Jumat, 19 April 2019

[Cerbung] Bias Renjana #16









Sebelumnya



* * *



Sandra bekerja lima hari seminggu. Satu-satunya kesempatan untuk berburu berbagai referensi dan literatur untuk tugas akhirnya adalah hari Sabtu. Pagi-pagi ia sudah berangkat dari rumah, agar saat perpustakaan kampusnya buka pada pukul tujuh ia bisa segera masuk.

Seperti pula pagi ini. Beberapa menit lewat dari pukul enam ia sudah melajukan motornya pelan-pelan menyusuri gang dari rumah menuju ke jalan raya. Tidak sefokus biasanya, karena ia setengah melamun.

Semalam, abangnya datang ke rumah. Tidak sendirian, tapi bersama seorang teman satu kantor yang tertarik untuk berkenalan dengannya. Namanya Yudi.

Sejak detik pertama bertemu dengan Yudi, Sandra sudah tidak merasa tertarik. Sama sekali. Wajah Yudi tidak jelek-jelek amat sebenarnya. Bahkan bolehlah dibilang cukup tampan. Sosoknya mirip Rendra, abangnya. Kira-kira tingginya 172 sentimeter dengan berat seimbang. Sikapnya manis. Justru hal terakhir inilah yang membuat Sandra sebal. Sikap manis yang di luar kewajaran hingga membuatnya risih. Ditambah dengan tatapan Yudi yang terlihat sedikit nakal.

Hal-hal itu masih ditambah lagi dengan promosi Rendra tentang Yudi. Geming Sandra rupanya membuat Rendra tidak enak hati. Ketika Yudi berada di toilet, Rendra menatap Sandra dengan tajam.

“Kamu itu pilih-pilih tebu,” gerutu Rendra. “Malah dapat bongkeng nanti! Ingat umur!”

Seketika Sandra meradang.

Hingga detik itu, ia memang tak pernah sekali pun dikunjungi yang namanya pacar. Ia terlalu sibuk bekerja dan kuliah. Nyaris tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Sementara Lody, adik perempuan yang urutannya ada di bawahnya persis, yang usianya cuma delapan belas bulan lebih muda daripadanya, sudah punya pacar tetap. Bahkan sudah berencana untuk bertunangan.

“Mbak, kalau kayak gini terus, bisa-bisa aku langkahin Mbak, lho!” Begitu ucapan Lody pada suatu ketika.

Dengan enteng Sandra mengangkat bahu dan mengatakan bahwa ia tak keberatan. Ia sungguh percaya bahwa suatu saat jodoh akan tergenggam pula dalam tangannya pada waktu yang tepat. Apalagi ia baru berusia dua puluh dua.

Dan, ucapan sang abang baru saja sungguh mengusiknya.

“Dengar, ya, Mas!” desisnya. “Aku masih bisa cari jodoh sendiri. Nggak perlu ditawar-tawarkan seperti ini. Apalagi kalau cuma orang kayak temanmu itu!”

Rendra mendengus. Hendak menukas, tapi bayangan Yudi sudah bergerak muncul dari dalam. Tanpa mengucapkan apa-apa, Sandra segera angkat kaki dari ruang tamu. Masuk ke kamar dan tak mau menyahut ketika abangnya berpamitan.

Pagi tadi, saat sedang menikmati sarapan sederhana di ruang makan sempit yang menyatu dengan dapur mereka, ayahnya menyinggung soal semalam.

“Bapak sudah setuju Rendra menjodohkanmu dengan Yudi. Ini demi kamu sendiri, San.”

Selera makannya langsung lenyap. Ia tak bicara apa-apa lagi hingga waktunya berangkat. Diucapkannya sepatah kata pamit. Suaranya terdengar dingin. Dan, harga yang harus ditebusnya lumayan mahal.

* * *

BRAAAKKK!!!

Hanya suara itu yang bisa ditangkap oleh Sandra. Tiba-tiba saja ia mendapati dirinya sudah jatuh tertelungkup di aspal, dengan kaki kiri tertindih motor. Tapi sebelum benar-benar menyadari apa yang terjadi, motor itu sudah diangkat.

“Mbak! Mbak nggak apa-apa?”

Sandra mengangkat wajah. Didapatinya ada sepasang mata menatapnya dengan sorot khawatir. Sandra mengerjapkan mata beberapa kali. Tanpa mendengar lebih dulu apa jawabannya, pemilik sorot mata khawatir itu sudah mengulurkan tangan dan membantunya berdiri.

Dengan hati-hati ia membimbing Sandra ke lebih menepi lagi, naik ke trotoar, dan mendudukkannya di atas sebuah bangku kayu. Sandra berusaha menormalkan kembali ritme napas dan jantungnya sambil melepaskan helm. Sebuah botol berisi air minum sudah terulur ke depannya.

“Minum dulu, Mbak,” ucap laki-laki muda itu.

Sandra menurut. Menerima botol itu dan meneguk isinya beberapa kali. Setelah napasnya kembali teratur, ia mendongak. Laki-laki muda itu masih berdiri di dekatnya. Menatapnya lekat.

“Mbak, ada yang luka? Terasa sakit?”

Sandra menggeleng. Sedetik kemudian barulah ia menyadari bahwa ia jatuh dari motor. Motornya sendiri sudah dipinggirkan. Ada di depan sebuah motor besar berwarna hitam.

“San! Kamu nggak apa-apa?”

Suara lain yang menyeruak kemudian membuatnya menoleh. Darso, pemilik bengkel tempat ayahnya bekerja menatapnya dengan khawatir. Sandra pun menggeleng. Ia hanya kaget saja. Celana jins yang dikenakannya cukup tebal. Pun jaket yang melindungi tubuh bagian atasnya. Juga sneakers-nya. Rasa-rasanya tak ada luka, kecuali telapak tangan kirinya yang terasa sedikit perih. Ia membuka tangannya. Mendapati ada beberapa goresan pada telapak tangannya.

“Sebentar, kuambilkan obat merah dan plester!” seru Darso.

Beberapa belas detik kemudian laki-laki itu kembali dengan membawa benda-benda yang sudah disebutkannya. Bengkelnya memang cuma beberapa langkah saja dari ujung gang, tepat di tepi jalan raya.

“Kamu ini,” gerutu Darso sambil mengobati luka di telapak tangan kiri Sandra, “naik motor, kok, sambil melamun. Untung, Mas-nya ini tadi nggak kenceng bawa motornya. Kamu belok, kok, nggak lihat-lihat. Kamu yang salah. Bukan Mas-nya ini.”

Sandra menengadah kini. Laki-laki muda yang tadi menolongnya itu, rupanya ialah yang sudah menyeruduk motornya.

“Maaf,” ucapnya, nyaris tanpa suara.

Laki-laki muda itu menarik napas lega. Saat itu, terbit pula seulas senyum tipis mewarnai wajahnya.

“Saya senang Mbak nggak apa-apa,” ujarnya. “Lain kali hati-hati kalau bawa motor, ya, Mbak. Jangan sambil melamun.”

Sandra tertunduk malu. Wah, kalau sampai ada korban dan aku diperkarakan, bisa habis aku!

“Sudah, motormu tinggalkan saja dulu di sini,” celetuk Darso. “Biar nanti dicek bapakmu. Kamu pergi naik taksi saja. Jangan bawa motor dulu. Memangnya, kamu mau ke mana?”

“Ke kampus, Pakde.”

“Ayo, Mbak. Saya antar saja.” Tiba-tiba saja laki-laki muda itu menyeletuk.

Sandra tertegun sejenak. Tapi sebelum ia menjawab, pemuda itu sudah mengulurkan tangannya.

“Saya Riza, Mbak. Mbak-nya tiap Sabtu ke perpustakaan kampus Mbak, kan?”

Sandra ternganga. Menatap senyum laki-laki muda bernama Riza itu dengan mata bulatnya.

“Saya sekampus sama Mbak,” Riza menjelaskan. “Dan, saya sering lihat Mbak di perpustakaan pusat pada hari Sabtu.”

Sebelum Sandra buka suara, Darso sudah menyergah, “Sudah, San. Ikut saja Mas ini. Biar motormu Pakde yang urus. Sana, keburu siang, lho!”

Tak ada lagi alasan untuk menolak. Lebih tepatnya lagi, Sandra tak berhasil menemukan alasan untuk menolak. Sudah untung ia tak apa-apa dan tidak membuat orang lain ikut jadi korban. Tapi kesadaran terbit tepat sebelum ia naik ke boncengan motor Riza.

“Maaf, Mas nggak apa-apa? Motornya?” tanyanya.

Riza menggeleng.

“Saya nggak jatuh, kok, tadi. Justru Mbak yang ngusruk. Sempat kesenggol motor saya, sih. Maaf, ya, Mbak.”

“Eh, saya yang harusnya minta maaf. Jadi bikin repot Mas.”

“Enggak, kok.” Riza menggeleng tegas. “Saya juga mau ke kampus ini. Butuh ke perpustakaan juga. Ayo, naik!”

Sandra pun mengangguk. Mengenakan helmnya, dan naik ke boncengan motor Riza.

* * *

Dari tempat duduknya, Sandra sesekali mencuri pandang. Tepat lurus di depannya, terpisah jarak beberapa belas meter. Riza duduk di sana. Tengah tekun membaca sebuah buku dengan beberapa buku lain tertumpuk rapi di dekat sikunya. Sesekali laki-laki muda itu menuliskan sesuatu dalam buku catatannya.

Laki-laki muda bernama Riza Hakim itu ternyata mahasiswa di kampus yang sama. Sedang menyelesaikan tesisnya. Saat ini merangkap pula sebagai dosen di Fakultas Ekonomi.

Sandra sekilas-sekilas menatap profil Riza. Laki-laki itu tidak terlalu tampan, tapi terlihat sangat simpatik. Gerak-geriknya tenang. Terlihat serius. Satu hal yang tak bisa dilupakan Sandra. Tatapan Riza tadi tampak sangat teduh di matanya.

Pada satu detik, Sandra melihat Riza menutup buku yang dibacanya. Ia buru-buru mengalihkan lagi tatapan ke buku yang terbuka lebar di depannya. Setengah mati ia mengumpulkan kembali konsentrasi, dan mulai membuat ringkasan dan catatan di notes yang dibawanya.

Saat tengah asyik mencatat sesuatu, ada bayangan yang melintas di dekatnya. Sebuah lipatan kertas begitu saja terulur dan digeletakkan di depannya. Dengan kening berkerut, Sandra mendongak untuk menemukan siapa pemberi lipatan kertas itu. Satu-satunya tersangka cuma Riza, yang didapatinya tengah melangkah ke arah rak buku tak jauh dari kursi yang didudukinya.

Pelan-pelan, Sandra meraih lipatan kertas itu dan membukanya. Sebaris tulisan yang cukup rapi tertera pada kertas itu.

‘Ini sudah pukul sebelas. Biasanya jam segini kamu istirahat. Yuk, ke kantin!’

Sandra kembali mendongak. Mencari sosok Riza. Laki-laki itu didapatinya tengah berdiri di depan sebuah rak. Menatap dan memberinya seulas senyum. Segera Sandra berucap tanpa suara, “Sebentar.” Riza mengangguk.

Sandra segera menyelesaikan catatan yang ia perlukan. Beberapa menit kemudian, ia meringkas semua buku yang tadi diperlukannya, dan memasukkannya ke dalam keranjang di ujung meja. Ketika ia berbalik, Riza sudah berdiri di belakangnya. Tanpa suara keduanya beriringan keluar dari perpustakaan.

“Mau ke kantin mana?” tanya Riza dengan suara rendah ketika keduanya melangkah ke ruang loker.

“Aku biasanya di kantin belakang situ,” telunjuk kanan Sandra mengarah ke belakang gedung perpustakaan pusat.

“Suka gado-gado, nggak?”

“Suka juga, sih. Biasanya kalau lagi ingin gado-gado, aku ke kedai di seberang kampus.”

“Wak Juli?” Riza menegaskan.

Sandra mengangguk.

“Wah, memang juara gado-gadonya. Kita ke sana, ya?”

Sandra kembali mengangguk.

* * *

Lalu, tiba-tiba saja ia makin dekat dengan Riza. Hingga suatu saat...

“San, maukah kamu menikah denganku?”

Tak ada cincin yang tersodor ke depannya. Riza begitu saja mengucapkan kalimat itu saat untuk kesekian kalinya mereka menikmati gado-gado di kedai Wak Juli. Sebuah suasana yang sama sekali tak istimewa. Pun, hanya beberapa bulan setelah pertemuan pertama mereka yang ajaib.

Tapi, Sandra menemukan keinginan kuat dan kejujuran dalam keteduhan mata Riza. Maka, ia pun mengangguk. Selanjutnya, keduanya sepakat akan membicarakan lagi soal itu nanti setelah wisuda selesai.



Sambil menghela napas panjang, Sandra menatap Angie.

“Mama wisuda pada suatu hari Sabtu. Papamu belum, karena tesisnya belum selesai. Hari Seninnya, saat Mama sampai di kantor, ada kado di meja Mama. Dari Pak James. Isinya seuntai kalung lengkap dengan liontinnya, dan sebuah kartu ucapan. ‘Sandra, will you marry me?’ Begitu tulisan dalam kartu itu.”

Gema lirih suara Sandra segera menghilang. Angie menatapnya dengan mulut ternganga.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.