Senin, 01 April 2019

[Cerbung] Bias Renjana #11









Sebelumnya


* * *


Lima


Ketika Minarti keluar dari ambang pintu rumah indekos, James sudah siap di samping pintu kiri depan mobilnya. Menyambut kehadirannya dengan mengembangkan senyum lebar. Mau tak mau, Minarti membalas senyum itu.

Sudah hampir dua minggu ia pindah ke indekos. Hanya pada hari pertama ia berangkat dan pulang kerja sendirian. Selebihnya? James tetap setia menjemputnya. Padahal ia sudah menolak, baik dengan cara halus maupun lebih tegas. Tapi tampaknya James memutuskan untuk membandel.

“Selamat pagi, Bu Min,” sapa James sembari membuka pintu mobil untuk Minarti.

“Selamat pagi, Pak James,” balas Minarti dengan nada manis.

“Kelihatannya langit cerah seharian ini,” ucap James lagi.

Minarti tak sempat menanggapi. James sudah menutup pintu dari luar.

“Nyaman istirahatnya semalam, Bu?” James yang sudah berada di balik kemudi menghidupkan mesin mobilnya.

“Nyaman, Pak. Saya pulas sampai nyaris terlambat bangun.” Minarti meringis sekilas.

“Jujur, saya juga merasa lebih nyaman Bu Min pindah ke sini.” James mulai meluncurkan mobilnya. “Bisa lebih santai jalannya.”

“Kan, sudah berkali-kali saya bilang, Bapak tak perlu menjemput. Dari sini saya tinggal engklek saja, sudah sampai ke kedai.”

James tergelak ringan. Ia menoleh sekilas.

“Rasanya nggak lengkap pagi hari saya tanpa datang ke kedai bareng Bu Min.”

Minarti menanggapi ucapan James dengan tawa dan kibas ringan tangan kanannya.

Meski demikian, James masih memberinya kesempatan untuk menikmati waktunya sendiri. Saat pulang kerja. Ia selalu mencoba untuk tertib mengakhiri jam kerjanya pada pukul empat sore, sesuai perjanjian. Pada saat itu, James biasanya masih sibuk dengan laptopnya di lantai tiga. Entah apa yang dikerjakannya. Terkadang James sendirian, terkadang pula bersama Angie yang sekalian menunggu ibunya selesai bekerja di seberang.

Hanya dalam waktu sekian ratus detik, mobil James sudah terparkir rapi di depan kedai. Hampir pukul delapan pagi. Kesibukan di sana sudah dimulai. Kedai memang harus siap untuk dibuka pada pukul sepuluh pagi.

Minarti segera meleburkan diri dalam kesibukan di dapur kedai. Aktif bergerak dari sudut ke sudut. Memastikan semuanya beres dan sempurna untuk menyambut pelanggan.

* * *

Sambil mencari arsip di lemari besar yang ada di dekat jendela, sekilas Sandra melemparkan tatapan ke luar. Ke bawah. Tepat saat itu matanya menangkap kehadiran mobil James yang sudah ada di area parkir ruko tepat di seberang kantor. Hanya sepersekian detik. Tapi masih bisa utuh melihat peristiwa James dan Minarti beriringan masuk ke dalam kedai melalui pintu depan sambil tertawa-tawa.

Aku ini kenapa?

Diam-diam ia mengeluh dalam hati.

Melihat Pak James bersama Bu Min seperti itu saja, kok, rasanya hati ini seperti disentil-sentil?

Sandra menggeleng samar. Menyadari bahwa hatinya mulai tidak beres. Padahal, baru beberapa belas minggu Riza berpulang. Belum pantas rasanya memikirkan hal ‘lain-lain’.

Untung saja, kesibukan kemudian menyergapnya. Ritme kerja Coffee Storage saat ini sedang tinggi. Karena ada beberapa pengapalan biji kopi yang harus mereka lakukan ke berbagai negara dalam jangka waktu dua minggu ini. Membuatnya tak lagi sempat memikirkan hal ‘lain-lain’.

Hingga waktu istirahat tiba...

* * *

James sendiri yang menyambut mereka bertiga saat tiba di Coffee Storage. Di tengah kesibukan yang menggila, Luken mengambil inisiatif untuk rehat sejenak dari kerumitan urusan kantor. Ia mengajak kedua sekretarisnya untuk menikmati makan siang di luar, di Kedai Kopi Om James.

Dengan canggung, Sandra duduk tepat di seberang James yang menemani mereka menikmati makan siang. Ia lebih banyak diam. Mendengarkan Luken dan James mengobrolkan aneka hal, termasuk persiapan pernikahan Luken dan Livi. Pada suatu jeda, pertanyaan itu terlompat keluar dari sela-sela bibirnya.

“Maaf, Pak James, Bu Min mana, ya? Kok, nggak sekalian diajak ke sini, makan bersama?”

“Oh....” James menatapnya. “Aku sudah mengajaknya tadi. Tapi dia sibuk. Ada dua anak baru yang harus diawasi training­-nya di dapur.”

“Masa tidak diberi waktu istirahat?”

Alih-alih tersinggung, James justru tertawa mendengar ucapan Sandra.

“Nggak kerja rodilah dia,” jawabnya kemudian. “Bu Min itu orangnya sangat efisien. Percayalah dia nggak akan terlalu capek untuk urusan begituan. Sudah paham di luar kepala kapan bisa istirahat, kapan harus sibuk.”

“Angie mana, Om?” celetuk Luken.

“Baru saja berangkat ke bank. Tapi dia sudah makan duluan tadi. Dipaksa Bu Min makan sebelum berangkat.”

“Kerja di sini, Angie jadi lebih teratur makannya,” gumam Sandra. “Dia sering cerita, selalu dipaksa Bu Min makan dulu kalau mau sibuk. Biar ada tenaga buat mikir. Jadi kayak punya ibu juga di sini.”

James manggut-manggut. Sesungguhnya, ia juga merasa hidupnya lebih teratur belakangan ini. Terutama jadwal makannya. Tapi juga menyadari hal yang cukup ‘berbahaya’. Beberapa celana panjangnya sudah tak nyaman lagi dipakai. Bukan mengerut bahannya karena dicuci, tapi ia sendirilah yang mulai ‘memuai’.

* * *

“Ditanyain Sandra tadi.”

Gumaman James yang mendadak muncul dan duduk di seberang meja membuat Minarti menurunkan kembali sendok berisi makanan yang sudah sampai di depan mulut. Ia mengangkat wajah.

“Lha, kok, malah nanyain saya?” gumamnya dengan nada polos.

James tergelak mendengarnya. Ia menggeleng samar.

“Entahlah, Bu Min. Dia kelihatannya juga canggung. Jadi kurang nyaman suasananya.”

Minarti melanjutkan suapannya. Sambil mengunyah ia berpikir. Tapi sejenak kemudian menemukan jawabannya.

“Sepertinya karena ada Mas Luken dan Livi,” celetuknya kemudian. “Coba kalau Bapak dan Bu Sandra cuma berdua saja, mungkin lain ceritanya.”

“Bisa iya, bisa tidak.” James mengedikkan sedikit bahunya.

Minarti sudah selesai makan. Setelah meletakkan piringnya di bak cuci, ia kembali ke kursinya. Menghabiskan minumannya yang masih tersisa setengah gelas.

“Coba kalau dibalik, ya?” gumamnya kemudian. “Bu Sandra yang punya kedai, dan Pak James yang ngantor di seberang. Pasti ada alasan bagi Pak James untuk ke sini menikmati makan siang, atau ngopi-ngopi sejenak. Jadi, bisa lebih sering bertemu Bu Sandra.”

James tertawa mendengar paparan ilustrasi itu.

“Tapi, kok, jadi kayak sinetron, ya?” Minarti menukas ucapannya sendiri sambil ikut tertawa.

“Coba nanti saya pikirkan ide yang lain,” ujar Minarti kemudian.

“Sudahlah, Bu.” James menggeleng. “Nggak usah terlalu dipikirkan. Biar saja mengalir apa adanya. Kalau memang saya masih ada jodoh sama Sandra, pasti ada satu titik temu nantinya. Kalau memang nggak ada, ya, sudah. Mau gimana lagi?”

Minarti menatap James dengan sorot mata tak puas. Heeeh??? Menyerah? Ia menggeleng samar.

“Jangan menyerah, dong, Pak!” tukasnya. “Pasti ada jalan.”

James terdiam sejenak. Tapi melihat mimik wajah Minarti, ia memutuskan untuk mengalah. Semangat perempuan yang ada di depannya ini tampak kembali menyala. Dapat dilihat dari binar matanya.

“Coba, nanti saya mikir-mikir lagi,” tegas Minarti sambil berdiri dan meraih gelasnya.

James menatap punggung Minarti yang bergerak menjauh, ke arah bak cuci piring. Energi positif dan semangat Minarti seolah menular kepadanya.

Ya, betul juga! Pasti akan ada jalan.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.

Silakan mampir juga ke serial “Pojok Kisah Duda Seksi” yang mengudara hari Sabtu lalu. Judulnya kali ini "The Best of the Worst".
Terima kasih...