Selasa, 09 April 2019

[Cerbung] Bias Renjana #13









Sebelumnya



* * *

Enam


“Bu Sandra dan Pak James itu, sebetulnya ceritanya bagaimana?”

Livi hampir tersedak sari buah yang disedotnya. Dengan mata bulat, ditatapnya sang bibi. Sementara itu, Minarti balik menatapnya dengan sorot mata polos yang terlihat kemilau.

Jumat sore ini, sepulang kerja, Livi diajak ‘main’ oleh Minarti ke indekosnya. Sang keponakan menyambut ajakan itu dengan gembira. Segera saja keduanya terlibat dalam obrolan asyik, hingga menyentuh hal yang membuat Livi sedikit ternganga.

“Dulu, maksudku,” Minarti mencoba untuk memperjelas maksudnya.

“Oh....” Bibir Livi mengembangkan senyum. “Ya, sejenislah sama Mas Luken dan aku, Budhe. Cuma, Pak James kandas harapannya. Bu Sandra lebih memilih untuk menikah sama mendiang Pak Riza.”

“Hmm....” Minarti manggut-manggut. “Jadi, sempat suka sama suka, begitu?”

“Wah....” Livi mengerutkan kening. “Kayaknya bertepuk sebelah tangan, deh” gumamnya. “Pak James iya, cinta sama Bu Sandra. Tapi Bu Sandra-nya enggak.”

Waduh....

Bahu Minarti turun seketika. Binar dalam matanya meredup.

Bisa nggak ketemu, nih, dua orang ini!

“Memangnya kenapa Budhe sampai tanya sedetail itu?”

Suara lembut Livi menyentakkan kesadaran Minarti. Dengan ragu-ragu, ditatapnya Livi.

“Maksudku... ingin menjodohkan keduanya,” gumam Minarti. “Pak James sepertinya masih cinta sama Bu Sandra. Kan, kamu tahu sendiri, Bu Sandra sekarang sudah single lagi. Ya, memang belum lama, sih. Tapi, ya, apa salahnya dimulai dari sekarang-sekarang?”

Seketika, Livi paham maksud baik bibinya.

“Kalau soal Pak James dan Bu Sandra dulu, kayaknya Mas Luken lebih paham, deh,” ujarnya kemudian. “Mau aku omongin sama Mas Luken?”

“Boleh... Boleh....” Seketika binar di mata Minarti kembali lagi. “Yang jelas, Pak James ada maksud seperti itu. Mungkin juga Mas Luken sudah tahu. Tapi, kan, kamu tahu sendiri Mas Luken sibuk. Jadi kurang bisa bantu. Kalau Budhe, kan, sehari-harinya ada sama Pak James. Cuma, Budhe masih segan mau terlalu masuk ke dalam. Secara tersirat juga Pak James minta bantuan Budhe. Begitu... Kalau enggak, ya, ogahlah Budhe ikut campur urusan orang lain. Apalagi, kan, kenalnya belum lama.”

Livi manggut-manggut. Ia makin paham maksud Minarti. Secara pribadi, ia menganggap maksud Minarti kali ini baik adanya. Maka, ia pun menyanggupi untuk membantu dengan cara mengajak Luken bertukar pikiran lebih dulu.

Tak terkira senangnya hati Minarti. Ia kemudian berdiri dan menarik tangan Livi.

“Ayo, Budhe traktir makan!” ajak Minarti. “Tapi cuma kelas warung tenda, ya? Mau, kan?”

Livi pun menyambut ajakan itu dengan antusias. Waktu memang sudah mendekati pukul tujuh sore. Waktunya menuruti keinginan perut yang sudah berteriak minta diisi.

* * *

Mobil Luken sudah terparkir dengan rapi, lengkap dengan tudungnya, ketika James meluncurkan mobilnya sendiri masuk ke garasi. Selama ia tinggal dengan Luken, ia memang jarang sekali pulang bersamaan waktunya dengan Luken. Apalagi saat ia masih punya tanggungan mengantar pulang Minarti. Walaupun sekarang tidak lagi, tetap saja jam kerjanya berakhir jauh lebih lambat daripada Luken.

Sang keponakan ditemukannya sedang duduk berselonjor dengan santai di sofa di depan televisi. Menyapanya ringan ketika ia melintas hendak menuju ke kamarnya.

“Tumben sudah rapi betul mobilmu?” ujar James, sambil lalu.

“Iya, aku langsung pulang tadi,” jawab Luken. “Livi bawa mobil sendiri. Ini tadi pulang kerja dia main ke indekos Bu Min.”

“Oh....” James meneruskan langkahnya.

“Sudah makan, Om?”

“Sudah. Kamu?”

“Belum.”

“Lha?” James menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh, tepat di depan pintu kamarnya. “Tahu begitu, kubawakan makanan dari kedai.”

“Halah....” Luken mengibaskan tangan kanannya dengan ringan sambil tertawa. “Nggak apa-apa. Sebentar lagi dok-dok juga lewat.”

“Wah, aku mau, deh!” James meringis.

“Lho, katanya tadi sudah makan?” Luken menyambungnya dengan gelak tawa.

“Dengar kamu mau beli dok-dok aku jadi lapar lagi.”

Luken pun terbahak. James tertawa sambil masuk ke kamarnya. Hendak mandi dulu. Tapi hingga ia selesai mandi, yang mereka tunggu belum juga muncul. Baru terdengar suaranya dari kejauhan lima menit kemudian. Ketika suara itu terdengar manik dekat, Luken pun bangkit dari duduknya.

“Aku ambil piring dulu.” James bergegas melangkah ke dapur. Tak lupa ia menawari pula Rumi, ART mereka. Tapi perempuan berusia pertengahan lima puluhan itu menolak dengan alasan tadi sudah makan. Kakinya menjejak teras bertepatan dengan gerobak penjual makanan itu berhenti di depan pintu pagar karena dihadang Luken.

Sambil menunggu pesanan mereka selesai dimasak, James dan Luken mengobrol di teras. Makin asyik karena Rumi ternyata menyuguhkan dua gelas es teh dan tak lupa membawakan pula dua pasang sendok-garpu.

“Angie gimana kerjanya di kantormu?” tanya James pada satu detik, ketika sepiring mi goreng sudah ada ditangannya, dan sepiring nasi goreng ada di tangan Luken.

“Sejak awal anak itu cepat sekali belajar,” jawab Luken dengan nada pujian sarat dalam suaranya. “Belum secekatan mamanya ataupun Livi memang, tapi bisalah diandalkan. Cuma butuh jam terbang saja. Di kedai? Gimana?”

“Dia jempol banget untuk urusan keuangan,” James menanggapi dengan nada mantap. “Rapi, teliti. Pokoknya dia pangkas semua pengeluaran nggak penting. Dia fokus banget di sektor pendukung mutu produk. Dan hasilnya, ”James mengedikkan sedikit bahunya, “bisa kamu lihat, kan?”

Luken manggut-manggut. Secara kasat mata, pengunjung kedai James memang tak pernah berkurang jumlahnya. Bahkan terus bertambah.

“Seterusnya, Om mau tetap di kedai?”

Pertanyaan tiba-tiba dari sang keponakan membuat James sedikit tertegun.

Ya, setelah kedai, lalu apa?

Ia menggeleng samar.

Dulu, duluuu sekali, saat ia masih muda dan baru saja merintis kejayaan Coffee Storage, sudah terbayang ia hendak pensiun pada usia berapa. Akhir empat puluhan, atau paling apes awal lima puluhan. Saat di mana targetnya untuk hidup mapan sudah terpenuhi, Coffee Storage sudah jaya, dan ia sudah punya keluarga. Sama sekali bukan pensiun karena ketegarannya meluntur, dengan status masih sendiri.

Dihelanya napas panjang. Ditatapnya Luken.

“Mungkin akan ada hal lain untuk kukerjakan,” gumamnya kemudian. “Sudah kubilang kedai akan kuserahkan kepada Livi. Aku tak ingin menarik ucapanku sendiri.”

“Om,” ucap Luken, halus, “aku bisa mencukupi semua kebutuhan Livi. Tanpa Livi terlibat di kedai pun, semua sudah tercukupi. Tak apa-apa kalau Om tetap di kedai. Lagipula, kan, kedai itu memang milik Om. Seperti juga Coffee Storage, masih milik Om.”

“Lho!” James sedikit melengak. “Memangnya Coffee Storage belum kuserahkan padamu?” ia mengerutkan kening.

“Pengelolaannya sudah. Tapi, kan, memang statusnya masih milik Om.”

“Wah, aku lupa soal itu,” James menggumam, seolah bicara pada dirinya sendiri. Kemudian ditatapnya Luken. “Sebaiknya segera jadwalkan ke notaris, Luk. Harus ada hitam di atas putih semua pengalihan kepemilikan Coffee Storage dan seluruh asetnya.”

“Hah???” Luken hampir saja tersedak. “Apa-apaan, sih, Om?”

James tetap menatap keponakannya. Tajam dan dalam.

“Kamu ahli warisku,” ucapnya tegas. “Satu-satunya keponakan yang kumiliki. Sudah tak mungkin aku punya keturunan, kecuali aku menikah dengan gadis seumuran Livi atau Angie. Dan, aku tak akan mengambil risiko itu. Tak mau. Seandainya memang takdir berkata lain, aku masih punya kedai, dan mungkin usaha yang lain lagi. Yang jelas, Coffee Storage adalah milikmu. Aku tak mau itu diganggu gugat oleh siapa pun dan apa pun. Makanya, harus segera dibuat akta resminya.”

Sang keponakan tak lagi bisa berkata apa-apa.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.

Silakan mampir juga ke serial “Pojok Kisah Duda Seksi” yang mengudara hari Sabtu lalu. Judulnya kali ini "Ketika Hilang Setengah Nyawa".
Terima kasih...