Sabtu, 23 Maret 2019

[Cerita Serial] Pojok Kisah Duda Seksi – Perkenalkan, Aku Ken







Perkenalkan,
Aku Ken


“Mm.... Pa, aku ribut sama Dika kemarin sore,” bisik Ajeng.

Sebetulnya aku tak terkejut lagi. Semalam aku sudah mendapatkan laporan pandangan mata dari Wira, adikku. Tapi demi menimbulkan efek kartun nan dramatis, aku pura-pura terlonjak kaget.

“Kenapa memangnya, Jeng?”

Ajeng menatapku. Menghela napas panjang. Wajahnya disetel jelek. Bibirnya maju sekitar lima sentimeter.

“Dika, tuh....” Ada nada mengadu yang kental dalam suaranya. “... Masa dia marah gara-gara aku pulang sekolah langsung ke rumah teman. Aku, tuh, kerjain tugas kelompok, bukannya keluyuran. Kan, aku....”

“Masalahnya dia, tuh, nggak pamit sama Tante!” sambar Dika yang tiba-tiba saja muncul entah dari mana. “Ya, bingunglah Tante-nya. Mana sampai hari gelap belum nongol nih anak!”

“Betul?” Kutatap Ajeng.

“Iya, sih....” Ajeng tertunduk.

“Udah abis kumarahin dia.” Dika menjatuhkan badannya di sebelahku. “Makanya ribut. Tapi dia juga udah dicuci sama Om.”

Setengah mati aku menahan tawa. Dicuci.... Aku tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi adikku yang super sabar itu saat mencuci Ajeng.

“Om bilang apa?” Masih kutatap Ajeng.

“Mm.... iya, aku salah. Aku tahu.” Ajeng masih tertunduk. “Om bilang Dika cuma nggak mau aku kenapa-napa. Dika marah karena sayang aku. Saudara cuma satu ini, masa mau berantem melulu?”

Kuhela napas lega. Kutatap bergantian Ajeng dan Dika, si kembar dampit kesayanganku. Tapi, tak ayal ada juga rasa sedih di hati. Seharusnya aku sendiri yang menyelesaikan masalah antara Ajeng dan Dika. Bukan Wira, adikku, dan Ninin, istrinya. Sayangnya....

“Ajeng sudah minta maaf sama Dika?” Kugenggam kedua tangan putriku.

Ajeng mengangguk.

“Udah baikan lagi, kok,” bisiknya.

Aku mengangguk. Lalu, untuk merayakan acara ‘baikan’ itu, kuajak keduanya keluar untuk jajan bareng. Tak jauh, hanya di sebuah kedai sate dekat rumah Wira. Hanya bertiga. Ajeng, Dika, dan Papa. Mama?

Hmm....

* * *

Perkenalkan, namaku Ken. Lengkapnya, Ken Prabata Hardanto. Hardanto itu nama bapakku. Disematkan jadi nama belakangku. Tercatat secara resmi pada akta kelahiran, karena (menurut penuturannya sendiri) bapakku tidak menemukan nama yang cocok untuk disandingkan dengan nama ‘Ken Prabata’.

Usiaku tahun ini masuk golongan ‘seksi’, alias seket kurang siji. Lima puluh kurang satu. Usia yang memang seksi, bukan? Hanya saja, sayangnya, kehidupanku tidaklah selalu seseksi usiaku.

Saat ini, aku jadi orang tua tunggal untuk anak-anakku yang cantik dan ganteng. Si kembar dampit Ajeng dan Dika. Rahajeng dan Rahandika. Keduanya sudah menginjak usia remaja, dengan segudang keinginan dan perilaku ajaib yang terkadang membuatku pening dan memusingkan paman mereka.

Statusku saat ini... sudah duda. Tapi saat catatan mengenai pertengkaran anak-anak ini kutulis, statusku masih rumit. Aku sudah berpisah dengan istriku. Bercerai? Tidak. Ia memang ingin mengesahkan perceraian secara sipil (karena ingin menikahi orang ketiga dalam pernikahan kami), tapi aku menolak. Keyakinan yang kami anut tidak mengizinkan adanya perceraian.

Seperti yang sudah tersirat dalam catatan ini, anak-anakku memang ikut Wira, adik laki-lakiku, sejak naik kelas 9. Wira tinggal di Jakarta, sedangkan aku di ujung barat pulau Jawa. Anak-anak lahir di sana, hingga lulus SD. Setelah itu, istriku membawa anak-anak ke Surabaya, tempat asalnya. Membawa kabur dan menyandera mereka mungkin adalah istilah yang paling tepat. Tujuannya adalah untuk memaksaku mengurus perceraian secara sipil.

Aku memang masih bisa bertemu anak-anak. Tapi tergantung dari cuti dan libur long weekend yang kupunya. Selebihnya? Aku harus menahan rindu pada anak-anak walaupun kami masih bisa berkomunikasi kapan pun kami inginkan. Rasa sakitnya, jangan ditanya lagi. Selama ini aku sangat dekat dengan anak-anak. Mereka kesayanganku. Berada sangat jauh dengan mereka serasa kehilangan lebih dari setengah nyawa.

Saat anak-anak kelas 8, menjelang ujian kenaikan kelas, mereka pernah melancarkan aksi mogok sekolah. Tuntutan mereka adalah ‘ikut Papa’. Tentu saja ibu mereka kalang kabut dibuatnya.

Tuntutan itu berhasil, hanya saja mahal sekali harganya untuk anak-anak. Ibu mereka melepaskan segala urusan yang menyangkut mereka bila anak-anak ‘ikut Papa’. Memutuskan segala hubungan komunikasi dalam bentuk apa pun. Dan, itu benar-benar dilakukannya. Tapi anak-anak tak terlalu peduli hal itu.

Pindah saat kenaikan kelas ke kelas 9 adalah hal yang cukup sulit. Sesuai dengan pertimbangan dari sekolah asal, anak-anak disarankan untuk pindah ke sekolah di bawah panji yang sama dengan sekolah asal (anak-anak bersekolah di SMP swasta). Sayangnya, di tempatku tinggal tidak ada. Satu-satunya pilihan adalah memindahkan mereka ke Jakarta, tempat salah satu sekolah yang dimaksud berada. Jadilah Wira yang ketiban pulung kutitipi anak-anak. Anak-anak pun paham kondisi ini. Tak masalah bagi mereka harus ‘ikut Om’, asal ‘nggak ikut Mama’.

Anak-anak tinggal di Jakarta, berarti aku bisa bertemu mereka sesering mungkin. Hampir setiap akhir pekan aku menemui anak-anak. Biasanya, aku langsung meluncur ke Jakarta pada hari Jumat seusai jam kerja. Kecuali aku ada pekerjaan sangat penting, dinas ke luar kota, ataupun dinas ke luar negeri.

Psikolog teman Wira yang memantau keadaan anak-anak memberikan penilaian positif terhadap perkembangan kejiwaan anak-anak selama ikut Wira. Aku tahu, Wira dan Ninin memberikan segala bentuk perhatian yang memang sangat dibutuhkan anak-anak. Bisa menggantikan secara nyaris sempurna peranku dan peran mama mereka yang seolah tercerabut secara paksa dari kehidupan mereka.

Sejak tinggal dengan Wira, Dika memang sedikit meningkatkan perannya sebagai ‘herder’ Ajeng. Kedua anakku ini memang nyaris bertolak belakang sifatnya. Selain mewarisi ketampananku (uhuuuk...), Dika punya sifat yang nyaris persis sama denganku. Lebih bisa ngemong dan lebih kompromis. Sedangkan Ajeng, kecantikan ibunya jelas-jelas menurun padanya. Dilengkapi sifat ngeyelan dan sikap keras kepala. Wajar kalau Dika makin lama makin ‘keras’ padanya. Tapi bibit-bibit pemberontak dalam diri Ajeng berhasil diredam oleh Trisia, putri tunggal Wira dan Ninin yang sudah mahasiswi hampir lulus sarjana. Ajeng seolah punya kakak yang bisa dijadikannya tempat curhat.

Aku tak tahu harus sampai kapan hidup terpisah dari anak-anak seperti ini. Sebaik apa pun kehidupan Ajeng dan Dika di bawah pengasuhan Wira dan Ninin, tentunya jauh lebih baik bila kami berkumpul dalam satu atap yang sama. Berkumpul sebagai keluarga yang memang tak lagi utuh. Hanya ada Ajeng, Dika, dan Papa.

Masih banyak catatan terserak tentang kami. Mungkin sedikit menarik. Akan kukumpulkan dan kupilih beberapa yang bisa kubagikan kepada kalian. Semoga berkenan. Sampai bertemu lagi Sabtu depan dengan kisah yang lain....

* * * * *

(Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi)

Kisah-kisah berikutnya :

 "The Best of the Worst"



2 komentar:

  1. Heluuuuuuukk prolog e ae es njueder on ......
    Lanjot nyah !

    BalasHapus
  2. Woooh.. Iki tho sing lali ditutup? ��

    BalasHapus