Kamis, 04 April 2019

[Cerbung] Bias Renjana #12









Sebelumnya



* * *



Kesunyian menyambut Sandra ketika ia pulang. Angie pergi lagi dengan para sahabatnya untuk makan di luar. Ada yang sedang berulang tahun. Sandra tak pernah menghalangi putrinya bersenang-senang di luar sepeninggal Riza. Angie juga butuh hiburan. Dirinya juga, sebetulnya. Tapi perempuan seumur ia tentunya sudah lain ‘jurusan’ dengan gadis seusia Angie.

Dihelanya napas panjang sambil membuka pintu kamar. Matanya segera tertumbuk pada lukisan besar yang tergantung di dinding, tepat di seberang pintu. Gambaran dirinya yang ayu dan Riza yang gagah. Lukisan yang disontek dari foto mereka berdua saat berbusana adat Jawa, yang diambil saat perhelatan nikah salah seorang keponakan Riza sekitar dua tahun lalu. Riza sendiri yang melukisnya dengan segenap hati.

Menatap senyum tampan Riza dalam lukisan itu, ada denyut nyeri dalam hati Sandra. Pun sederet tanya yang masih sering menghantui. Kenapa dia meninggalkanku secepat ini?

Masih segar dalam ingatannya, apa yang dialaminya saat pagi terakhir ia bersama Riza dalam keadaan sehat. Sejak malam sebelumnya, Riza seolah ingin menempel erat padanya.

Riza sudah ada di rumah sepulang ia dari bekerja. Sudah tersedia pula es teh lemon tanpa gula kesukaannya. Lalu, seusai ia mandi, mereka bertiga makan di luar. Hanya di sebuah warung sate langganan di ujung jalan. Celoteh mereka sambung menyambung hingga waktu tidur tiba. Dan, malam itu ia terlelap dala pelukan hangat Riza. Bukan sesuatu yang istimewa, tapi sampai kapan pun Sandra tak akan pernah melupakan kehangatan itu.

Paginya, ia agak terlambat bangun. Tapi di meja makan sudah tersedia nasi goreng dan semua pelengkapnya. Juga suatu hal yang biasa. Riza sering melakukannya. Menyiapkan sarapan saat senggang. Pun rasa nasi goreng itu. Selezat biasanya. Hanya saja, Sandra tak akan melupakan gurihnya nasi goreng terakhir racikan Riza.

Lalu, gelegar guntur itu menyambarnya kemudian. Di tengah-tengah istirahat siangnya, ia menerima kabar dari pihak kampus bahwa Riza pingsan saat mengajar. Ketika ia sampai di rumah sakit tempat Riza dilarikan oleh pihak kampus, Riza masih di IRD dalam keadaan belum sadar. Dokter segera memutuskan untuk sementara waktu memasukkan Riza ke ICU, karena ICCU dalam kondisi penuh.

Dan, hingga dipindahkan ke ICCU, hingga kepergiaannya, Riza tak pernah sadar kembali. Pergi begitu saja, tanpa pesan apa-apa. Membuatnya dan Angie limbung seketika.

Tapi, seiring dengan lajunya detik, ia dan Angie bisa tetap saling menguatkan. Sebesar apa lubang yang menganga di hati Angie, ia sepenuhnya tahu. Begitu juga sebaliknya. Pelan-pelan, mereka pun mengikhlaskan kepergian Riza. Meretas kesepian karena tak ada lagi suara berat dan hangat Riza, juga canda dan tawanya.

Sandra mengerjapkan matanya yang basah. Ia mengalihkan tatapan dari lukisan itu. Segera ia memutuskan untuk menyegarkan diri.

Senja di luar sana masih cukup terang ketika ia selesai mandi. Rasa lapar pun melanda. Sepanjang pernikahannya dengan Riza, mereka tak memiliki asisten rumah tangga. Jadi... Tanpa menengok ke dapur pun, Sandra tahu bahwa ia tak punya makanan. Setelah menimbang-nimbang sejenak, ia pun mencari dompetnya di dalam tas. Hendak membeli makanan di deretan warung tenda di ujung jalan.

* * *

Deretan warung tenda sudah kelihatan begitu Sandra beberapa langkah meninggalkan pagar rumah. Sambil berjalan ia menimbang-nimbang hendak membeli apa. Hingga pilihannya jatuh ke sebuah warung nasi goreng.

“Bu Sandra!”

Tepat ketika ia hendak menyeberang jalan, panggilan itu membuat gerakannya terhenti. Ia menoleh. Mendapati Minarti sedang berlari kecil menghampirinya.

“Hai, Bu!” Sandra mengembangkan senyum lebar.

“Mau ke mana?” Minarti sudah berada di dekatnya.

“Ini, mau beli makanan.”

“Wah, sama!” Minarti tertawa kecil.

Keduanya kemudian menyeberang. Tertawa geli ketika menyadari bahwa warung pilihan mereka kali ini pun sama. Bahkan, menu yang mereka pesan pun tak berbeda. Nasi goreng seafood pedas, ditambah sayur.

“Koki, kok, malah beli nasgor gerobakan?” usik Sandra, ketika mereka duduk menunggu.

Minarti tergelak mendengarnya.

“Percaya, deh! Saya sering mblenger membaui masakan saya sendiri,” ia kemudian menanggapi.

Sandra tertawa mendengarnya.

“Pak James sering paksa bawa pulang makanan dari kedai,” ujar Minarti lagi. “Tapi saya ogah. Saya bilang sudah kenyang. Padahal, begitu dia pergi seusai mengantar saya pulang, saya lari ke warung padang dekat rumah saya, atau beli mi ayam atau bakso, atau nasgor, migor. Pokoknya yang lain dari yang saya masak sehari-harinya.” Minarti menyambungnya dengan tawa geli.

“Bosan, ya, Bu?”

“Iya.” Minarti mengangguk. “Betul. Oh, ya, Angie pergi tadi, ya?”

“Iya. Ada acara sama teman-temannya. Kayaknya, sih, sampai malam. Makanya saya cari makanan sendiri. Biasanya, kan, sambil pulang mampir dulu beli makanan. Ini tadi saya bablas saja. Sampai di rumah, eh, kok, lapar.”

“Berarti ini Bu Sandra sendirian di rumah?”

Sandra mengangguk.

“Main ke indekos saya, yuk! Masih sore begini.”

Sandra terdiam sejenak. Terlihat berpikir sebelum akhirnya mengangguk. Minarti segera menepukkan kedua telapak tangannya dengan gembira.

“Akhirnya! Saya punya teman ngerumpi sore ini!” serunya tertahan.

Sandra tertawa geli mendengarnya.

* * *

Sambil duduk lesehan di karpet, Sandra berkesempatan untuk mengamati sekilas isi kamar itu. Minarti sedang sibuk mengeluarkan beberapa kotak minuman sari buah dari kulkas satu pintu di sudut, kemudian menyiapkan peralatan makan.

Kamr itu kira-kira seukuran kamarnya di rumah. Bedanya, kamar ini terlihat lebih penuh isinya. Selain perabot standar, ada pula kulkas kecil di salah satu sudut, LED TV yang menempel di dinding, dan karpet tebal dan hangat yang terhampar di lantai lengkap dengan bantal-bantal besar. Juga ada rak rotan kecil berisi aneka majalah dan tabloid di dekat ranjang.

“Teman saya mengusir sepi.”

Sandra menoleh mendengar ucapan Minarti. Tampaknya Minarti memergokinya tengah menatap rak rotan bercat putih itu. Ia tersenyum.

“Saya lebih banyak baca media online beberapa tahun belakangan ini,” ujarnya.

“Wah, mata saya sudah nggak kuat.” Minarti meringis.

Keduanya kemudian makan sambil mengobrolkan berbagai hal ringan. Dari masa kecil Angie dan Navita, hingga kehidupan mereka sekarang.

“Terkadang, saya masih memikirkan kalimat yang dimulai dengan ‘seandainya’.” Sejenak, tatapan Minarti terlihat menerawang. “Seandainya ayah Vita masih ada, dia tentu senang sekali melihat Vita sekarang. Pasti bahagia sekali mau punya cucu.”

Suara itu melirih, dan Sandra tercekat.

Dia sudah sekian puluh tahun kehilangan suami. Masih saja mengenangnya dengan segala keindahan. Lalu, aku?

Diam-diam, Sandra mendegut ludah.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.