku tahu. Saat ini, jelas-jelas aku sudah patah hati.

* * *

Bulan purnama menemaniku malam ini. Secercah remang cahayanya jatuh di sudut tempat aku merenung. Merenungkan sesosok gadis berpipi dekik menggemaskan.

Aku belum pernah tersedot rasa yang seperti ini sebelumnya. Rasa yang aku sendiri tak mampu menerjemahkan seperti apa tepatnya. Rasa yang begitu membelengguku. Rasa yang menghadirkan hanya bayangan gadis itu dalam tiap milimeter layar anganku.

Lalu, tiba-tiba saja, aku mendengar rangkaian ketukan lembut yang menggema hingga ke dalam kamarku. Serangkai, dua rangkai.... Asalnya dari pintu depan di lantai bawah. Pada rangkaian ketiga, aku pun beringsut dan beranjak.

Ketika aku menjangkau handel pintu depan, ketukan itu masih terdengar. Lembut. Tidak memaksa. Tapi entah sudah ada berapa rangkai ketukan. Pelan, aku membukanya. Seketika aku membeku.

Gadis itu.... Gadis berpipi dekik yang menggemaskan itu! Tetap dengan rambut diekor kuda, tapi tak lagi berseragam biru langit. Kali ini ia bergaun pendek putih berenda yang sangat cantik.

“Hai!” sapanya dengan suara riang. “Aku mengganggumu?”

Menjelang dini hari seperti ini?

Kulongokkan kepalaku melampaui bahunya. Dia sendirian. Tak ada siapa pun bersamanya. Aku segera tersadar. Aku tak boleh salah lagi!

“Enggak.” Buru-buru kugelengkan kepala. “Ayo, masuk!”

Tapi ia justru mengulurkan tangannya. Ada dekik pada kedua pipinya ketika senyumnya merekah.

“Genta,” ucapnya dengan suara renyah. “Genta Kencana.”

Dengan sedikit ragu, kusambut jabat tangannya. “Dega. Pandega Bangsawan.”

“Mm... Jadi, yang sering kulihat di balik jendela di atas itu, benar kamu?” Tatapannya lurus. Jatuh tepat di manik mataku.

“Ya,” bisikku.

Ia tersenyum lagi. Setengah mati aku menahan diri agar tidak mencubit pipinya yang menggemaskan. Tapi aku segera tersadar. Balas menatapnya.

“Kamu... benar bisa melihatku?”

“Ya,” angguknya, dengan senyum masih tetap terkembang manis di bibirnya yang berwarna merah muda. “Makin bisa melihatmu beberapa minggu sebelum....” Tatapannya teralih.

Kuraih tangannya. Membimbingnya masuk ke ruang tamu. Kuajak dia duduk di sudut dekat jendela samping.

“Beberapa minggu ini, aku kehilangan kamu,” ujarku. Ragu.

“Aku juga.” Dia mengangguk. “Karenanya kuberanikan diri ke sini saat ini.”

“Apa yang terjadi padamu?”

Dia mengedikkan bahu sedikit. “Kamu ingat, kan? Terakhir kali kamu melihatku, aku melambaikan tangan padamu. Sayangnya, kamu hanya diam.”

Saat yang tak akan pernah kulupakan. Karena di situlah aku jatuh ke dalam kebodohan maksimal. Kebodohan karena aku terlalu sibuk tertegun dan terkesima.

“Jujur, aku melamunkanmu ketika naik motor pulang. Sampai akhirnya... kutahu kemudian, aku meleng dan diseruduk truk. Sebelas hari dirawat di rumah sakit, dan...,” dia kembali mengedikkan bahu. “Kehidupanku berakhir tepat empat puluh malam yang lalu.”

Aku terhenyak. Pantas dia makin bisa melihatku!

“Kamu sendiri? Apa yang terjadi padamu?” Ia menatapku dengan binar keingintahuan memenuhi matanya.

“Hampir sama,” jawabku. “Aku turun dari angkot di ujung jalan sana,” kutunjuk suatu arah. “Lalu aku berjalan ke sini, pulang. Tahu-tahu aku diseruduk truk dari belakang. Padahal aku sudah benar berjalan di trotoar. Dan... di sinilah aku sekarang.”

Dia melihat berkeliling. Ruang tamu yang lengang dan kosong.

“Kamu... tinggal sendirian di sini, Ga?”

Aku mengangguk. Kedua orang tua dan satu-satunya adik perempuanku pindah beberapa bulan setelah pemakamanku. Terlalu sedih karena kehilangan aku. Meninggalkan aku sendiri di sini bersama seluruh kenangan manis seumur hidup yang pernah kucecap di rumah ini.

Aku menggeleng samar. Kutatap Genta.

“Jadi, kenapa kamu bisa sampai ke sini?”

Genta tertunduk. Wajahnya tampak tersipu. Beberapa detik kemudian ia menengadah. Ekspresi yang sungguh-sungguh menggemaskan.

“Aku... Aku... ingin... mengenalmu....” Dia tertunduk lagi.

Kuraih tangannya. Kugenggam. Ia menengadah lagi.

“Ketika pertama kali aku melihatmu,” bisikku, “aku segera merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan. Aku ingin melihatmu terus dan terus. Tanpa berharap kamu bisa melihatku. Tapi ternyata...”

“Aku bisa melihatmu,” angguknya. “Bahkan sebelum tali kehidupanku putus. Dan kini, aku melihatmu dalam bentuk makin nyata. Yang bisa kudekati, kusentuh, dan kuajak bicara. Apakah ini berlebihan?”

Aku buru-buru menggeleng. “Sama sekali tidak.”

“Aku....” Dia tertunduk.

“Kurasa... aku jatuh cinta padamu,” bisikku.

Seketika ia mendongak. Menatapku dengan mata bulatnya yang indah. Terlihat jauh lebih indah tanpa adanya kacamata.

“Apakah... kita masih bisa... saling mencintai?”

“Kenapa tidak?” Aku tersenyum lebar. “Mau mencobanya? Bersamaku?”

Dan, mata indah itu makin bertambah binarnya. Ia tak perlu menjawab. Matanya sudah mengungkapkan semuanya.

Lalu, kuajak dia ke kamarku di lantai dua. Kami duduk berdua di depan jendela. Menatap bulan purnama yang kian menggelincir ke kaki langit. Disandarkannya kepala ke bahuku.

Ketika mulai ada bias jingga mewarnai langit, dia beranjak.

“Mau mengantarku pulang, Ga?” tanyanya, halus.

Aku tertegun sejenak. Keluar?

Tapi dia sudah meraih tanganku. Lalu, tiba-tiba saja kami sudah bergandengan tangan dan terbang ke sebuah pemakaman di pinggir kota.

“Oh, kamu dimakamkan di sini?” seruku, mengalahkan deru angin.

“Iyaaa! Kamu?”

“Sama, aku juga di siini.”

Yang membuatku tertawa lebar kemudian, adalah kenyataan bahwa peristirahatan terakhir kami ternyata tepat berdampingan.

“Pandega Bangsawan...,” bisiknya, mengeja nama yang tertulis pada nisan. “Genta Kencana...,” suaranya menghilang. Ia menoleh ke arahku. “Apakah kita memang ditakdirkan untuk bersama?”

Aku menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi satu hal yang aku tahu dengan pasti. Aku mencintaimu, Genta Kencana....”

Dia tersenyum. Dekik menggemaskan itu masih tercetak di pipinya. Dia menatapku. Dan, aku pun menemukan ungkapan yang sama.

Jadi, siapa bilang cinta cuma milikmu yang masih bernapas di dunia fana?

* * * * *

(... semata fiksi ...)

Catatan :
Lanjutan kisah Om James dkk., akan mengudara nanti sore/malam.

Ilustrasi : www.pixabay.com

4 komentar: